Upacara adat perkawininan dalam masyarakat Aceh
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Aceh adalah
bumi yang penuh budaya dan kaya kearifan lokal. Berbicara tentang Budaya Aceh memang
tak habis-habisnya dan tak akan pernah selesai sampai kapanpun. Topik yang satu
ini memang menarik untuk dibicarakan terutama karena budaya itu sendiri
sesungguhnya merupakan segala hal yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan
manusia. Jadi, selama manusia itu ada selama itu pula persoalan budaya
akan terus dibicarakan.
Adat
pernikahan Aceh merupakah salah satu prosesi pernikahan
yang ada di Indonesia. Adapun ketentuan-ketentuan dalam upacara adat pernikahan aceh
ini. Melalui kesempatan ini, saya akan berbagi dengan anda mengenai adat
pernikahan aceh.
Seiring dengan bergulirnya waktu dan
perkembangan zaman, satu per-satu tradisi pernikahan adat khususnya daerah Aceh
banyak masyarakat yang kurang mengetahui atau telah melupakan adat istiadat
pernikahan dari Aceh.Masyarakat sekarang cenderung lebih berkiblat pada budaya
dan adat istiadat barat yang sangat tidak sesuai dengan norma-norma yang ada di
dalam ajaran agama kita yaitu ajaran islam.
Maka dari itu penulis ingin
mengingatkan kembali tentang apa yang telah terlupakan itu supaya untuk
kedepannya budaya-budaya yang ada di Indonesia biar tetap di lestarikan secara
turun temurun .
Adapun salah satu dari dari tahap-tahap
prosesi pernikahan dari Aceh adalah sebagai berikut:
1. Cah ret (membuka jalan)
2. Meulakee (melamar)
3. Ranup kong haba (pertunangan)
4. Ghatip (menikah)
5. Ranup gaca
6. Intat linto (antar linto baroe)
7. Woe sikureng
8. Intat dara baroe
B.
Rumusan Masalah
1. Apa syarat-syarat perkawinan di
Aceh?
2. Bagaimana tahap-tahap dalam
perkawinan di Aceh?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Syarat-Syarat Perkawinan di Aceh
Syarat-syarat
Perkawinan yaitu:
1. Telah dewasa (18-22 tahun),
2. Sanggup membayar mas kawin atau mahar,
3. Dapat membaca Al-Qur`an dengan lancer
4. Dapat mengerjakan perintah Shalat, begitu juga perintah-perintah
Islam lainnya.
5. Paham mengenai adat sopan-santun dalam pergaulan sehari-hari
6. Sehat jasmani dan rohanif.
7. Dianjurkan untuk mengkhatamkan Al-Qur`an terlebih dahulu[1].
Dari semua persyaratan ini tidak bertentangan dengan hukum
Islam dan sesuai dengan anjuran-anjuran dalam Islam, kecuali masalah umur.
Dalam Islam dewasa itu ditandai dengan telah datangnya haidh bagi perempuan
yang bisa dikatakan umurnya berkisar antara 9 sampai 12 tahun dan dewasa bagi
laki-laki ketika berumur 18 tahun. Akan tetapi peraturan dari masyarakat ini
sendiri lebih menilai dewasa itu dari segi psikologis, karena bagi mereka
menikahkan anak gadis seumur itu malah akan merusak rumah tangga. Dan dalam
Islam pun tidak memaksa harus menikah dalam umur yang demikian dan membuat kota
ini menjadi istimewa adalah tidak menetapkan berapa jumlah mahar yang harus
diserahkan oleh pihak laki-laki yang berbeda dengan suku Aceh pada umumnya, akan tetapi karena rasa
idealisme kaum lelaki maka jumlah mahar sesuai dengan predikat sang gadis.
B. Tahap-Tahap dalam
Perkawinan di Aceh
1. Cah Rot (Menanya)
Cah Rot yaitu suatu Istilah dalam bahasa aceh dimana pihak
laki-laki mengunjungi pihak perempuan untuk menanyakan perihal si gadis apakah
telah ada yang meminang apa belum. Perihal ini dilakukan oleh seorang utusan
dari keluarga terdekat pihak laki-laki, orang ini dalam istilah Aceh disebut
dengan “Theulangke”. Theulangke berfungsi sebagai perantara dalam menyelesaikan
berbagai kepentingan diantara pihak calon Linto baro (Calon mempelai
laki-laki), dan dara baro (calon mempelai perempuan) . Theulangke ditunjuk dari
orang yang dituakan di dalam kampung yang cukup bijaksana, berwibawa, pengaruh
dan alim serta mengetahui seluk beluk adat perkawinan[2].
Theulangke Menanyakan hal tersebut, dan Apabila si gadis
tersebut belum ada yang meminang, maka Theulangke ini menyampaikan maksud untuk
melamar sang gadis untuk seorang laki-laki.
Pada umumnya pemuda yang dianggap dewasa di daerah ini adalah
berumur 25 tahun keatas, sedangkan si gadis berumur 18 tahun keatas. Pada waktu
anak laki-laki sudah memasuki kedewasaan orang tuanya mereka-reka atau
mencarikan jodoh untuk anak nya. Sedangkan orang tua pihak si gadis kebiasaan
hanya menunggu kedatangan pinangan terhadap anaknya.
Dalam hal ini kadang-kadang ada juga pemuda dan
si gadis yang terlebih dahulu mengadakan hubungan secara pribadi, apalagi pada
zaman sekarang ini, kemudian si pemuda memberitahukan kepada orang tuanya. Dan
selanjutnya orang tua pemuda mencari seorang Theulangke untuk menghubungi atau
mendatangi orang tua si gadis.
2. Meulakee
Pada Hari yang telah disepakati, datanglah beberapa orang
perwakilan dari pihak laki-laki ke rumah pihak perempuan, pihak laki-laki yang
datang yaitu : Wali, Theulangke, Keuchik, Teungku.
Dan di rumah perempuan, telah ada wakil dari pihak perempuan, yaitu: wali, Theulangke dan orang yang dituakan, yang menunggu kedatangan utusan pihak laki-laki. Pihak laki-laki datang dengan membawa sirih dalam cerana “Batee Ranup” serta penganan ringan (Bungong jaroe) yang bertujuan sebagai penguat ikatan kedua belah pihak.
Dan di rumah perempuan, telah ada wakil dari pihak perempuan, yaitu: wali, Theulangke dan orang yang dituakan, yang menunggu kedatangan utusan pihak laki-laki. Pihak laki-laki datang dengan membawa sirih dalam cerana “Batee Ranup” serta penganan ringan (Bungong jaroe) yang bertujuan sebagai penguat ikatan kedua belah pihak.
Setelah acara lamaran ini selesai, maka perwakilan pihak
laki-laki akan mohon pamit untuk pulang. Sementara itu keluarga pihak wanita
meminta waktu untuk bermusyawarah, mengenai diterima-tidaknya lamaran tersebut.
Keputusan tidak diberikan pada saat itu,
melainkan dilakukan musyawarah (Duek Pakat) terlebih dahulu dengan sanak family
dalam keluarga anak gadis itu, Dan apabila lamaran tersebut diterima maka baru
disampaikan pada Theulangke pihak laki-laki, biasanya masa menunggunya lebih
kurang satu minggu. Hal ini dilakukan agar jangan sampai tergesa-gesa dalam
mengambil keputusan tersebut. Setelah kata sepakat baru kemudian Theulangke
menanyakan hal sekitar mahar (mas kawin).
3. Ranub Kong Haba
Selesai Upacara Jak Meulakee (meminang) dan Keluarga
Perempuan pun Telah Musyawarah(Duek Pakat). Maka tibalah saatnya Ba Ranub Kong
haba (Sirih pertunangan). Ranub Kong Haba ini dimaksudkan sebagai meminang
resmi.
Dalam upacara tersebut, pihak keluarga anak dara
memberitahukan dan sekaligus mengundang orang tua kampong, seperti Keuchik dan
Teungku sagoe bersama isterinya, supaya pada hari dan tanggal yang telah
ditetapkan oleh kedua belah pihak pada waktu upacara Jak Meulakee yang lalu,
hadir kerumahnya, demikian pula turut diundang sanak keluarga yang dekat dan
para tetangga. Maksud dan tujuannya yaitu untuk menunggu kedatang rombongan
utusan pihak laki-laki dan sekaligus mendengarkan pembicaraan-pembicaraan kedua
belah pihak[3].
Dalam
acara ini kedua belah pihak merundingkan tentang :
a. Jeulamee (mas Kawin). Kebiasaan masalah mas kawin ditentukan
oleh orang tua pihak gadis. Jumlah mas kawin yang berlaku didaerah Kabupaten
Aceh barat yaitu berkisar antara 10-20 Mayam Emas. Di daerah kabupaten Aceh
Barat juga ada ketentuan mahar mitsil , yaitu menurut mahar saudara
perempuannya.
b. Waktu yang baik untuk Meugatib/menikah dan bersanding
(walimah).
c. Dan hal-hal lain yang dirasa perlu sehubungan dengan upacara
berlangsungnya perkawinan tersebut. Upacara berlangsung dalam suasana yang diliputi adat.
Baik tutur kata, sikap, sajian makanan dan kedaan ruangan diseluruh rumah.
4. Ghatip (menikah)
Sebelum Akad Nikah, kedua calon mempelai diproses terlebih
dahulu, proses yang dimaksud adalah beberapa pertanyaan tentang agama Islam.
Pertanyaan ini diberikan oleh pihak kantor KUA. Setelah kepala Kantor KUA
mengesahkan, kedua mempelai sudah bisa dinikahkan. Maka dilanjutkan dengan
Prosesi Akad Nikah.
Pada Proses Akad Nikah sesuai ketentuan Agama Islam, harus
hadiri oleh penghulu (orang yang menikahkan) wali kedua belah pihak, serta
saksi. Proses akad Nikah ini biasanya dilakukan di mesjid.
Sebelum Proses Ijab Kabul, Terlebih Dahulu
Diperlihatkan Mahar (mas kawin) yang diletakkan di dalam sebuah tempat yang
disebut dengan “Batee Meuh”, sesuai dengan adat, Batee meuh tersebut di Balut
dengan 7 helai kain. Mahar itu diperlihatkan kepada seluruh keluarga yang hadir
dalam acara akad nikah tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan prosesi Ijab
Kabul. Untuk Ijab Kabul, Kedua mempelai duduk di tempat yang telah disediakan,
yang biasa disebut dengan “Bantai Gulong”.
Prosesi Ijab Kabul, wali perempuan ijab dengan pengantin
laki-laki. Calon mempelai laki-laki mengabulkannya. Setelah saksi mengesahkan.
Maka resmilah kedua mempelai sebagai suami isteri.
5. Ranup Gaca
Sebelum
woe linto/intat linto dilaksanakan didahului dengan upacara intat gaca atau
ranub gaca oleh pihak keluarga linto baro yaitu ranub bateh, ranub meususoen,
ranub ikat biasa.
Boh Gaca atau berinai adalah pemakaian daun pacar untuk
menghiasi tangan Calon Dara Baro. Boh Gaca merupakan tradisi pernikahan dan
merupakan sunah Rasul. Prosesi Boh Gaca ini diawali dengan “Peusijuk Gaca” .
menurut tradisi untuk peusijuk Gaca ini, Buleukat untuk peusijuk diantar oleh
saudara perempuan dari ayah atau ibu pengantin perempuan.
Selanjutnya, calon dara baro di Peusijuk oleh orang yang
dituakan dalam keluarganya, dan disusul dengan pemakaian Inai, inai dipakaikan
di kedua tangan calon dara baro, persisnya dari ujung jari sampai lengan
tangan. serta kedua kaki hingga menutupi telapak kaki pengantin. Kegiatan ini
dilakukan hingga 3 malam berturut-turut. Boh gaca ini Selain dilakukan oleh
pengantin juga dilaksanakan oleh perempuan-perempuan yang masih gadis yang
masih memiliki hubungan kekerabatan, atau tetangga-tetangga.
6. Intat Linto
Intat Linto dilakukan pada hari H, hari yang telah
ditentukan, antar Linto sekaligus dengan pesta pernikahan atau walimah di rumah
mempelai perempuan. Pada Acara Pesta hadir tamu-tamu undangan, yang disuguhi
hidangan-hidangan lezat, serta dimanjakan dengan hiburan-hiburan seperti
kesenian-kesenian Aceh.
Upacara Antar Linto adalah sebuah prosesi dimana linto baro
diantar oleh pihak keluarganya ke rumah dara baro. Pada Upacara Antar Linto
kedua pengantin mengenakan pakaian adat Aceh yang sangat Khas.
Pihak keluarga Linto Baro membawa seserahan,
yang dalam istilah aceh disebut dengan ”Peu Neu Woe”, peu neu woe ini adalah
pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Berupa segala
barang-barang keperluan mempelai perempuan, seperti seperangkat alat shalat,
pakaian, perlengkapan mandi, kosmetik, buah-buahan dan lain sebagainya.
Saat Rombongan Linto sampai di rumah dara baro, sang Linto
disambut dengan “Tarian Ranup lam Puan” tarian ini adalah tarian penyambutan.
Tarian ini dipimpin oleh seorang Putri, Putri tersebut yang menggandeng Linto
baro menuju pintu rumah dara baro, di depan pintu telah disambut oleh seseorang
yang dalam istilah aceh disebut “Nek penganjo” sebelum memasuki rumah terlebih
dahulu prosesi Tukar Ranup antara Nek Penganjo laki-laki dan Nek penganjo
perempuan.
Kemudian Pengantin laki-laki dipesijuk sebelum memasuki
rumah. Di depan pintu telah dibentang kain panjang yang dibentuk seperti tangga
dan telah ditaburi beras, masuklah Linto baro kedalam rumah berjalan diatas
kain panjang tersebut disusul denga rombongan-rombongan yang lainnya. Didalam
rumah telah menanti pengatin perempuan dengan di damping seseorang. Wajah
pengantin perempuan di tutup dengan kipas. Kemudian bersalamanlah kedua
mempelai dan duduk bersanding dipelaminan. Setelah itu kedua pengantin di pesijuk, yang didahului
oleh keluarga laki-laki, keluarga laki-laki akan memberikan uang (salam tempel)
kepada pengantin perempuan. Dan uang tersebut kemudian ditambah jumlahnya oleh
keluarga perempuan dan saat keluarga perempuan melakukan peusijuk kepada kedua
pengantin, diberikan uang tersebut kepada pengantin Laki-laki. Selesai Proses Peusijuk oleh kedua keluarga, maka
saatnya Rombongan laki-laki menyantap aneka hidangan yang telah disiapkan oleh
pihak perempuan.
7. Woe Sikureng
Woe Sikeureung adalah
pulang kerumah dara baro pada malam ke Sembilan sesudah pulang hari ketujuh dan
malam ke delapan linto baro tidak
dibenarkan pulang ke rumah dara baro[4].
8. Intat Dara
Baroe
Setelah melalui beberapa hari atau
bulan usia perkawinan, pihak dara baroe melakukan prosesi yang
sama, biasa disebut upacara tueng dara baroe (mengantar
pengantin perempuan) ke rumah linto baroe (pengantin
laki-laki). Setibanya di rumah linto baroe, dara baroe dijemput
oleh ibu linto baroe dengan ranup batee dan gateng.
Sesampainya di sana, dara baroe duduk bersanding dengan linto
baroe di singgahsana atau pelaminan kemudian dipeusijuek oleh
pihak linto baroe dan teumeutuek (pemberian) yang
dilakukan oleh ibu dan kerabat dari linto baroe. Dalam prosesi ini,
dilakukan kebiasaan adat yaitu tangan linto baroe dan dara
baroedimasukkan ke dalam eumpang breueh (empang beras)
dan eumpang garam (empang garam). Adat ini dimaksudkan bahwa
ini adalah rumahnya sendiri dan tahu dimana beras dan garam untuk perjanjian di
masa-masa mendatang.
Sementara bawaan (talam) dari dara
baroe dalam upacara tueng dara baroe ini yaitu
kue-kue tradisional Aceh setidaknya terdiri dari 3 (tiga) jenis hidangan
seperti wajeb, dodoi, meuseukat, dan kue-kue kering lainnya seperti bhoi, keukarah,bungong
kayee, serta ranup batee. Bawaan (asoe talam) ini
nantinya akan dibagi-bagikan kepada sanak keluarga, kerabat, dan tetangga linto
baroe. Selanjutnya oleh pihak orang tua lintodihadiahkan benda
menurut kemampuan ekonomi kepada dara baroe, yang lazimnya berupa
seekor hewan betina.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Indonesia dengan beribu pulau dan
kemajemukannya menyebabkan indonesia memiliki bermacam-macam budaya,adat
tradisi,bahasa dan lain sebagainya. Kemajemukan tersebut tidaklah membuat
rakyat indonesia bercerai-berai,malahan dengan kemajemukan tersebut indonesia
menjadi bangsa dengan beragam tradisi,adat dan budaya yang semakin memepererat
persatuan dan kesatuan bangsa indonesia. Salah satu tradisi bangsa indonesia
adalah tradisi adat pernikahan,yang mana penulis menulis salah satu adat
pernikahan adat di indonesia yaitu adat pernikahan masyarakat aceh.
Adat pernikahan masyarakat Aceh
dibagi kedalam beberapa tahap :
1. Cah ret (membuka jalan)
2. Meulakee (melamar)
3. Ranup kong haba (pertunangan)
4. Ghatip (menikah)
5. Ranup gaca
6. Intat linto (antar linto baroe)
7. Woe sikureng
8. Intat dara baroe
B.
Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis
menyadari bahwa makalah ini penulis menyadari banyak sekali kekurangan baik
dari segi isi maupun dari segi penulisannya.
Untuk itu demi kesempurnaan makalah
ini,penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
para pembaca sekalian. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
http://robyiskanda.blogspot.com/,
diakses tanggal 22 Oktober 2014
http://acehpedia.org/Upacara_Adat_Perkawinan_Aceh,
diakses tanggal 22 Oktober 2014
http://ujdrien.blogspot.com/2014/05/reusam.html,diakses
tanggal 22 Oktober 2014
http://nelavie.blogspot.com/p/adat-budaya.html,
diakses tanggal 22 Oktober 2014
[1]
http://robyiskanda.blogspot.com/,
diakses tanggal 22 Oktober 2014
[2] http://www.artikelnikah.com/2013/02/adat-pernikahan-masyarakat-aceh.html
[3]
http://acehpedia.org/Upacara_Adat_Perkawinan_Aceh,
diakses tanggal 22 Oktober 2014
[4]
http://ujdrien.blogspot.com/2014/05/reusam.html,diakses
tanggal 22 Oktober 2014
Post a Comment for "Upacara adat perkawininan dalam masyarakat Aceh"