Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ayat tentang pernikahan



BAB I
PEMBUKAAN

A.    LATAR BELAKANG
Perkawinan adalah fitrah setiap manusia. Manusia diciptakan Allah sebagai mahluk yang berpasang-pasangan. Setiap jenis membutuhkan pasangannya. Lelaki membutuhkan wanita dan sebaliknya wanita juga membutuhkan lelaki. Islam diturunkan oleh Allah untuk menata hubungan itu agar menghasilkan sesuatu yang positif bagi umat manusia dan tidak membiarkannya berjalan semaunya saja sehingga manjadi penyebab bencana.
Dalam pandangan Islam, perkawinan adalah akad yang diberkahi, dimana seorang lelaki menjadi halal bagi seorang wanita. Mereka memulai perjalanan berumah tangga yang panjang dengan saling cinta, tolong-menolong, dan toleransi. Al-Qur’an menggambarkan hubungan yang sah itu dengan suasana yang menyejukkan, akrab, mesra, kepedulian yang tinggi, saling percaya, pengertian dan penuh dengan kasih sayang.
Proses pembangunan perkawinan yang sakinah dan bahagia sering tidak semulus yang dibayangkan oleh kebanyakan pasangan. Mula-mula hubungan pasangan bisa saja terasa menggairahkan, meyakinkan dan menyenangkan, namun selama pasangan itu melewati masa pacaran dan memasuki masa perkawinan, hubungan perkawinan dengan sendirinya menuntut agar pasangan suami-istri memiliki  kekuatan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkawinan yang bahagia.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah arti pernikahan?
2.      Bagaimana tafsir surat An-Nur ayat 32?
3.      Bagaimana tafsir surat Ar-Rum ayat 21?
4.      Bagaimana tafsir surat An-Nisa ayat 3?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    ARTI PERNIKAHAN
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT.
Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga[1].
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:  Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)

B.     SURAT AN-NUR AYAT 32
24:32
Firman Allah dalam surat Al-Nur 32:
Artinya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(32).
           
Tafsir Mufradat:
الْأَيَامَى : merupakan jama dari kata أيّم yang berarti orang yang belum beristri atau belum bersuami, baik statusnya itu perawan/perjaka maupun sudah janda/duda. Dalam bahasanya orang Arab الْأَيَامَى: mereka yang tidak berpasanganan, baik dari laki-laki maupun perempuan.
عِبَادِكُمْ : berarti budak
وَاسِعٌ : Dzat yang memiliki kekayaan luas yang mana Allah memberikan rezeki tersebut kepada orang yang Dia kehendaki dari hamba-Nya.  
عَلِيمٌ : Maha mengetahui segala kebutuhan manusia dan sesuatu yang baik bagi mereka. Maka Dialah yang melimpahkan rezeki serta membagikan kepada mereka.

Isi kandungan:
Ada beberapa kandungan hukum yang ada di dalam ayat tersebut. Adapun rinciannya sebagai berikut:
1.      Ayat tersebut ditujukan kepada siapa?
Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini bersifat umum, maksudnya hai orang mukmin nikahkanlah orang yang belum berpasangan dari laki-laki da perempuan yang merdeka. Ada pendapat lain bahwa ini ditujukan kepada wali merdeka saja, seperti orang tuanya,  pendapat ini diikuti oleh Al-Qurtubi. Bahkan ada yang berpendapat bahwa ini ditujukan pada para suami dengan alasan merekalah yang diperintah untuk menikah[2].
2.      Apakah menikah itu wajib atau sunnah?
Dalam hal ini para ulama fiqih berbeda pendapat:
a.       Mazhab Al-Dhahiriyah: menikah itu wajib, maka akan mendapat dosa apabila ditinggalkan.
Dengan dalil dalam ayat tersebut menggunkan shighat amar (perintah) “وانكحوا” dan amar ini menunjukkan arti wajib, maka nikah hukumnya wajib. Serta dengan pernikahan ini dapat menghindarka diri dari keharaman, “suatu hal yang dapat menjadikan ketidaksempurnaan kecuali dengan hal itu,  maka hal tersebut juga wajib”.
b.      Mazhab Syafi’i: menikah itu mubah dan tidak dosa apabila ditinggalkan.
Denga dalil karena menikah itu suatu perbutan untuk memperoleh kesenagan dan syahwat, maka hal tersebut mubah seperti halnya makan dan minum.
c.       Mazhab Jumhur (al-Malikiyah, al-Ahnaf dan al-Hanabilah): menikah itu  مستحب  dan  ومندوب, tidak wajib.
Dengan dalil:
·         Tidak dapat diingkari pada masa nabi dan seluruh masa sesudahnya, terdapat banyak laki-laki dan perempuan yang tidak menikah, dan nabi tidak mengingkari hal itu.
Al-Qurtubi berpendapat bahwa perbedaan pendapat tersebut karena perbedaan di lihat dari keadaan orang mukmin itu sendiri. Jika ia takut akan kerusakan dalam agamanya atau dunianya maka menikah hukumnya wajib. Dan jika ia mampu mengendalikan diri (tidak takut akan agamanya) serta ada keluasan untuk menikahi orang merdeka, maka sunnah baginya. Sedangkan orang yang tidak keluasan maka sebisa mungkin ia menahan diri meskipun berpuasa, karena berpuasa adalah pemutus baginya.
Hasbi Ash-Shiddieqy juga memberi penjelasan bahwa perintah yang dikandung dalam ayat ini merupaka anjuran, bukan suatu keharusan, kecuali apabila hal itu telah diminta oleh si perempuannya sendiri. Dasarnya kita menetapka bahwa perintah ini bukanlah wajib karena kenyataan pada masa nabi sendiri terdapat orang-orang yang dibiarkan hidup membujang. Tetapi dapat dikatakan perintah di sini adalah wajib apabila dengan tidak menikah mereka yang bujang itu dikhawatirkan akan timbul fitnah.
3.      Dalam ayat وَلْيَسْتَعْفِفِ الذين لاَ يَجِدُونَ نِكَاحاً sebagai dalil larangan nikah mut’ah.
Apabila kita perhatikan susunan ayat-ayat ini dan dengan sebelumnya, Allah mula-mula menyuruh kita memelihara diri dari fitnah dan maksiat, yaitu seperti memjamkan mata dari melihat bagian tubuh lawan yang dilarang. Sesudah itu Allah menyuruh kita menkah untuk memelihara agama dan berikutnya menyuruh kita menahan diri dari hawa nafsu.Pada akhirnya Allah menyuruh kita menahan syahwat ketika kita tidak sanggup menyediakan keperluan yang dibutuhkan oleh suami istri sehingga mereka mendapatkan kesanggupan. Dengan begitu Allah memerintah kita untuk bersabar dari menikah, jika tidak mampu memberikan belanja keperluan rumah tangga nantinya.
Dengan demikian bagi seseorang yang sudah berkeinginan kuat untuk menikah, sedangkan ia belum mempunyai harat maka bersabarlah menahan syahwatnya, bukan nya melakukan nikah mut’ah.

C.    SURAT AR-RUM AYAT 21
30:21
            Artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Tafsir Mufradat Ayat
مِنْ أَنْفُسِكُمْ
“Dari jenis kalian.” Yakni dari Bani Adam yang menjadi pasangan kalian. (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Baghawi, Fathul Qadir).

لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
“Agar kamu merasa tenang dan condong kepadanya.” Sebab jika dari dua jenis yang berbeda, tentu tidak mendatangkan ketenangan bersamanya dan hatinya tidak condong kepadanya. (Tafsir Al-Alusi)
مَوَدَّةً
“Saling mencintai dan mengasihi.” Melalui tali pernikahan, sebagian kalian condong kepada sebagian lainnya, yang sebelumnya kalian tidak saling mengenal, tidak saling mencintai dan mengasihi. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud mawaddah adalah kecintaan seorang suami kepada istrinya. Diriwayatkan dari Mujahid bahwa beliau menafsirkan mawaddah dengan makna bersetubuh. (Fathul Qadir karya Asy- Syaukani rahimahullah)
وَرَحْمَةً
“Dan kasih sayang.” Adapula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah perasaan kasih seorang lelaki kepada istrinya dari tertimpa keburukan. Diriwayatkan dari Mujahid rahimahullahu, beliau mengatakan: “Rahmah adalah anak.” (Fathul Qadir)
           
Isi kandungan ayat:
Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna kalimat ( وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا ) adalah Allah menciptakan perempuan bagi kamu dari jenis kamu untuk menjadi istri (pasangan) kamu[3]. Di dalam al quran banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan bahwa perempuan diciptakan dari jenisnya laki-laki diantaranya adalah di dalam surat an-Nisa’ (4): 1 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Allah juga berfirman di dalam surat yasin (36): 36
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
Pelajaran lain yang bisa kita ambil dari surat ar-Rum (30): 21 di atas adalah bahwasannya diantara tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan rumah tangga yang rukun, penuh cinta dan kasih sayang (sakinah, mawadah wa rahmah) dan hal tersebut bisa diperoleh jika pasangan yang kita nikahi memiliki ilmu agama yang baik, oleh karena itu dianjurkan kepada mereka yang sudah memiliki kedewasaan fisik, mental serta kemampuan keuangan agar menjadikan faktor keberagamaan calon pasangannya sebagai faktor yang amat menentukan pilihan. Dalam hal ini nabi Muhammad saw bersabda:
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW beliau bersabda: wanita dikawini karena empat faktor: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya, maka pilihlah agamanya karena kalau tidak maka hidupmu akan sengsara (HR. Al-Bukhori)
Pernikahan yang baik adalah sebuah ikatan seumur hidup, yang disahkan oleh Allah S.w.t. Dengan demikian, perkawinan memerlukan adanya kesadaran tentang kehadiran dan intervensi Tuhan dalam hidup manusia, kehadiran Sang Maha Pencipta yang akan membimbing sepasang suami-istri ke jalan yang lurus: jalan kebahagiaan sejati dan abadi. Hubungan lelaki dan peremupuan asing yang tidak disahkan oleh Allah, dengan sendirinya tertolak, karena mengingkari suatu prinsip bahwa Allah-lah yang akan memberinya jalan kehidupan. Oleh karena itu Islam juga mengajarkan kepada kita beberapa doa untuk memohon agar kita diberikan keluarga yang mampu menjadi penyejuk mata kita, diantara doa-doa tersebut adalah doa yang sudah sering kita dengar dan kita baca yaitu:
 رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqon (25): 74)
Demikianlah apa yang telah dibimbingkan oleh Allah kepada kita dalam membina rumah tangga agar konsep keluarga sakinah mawaddah wa rahmah yang menjadi harapan bagi setiap manusia yang melangsungkan pernikahan dapat kita capai[4].

D.    SURAT AN-NISA AYAT 3
4:3
            Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa`: 3)
           

Sebab turunya ayat (Asbabun Nuzul)
Al bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Urwah ibnu Zubair, bahwa beliau bertanya tentang ayat ini,yang oleh Aisyah dijawab, ayat iniditurunkan berkaitan tentang permpuan yatim yang dipelihara oleh walinya,tetapi kemudian harta dan kecantikan perempuan yatim itu menarik hati si wali. tetapi kemudian siwali itu ternyata tidakberlaku adil, dia tidak mau memberi maskawin. Ayat ini mencegah mereka berbuat demikian dan memerintahkan mereka untuk menikahi wanita lain.
           
Tafsir mufradat ayat:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Tetapi, jika kamu merasa tidak akan bisa berbuat adil diantara dua orang istri atau istri-istrimu, maka kamu harus memegang satu istri saja. Perasaan takut tidak bisa berbuat adil bisa dirasakan dengan zhan (kepastian) dan (juga) bisa dengan syak ragu-r4agu) terhadapnya. Laki-laki yang diperbolehkan lebih dari satu hanyalah orang yang merasa yakin dirinya bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya nanti. Keyakinan dalam hal itu tidak boleh dicampuri dengan perasaan ragu-ragu.
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
Hendaknya kalian mencukupkan hanya dengan seorang istri dari wanita-wanita merdeka, dan bersenang-senaglah dengan wanita yang kamu sukai dari hamba-hamba wanita, karena tidak ada kewajiban berbuat adil di antara mereka. Tetapi, mereka hanya berhak mendapat kecukupan nafkah, sesuai dengan standar yang berlaku dikalangan mereka.
ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Memilih seorang istri atau mengambil gundik lebih menghindari perbuatan zhalim dan aniaya. Kesimpulannya, bahwa menjauhi perbuatan zhalim adalah dasar disyari’atkannya hukum perkawinan.
Penafsiran yang terbaik menyangkut ayat di atas adalah penafsiran yang berdasarkan keterangan isteri Nabi,Aisyah ra.Imam Bukhari ,Muslim,Abu Daud,serta at-Turmudzy  dan lain-lain meriwayatkan bahwa Urwah ibn Zubair bertanya kepada isteri Nabi,Aisyah ra.tentang ayat ini.Beliau menjawab bahwa ini berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali ,dimana hartanya bergabung dengan harta wali dan sang wali senang akan kecantikan dan harta sang yatim,maka ia hendak mengawininya tanpa mahar yang sesuai.As-Sayyidah, Aisysh ra.Lebih lanjut menjekaskan bahwa setelah turunnya ayat ini,para sahabat bertanya lagi kepada Nabi saw.tentang perempuan,maka turunlah firman-Nya:”Mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah:’Alloh memberi fatwa kepadamu tentang mereka,dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur’an (juga memfatwakan)tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka,sedang kamu enggan mangawini mereka dan tentang anak-anak yang masih di pandang lemah.Dan (Alloh menyuruh kamu)supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan,maka sesungguhnya Alloh adalah maha mengetahuinya”(QS.an-Nisa’[4]:127). Aisyah ra.kemudian melanjutkan keterangannya bahwa firman-Nya: sedang kamu enggan mengawini mereka,ituadalah keengganan para wali untuk mengawini anak yatim yang sedikit harta dan kecantikannya,tetepi enggan berlaku adil terhadap mereka[5].
Penyebutan dua ,tiga,atau empat,pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada anak yatim.Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu,dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya:”Jika Anda khawatir akan sakit jika makan makanan ini,maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan anda”.Tentu saja perintah menghabiskan makananlain itu sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu.
Perlu di garisbawahi bahwa ayat ini tidak membuat peraturan tentang poligami, karena poligami telah di kenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syari’at agama serta adat istiadat masyarakat  sebelum turunnya ayat ini.Sebagaimana ayat ini tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya,ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan al-Qur’an hendaknya tidak di tinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya,tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.
Dalam ayat  diatas,Alloh SWT mengingatkan kepada para wali anak anak yatim,bahwa jika mereka khawatir tidak dapat berlaku adil trhadap anak-anak yatim perempuan yang berada dibawah asuhan mereka,maka lebih baik mengawini peremouan-perempuan yang di senangi satu sampai empat orang.Dan jika mereka khawatir pula tidak sanggup berlaku adil terhadap isteri-isteri mereka,maka kawinilah satu orang saja,atau budak-budak yang di miliki.
Menurut ath-Thabari (IV:231-5),ada beberapa penafsiran tentang maksud khawatir dalam ayat di atas:(1)Para wali khawatir tidak dapat berlaku adil dalam memberi mahar jika mengawini anak-anak  yatim yang dibawah perwaliannya dibandingkan jika mereka mengawini perempuan-perempuan lain yang setara ; (2) Jika para wali mengawini perempuan-perempuan lebih dari empat orang dikhawatirkan mereka kesulitan memberikan nafkah kepada mereka sehingga mengambil harta anak-anak yatim yang dibawah perwaliannya untuk memenuhi nafkah itu sebagaimana yang pernah dilakukan oleh orang-orang Quraisy sebelum islam: (3)Jika mereka khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang berada dibawah perwaliannya,harusnya mereka lebih khawatir lagi tidak dapat berlaku adil terhadap isteri-isteri mereka.Oleh sebab itu jangan kawin lebih dari  Empat pada waktu yang bersamaan dan kalau masih khawatir tidak dapat berlaku adil lebih baik kawini seorang petrempuan saja;dan(4)Sebagaimana mereka khawatir tidak dapat brlaku adil terhadap anak-anak yatim yang  barada di bawah perwaliannya,seharusnya mereka juga khawatir untuk berbuat zina terhadap perempuan-perempuan.Oleh sebab itu kawinilah satu sampai empat perempuan yang baik-baik bagi mereka.





BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari penjelasan ayat-ayat tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa ayat-ayat tersebut mengandung anjuran menikah dan menikahkan orang-orang yang tidak bersuami dan tidak beristri, termasuk juga budak-budak yang sudah layak dan sudah cukup usia hendaklah dibantu dalam melaksanakan keinginannya. Apabila mereka belum mampu untuk menikah maka bersabarlah dengan  menahan dir dari hawa nafsu.
Dalam ayat tersebut juga mencakup tentang hukum larangan kepada orang-orang yang memiliki hamba sahaya wanita memaksakan untuk melacurkan diri untuk mencari keungtungan dan memperoleh penghasilan dari melacur mereka ini, padahal mereka itu ingin mempertahankan kesuciannya. Akan tetapi, firman Allah ini tidak memberi pengertian bahwa larangan memaksa mereka melacur diri adalah jika mereka tidak menyukainya. Walaupun mereka menyukainya, kita tetap tidak boleh menyuruh mereka untuk melacurkan diri.

B.     SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mushthofa, Tafsri Al-Maraghi (Edisi Terjemahan), Semarang: Toha Putra, 2000.
Al-Qurtubi, Muhammad Ibn Abi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, t.t. Juz. 12, hal. 238.
Al-Shabuni, Muhammad Ali, Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Qur’an Al-Karim, (Beirut: Dar Ibn Abbud, 2004)
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Juz. 18, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000.
Az-Zamakhsyari, Mahmud bin Umar, Tafsir Al Kasysyaf, t.t.
Bahreisy, H. Salim, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, jilid. 5, Surabaya: Bina Ilmu, 1990.
K.H.Q. Shaleh dkk, Asbabul Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2007.
Maktabah Syamila 6888, Tafsir Ayat Al-Ahkam, t.t.



[1] Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari, Tafsir Al Kasysyaf, t.t. Juz III, hal. 188.

[2]  K.H.Q. Shaleh dkk, Asbabul Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2007, hal. 384-385.

[3] Lebih jelasnya lihat Muhammad Ibn Abi Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, t.t. Juz. 12, hal. 238.
[4] Ahmad Mushthofa Al-Maraghi, Tafsri Al-Maraghi (Edisi Terjemahan), (Semarang: Toha Putra, 2000), hal. 191.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Juz. 18, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), hal. 2820-2821.

Post a Comment for "Ayat tentang pernikahan"