Bentuk dan macam Yurisprudensi dalam hukum adat
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Istilah
hukum adat adalah istilah dalam bahasa belanda adatrecht. Berdasarkan pendapat
ter haar dalam pidato dies natalis rechthogeschool - batavia 1937 yang berjudul
het adatrecht van nederlandsch indie in wetenchap, pracktijk en onderwijs
menyatakan bahwa.
Terlepas
dari bagian hukum adat yang tidak penting, terdiri dari peraturan desa,
dab surat perintah raja, maka hukum adat itu adalah seluruh peraturan yang
ditetapkan dalam keputusan - keputusan dengan penuh wibawa dan yang dalam
pelaksanaannya diterapkan begitu saja, artinya bahwa tanpa adanya
keseluruhan peraturan yang dalam kelahirannya dinyatakan mengikat sama sekali.
dengan demikian dapat dikatan bahwa hukum adat yang berlaku itu hanyalah
diketahui dan dikenai dari putusan – putusan para fungsionaris hukum dalam
masyarakat itu, kepala – kepala, hakim - hakim, rapat – rapat desa, wali tanah,
pejabat – pejabat agama, dan pejabat – pejabat desa, sebagaimana hal itu
diputuskan di dalam dan di luar sengketa resmi, putusan –
putusan mana yang langsung tergantung dalam ikatan – ikatan struktural dan
nilai - nilai dalam masyarakat, dalam hubungan satu sama lain, dan ketentuan
timbal balik.
Berdasarkan
pendapat tersebut melahirkan sebuah teori keputusan. Maka, hukum adat dapat
diartikan sebagai seluruh keputusan para pejabat hukum, baik hakim desa,
kerapatan desa, hakim, pejabat agama dan pejabat desa yang memiliki kewajiban
dan dipatuhi secara serta merta oleh masyarakat hukum adatnya. Keputusan
tersebut memiliki nilai kerohanian, nilai – nilai kemasyarakat yang hidup dalam
sebuah persekutuan hukum adat.
Keputusan
yang ambil oleh hakim dalam menyelesaikan suatu masalah yang terjadi yang
disebut dengan yurisprudensi. Sebelum hakim menjatuhkan keputusannya dalam
menyelesaikan masalah tersebut, hakim berpedoman pada hukum tertulis, jika
dalam hukum tertulis tidak ditemukan penyelesaiannya, maka hakim
dapat mencari penyelesaian dalam hukum tidak tertulis atau dalam hal
ini disebut juga hukum adat. Dimana dalam hukum adat terdapat sebuah hukum yang
hidup dimasyarakat dan masyarakat dalam berperilaku masih berpedoman
pada hukum adat itu.
Jika hukum
adat yang dipakai dalam keputusan hakium atau yurisprudensi akan terkesan lebih
relevan karena kehidupan yang dijalani masyarakat itu sendiri. Dikarenakan
hukum adta tersebut telah menjadi nilai – nilai di masyarakat yang dianut dan
dihormati, yang paling penting hukum adat tersebut melekat dan berkembang
mengikuti zaman. Sehingga mampu menyesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian hukum adat ?
2.
Apa hubungan hukum adat dan
yurisprudensi?
C.
Tujuan
Mengetahui
bagaimana hukum adat menjadi sumber dari yurisprudensi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Adat
Soepomo
berpendapat bahwa istilah hukum adat digunakan sebagai sinonim dari hukum tidak
tertulis dalam peraturan legistatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di badan
– badan Negara, dewan propinsi dan sebagainya yang timbul karena putusan –
putusan hakim, hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan
di dalam pergaulan hidup, baik di kota – kota maupun di desa – desa, semua ini
merupakan adat atu hukum yang tidak tertulis menurut pasal 32 UUDS 1950.
B.
Pengertian Yurisprudensi
Kata
Yurisprudensi berasal dari bahasa latin Yurisprudentia yang diambil dari kata
Yuriprudens yang artinya adalah sarjana hukum. Secara umum Yurisprudensi
berarti peradilan dan secara khusus berarti ajaran hukum yang tersusun dari dan
di dalam peradilan, yang kemudian dipakai sebagai landasan hukum.
Menurut Sudikno
Mertokusumo, mengatakan bahwa yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya
yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terjadi tuntutan hak yang dijalankan
oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari
pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat
mengikat dan berwibawa. Di samping itu, yurisprudensi dapat pula berarti ajaran
hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan.
Dengan
demikian, yurisprudensi adalah merupakan sumber hukum lain yang dapat membantu
pembentukan hukum. Karena itu, yurisprudensi yang lahir dari adanya putusan
hakim dalam suatu kasus tertentu dapat dijadikan dasar hukum atau sumber hukum
untuk menyelesaikan kasus – kasus yang serupa di kemudian hari.
C.
Macam-Macam Yurisprudensi
1.
Yurisprudensi tetap, ialah keputusan
hakim yg terjadi karena rangkaian keputusan yang serupa dan dijadikan dasar
atau patokan untuk memutuskan suatu perkara. (standart arresten)
2.
Yurisprudensi tidak tetap, ialah
keputusan hakim terdahulu yang bukan menjadi dasar bagi pengadilan.
D.
Eksistensi Hukum Adat dalam Hukum
Nasional
Dari sudut
pandang sejarah dan budaya, masyarakat indonesia adalah masyarakat yang agraris
dan hingga saat ini walaupun industrialisasi sudah menjadi tuntutan dari
masyarakat di era modernisasi, namun sebagian besar dari masyarakat indonesia
masih mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang berlaku dalam kehidupan
sehari – hari.
Eksistensi
hukum adat dan masyarakat adat dalam persaingan global, maka hukum adat sebagai
bagian hukum yang hidup haruslah ada dan hidup secara berdampingan dengan hukum
nasional yang ada. Ada empat syarat yuridis diberlakukan bagi eksistensi hukum
adat, yaitu:
1.
Sepanjang masih hidup
Kita tidak
semata – mata melakukan pengamatan dari luar, melainkan juga dari dalam, dengan
menyelami perasaan masyarakat setempat (pendekatan partisipatif). Selama hukum
adat masih berkembang dalam masyarakat sebagai hukum sehari – hari, maka hukum
adat ini dapat digunakan hakim sebagai salah satu pertimbangan saat memutuskan
perkara atau masalah.
2.
Sesuai dengan perkembangan
masyarakat
Syarat ini
mengandung resiko untuk memaksakan kepentingan raksasa atas nama “perkembangan
masyarakat”. Tidak memberi peluang untuk membiarkan dinamika masyarakat
setempat berproses sendiri secara bebas. Ini berarti, hukum adat harus sesuai
dengan hukum yang berkembang dalam masyarakat dan bukan hukum yang berkembang
karena adanya perubahan yang dilakukan oleh sekelompok atau pembangunan ataupun
gerakan sosial masyarakat.
3.
Sesuai dengan prinsip NKRI
Kelamahan paradigma ini melihat NKRI
dan masyarakat adat sebagai dua antitas (wujud) yang berbeda dan berhadap –
hadapan.
4.
Diatur dalam undang – undang
Pengertian diatur dalam undang-
undang berarti bahwa pengaturan masyarakat hukum adat tidak harus dengan satu
undang-undang tersendiri, tetapi dapat diatur dalam suatu undang-undang yang
terkait, misalnya undang-undang tentang pemerintahan daerah.Di dalam
undang- undang tersebut,di samping kriteria kesatuan masyarakat hukum adat,juga
harus diatur hak-hak masyarakat hukum adat,lembaga yang berwenang menentukan
serta bagaimana mekanisme penentuannya.
Dewasa ini, pemerintah indonesia masih mengabaikan hak
– hak masyarakat hukum adat dan tidak diberikan kesempatan pengelolaan hutan di
daerah tempat tinggal mereka. Padahal landasan konstitusi tentang masyarakat
hukum adat sudah lama ada. Dalam UUD 1945 pasal 18 B ayat 2, Negara mengakui
dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak – hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip NKRI yang diatur dalam Undang – Undang.
E.
Hubungan Hukum Adat dengan
Yurisprudensi
Sistem hukum
yang berlaku bagi bagian terbesar dari masyarakat indonesia adalah hukum adat.
Ini dibuktikan bahwa sebagian besar masyarakat indonesia masih banyak tunduk
pada hukum adat, walaupun untuk bidang – bidang tertentu dari hukum adat itu. Artinya,
masyarakat menganggap bahwa hukum yang menjadi patokan untuk berperilaku adalah
hukum adat.
Kalau dalam
hukum adat juga berlaku secara prespektif , hukum adat menjadi dasar bagi
keputusan – keputusan badan – badan peradilan resmi atau peraturan perundang –
undangan, yang mengakui hukum adat sebagai dasarnya. Namun, sebaliknya juga
membatasi berlakunya hukum adat, misalnya Undang – undang No. 5 Tahun 1960 atau
dikenal dengan undang – Undang Pokok Agraria.
Undang –
undang ini merupakan seperangkat kaidah hukum tertulis yang sah secara yuridis,
tetapi masih menjadi pernyataan tentang keefektifannya dalam masyarakat. Dengan
demikian, hukum adat masih tetap berlaku secara deksriptif, secara prespektif,
berlakunya dibatasi.
Hukum adat
masih bersifat deksriptif, karena peraturan dalam hukum adat seperti perundang
– undangan yang berlaku secara yuridis formal belum tentu dianggap adil,
meskipun hukum adat dianggap sebagai hukum yang hidup. Sebab, ada hukum adat
yang diberlakukan secara paksa oleh penguasa adat, ada hukum yang diberlakukan
secara kolektiva, ada yang secara sukarela mentaati hukum adat oleh masyarakat.
Konsep
yuridis masyarakat adat indonesia dapat ditinjau dari kewenangan hak ulayat
masyarakat adat ke luar dan ke dalam. Hak ulayat ke dalam dapat diartikan bahwa
hanya masyarakat adatlah yang dapat melakukan perbuatan hukum di lingkungan
hukumnya dan dapat mengambil keuntungan dari lingkungan adatnya. Kewenangan ke
luar masyarakat hukum adat dapat diartikan sebagai pernyataan bagi pihak luar
masyarakat hukum adat tersebut untuk tidak mengambil keuntungan terhadapnya. Maka
dapat disimpulkan bahwa kewengan hukum muncul bagi masyarakat adat untuk
melakukan perbuatan hukum sebatas pada wilayah kesatuan.
Dalam
pengertian yurisprudensi yang dikemukakan oleh Yahya Harahap dalam buku Hukum
Acara Perdata, bahwa putusan yang dijatuhkan merupakan kasus yang berhubungan
dengan perkembangan hukum perkembangan hukum, sehingga perkara yang diputus
berkaitan erat dengan perubahan sosial dan kondisi ekonomi. Ini berarti hakim
selalu mengambil keputusan menurut putusan – putusan dalam perkara yang sama
dimasa lalu, maka hakim telah berperilaku hukum adat.
F.
Hukum Adat dalam Peradilan
Dalam pasal
25 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004, yang menegaskan putusan pengadilan:
1.
Harus memuat pasal – pasal peraturan
perundang – undangan yang bersangkutan atau,
2.
Sumber hukum tidak tertulis.
Dipertegas lagi dalam Pasal 27 ayat 1 serta dalam
penjelasannya yang mengatakan, oleh karena indonesia masih mengenal hukum tidak
tertulis, hakim berfungsi perumus dan penggalinya dari nilai – nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Untuk itu, hakim harus terjun ke tengah – tengah masyarakat
untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum.
Dalam melaksanakan pemeriksaan perkara berdasarkan
pasal 75 ayat 3 dan ayat 6 RR lama, Hakim dapat mengesampingkan hukum adat
apabila:
·
Hukum adat itu bertentangan dengan
dasar – dasar keadilan yang umum diakui, atau
·
Jika tidak ada aturan hukum adatnya
maka dasar – dasar hukum Eropah dapat dipakai sebagai pedoman.
G.
Hukum Adat Kurang Menjamin Kepastian
Hukum
Ada golongan
yang berpendapat bahwa memandang hukum adat sebagai hukum yang sudah
ketinggalan yang harus ditinggalkan dan diganti dengan peraturan – peraturan
hukum yang lebih modern. Berbagai argumen yang dikemukakan untuk memperkuat
pendapat golongan ini diantaranya:
1)
Hukum adat adalah hukum dari rakyat
yang masih primitif sehingga tidak seyogianya untuk dijadikan dasar dan
diberlakukan kepada mereka atau masyarakat yang sudah maju yang pada umumnya
hanya kita jumpai pada masyarakat pedesaan yang hidupnya jauh dari kota besar.
Hukum adat tumbuh dan berkembang di Desa, sedangkan di kota banyak
ditinggalkan.
2)
Hukum adat yang bersendikan atas
tradisi banyak menghambat perkembangan kemajuan masyarakat karena hukum adat
dengan segala sifat kekolotannya sukar untuk menerima proses pembaharuan dan
menerima hal- hal yang banyak diperlukan dalam kehidupan modern dan tidak cocok
dengan keadaan modern.
3)
Hukum adat yang sifatnya tidak
tertulis adalah kurang memberikan jaminan kepastian hukum bilamana dibandingkan
dengan ketentuan- ketentuan hukum yang tertulis, karena sulit untuk diketahui
kaidah- kaidah nya.
H.
Cara Menyelesaikan Konflik pada
Masyarakat Adat
Sengketa dan
konflik merupakan sebuah fenomena sosial di dalam pergaulan di masyarakat.
Dalam masyarakat adat, konflik yang timbul biasanya diselesaikan dengan cara –
cara perdamaian. Menurut Nader dan Todd, ada beberapa cara / tahapan yang biasa
dilakukan seseorang dalam menyelesaikan konflik / sengketa yang dihadapinya,
yaitu :
1.
Membiarkan Saja
Dalam tahapan ini, pihak yang merasa
diperlakukan tidak adil.dirugikan gagal dalam upaya menekan tuntutannya. Ia
mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalah / isu yang menimbulkan
tuntutannya dan ia meneruskan hubungan – hubungannya dengan pihak yang
dirasakan merugikannya.
2.
Mengelak
Pada tahap ini, pihak yang merasa
dirugikan memilih untuk mengurangi hubungan – hubungan dengan pihak yang
merugikannya atau untuk sama sekali menghentikan hubungan tersebut.
3.
Paksaan
Tahapan selanjutnya, yaitu paksaan
dimana salah satu pihak memaksakan pemecahan kepada pihak lain.
4.
Perundingan
Pada tahapan perundingan, dua pihak
yang berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan dan permasalahan
yang mereka hadapi dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat, tanpa adanya
pihak ketiga yang mencampuri.
5.
Mediasi
Dalam cara ini, pihak ketiga yang
membantu kedua pihak yang berselisih pendapat untuk menentukan kesepakatan.
Pihak ketiga ini dapat ditentukan oleh pihak kedua yang bersengketa atau
ditunjuk oleh orang yang berwenang untuk itu.
6.
Abritrase
Kedua belah pihak yang bersengketa
sepakat untuk meminta perantara pihak ketiga, arbitrator dan sejak semula telah
setuju bahwa mereka akan menerima keputusan arbitrator.
7.
Peradilan
Pihak ketiga mempunyai wewenang
untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak yang
bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak membuat dan menegakkan keputusan itu
artinya bahwa keputusan berupa pelaksanaan.
I.
Hukum Adat dalam Yurisprudensi
Hukum adat
itu baru mempunyai nilai hukum bilamana ia dilahirkan melalui yurisprudensi
karena adanya penetapan tersebut maka kaidah adat memperoleh sanksi hukum untuk
dapat dipertahankan melalui pengadilan sebagaimana pendapat Soepomo yang
memberikan pengertian bahwa hukum yang timbul karena putusan – putusan hakim.
Kedudukan
hukum adat dalam yurisprudensi tidak dapat kita temui adanya ketentuan yang
tegas oleh karena yurisprudensi di lapangan hukum adat telah merupakan dan
membimbing perkembangan hukum adat sejalan dengan perkembangan yang terjadi
dalam masyarakat. Dalam keputusan mengenai hukum adat dalam putusan hakim
disebutkan:
1.
Hendaklah hukum adat kekeluargaan
dan kewarisan lebih dikembangan kearah hukum yang bersifat bilateral /
parental memberikan kedudukan yang sederajat antara pria dan wanita.
2.
Dalam rangka pembinaan hukum perdata
nasional, hendaklah diadakan publikasi yurisprusdensi yang teratur dan tersebar
luas.
3.
Dalam hal terdapat pertentangan
antara perundang – undang dan hukum adat hendaknya hakim memutuskan berdasarkan
undang – undang bijaksana.
4.
Demi terbinanya hukum perdata
nasional yang sesuai dengan politik hukum negara kita, diperlukan hakim – hakim
yang berorientasi kepada pembinaan hukum.
5.
Perdamaian dan kedamaian adalah
tujuan tiap masyarakat karena itu tiap sengketa hukum hendaklah diusahakan
didamaikan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Yurisprudensi
merupakan putusan hakim terdahulu yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
yang diikuti oleh para hakim setelahnya dalam memutus perkara yang sama.
Walaupun
dalam kedudukannya di Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan
undang-undang, namun yurisprudensi mempunyai peranan penting dalam hukum
Indonesia. Hal ini dikarenakan yurisprudensi bisa memberikan keadilan lebih
terhadap masyarakat ketika sebuah undang-undang dianggap kurang adil dalam memberikan
hukuman.
B.
Saran
Dalam
kenyataannya yurisprudensi masih mempunyai kelemahan, yaitu ketika seorang
hakim mendapat suap agar ia mencipta hukum untuk meringankan hukuman bagi
terdakwa. Sehingga untuk kedepannya diperlukan undang-undang yang mengatur yurisprudensi
agar tidak ada celah penyimpangan penciptaan hukum oleh hakim.
DAFTAR PUSTAKA
Marwan Mas, 2004.
Pengantar Ilmu hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Umar said sugiarto,
2013. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Kansil. C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.
Bakri. Muhammad.2011.Pengantar Hukum
Indonesia.Jilid 1.Malang: UB Press.
Post a Comment for "Bentuk dan macam Yurisprudensi dalam hukum adat"