Eksitensi budaya Aceh dalam pendidikan Bahasa Indonesia
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan kebudayaan, salah satu contoh kekayaan budaya
tersebut adalah banyaknya bahasa daerah yang tersebar di seluruh wilayah
Republik Indonesia. Terdapat sekira 746 bahasa daerah, sebagai bahasa leluhur,
warisan yang tak ternilai harganya. Tetapi, sekarang keberadaan bahasa Ibu
tersebut terancam punah, salah satunya karena masalah globalisasi yang semakin
“memaksa” kita menggunakan bahasa asing.
Manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME dan sebagai wakil Tuhan di bumi yang menerima
amanat-Nya untuk mengelola kekayaan alam. Sebagai hamba Tuhan yang mempunyai
kewajiban untuk beribadah dan menyembah Tuhan Sang Pencipta dengan tulus. Suku
Aceh merupakan kelompok mayoritas yang mendiami kawasan pesisir Aceh. Orang
Aceh yang mendiami kawasan Aceh Barat
dan Aceh Selatan terdapat sedikit
perbedaan kultural yang nampak nya banyak dipengaruhi oleh gaya
kebudayaan Minangkabau.
Aceh adalah bumi yang penuh budaya dan kaya kearifan lokal. Berbicara
tentang Budaya Aceh memang tak habis-habisnya dan tak akan pernah selesai sampai
kapanpun. Topik yang satu ini memang
menarik untuk dibicarakan terutama karena budaya itu sendiri sesungguhnya
merupakan segala hal yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia. Jadi, selama manusia itu ada selama itu pula
persoalan budaya akan terus dibicarakan.
Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan
keturunan orang-orang melayu dan
Timur Tengah hal ini menyebabkan
wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain
wilayah. Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian
besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang.
Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang
merupakan bagian dari sistem kekerabatan.
Agama Islam adalah agama yang paling
mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari
struktur masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya.
Tetapi pada saat-saat sekarang ini upacara ceremonial yang besar-besaran
hanya sebagai simbol sehingga inti dari upacara tersebut tidak tercapai.
Pergeseran nilai kebudayaan tersebut terjadi karena penjajahan dan faktor
lainnya.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
pengenalan wilayah Aceh?
2. Bagaimana
sejarah Aceh?
3. Bagaimana
budaya Aceh?
4. Bagaimana
eksitensi adat budaya Aceh dalam pendidikan bahasa Indonesia?
C.
TUJUAN
1. Untuk
mengetahui pengenalan wilayah Aceh
2. Untuk
mengetahui sejarah Aceh
3. Untuk
mengetahui adat dan budaya Aceh
4. Untuk
mengetahui eksitensi adat budaya Aceh dalam pendidikan bahasa Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGENALAN WILAYAH ACEH
Provinsi
Aceh terletak di bagian barat Indonesia tepatnya di bagian ujung Pulau
Sumatera. Secara geografis Aceh terletak antara 2 - 6 derjat lintang utara dan
95 – 98 derjat lintang selatan dengan ketinggian rata-rata 125 meter diatas
permukaan laut. Batas-batas wilayah Aceh, sebelah utara dan timur berbatasan
dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah
barat dengan Samudra Hindia. Satu-satunya hubungan darat hanyalah dengan
Provinsi Sumatera Utara sehingga memiliki ketergantungan yang cukup tinggi
dengan provinsi tersebut. Luas wilayah Aceh sebesar 57.365,57 Km2 dengan kata
lain 12,26 % Pulau Sumatera. Hutan adalah bagian terluas dari Aceh dimana
luasnya mencapai 39.615,76 km2.
Ibu
kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya,
Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan
kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004.
Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat
adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.
B. SEJARAH
ACEH
Aceh yang
sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa
Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah
provinsi paling barat di Indonesia.
Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan
provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan
dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di
sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera
Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh.
Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee
Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Sebagian besar
penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di
Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama
lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang
dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang
kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama
Konghucu. Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan
provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan
kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam. Sejarah dan
perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti
Snouck Hurgronje.
Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan
beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini
banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis
karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah.
Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya
melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan
keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah
orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah.
Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar
masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem
kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan
bagian dari sistem kekerabatan.
Pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di
antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga sultan,
golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat biasa. Golongan
keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa.
Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon untuk laki-laki,
dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah orang-orang keturunan
bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil di bawah kerajaan.
Biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim
disebut Teungku atau Tengku.
Pada masa lalu orang Aneuk Jamee dibedakan atas tiga lapisan masyarakat,
yaitu golongan datuk sebagai lapisan atas; golongan hulubalang dan ulama, yang
terdiri atas tuangku, imam, dan kadi sebagai lapisan menengah; dan rakyat biasa
sebagai lapisan bawah. Sekarang ini sistem pelapisan sosial tersebut sudah
tidak diberlakukan lagi dalam masyarakat. Yang kini dianggap sebagai orang
terpandang adalah orang kaya, terdidik, dan pemegang kekuasaan.
Pada masa masyarakat Tamiang dikenal penggolongan masyarakat atas tiga
lapisan sosial, yakni ughang bangsawan, ughang patoot, dan ughang bepake.
Golongan pertama terdiri atas raja beserta keturunannya. yang menggunakan gelar
Tengku untuk laki-laki dan Wan untuk perempuan; golongan kedua adalah orang-orang yang memperoleh hak dan kekuasaan
tertentu dari raja, yang memperoleh gelar Orang (Kaya); dan golongan ketiga
merupakan golongan orang kebanyakan.
C. ADAT
DAN BUDAYA ACEH
Adat adalah tradisi tau kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama Dalam
nomenklatur adat Aceh khususnya dan adat secara umum, ditemukan dua suku kata
yang agaknya hampir tidak ditemukan perbedaan jika dipandang sekilas, akan
tetapi jika dilihat secara detail maka keduanya sangat berbeda baik pada
materinya maupun pada implimentasinya.
1)
Adat, adalah meliputi materi hukum adat,
peradilan adat serta perangkatnya.
2)
Adat Istiada, adalah sama dengan Reusam, dalam berbagai bentuk berupa
nasehat, seni tari, seni lukis, seni gerak, syair, pantun, hikayat,
upacara/seremonial berbagai kegiatan hidup seperti perkawinan, kenduri Blang,
Peusijuk dan lian-lain, Monumen/Meusium, cagar budaya, situs sejarah dan
lain-lain dalam berbagai sub etnis Aceh.
Kebudayaan
Aceh dari zaman dahulu sangat erat kaitannya dengan adat dan kebudayaan Islam.
Seperti kita ketahui pada zaman kerajaan Aceh dulu dimana terdapat banyak
upacara-upacara agama di kerajaan, seperti:
a. Perayaan
hari raya puasa; Pemerian arak-arakan raja dari istana sampai dari istana
sampai masjid Bait ur-Rahman. Pedang raja diarak di hadapan sultan, begitu pula
pingan sirih (puan) dan kantong sirih. Setelah bersembahyang di belakang tirai
(kelambu) di tempat yang dinamakan rajapaksi, sultan pulang naik gajah upacara
b. Adat
majelis hadirat Syah Alam berangkat sembahyang hari raya haji ke masjid Bait
ur-Rahman; arak-arakan sultan pergi ke mesjid untuk bersembahyang pada hari
ke-10 bulan Zulhijjah.
c. Majelis
Syah Alam berangkat sembahyang ke masjid jum’at, iring-iringan pada saat sultan
pergi ke masjid setiap hari jum’at.
Budaya
Aceh Indonesia yang menjadi salah satu wilayah propinsi di Indonesia ini
memiliki aneka ragam seni budaya yang menarik seperti tarian, kerajinan serta
perayaan. Propinsi daerah Aceh memiliki beberapa kebudayaan daerah yang sudah
terkenal di indonesia dan sudah menjadi ciri khas dari kebudayaan daerah Aceh.
Seni tarian saman dan rapai geleng adalah contohnya. Seni tarian saman dan
rapai geleng tersebut sangat terkenal dan jadi kekayaan kebudayaan indonesia
yang patut di lestarikan sehingga tidak di lupakan oleh generasi muda
mendatang. Yang sangat unik adalah karena ada gerakan yang sangat unik dan
sudah menjadi ciri khas dari tarian saman dan rapai geleng. Beberapa tari
tradisional Aceh lainnya yang berasal dari propinsi Adaerah Istimewa Aceh
adalah tari Seudati dan tari Tambo. Ada salah satu yang menjadi ciri yang
sangat menarik dari tarian tradisional yang berasal dari Aceh yaitu dilakukan
secara berkelompok.
Dalam
hal makanan khas Aceh mempunyai aneka jenis makanan antara lain gulai itik,
kari kambing yang lezat, meuseukat yang langka. Emping melinjo yang berasal
dari kabupaten Pidie juga terkenal gurih, lalu ada dodol Sabang yang dibuat
dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis
asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh.
Adat
Aceh sebagai aspek budaya, tidak identik dalam pemahaman “budaya “ pada
umumnya, karena segmen-segmen integritas bangunan adat juga bersumber dari
nilai-nilai agama (syariat) yang menjiwai kreasi budayanya. Adat ngon agama
lagei zat ngon sifeut. Roh Islami ini telah menjiwai dan menghidupkan budaya
Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis, yang akhirnya menjadi patron
landasan Budaya Ideal, dalam bentuk Narit Maja :
“Adat Bak Poe
Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala”
“Qanun Bak Putroe
Phang, Reusan Bak Lakseumana”
Pou
Teumeureuhom; Simbol pemegang kekuasaan. Syiah Kuala; Simbol hukum syariat/agama
dari ulama. Qanun; Perundang-undangan yang benilai agama dan adat dari
badan legeslasi yang terus berkembang. Reusam; Tatanan protokuler/seremonial
adat istiadat dari ahli-ahli adat yang terus berjalan. Pengembangan nilai-nilai
tatanan ini, mengacu kepada sumber asas, yaitu Agama (hukum) ngon Adat, lagei
zat ngon Sifeut. Mengacu kepada asas narit maja ini maka budaya adat mengandung
dua sumber nilai, yaitu :
·
Pertama: nilai adat istiadat, yaitu format
seremonial, prilaku ritualitasi, keindahan, seni apresiasi dalam berbagai
format upacara dan kreasi
·
Kedua: nilai normatif/ prilaku tatanan ( hukum
adat ), yaitu format materi aturan dan bentuk sanksi-sanksi terhadap pelanggar-pelanggara.
Analisis
membuktikan, karena istiqamah dan komit dengan nilai-nilai filosofis narit maja
ini, maka implimentasi budaya Aceh, telah melambungkan harkat dan martabat
Aceh, diperhitungkan oleh dunia internasional (fakta sejarah), dimana titik sentral
pengembangannya adalah Meunasah dan Mesjid (simbol sumber nilai). Sebaliknya
marjinalisasi acuan filosofi ini, sejarah telah mengantar Aceh dalam era
kekinian.
Mengacu
kepada budaya adat Aceh yang sarat dengan nilai-nilai Islami, maka pada
dasarnya, dalam pengembangan budaya adat berpegang kepada beberapa asas, antara
lain:
a. Setia
kepada aqidah Islami (hablum minallah)
b. Bersifat
universal (tidak ada gap antar agama, antar bangsa dan antar suku)
c. Persatuan
dan kesatuan (hablum minan nas)
d. Rambateirata
(kegotong royongan, tolong menolong)
e. Panut
kepada imam (pemimpin)
f. Cerdas
dengan ilmu membaca dan menulis (iqradan kalam/menulis )
D. EKSITENSI
ADAT BUDAYA ACEH DALAM PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
Banyak orang mendefinisikan budaya
hanya yang berkaitan dengan seni dan warisan asli atau adat orang. Namun,
budaya memiliki arti yang lebih besar dan harus diterapkan untuk kedua dominan
dan minoritas populasi di kedua negara maju dan berkembang. Identitas
budaya dapat dengan mudahnya berubah akibat globalisasi, lambat laun terkikis
akibat kurang kuatnya budaya, begitu saja. Sifat cairan budaya dapat
positif, yang mengarah ke struktur sosial yang lebih kuat dan oleh sebab itu,
eksistensi budaya perlu di selamatkan dari gerusan globalisasi dunia.
Sifat
budaya yang berbeda-beda lebih mudah menjadi lebih terjalin,
identitas-identitas budaya dapat berubah nilai-nilai, tetapi juga dapat
menghancurkan minoritas atau kurang-kuat budaya, mengarah ke disintegrasi
nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar. Menjaga identitas budaya masyarakat
sangatlah penting guna menjaga perdamaian peradaban manusia di dunia yang
memiliki keberagaman budayanya.
Pemerintah
mengajak masyarakat Aceh untuk terus menjaga dan melestarikan adat dan budaya
warisan leluhur sebagai jati diri daerah. Hal itu dikarenakan banyaknya budaya
dari luar yang dapat mengancam eksistensi adat dan budaya Aceh. Banyaknya
masuk budaya dari luar dapat mengancam budaya Aceh, untuk itu Pemerintah Daerah
melalui Majelis Adat Aceh akan melestarikan budaya Aceh, jangan sampai budaya
kita lenyap.
Apa
yang sudah disajikan oleh leluhur kita dulu saat ini mulai pudar seiring
perkembangan zaman yang semakin modern. Dan ini sudah menjamah ke kalangan
bawah. Pemerintah daerah mengatakan, masyarakat Aceh baik yang berada di
daerahnya maupun di perantauan, saat ini mulai terkontaminasi dengan pengaruh
kebuadayaan dari luar dan mulai melupakan budaya atau adat istiadat yang
diwarisi oleh para leluhur.
Orang
berbicara bahasa Aceh saja mulai jarang kita jumpai saat ini. Apa lagi kita
berbicara dengat adat istiadat seperti pelaksanaan pesta perkawinan, sangat
banyak yang berubah. sangat menyayangkan memudarnya kebudayaan pada
masyarakat Aceh. Padahal, kebudayaan dan adat istiadat tersebut merupakan
warisan leluhur yang tak ternilai harganya. Kita harus melestarikan dan membangkitkan kembali adat
istiadat dan kebudayaan yang ada di Aceh. Pemerintah melalui majelis adat akan
selalu mendukung pelestarian ini.
Pasal
18 Undang-undang Dasar 1945 serta dengan dengan lahirnya UU No 32 Thn 2004 Jo
UU 12 Thn 2008 tentang pemerintahan daerah, memberikan kesempatan daerah guna
menjaga kekhususan serta keistimewaan daerahnya, hal ini merupakan
jaminan konstitusi untuk memberi peluang kepada setiap daerah untuk
mempertahankan serta mengembangkan budaya dan adat istiadat masyarakat dalam
suatu daerah.
Suku
Aceh merupakan salah satu suku di Indonesia, dimana suku Aceh memiliki perbedaan budaya dan adat istiadat
yang menjadikan Indonesia kaya akan budaya. Seiring berjalannya era modernsasi,
serta meningkatnya sifat apatis masyarakat dalam mengembangkan budaya, perlu
dilakukan upaya-upaya untuk terus mempertahankan serta mengembangkan eksistensi
budaya. Saat ini upaya-upaya pengembangan tersebut cenderung hanya dilakukan
hanya sebatas kalangan masyarakat setempat yang mempertahankan nilai khasanah
budaya saja tanpa mampu menciptakan manfaat yang baru. Seharusnya di era
globalisai yang penuh persaingan ini, nilai-nilai budaya yang ada dapat juga
dimanfaat sebagai bursa pariwisata masyarakat setempat guna membantu pendapatan
asli daerah serta juga dapat dipromosikan ke tingkat yang lebih luas. Namun,
masyarakat cerderung memahami kearifan lokal hanya sebatas domisili budaya
tersebut, tidak pada memperkenalkan budaya sebagai salah satu langkah kongkrit
eksistensi budaya itu sendiri. Maka dibutuhkan langkah-langkah yang dapat membuat
nilai-nilai budaya dan adat istiadat tetap lestari bagi generasi muda yaitu:
1) Langkah
pertama, Untuk lebih memperkenalkan suku Aceh dikalangan nasional maupun
internasional dalam menjaga eksistensi, pemerintah Aceh
2) Langkah
Kedua, Bagi daerah-daerah yang berada di dataran tinggi Aceh sangat
perlu dilakukan “Hari Budaya Aceh”, dimana adanya hari yang dikhususkan untuk
masyarakat Aceh diwajibkan dalam tahun tersebut untuk melestarikan budaya baik
dengan menggunakan berbahasa Aceh, mengenakan pakaian adat Aceh, mengkonsumsi
makanan khas Aceh, melakukan berbagai kesenian adat Aceh dan dapat bermanfaat
melestarikan adat Aceh secara menyeluruh bagi masyarakat Aceh, menjadikan
sebagai salah satu wisata budaya (visit Aceh) dimana dapat
mengundang wisatawan domestik maupun internasional untuk menikmati wisata
budaya Aceh.
Hal
ini dapat didukung dengan pemerintah daerah menetapkan peraturan khusus dari
otonomi daerah dan juga keistimewaan Aceh yang dapat mengatur budaya dan adat
istiadat masyarakat Aceh sendiri. Kita dapat berkaca dengan provinsi Bali yang
mampu menjadi idola wisata bagi wisatawan domestik maupun internasional dimana
menjadikan budaya dan adat istiadat mereka sebagai karakter jati diri mereka.
3) Tahap
ketiga, menjadikan pakaian khas adat tanah Aceh menjadi pakaian sehari-hari
masyarakat dengan melakukan kreasi, inovasi pakaian adat sehingga dapat menjadi
trend busana baru yang berasal dari tanah Aceh, kita dapat bekaca kepada suku
Jawa yang menjadikan baju khas mereka yaitu batik menjadi pakaian keseharian
mereka bahkan telah menjadi icon busana Indonesia.
4) Tahap
keempat, berdasarkan UUPA 2006 yang melampirkan salah satu butir pasalnya
mengenai lembaga adat Wali Nanggroe di Provinsi Aceh dibentuk untuk
memperkenalkan identitas Aceh akan arif dan bijaksana apabila elemen ragam
budaya di Aceh dapat menjadi bahagian pembangunan identitas Aceh dalam Wali
Nanggroe itu sendiri.
5) Tahap
kelima, menggeliatkan kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung pelestarian
budaya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggelar acara pentas kesenian Aceh
yang rutin, mempromosikan budaya, mengkonsep tujuan wisata budaya, dan
melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam melestarikan budaya secara kontinu,
dan sustainnabillity.
Bagi
masyarakat Aceh menjadikan budaya sebagai warisan dunia yang perlu dilestarikan
sejak dini sangatlah penting untuk menjaga eksistensi budaya dan adat
istiadat itu sendiri. Kata-kata bijak yang sering terdengar ditelinga kita
adalah “Menyoe koen jino pajan chit lom,
menyoe koen tanyoe soe chit (kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan
kita siapa lagi).
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Aceh yang
sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa
Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah
provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur
tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan
sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah
utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di
sebelah timur, danSumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota
Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee
Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan
kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004.
Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat
adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh
Barat, Singkil dan Simeulue.
Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh.
Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee
Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Sebagian besar
penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di
Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama
lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang
dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang
kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama
Konghucu. Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan
provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan
kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam. Sejarah dan
perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti
Snouck Hurgronje.
Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan
beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini
banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis
karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa
budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu,
Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan
keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah
orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah.
B.
SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 2004. Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:Djambatan
M.Syamsuddin,
dkk, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum,
Fak.Hukum UII, Yogyakarta, 1998.
Post a Comment for "Eksitensi budaya Aceh dalam pendidikan Bahasa Indonesia"