Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadist Kursi



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ulumul hadis adalah salah satu bidang studi atau mata kuliah yang sangat penting bagi para pelajar dan mahasiswa yang ingin mempelajari hadis dan keislaman secara mendalam. Baik di Pesantren, Madrasah Aliyah Maupun Di Perguruan Tinggi. Hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi yang dijadikan dasar hukum Islam setelah Al-Qur’an. Seseorang tidak akan mampu memahami hadis dan permasalahanya secara benar dan mendalam tanpa mengetahui ulumul hadis terlebih dahulu. Dan salah satu pembahasan ulumul hadis adalah Hadis Qudsi[1].
Hadis Qudsi perlu dibahas karena ternyata banyak masyarakat dan khususnya para pelajar yang belum mengerti statusnya. Apakah ia sama dengan Al-Qur’an karena periwayatanya langsung dari Allah atau ia sama dengan hadis pada umumnya?. Pada awalnya mereka mengatakan berbeda, tapi setelah melakukan perdebatan dan Tanya jawab mereka ragu akan hal itu.  Oleh karena itu penyusun menyatakan bahwa Hadis Qudsi penting untuk dibahas dan diperdalam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian hadist qudsi dan hadis nabawi?
2.      Bagaimana persamaa hadis qudsi dan hadis nabawi?
3.      Apakah perbedaan hadist qudsi dan hadis nabawi?
4.      Apakah perbedaan hadist Al-Qur’an dan hadist qudsi?
5.      Bagaimana contoh hadist qudsi?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadits Qudsi dan Hadits Nabawi
Hadits Qudsi
Secara bahasa, kata qudsi adalah nisbah dari kata quds. Hadits qudsi adalah firman atau perkataan Allah SWT, namun jenis firman Allah SWT yang tidak termasuk Al-Quran. Hadits qudsi tetap sebuah hadits, hanya saja Nabi Muhammad SAW menyandarkan hadits qudsi kepada Allah SWT. Maksudnya, perkataan Allah SWT itu diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan redaksi dari diri beliau sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadis qudsi, maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah SAW dengan disandarkan kepada Allah, dengan mengatakan: Rasulullah SAW mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya`, atau ia mengatakan:  Rasulullah SAW mengatakan: Allah Ta`ala telah berfirman atau berfirman Allah Ta`ala.`
Kedudukan Hadits Qudsi diantara al-Qur’an dan Hadits Nabawi, tidaklah sama karena al-Qur’an disandarkan kepada Allah Ta’ala baik lafadz dan maknanya. Sedangkan Hadits Nabawi disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik lafadz dan ma’nanya. Dan Hadits Qudsi disandarkan kepada Allah Ta’ala secara ma’na tidak secara lafadznya dan karena itu tidak bernilai ibadah di dalam membaca lafadznya dan tidak boleh dibaca didalam sholat, dan tidak dinukil secara mutawattir (keseluruhannya) sebagaimana penukilan al-Qur’an[2].
Penamaan hadits ini dengan nama hadits qudsi adalah sebagai penghormatan terhadap hadis-hadis yang demikian mengingat bahwa sandarannya adalah Allah.. Dengan kata lain, hadis qudsi adalah hadis yang maknanya dari Allah SWT tetapi redaksinya berasal dari nabi Muhammad SAW. dengan perantaraan ilham atau mimpi. Maka rasul menjadi rawi kalam Allah swt ini dari lafadz beliau sendiri.




Ciri-ciri hadist qudsiy:
1)      Ada redaksi hadist qala-yaqulu allahu
2)      Ada redaksi fi ma rawa/ yarwihi ‘anillahi fabaraku wata’ala
3)      Redaksi lain yang semakna dengan redaksi diatas, setelah selesai menyebut rawi yang menjadi sumber pertamanya, yakni sahabat

Hadits Nabawi
Sedangkan hadits nabawi adalah segala yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat.Yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi SAW: Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada niatnya.
Sedangkan yang berupa perbuatan ialah seperti ajaranya pada sahabat mengenai bagaimana caranya mengerjakan shalat, kemudian ia mengatakan:
Shalatlah seperti kamu melihat aku melakukan shalat.
Juga mengenai bagaimana ia melakukan ibadah haji, dalam hal ini Nabi saw. Berkata: Ambilah dari padaku manasik hajimu.
Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti beliau menyetujui suatu perkara yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan atau pun perbuatan, baik dilakukan di hadapan beliau atau tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya. Misalnya mengenai makanan biawak yang dihidangkan kepadanya, di mana beliaudalam sebuah riwayattelah mendiamkannya yang berarti menunjukkan bahwa daging biawak itu tidak haram dimakan.

B.     Persamaan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi
Assayid Ahmad bin Mubarok –Rohimahu Allahu Ta’ala- di Ibriz berkata: “saya bertanya kepadanya- maksudnya kepada ustadznya Assayid Abdul Aziz Addibagh- tentang masalah ini. Yang kami simpulkan bahwa persamaan hadis qudsi dan hadis nabawi adalah bahwa semuanya keluar dari antara dua bibir –maksudnya mulut- Nabi Muhammad SAW. Dan semuanya mengandung anwar (cahaya-cahaya) dari anwarnya Nabi Muhammad SAW. Beliau juga menambahkan bahwa semua yang Nabi SAW katakan adalah wahyu.

C.    Perbedaan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi
Hadis nabawi itu ada dua macam, yaitu:
a.       Tauqifi
Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain[3].

b.      Taufiqi
Yang bersifat taufiqi yaitu: yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut pemahamannya terhadap Quran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulannyang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.

Dari sini jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Da inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad saw.: Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (QS An-Najm:3-4).
Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui salah satu cara penurunan wahyu, sedang lafadznya dari Rasulullah SAW, inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah SWT adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafadznya. Sebab seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara hadis qudsi dengan Al-Quran. Dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun diangggap ibadah.

D.    Perbedaaan Al-Qur’an dan Hadis Qudsi
Al-Quran termasuk Kalamullah, namun terdapat perbedaan antara Al-Quran dan Hadits Qudsi. Beberapa perbedaannya di antaranya adalah
1.      Ketika seseorang membaca Hadits Qudsi hanya sekedar membaca, maka hal tesebut tidak dianggap sebagai ibadah kepada Allah Ta’ala. Berbeda dengan Al-Quran yang jika dibaca, maka setiap huruf akan diganjar pahala. Dan setiap hurufnya akan dibalas dengan 10 kebaikan.
2.      Allah Ta’ala menantang siapa saja yang mampu membuat tandingan semisal Al-Quran. Dan hal ini tidak dijumpai pada Hadits Qudsi.
3.      Al-Quran Allah sendiri yang menjaga keshahihannya dan keontetikannya. Allah Ta’alaberfirman (yang artinya), “ Sesunggungnya Kami lah yang menurunkan Al-Quran, dan Kami pula yang akan menjaganya.” (QS: Al-Hijr: 9) Dan Hadits Qudsi berbeda dengan Al-Quran, boleh jadi Hadits Qudsi tersebut mempunyai derajat yang shahih, hasan, bahkan ada yang dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu). Di dalam Hadits Qudsi juga terdapat tambahan/pengurangan riwayat, dan tambahan/pengurangan riwayat tidak mungkin dijumpai dalam Al-Quran.
4.      Jika kita mengutip Al-Quran dalam bahasa Arab, maka kita tidak boleh mengutipnya hanya dengan makna. Jadi harus sesuai dengan apa yang ada di dalam mushaf. Hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Sedangkan untuk Hadits Qudsi, maka boleh menukilnya dengan makna saja. Dan mayoritsa ‘ulama membolehkannya.
5.      Al-Quran disyari’atkan dibaca di dalama shalat, dan shalat tidak akan sah jika tanpa bacaan Al-Quran (misalnya surah Al-Fatihah). Dan hal ini berbeda dengan Hadits Qudsi.
6.      Mushaf Al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang dalam keadaan suci (telah berwudhu’). Berbeda dengan Hadits Qudsi yang jika dikumpulkan menjadi suatu buku, maka boleh menyentuhnya meskipun dalam keadaan belum berwudhu’.
7.      Al-Quran tidak boleh dibaca seseorang yang sedang dalam keadaan junub (berhadats besar). Ia hanya boleh membacanya ketika telah mandi junub (mandi wajib), atas pendapat yang paling kuat. Dan hal ini berbeda dengan Hadits Qudsi.
8.      Al-Quran berasal dari periwatan yang sangat valid, pasti, dan diyakini kebenarannya. Siapa saja yang mengingkari 1 huruf saja di dalam Al-Quran, maka ia dihukumi kafir karena perbuatannya. Berbeda dengan Hadits Qudsi jika mengingkarinya karena menganggap hadits tersebut tidak shahih, maka tidak bisa dihukumi kafir. Namun hal ini bisa menjadi kafir apabila ia mengingkarinya dalam keadaan berilmu, kemudian mendustakannya, padahal itu shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

E.     Contoh Hadis Qudsi
Hadits Ke-1

:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

” لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ، كَتَبَ فِي كِتَابِهِ عَلَى نَفْسِهِ، فَهُوَ مَوْضُوعٌ عِنْدَهُ: إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي”

(رواه مسلم (وكذلك البخاري والنسائي وابن ماجه

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a, dia berkata; telah bersabda Rasulullah SAW, “Ketika Allah menetapkan penciptaan makhluk, Dia menuliskan dalam kitab-Nya ketetapan untuk diri-Nya sendiri: Sesungguhnya rahmat-Ku (kasih sayangku) mengalahkan murka-Ku” Diriwayatkan oleh Muslim (begitu juga oleh al-Bukhari, an-Nasa-i dan Ibnu Majah)

Hadits Ke-2

:عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
” قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: لَنْ يُعِيدَنِي كَمَا بَدَأَنِي، وَلَيْسَ أَوَّلُ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلَيَّ مِنْ إِعَادَتِهِ، وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ: اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا، وَأَنَا الْأَحَدُ الصَّمَدُ، لَمْ أَلِدْ وَلَمْ أُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لِي كُفُوًا أَحَدٌ”
(رواه البخاري (وكذلك النسائي

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a., bahwasanya Nabi bersabda, telah Berfirman Allah ta’ala: Ibnu Adam (anak-keturunan Adam/umat manusia) telah mendustakanku, dan mereka tidak berhak untuk itu, dan mereka mencelaku padahal mereka tidak berhak untuk itu, adapun kedustaannya padaku adalah perkataanya, “Dia tidak akan menciptakankan aku kembali sebagaimana Dia pertama kali menciptakanku (tidak dibangkitkan setelah mati)”, aadpun celaan mereka kepadaku adalah ucapannya, “Allah telah mengambil seorang anak, (padahal) Aku adalah Ahad (Maha Esa) dan Tempat memohon segala sesuatu (al-shomad), Aku tidak beranak dan tidak pula diperankkan, dan tidak ada bagiku satupun yang menyerupai”. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (dan begitu juga oleh an-Nasa-i)

Hadits Ke – 3

:
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
“صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ، عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ (١) كَانَتْ مِنْ اللَّيْلَةِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ لَهُمْ: “هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ، فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي، كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ(٢) كَذَا وَكَذَا، فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي، مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ”
رواه البخاري (وكذلك مالك والنسائي)
١. عقب مطر
٢. الأنواء: ثمان وعشرون منزلة, ينزل القمر كل ليلة في منزلة

Diriwayatkan dari Zaid bin Khalid al-Juhniy r.a, beliau berkata, Rasulullah SAW memimpin kami shalat shubuh di Hudaibiyah, diatas bekas hujan(1) yang turun malamnya, tatkala telah selesai, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menghadap kepada manusia (jama’ah para shahabat), kemudian beliau bersabda, “Tahukah kalian apa yang telah difirmankan Tuhan kalian?”, (para sahabat) berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”, Rasulullah SAW bersabda, “(Allah SWT berfirman) Pagi ini ada sebagian hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir, adapun orang yang mengatakan, ‘kami telah dikaruniai hujan sebab keutamaan Allah (fadlilah Allah) dan kasih sayang-Nya (rahmat-Nya), maka mereka itulah yang beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang – bintang'; dan adapun yang berkata, ‘kami telah dikaruniai hujan sebab bintang(2) ini dan bintang itu, maka mereka itulah yang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang – bintang’ ”[4]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (dan begitu juga oleh an-Nasa-i)
1.      “bekas langit” maksudnya bekas/akibat hujan
2.      al-anwa': 28 tingkatan/keadaan; fase bulan setiap malam di tingkatan fasenya. (ditempat lain disebutkan artinya adalah bintang – bintang, serupa dengan yang ada dilanjutan hadits ini)

Hadits Ke – 4

: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
” قَالَ اللَّهُ: يَسُبُّ بَنِي بَنُو آدَمَ الدَّهْرَ، وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ”
(رواه البخاري (وكذلك مسلم

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a, beliau berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, “Allah Telah Berfirman,’Anak – anak adam (umat manusia) mengecam waktu; dan aku adalah (Pemilik) Waktu; dalam kekuasaanku malam dan siang’ ” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan begitu juga Muslim.





Hadits ke-5

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ؛ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي(1)، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ”.
(رواه مسلم (وكذلك ابن ماجه

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a, beliau berkata, Telah bersabda Rasulullah SAW, “Telah berfirman Allah tabaraka wa ta’ala (Yang Maha Suci dan Maha Luhur), Aku adalah Dzat Yang Maha Mandiri, Yang Paling tidak membutuhkan sekutu; Barang siapa beramal sebuah amal menyekutukan Aku dalam amalan itu(1), maka Aku meninggalkannya dan sekutunya” Diriwayatkan oleh Muslim (dan begitu juga oleh Ibnu Majah)
1.      Adalah juga termasuk syirik jika seseorang beramal dengan amalan disamping ditujukan kepada Allah SWT juga ditujukan kepada yang selain-Nya.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ulumul hadis adalah salah satu bidang studi atau mata kuliah yang sangat penting bagi para pelajar dan mahasiswa yang ingin mempelajari hadis dan keislaman secara mendalam. Baik di Pesantren, Madrasah Aliyah Maupun Di Perguruan Tinggi. Hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi yang dijadikan dasar hukum Islam setelah Al-Qur’an. Seseorang tidak akan mampu memahami hadis dan permasalahanya secara benar dan mendalam tanpa mengetahui ulumul hadis terlebih dahulu. Dan salah satu pembahasan ulumul hadis adalah Hadis Qudsi.

Secara bahasa, kata qudsi adalah nisbah dari kata quds. Hadits qudsi adalah firman atau perkataan Allah SWT, namun jenis firman Allah SWT yang tidak termasuk Al-Quran. Hadits qudsi tetap sebuah hadits, hanya saja Nabi Muhammad SAW menyandarkan hadits qudsi kepada Allah SWT. Maksudnya, perkataan Allah SWT itu diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan redaksi dari diri beliau sendiri.
Hadits nabawi adalah segala yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.



DAFTAR PUSTAKA

An-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariyah Yahya bin Syaraf.
Al-Bhuti, Muhammad Sa’id Romadhon. 2011. Fil Hadisi Assyarif Wa Albalaghotu Annabawiyah. Damaskus: Darul Fikr.
Al-Hamzawi, Bassam Abdul Karim. 2009. Dirosaat Nadzoriyah Wa Tathbiqiyah Fi Syarhi Al-Mandzumah Al-Bayquniyah. Damaskus: Markaz Ulumul Hadis Annabawi



[1] Drs. M. Solahudin,  M.Ag & Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis, (Bandung,: CV. Pustaka Setia, 2009), h.159.
[2] Drs. Umi Sumbulah, M.Ag, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008),h.80
[3] Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1974), h. 312.
[4] Drs. M. Solahudin,  M.Ag & Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis, (Bandung,: CV. Pustaka Setia, 2009), h.164.

Post a Comment for "Hadist Kursi"