Macam - macam mahram
Mungkin di antara kita ada yang tidak mengetahui apa
itu mahram dan siapa saja yang termasuk mahramnya. Padahal mahram ini berkaitan
dengan banyak masalah. Seperti tidak bolehnya wanita bepergian jauh (bersafar)
kecuali dengan mahramnya. Tidak boleh seorang laki-laki dengan wanita berduaan
kecuali dengan mahramnya. Wanita dan pria tidak boleh jabat tangan kecuali itu
mahramnya. Dan masih banyak masalah lainnya.
Dalam hal ini, islam sebagai agama terakhir yang
membawa syariat terakhir, maka islampun sudah memberikan rambu-rambu yang
mengatur perkara ini, sehingga umat muslim merasa aman dan terpeliharalah dari
mulai jiwa dan kehormatannya. Konsep mahram yang diatur oleh islam ini akan
menjaga kemuliaan derajat wanita dan laki-laki, sehingga tidak mudah untuk
bergaul dan berinteraksi antar sesama yang lain jenis.
Dalam kamus istilah fiqh dikatakan bahwa mahram itu
adalah yang haram dinikahi, karena ada hubungan nasab atau susuan. Melihat
aurat mahram/mahramah, hukumnya boleh / tidak haram, selain bagian antara pusar
dan lutut. Seorang tidak boleh keluar rumah, kecuali bersama dengan mahramnya /
mahramahnya. (M. Abdul Mujieb Mabruri Tholhah Syafi’ah, kamus istilah fiqh,
hal. 186).
Bahkan ada salah pengungkapan dimasyarakat dalam
pengungkapan kata mahram ini. Ada yang mengatakan mahram dengan kata muhrim,
padahal dua kata ini sangat berbeda dalam penggunaan dan dalam artinya. Muhrim
digunakan untuk orang yang sedang berihram, sedangkan mahram adalah seseorang
yang di haramkan untuk menikahinya.
Dengan penulisan makalah ini, semoga kita akan
memahami siapa saja mahram kita dan apa saja yang boleh dan tidak boleh
dilakukan kepada mahram, sehingga kita tidak salah dalam berucap mengatakan
mahram dengan muhrim dan juga pelaksanaan dalam pergaulan sehari-hari, agar
kita mampu menjaga sikap dan diri kita agar tidak terjerumus kedalam perbuatan
dosa.
Dalam
penulisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa hal yang akan dibahas dalam
pembahasan selanjutnya, diantara rumusan masalah terebut antara lain:
1.
Pengertian
mahram;
2.
Hadits-hadits
yang berkenaan dengan mahram;
3.
Ayat-ayat
al-quran yang menjelaskan mahram;
4.
Pendapat
para ulama tentang mahram;
5.
Realitas
pergaulan mahram dan bukan mahram di masyarakat.
Adapun tujuan
penulisan tentang konsep mahram ini, penulis berharap tercapainya hal-hal
berikut ini :
1.
Memahami
pengertian mahram;
2.
Mengetahui
hadits-hadits dan ayat-ayat al-qur’an yang menjelaskan tentang peraturan
mahram;
3.
Mengambil
pendapat ulama disertai dengan alasan mereka dalam menyingkapi masalah mahram;
4.
Mampu
melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari tentang pengamalan mahram.
Mahram
diambil dari kata bahasaa arab : محرم adalah
semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan,
persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam.
Dalam
kamus istilah fiqh dikatakan bahwa mahram itu adalah yang haram dinikahi,
karena ada hubungan nasab atau susuan. Melihat aurat mahram/mahramah, hukumnya
boleh / tidak haram, selain bagian antara pusar dan lutut. Seorang tidak boleh
keluar rumah, kecuali bersama dengan mahramnya / mahramahnya. (M. Abdul Mujieb
Mabruri Tholhah Syafi’ah, kamus istilah fiqh, hal. 186). Terkadang sering salah
dalam menggunakan istilah mahram ini dengan kata muhrim, sebenarnya kata muhrim memiliki arti yang lain.
Dalam bahasa arab, kata muhrim (muhrimun) artinya orang yang berihram dalam
ibadah haji sebelum bertahallul. Sedangkan kata mahram (mahramun)
artinya orang-orang yang merupakan lawan jenis kita, namun haram (tidak boleh)
kita nikahi sementara atau selamanya. Namun kita boleh bepergian dengannya,
boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, boleh berjabat tangan,
dan seterusnya.
Imam an-Nawawi memberi batasan dalam sebuah definisi
berikut,
كل من حرم نكاحها على
التأبيد بسبب مباح لحرمتها
Setiap wanita yang haram untuk dinikahi selamanya,
disebab sesuatu yang mubah, karena statusnya yang haram. (Syarah Shahih
Muslim, An-Nawawi, 9:105)
Dari definisi diatas
kita dapat mengambil sebuah kesimpulan, bahwasannya mahram itu adalah keluarga
dekat yang tidak boleh dinikahi secara mutlak dan ada yang boleh dinikahi
dengan sebab. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk mengetahui mahram-mahram
dalam keluarga kita, agar kita tidak terjerumus kedalam perbuatan dosa, atau
bahkan menganggap hal tersebut menjadi penyebab sebuah dosa.
Dalam masalah maham
pula ada yang hanya membatasi haram dalam pernikahan saja, bahkan ada pula yang
menjelaskan tentang haramnya bersentuhan dengan yang bukan mahram, mereka
berdalil dengan hadits “Dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau bersabda:
Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi
itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR.
Thabrani dan Baihaqi).
dan juga ada yang
mengharamkan bersafar tanpa dibarengi oleh mahram. Seperti pendapat ulama
Hanafiyah dan Hambali.
Mereka berdalil
dengan hadits Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ وَمَعَهَا
ذُو مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang
wanita bersafar tiga (hari perjalanan) melainkan harus bersama mahromnya.” (HR. Muslim no. 1338 dan 1339, dari Ibnu ‘Umar)
Mengenai mahram ini
telah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an surat An-Nisa
: 22-24
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ
سَبِيلًا (22) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ
إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ
مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ (النساء : 22 – 24 )
“Dan janganlah
kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa
yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.”
(QS. An Nisa’: 22-24)
Dalam sebuah hadits
banyak sekali yang menjelaskan tentang mahram, akan tetapi hadits-hadits ini
tidak secara utuh menjelaskan seluruh konsep mahram. Oleh sebab itu, kita akan
memahami fungsi syariat yang menjelaskan mahram dari beberapa hadits yang
diriwayatkan oleh para sahabat. Dibawah ini salah satu hadits yang mejelaskan
mahram :
وَعَنْهَا: ( أَنْ أَفْلَحَ -أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ-
جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا بَعْدَ اَلْحِجَابِ. قَالَتْ: فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ
لَهُ, فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَخْبَرْتُهُ
بِاَلَّذِي صَنَعْتُ, فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ عَلَيَّ. وَقَالَ: إِنَّهُ
عَمُّكِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“ Dari 'Aisyah
Radliyallaahu 'anhu bahwa suatu ketika Aflah -saudara Abu Qu'ais- datang
meminta izin untuk bertemu dengannya setelah ada perintah hijab. 'Aisyah
berkata: Aku tidak mengizinkannya. Ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam datang aku beritahukan apa yang telah aku lakukan. Lalu beliau
menyuruhku untuk mengizinkannya seraya bersabda: "Sesungguhnya dia itu
pamanmu (sepenyusuan)." (HR. Muttafaq Alaihi)
Dilihat
dari ayat Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 22-24 diatas dan juga beberapa hadits
Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, Mahram di sini terbagi menjadi dua
macam:
1.
Mahram
Muabbad, artinya tidak boleh dinikahi selamanya;
Mahram muabbad
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor nasab, ikatan perkawinan, dan
disebabkan karena persusuan.
a)
Mahram
muabbad yang dipengaruhi oleh nasab diantaranya; ibu, anak perempuan, bibi dari
jalur ayah, bibi dari jalur ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki, dan
anak perempuan dari saudara perempuan.
Firman Allah Ta’ala
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ
“Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan “(QS. An-Nisa : 23)
b)
Mahram
muabbad yang dipengaruhi oleh ikatan perkawinan, diantaranya; istri dari ayah,
ibu mertua, anak tiri, dan menantu (termasuk pula menantu dari yang sepersusu)
Firman
Allah dalam Al-Qur’an
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي
حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا
دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ
مِنْ أَصْلابِكُمْ
“Ibu-ibu istrimu
(mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
istri-istri anak kandungmu (menantu)” (QS. An-Nisa : 23)
c)
Mahram
Muabbad disebabkan oleh persusuan, diantaranya :
§
Wanita
yang menyusui dan ibunya.
§
Anak
perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).
§
Saudara
perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).
§
Anak
perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menysusui (anak dari saudara persusuan).
§
Ibu
dari suami dari wanita yang menyusui.
§
Saudara
perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
§
Anak
perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari saudara
persusuan).
§
Anak
perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
§
Istri
lain dari suami dari wanita yang menyesui.
Firman Allah dalam Al-Qur’an
وَأُمَّهَاتُكُمُ
اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
“ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan” (QS. An-Nisa : 23)
Adapun jumlah
persusuan yang menyebabkan mahram adalah lima persusuan atau lebih. Inilah
pendapat Imam Asy Syafi’i, pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, Ibnu Hazm,
Atho’ dan Thowus. Pendapat ini juga adalah pendapat Aisyah, Ibnu Mas’ud dan
Ibnu Zubair. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh imam muslim
وَعَنْهَا قَالَتْ: ( كَانَ فِيمَا أُنْزِلُ فِي
اَلْقُرْآنِ: عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ, ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ
مَعْلُومَاتٍ, فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهِيَ فِيمَا
يُقْرَأُ مِنَ اَلْقُرْآنِ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“'Aisyah
Radliyallaahu 'anhu berkata: Yang diharamkan al-Qur'an ialah sepuluh penyusuan
yang dikenal, kemudian di hapus dengan lima penyusuan tertentu dan Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam wafat ketika keadaan masih tetap sebagaimana
ayat al-Qur'an yang dibaca. (HR. Muslim)
2.
Mahram
Muaqqot, artinya tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja dan jika
kondisi ini hilang maka menjadi halal kembali.
Diantara
yang termasuk kedalam mahram muaqqot ialah :
1)
Saudara
perempuan istri (ipar), seorang laki-laki tidak boleh menikahi saudara
perempuan istrinya dalam satu waktu, hal ini berdasarkan ijmak para ulama. Akan
tetapi, jika istrinya meninggal atau di talak, maka laki-laki tersebut boleh
menikahi saudara perempuan istrinya.
Firman
Allah Ta’ala
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ
“dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara” (QS. An-Nisa : 23)
2)
Bibi
dari istri ( baik dari jalur ayah atau ibu ). Hal ini sesuai dengan hadits nabi
shallahu ‘alaihi wasallam
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى
خَالَتِهَا
“Tidak boleh seorang
wanita dimadu dengan bibi (dari ayah atau ibu) -nya.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain
Rasulullah bersabda
عن أبي هريرة رضى الله تعالى
عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا يجمع بين المرأة وعمتها ولا بين
المرأة وخالتها
“ Dari Abu Hurairoh Radiyallahu Anhu, bahwasannya
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda : tidak boleh menghimpun (dalam
perkawinan) perempuan dengan bibinya (baik bibi dari ayah atau bibi dari ibu).
(HR. Bukhari)
Beberapa
perkataan ulama madzhab tentang larangan bentuhan dengan orang yang bukan
mahramnya mahram disini berlaku bagi yang mahram muabbad dan muaqqot.
1.
Madzhab
Hanafi
Penulis
kitab Al-Hidayah berkata: “Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki
untuk menyentuh wajah atau telapak tangan seorang wanita walaupun ia merasa
aman dari syahwat”
Penulis
kitab Ad-Dur Mukhtar mengatakan: “Tidak diperbolehkan menyentuh wajah
atau telapak tangan wanita walaupun ia merasa aman dari syahwat”
2.
Madzhab
Maliki
Imam Ibnul Arabi, yang merupakan ulama madzhab Maliki,
berkata mengenai firman Allah yang artinya “Ketika datang kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia kepadamu, bahwa
mereka tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun” (Al-Mumtahanah:
12) (Ayat ini turun berkenaan dengan wanita-wanita muslimah yang ingin berbaiat
kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. pent). Kemudian beliau
menerangkan hadits dari Urwah bahwasanya ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha
berkata: “Rasulullah Shallallahu‘Alaihi wasallam diuji dengan ayat ini
“Jika datang kepadamu perempuan-perempuan beriman”. Ma’mur berkata bahwasanya
Ibnu Thawus mengabarkan dari bapaknya: “Tidak boleh seorang laki-laki menyentuh
tangan perempuan kecuali perempuan yang ia miliki”.
‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha juga mengatakan di
dalam Kitab Shahih Bukhari-Muslim: “Tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wasallam tidaklah menyentuh tangan perempuan ketika membaiat (mengadakan janji
setia)”. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam pun bersabda “(Ketika
membaiat) Aku tidak berjabat tangan dengan wanita, namun aku membaiatnya dengan
ucapanku kepada seratus orang wanita sebagaimana baiatku kepada satu orang
wanita”. Diriwayatkan pula bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wasallam berjabat tangan dengan wanita menggunakan bajunya.
3.
Madzhab
As-Syafi’i
Imam Nawawi berkata dalam kitabnya Al-Majmu’:
“Sahabat kami berkata bahwa diharamkan untuk memandang dan menyentuh wanita,
jika wanita tersebut telah dewasa. Karena sesungguhnya seseorang dihalalkan
untuk memandang wanita yang bukan mahramnya jika ia berniat untuk menikahinya
atau dalam keadaan jual beli atau ketika ingin mengambil atau memberi sesuatu
ataupun semisal dengannya. Namun tidak boleh untuk menyentuh wanita walaupun
dalam keadaan demikian.
4.
Madzhab
Hambali
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Majmu
Fatawa, “Haram hukumnya memandang wanita dan amrod (anak berusia
baligh tampan yang tidak tumbuh jenggotnya) diiringi dengan syahwat. Barang
siapa yang membolehkannya, maka ia telah menyelisihi Ijma (kesepakatan)
kaum muslimin. Hal ini juga merupakan pendapatnya Imam Ahmad dan Imam
Asy-Syafi’i. Segala hal yang dapat menimbulkan syahwat, maka hukumnya adalah
haram tanpa keraguan di dalamnya. Baik itu syahwat yang timbul karena
kenikmatan memandang atau karena hubungan badan. Dan menyentuh dihukumi
sebagaimana memandang sesuatu yang haram.”
Berikut pendapat ulama dari empat madzhab besar:
1.
Madzhab
Al-Hanafiyah
Dalam
madzhab ini dikatakan bahwa batasan aurat antara wanita dengan mahramnya
adalah: anggota tubuh yang ada di antara pusar dan lutut, punggungnya, dan
perutnya. Artinya, anggota tubuh wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya
adalah yang selain dari anggota tubuh tersebut, jika ada dalam keadaan aman
dari fitnah dan tidak disertai syahwat.
Dalilnya adalah
firman Allah SWT
وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ…
Dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami
mereka...." (QS. An-Nur : 31)
Yang dimaksud dengan
kalimat 'jangan menampakkan perhiasannya' dalam ayat di atas adalah bahwa
larangan untuk menampakkan 'anggota tubuh' yang menjadi objek yang biasa
dipakaikan perhiasan. Sebab, melihat perhiasan itu sendiri hukumnya mubah
secara mutlak. Maka kepala boleh dilihat oleh mahram, karena ia anggota tubuh
untuk dipakaikan mahkota, leher dan dada untuk kalung, telinga untuk anting,
pergelangan tangan untuk gelang, pergelangan kaki untuk gelang kaki, jari untuk
cincin, punggungnya telapak kaki untuk dihiasi daun pacar, dll. Berbeda dengan
perut, punggung dan paha yang lazimnya tidak untuk dipakaikan perhiasan.
2.
Madzhab
Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Menurut ulama dari Madzhab Maliki dan pendapat resmi
dari kalangan Madzhab Hambali, anggota tubuh wanita yang boleh terlihat oleh
mahramnya hanya: wajah, kepala, dua tangan dan dua kaki. Maka haram baginya
menampakkan dada, payudara, dan anggota tubuh lainnya dihadapan mahramnya. Dan
haram pula bagi ayah, anak laki-lakinya dan mahramnya yang lain untuk melihat
aurat dirinya selain pada empat anggota tersebut, walaupun tanpa syahwat.
Sedangkan Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali sedikit
berbeda dengan pendapat resmi madzhabnya. Menurut beliau, batasan aurat bagi
wanita dengan mahramnya adalah seperti aurat antara laki-laki dengan laki-laki,
dan wanita dengan wanita. Yakni anggota tubuh yang ada di antara pusar dan
lutut.
Pendapat resmi ulama dari Madzhab Hambali menambahkan
bahwa mahram yang boleh melihat sebagian aurat si wanita itu maksudnya mahram
yang muslim maupun yang kafir. Dalilnya adalah bahwa Abu Sufyan Bin Harb pernah
masuk ke rumah putrinya yang bernama Ummu Habibah (salah satu istri Rasulullah
SAW) dalam keadaan tidak berhijab, tidak menutupi seluruh auratnya. Dan saat
itu Rasulullah SAW tidak menyuruh Ummu Habibah untuk menutupi auratnya di
hadapan Abu Sufyan, ayahandanya yang masih kafir.
3.
Madzhab
Asy-Syafi'yah
Mayoritas ulama dalam Madzhab Syafi'i berpendapat
bahwa aurat wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah anggota tubuhnya
selain yang ada di antara pusar dan lutut.Walaupun ada sebagian lagi yang
mengatakan bahwa anggota tubuh wanita yang boleh terlihat oleh mahramnya adalah
anggota tubuh yang biasa ia tampakkan saat ia beraktifitas di dalam rumah.
Seperti kepala, leher, dan tangan hingga siku, juga kaki hingga lutut. Dan anggota-anggota
tubuh tersebut juga menjadi batasan aurat yang boleh dilihat wanita terhadap
aurat mahramnya.
.
A.
KESIMPULAN
Demikianlah
makalah tentang konsep mahram telah kami sampaikan dimulai dari ayat-ayat
al-qur’an, hadits-hadits nabi dan pandangan para ulama tentang hukum yang
berkenaan dengan mahram. Dalam mahram ini dapat diketahui bahwasannya ada
mahram yang sifatnya tetap, yakni mahram muabbad. Dan adapula mahram yang hanya
disebabkan adanya faktor tertentu, seperti adanya ikatan pernikahan atau
disebut dengan mahram muaqqot.
Dalam
masalah penghukuman dalam berinteraksipun ada batasan-batasan yang boleh dan
tidak bolehnya kita langgar, seperti dalam masalah bersentuhan, dalam masalah
penampakan aurat, dan dalam masalah perjalanan. Hal ini jelas islam mengaturnya
agar tercipta sebuah kehormatan dan penjagaan terhadap jiwa perempuan
khususnya.
Jika
kita ke Arab Saudi misalnya, akan kita dapati para muslimahnya menutup seluruh
tubuhnya tanpa kecuali, saat mereka keluar rumah. Sebab masyarakat di negeri
ini kebanyakan lebih condong bermadzhab Hambali. Begitupula saat mereka
beraktifitas di dalam rumah, tak banyak menampakkan anggota tubuhnya, kecuali
kepala, leher, tangan dan kaki. Sebab –dalam madzhab ini- hanya bagian tubuh
inilah yang boleh tampak oleh mahramnya.
Begitu
pula jika kita berkujung ke Asia Selatan, seperti India dan Pakistan. Maka disana
akan ditemui bahwa para muslimahnya kebanyakan tidak menutup kaki hingga mata
kakinya, bahkan saat menunaikan shalat. Sebab mayoritas masyarakat disana
cenderung bermadzhab Hanafi. Lain lagi dengan kita yang tinggal di Indonesia.
Hampir semua muslimahnya tidak menutup wajah dan telapak tangannya, namun tetap
banyak yang mengenakan kaos kaki agar bagian kakinya tertutupi dengan baik. Begitupula
saat para wanita kita beraktifitas di dalam rumah bersama mahramnya, banyak
yang tetap menampakkan sebagian punggung dan lengan atasnya. Hal ini disebabkan
masyarakatnya lebih banyak yang condong pada Madzhab Syafi'i.
1. Ad-Dimasyqi,
ibnu katsir. ____. Tafsir Ibnu Katsir.____: Sinar Baru Algensindo
2. Al-Qur’an
Al-Karim dan terjemahannya
3. Bukhari,
Imam. Al-lulu’ wal marjan.
4. Efendi,
Sopyan. Hadits Web kumpulan dan referensi belajar hadits.
5. Hidayat,
Dani. 2008. Bulughul Maram. Tasikmalaya : Pustaka Al-Hidayah
7. Syafi’ah,
M. Abdul Mujieb. 2010. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta : Pustaka Firdaus
Post a Comment for "Macam - macam mahram"