Masyarakat Indonesia yang multikural secara vertikal
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Masyarakat Multilultural di susun atas tiga kata
yaitu, masyarakat, multi, dan cultural. “masyarakat” artinya adalah sebagai
satu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat istiadat
tertentu yang bersifat terus menerus dan terikat oleh rasa toleransi bersama,
“multi” berarti banyak atau beraneka ragam, dan “cultural” berarti budaya.
Jadi, dapat disaimpulkan bahwa masyarakat Multikultural adalah suatu masyarakat
yang terdiri atas banyak struktur kebudayaan hal tersebut disebabkan karena
banyaknya suku bangsa yang memiliki struktur budaya sendiri yang berbeda dengan
budaya suku bangsa yang lainnya.
Multicultural juga dapat di artikan sebagai keragaman
atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga
masyarakat multicultural dapat di artikan sebagai sekelompok manusia yang
tinggal dan hidup menetap di suatu tempat dan memiliki kebudayaan dan ciri khas
tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang
lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang kan
menjadi cirri khas bagi masyarakat tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI MASYARAKAT
MULTIKULTURAL
Multikultural
berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata
dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari
fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan
bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut
multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan
konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang
menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai
multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang
mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan
hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas,
prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Multikultur
baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi.
Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu.
Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam
masyarakat. Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan
dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan
kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.
Inti dari
cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan
ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari
KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang
menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang
mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi
atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah “masyarakat
multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang
bercorak “masyarakat” (plural society) sehingga corak masyarakat Indonesia yang
Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya
tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama
bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah
multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai
sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya
seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari
masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat
yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik
tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan
oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai
kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD
1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak – puncak
kebudayaan di daerah.
Hal yang
harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam
tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki
bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang
tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak
mengenal suku-suku yang majemuk, seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak,
Suku Dayak, Suku Asmat dan lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan
dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Begitu
kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah
yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru
berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang
telah diramalkan Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita
waspadai. Karena telah banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada
perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku
tertentu.
Paham
Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada perpecahan. Seperti konflik di
Timur-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu muncul
semata-mata karena perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada “sang
dalang” dan provokator yang sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak
menginginkan sebuah Indonesia yang utuh dan kokoh dengan keanekaragamannya.
Untuk itu kita harus berusaha keras agar kebhinekaan yang kita banggakan ini
tak sampai meretas simpul-simpul persatuan yang telah diikat dengan paham
kebangsaan oleh bung karno dan para pejuang kita.
Hal ini
disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan
konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah
konsep yang mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit
maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan
menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan
beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara
implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral dan
spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa pasca kemerdekaan
untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para penjajah. Walaupun berasal
dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.
Kemudian
munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya
mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dan
kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi cikal
bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap
dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat,
antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat
menghargai pluralisme, perbedaan (multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial
maupun politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat
dipahami dalam konteks menghargai sebuah multikulturalisme dalam arti luas.
Kemudian
sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang
menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang
seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang
multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila
haruslah terbuka. Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial
politik yang pluralistik.
Pancasila
adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi
sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan
sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan
etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk
konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.
Masyarakat
multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam
kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi
mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah,
adat serta kebiasaan
B.
Karakteristik Masyarakat
menurut Pierre L. Va den Berghe :
1.
Terjadi segmentasi ke dalam kelompok
sub budaya yang saling berbeda
2.
Memiliki struktur yang terbagi
kedalam lembaga non komplementer
3.
Kurang mengembangkan konsensus
diantara anggota terhadap nilai yang bersifat dasar.
4.
Secara relatif integrasi sosial
tumbuh di atas paksaan dan saling tergantung secara ekonomi.
5.
Adanya dominasi politik suatu
kelompok atas kelompok lain
C.
Masyarakat Indonesia yang
multikultural secara vertikal (stratifikasi)
Perbedaan
individu/ kelompok secara hirakhis dalam kelas-kelas yang berbda tingkatan
dalam suatu sistem social. Perbedaan
secara vertikal ini dikenal dengan stratifikasi. Keanekaragaman dalam tingkat
atau kelas sosial ini disebabkan oleh adanya sifat yang menghargai atau
menjunjung tinggi sesuatu baik berkenaan dengan barang-barang kebutuhan,
kekuasaan dalam masyarakat, keturunan, dan pendidikan tertentu yang dapat
dicapai seseorang.
Secara
vertikal, masyarakat Indonesia yang multicultural dapat dilihat dari ciri-ciri
yang didasarkan pada kriteria ekonomi pada zaman industri modern dan kriteria
feodal.
a.
Berdasarkan Kriteria Ekonomi pada
Zaman Industri Modern
Pada masa
sekarang ini, penentuan kelas sosial tidak lagi hanya ditentukan oleh aspek
ekonomi semata, namun juga ditentukan oleh aspek lain seperti aspek
profesionalitas seseorang. Karena pada zaman industri modern ini, hal yan lebih
dikedepankan adalah penghargaan terhadap prestasi dan kreativitas seseorang
dalam bidangnya yang dapat memberikan kontribusi yang berarti pada tempat ia
bekerja. Sehingga, kriteria kepandaian atau kepemilikan modal saja belum cukup
untuk dipakai sebagai pedoman dalam pengelompokan masyarakat. Pengelompokan
masyarakat pada zaman industri modern ini lebih mengarah pada aspek profesionalitas.
b.
Berdasarkan Kriteria Feodal
Secara umum, pembagian masyarakat
berdasarkan criteria ini adalah masyarakat yang masih menggunakan system
kerajaan.
Ada beberapa pola dasar masyarakat
feodal, yaitu sebagai berikut.
§
Raja dan kaum bangsawan yang merupakan
pusat kekuasaan yang harus ditaati oleh warganya karena memiliki hak istimewa
(privelese).
§
Terdapat lapisan utama, yaitu raja
dan kaum bangsawan, serta lapisan di bawahnya, yaitu rakyatnya.
§
Adanya pola ketergantungan, di mana
kaum feodal (raja dan kaum bangsawan) sebagai tokoh panutan yang harus
disegani, sedangkan rakyat harus selalu menghamba dan berada pada pihak yang
selalu dirugikan.
§
Terdapat pola hubungan yang
diskriminatif, di mana kaum feodal bebas memperlakukan rakyatnya dengan sewenang-wenang.
§
Sistem stratifikasi tertutup pada
golongan bawah.
c.
Berdasarkan Kriteria pada Masa
Kolonial Belanda
Masyarakat
di Indonesia pada masa penjajahan dibagi ke dalam tingkatan-tingkatan
berdasarkan ras. Dan hal itu juga berpengaruh pada kesempatan di dalam
kehidupan ekonomi. Misalnya yang boleh menjadi pedagang besar hanyalah golongan
teratas, sedangkan golongan yang paling bawah hanya boleh menjadi pedagang
kecil.
d.
Berdasarkan Kriteria pada Zaman
Pendudukan Jepang
Pada masa ini, Jepang menempatkan
golongannya pada strata paling atas. Berikutnya adalah Bumiputera, sedangkan
Cina dan Eropa berada pada lapisan terbawah. Hal ini dimakasudkan untuk menarik
simpati warga Bumiputera agar mendukung Perang Asia Timur Raya.
e.
Berdasarkan Kriteria Pertanian
Dalam masyarakat pertanian,
pengelompokan masyarakat menggunakan kriteria kepemilikan tanah. Biasanya
golongan teratas ditempati oleh pembuka tanah (cikal bakal). Kelompok ini dan
keturunannya dianggap sebagai golongan elit oleh masyarakat. Lapisan berikutnya
ditempati oleh kelompok orang-orang kaya dan memiliki tanah banyak.
Kelompok ini disebut dengan kuli kenceng. Kemudian lapisan berikutnya ditempati
kelompok yang memiliki tanah sedikit dan hasilnya hanya untuk konsumsi sendiri.
Kelompok ini disebut dengan kuli kendho. Dan lapisan paling bawah ditempati
kelompok orang yang tidak memiliki tanah, namun tetap bekerja di sector
pertanian yang disebut buruh tani.
D.
Faktor penyebab masyarakat
multikultural
1.
Latar belakang historis
Nenek moyang
bangsa Indonesia berasal dari Yunan, yaitu suatu wilayah di Cina bagian selatan
yang pindah ke pulau-pulau di Nusantara. Perpindahan itu terjadi secara
bertahap dalam waktu dan jalur yang berbeda. Ada kelompok mengambil jalur barat
melalui selat Malaka menuju pulau Sumatera dan Jawa. Sedangkan kelompok lainnya
mengambil
jalan ke arah timur, yaitu melalui kepulauan Formosa atau Taiwan, di sebelah
selatan Taiwan, di sebelah selatan Jepang, menuju Filifina dan kemudian
meneruskan perjalanan ke Kalimantan. Dari Kalimantan ada yang pindah ke Jawa
dan sebagian lagi ke pulau Sulawesi.
2.
Kondisi geografis
Iklim yang
berbeda –beda dan struktur tanah yang tidak sama di antara berbagai-bagai
daaerah di kelpulauan Nusantara ini, merupakan faktor yang menciptakan
pluralitas regional di Indonesia. Perbedaaan curah hujan dan kesuburan tanah
merupakan kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda
di Indonesia, yaini : daerah pertanian sawah (wet rice cultivation) yang
terutama banyak dijumpai di pulau Jawa dan Bali, serta daerah pertanian ladang
(shifting cultivation) yang banyak dijumpai di luar Jawa. Perbedaan lingkungan
ekologis tersebut menjadi sebab bagi terjadinya kontras antara Jawa dan luar
Jawa di dalam bidang kependudukan, ekonomi, dan sosial budaya.
3.
Keterbukaan terhadap kebudayaan luar
Adanya
kontak antar kebudayaan, yaitu antara budaya Indonesia dengan budaya asing yang
berlangsung selama ini telah membawa perubahan besar, kontak mana terjadi
melalui kontak langsung maupun tidak langsung seperti melalui pendudukan pada
masa-masa sebelum kemerdekaan, politik, pendidikan, kerjasama ekonomi dan
pertahanan, ataupun pariwisata. Sebagi contoh, ketika saluran diplomatik dua
negara atau lebih telah dibuka, maka akan terjadilah hubungan sosial secara
langsung. Sarana-sarana komunikasi seperti media cetak, radio, tape, Televisi,
internet serta berbagai audio-visual lainnya merupakan kontak tidak
langsung. Hubungan sosial dapat berupa kedatangan parawisatawan, yang kemudian
mereka menunjukkan kebiasaan–kebiasaannya, dengan berdansa ketika berada di
tempat hiburan, menggunakan pakaian minim ketika di pantai, atau berperilaku
yang terkadang kurang sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Tempat wisata pada
umumnya di huni oleh masyarakat yang masih sederhana, budaya penduduk setempat
berbeda dengan budaya wisatawan, begitu pula dengan perilakunya. Pertemuan
antar dua kebudayaan itu memungkinkan terjadinya proses penerobosan (penetrasi)
kebudayaan. Penetrasi (penerobosan) kebudayaan adalah suatu unsur
atau kompleks unsur kebudayaan asing yang mempengaruhi kebudayaan setempat
sedemikian intensifnya, sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan besar dari
kebudayaan yang bersangkutan.
Masalah yang timbul akibat adanya masyarakat
multicultural Berdasarkan tingkatannya
1.
Tingkat ideology atau gagasan
2.
Tingkat politik
Setiap
masyarakat mengenal pembagian kewenangan atau otoritas yang tentunya terjadi
secara tidak merata, fenomena ini senantiasa mengakibatkan timbulnya dua macam
kategori sosial dalam setiap masyarakat, yaini mereka yang memiliki otoritas
dan mereka yang tidak memiliki otoritas. Pembagian otoritas yang bersifat
dikotomis itu oleh para penganut aliran konflik dianggap sebagai sumber
timbulnya pertentangan-pertentangan sosial dalam setiap masyarakat; keadaan ini
bisa terjadi karena dengan pembagian otoritas seperti itu menimbulkan
kepentingan-kepentingan yang berlawanan satu sama lain, Pembagian otoritas
seperti itu mengakibatkan mereka yang menduduki posisi sebagai pemegang
otoritas, biasanya disebut sebagai kelompok kepentingan (interest group), dan
mereka yang tidak memiliki otoritas, biasa disebut sebagai kelompok semu
(quasi-group), memiliki kepentingan-kepentingan, yang baik secara
substansial maupun arahnya, berlawanan satu sama lain.
Berdasarkan jenisnya:
1.
Rasial ( RAS)
2.
Antar suku bangsa
3.
Antar agama
Alternatif pemecahan masalah yang
ditimbulkan oleh masyarakat multicultural :
1.
Asimilasi
Proses di mana seseorang
meninggalkan tradisi budaya mereka sendiri untuk menjadi dari bagian dari
budaya yang berbeda. Dengan demikian kelompok etnis yang berbeda secara
bertahap dapat mengadopsi budaya dan nilai-nilai yang ada dalam kelompok besar,
sehingga setelah beberapa generasi akan menjadi bagian dari masyarakat tersebut
2.
Integrasi
Merupakan keadaan ketika
kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap konformistis, terhadap
kebudayaan mayoritas masyarakat, tetapi dengan tetap mempertahankan kebudayaan
mereka sendiri
3.
Self regregation
Suatu kelompok etnis mengasingkan
diri dari dari kebudayaan mayoritas, sehingga interaksi antar kelompok sedikit
sekali, atau tidak terjadi. Sehingga potensi konflik menjadi kecil
4.
Pluralisme
Suatu masyarakat di mana
kelompok-kelompok sub ordinat tidak harus mengorbankan gaya hidup dan tradisi
mereka, bahkan kebudayaan kelompok-kelompok tersebut memiliki pengaruh terhadap
kebudayaan masyarakat secara keseluruhan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat Multikultural adalah suatu masyarakat yang
terdiri dari berbagai elemen, baik itu suku, ras, agama, pendidikan, ekonomi,
politik, bahasa, dll. Yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat yang memiliki
satu pemerintahan tetapi masyarakat itu masing-masing terdapat segmen-segmen
yang tidak bisa disatukan.
Multicultural juga dapat di artikan sebagai keragaman
atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga
masyarakat multicultural dapat di artikan sebagai sekelompok manusia yang
tinggal dan hidup menetap di suatu tempat dan memiliki kebudayaan dan ciri khas
tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang
lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang kan
menjadi cirri khas bagi masyarakat tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
www.google.com/http://file.upi.edu/Direktori/B%20%20FPIPS/JUR.%20PEND.%20SEJARAH/195903051989011%20-%20SYARIF%20MOEIS/MAKALAH%20%205.pdf
Post a Comment for "Masyarakat Indonesia yang multikural secara vertikal"