Pembaharuan islam di Aceh
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam sejarah, selain dikenal sebagai
daerah yang memiliki hasil bumi melimpah, Aceh kenal pula sebagai pusat
pendidikan agama Islam. Banyak ulama dari berbagai daerah di Nusantara datang
ke Aceh untuk belajar Islam. Terkadang mereka menjadikan Aceh sebagai daerah
yang dikunjungi sebelum memperdalam ilmunya ke Makkah atau Madinah. Dari
sinilah kemudian Aceh dikenal dengan sebuatan Serambi Mekkah. Namun tidak
sedikit pula yang belajar di Aceh, lalu mereka merasa cukup dengan pengajaran
tersebut dan tidak lagi melanjutkan pendidikannya di Arabia. Paling-paling
pergi untuk meunaikan ibadah haji saja. Hal ini tidak lain karena Aceh pada
masa itu memiliki sejumlah ulama yang memahami dan mampu melakukan integrasi
dasar-dasar ajaran agama ke dalam kehidupan sosial. Dan yang paling mengesankan
–sehingga membuat orang luar Aceh datang dan belajar ilmu Islam di Aceh- adalah
ulama Aceh mampu menafsirkan pemahaman agama dalam konteks lokal Melayu. Ini
merupakan sebuah wujud pembaharuan dalam pemikiran Islam di Aceh pada abad
pertengahan milenium dua.
Islam di Aceh merupakan
agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Aceh. Banyak ahli sejarah baik dalam
maupun luar negeri yang berpendapat bahwa agama Islam pertama
sekali masuk ke Indonesia melalui Aceh.Keterangan Marco Polo yang
singgah di Perlak pada tahun
1292 menyatakan bahwa negeri itu sudah menganut agama Islam. Begitu juga Samudera-Pasai,
berdasarkan makam yang diketemukan di bekas kerajaan tersebut dan berita
sumber-sumber yang ada seperti yang sudah kita uraikan bahwa kerajaan ini sudah
menjadi kerajaan Islam sekitar 1270.
Tentang sejarah perkembangan Islam di daerah
Aceh pada zaman-zaman permulaan itu petunjuk yang ada selain yang telah kita
sebutkan pada bagian-bagian yang lalu ada pada naskah-naskah yang berasal dari
dalam negeri sendiri seperti Kitab Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Pasai.
Menurut kedua kitab tersebut, seorang mubaligh yang bernama Syekh Ismail telah
datang dari Mekkah sengaja menuju Samudera untuk mengislamkan penduduk di sana.
Sesudah menyebarkan agama Islam seperlunya, Svekh Ismail pun pulang kembali ke
Mekkah. Perlu uga disebutkan di sini bahwa dalam kedua kitab ini disebutkan
pula negeri-negeri lain di Aceh yang turut diislamkan, antara lain: Perlak,
Lamuri, Barus dan lain-lain.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana perkembangan Islam di Aceh
2.
Bagaimana masuknya dan berkembangnya
Islam di Aceh
3.
Apa faktor penyebab terjadinya
pembaharuan Islam di Aceh
4.
Siapa saja tokoh-tokoh pembaharuan Islam
di Aceh
5.
Apa pusat-pusat pembaharuan Islam di
Aceh
6.
Apa hasil pembaruan Islam di Aceh
C.
Tujuan
1.
Mengetahui bagaimana perkembangan
Islam di Aceh
2.
Mengetahui faktor pembaharuan Islam
di Aceh
3.
Mengetahui tokoh Islam di Aceh
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Masuk Dan
Berkembangnya Pembaharuan Islam Di Aceh
Hampir semua
ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula di masuki Islam
ialah daerah Aceh. Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya islam ke
indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal 17-20 Maret 1963, yaitu:[1]
a)
Islam untuk pertama kalinya telah
masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab.
b)
Daerah yang pertama kali
didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan Islam yang
pertama adalah di Pasai.
c)
Dalam proses pengislaman
selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif mengambil peranan dan
proses penyiaran Islam dilakukan secara damai.
d)
Keterangan Islam di Indonesia, ikut
mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi dalam membentuk
kepribadian bangsa Indonesia.
B.
Faktor
Penyebab Terjadinya Pembaharuan Islam Di Aceh
Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat
Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu:[2]
1)
Letaknya sangat strategis dalam
hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok.
2)
Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan
Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena
jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.
Sedangkan
Hasbullah mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus, memperinci faktor-faktor yang
menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh Indonesia antara lain:
1)
Agama Islam tidak sempit dan berat
melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat
manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah
syahadat saja.
2)
Sedikit tugas dan kewajiban Islam.
3)
Penyiaran Islam itu dilakukan dengan
cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
4)
Penyiaran Islam dilakukan dengan
cara bijaksana.
5)
Penyiaran Islam dilakukan dengan
perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan
golongan atas.
Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada
masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab yaitu:
a)
Portilitas (siap pakai) sistem
keimanan Islam.
b)
Asosiasi Islam dengan
kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan
orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya raya.
Karena kekayaan dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan peranan penting
dalam bidang politik dan diplomatik.
c)
Kejayaan militer. Orang muslim
dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan.
d)
Memperkenalkan tulisan. Agama Islam
memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar
belum mengenal tulisan.
e)
Mengajarkan penghapalan Al-Qur’an.
Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan
ibadah, seperti sholat.
f)
Kepandaian dalam penyembuhan.
Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa
tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja Patani menjadi
muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai.
g)
Pengajaran tentang moral. Islam
menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat
kelak.
C.
Jalur-Jalur
Pembaharuan Islam Di Aceh
Masuknya
Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari
Arab. Dan jalur yang digunakan
adalah:
a)
Perdagangan, yang mempergunakan
sarana pelayaran.
b)
Dakwah, yang dilakukan oleh
mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa
dikatakan sebagai sufi pengembara.
c)
Perkawinan, yaitu perkawinan antara
pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebebkan
terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan manyarakat muslim.
d)
Pendidikan. Pusat-pusat perekonomian
itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam.
e)
Kesenian. Jalur yang banyak sekali
dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.
Bentuk
agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke
Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India,
dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia.
Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat besar,
karena mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia,
India, juga dari Negeri sendiri.[3]
D.
Tokoh-Tokoh
Pembaharuan Islam Di Aceh
perkembangan Isalm di daerah aceh
sangat pesat. banyak tokoh-tokoh penyebar Islam di daerah itu. Baik
dari kalangan ulama maupun dari keluarga kerajaan. di antaranya tokoh- tokoh
yang terkenal sebagai berikut:
a.
Sulatan Malik Saleh. Beliau adalah
pendiri kerajaan Samdera pasai . sebelum masuk Islam. beliau bernama Merah
selu. dalam pengembaraanya bertemu dengan seorang ulama dari Mekah bernamaSyekh
Ismail. setelah masuk Islam, Malikus Saleh mendirikan kerajaan Islam Samudera
pasai.
b.
Sultan Malik At- Tahir. Beliau adalah Sultan
Samudera pasai yang ketiga. Nama sebelum menjadi Sultan adalah Ahmad. oleh
karena itu, beliau juda di panggil dengan Nama Sultan ahmad. pada zaman
pemerintahanya agama Islam semakin berkembang pesat. beliau adalah sultan yng
sangat giat menyebarkan agama Islam. Bukan saja di kerajaanya tetapi hingga ke
Wilayah - Wilayah yang berdekatan dengan Samudera pasai. kegigihan sulatan
Malik At- Tahir. diberikan pula oleh Ibnu Batatuh. seorang Ulama Maroko yang
pernah singgah di Samudera Pasai pada zaman Sultan Malik At- Tahir berkuasa.
c.
Sulatan Alauddin Riyat Syah. Beliau
adalah Sultan Aceh ketiga. pada masa pemerintahanya. belia mendatangkan ulama-
ulama dari Persia dan India unutk mengajarka agama Islam di kesultanan aceh.
juga sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam ke daerah lain di Sumatera ,
yaitu dengan mengirimkan para juru dakwahnya hinggan ke pandalaman pulau
Sumatera. beliau juga mengirimkan juru dakwahnya ke Minang kabau di Sumatera
Barat.
d.
Sultan Iskandar Muda. Beliau adalah
Sultan terkenal di kesultanan Aceh. pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda, kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaanya. Rakyatnya makmur dan
negerinya aman. Melalui perdaganya Sultan Iskandar Muda berhasil memperluas
Wilayah Islam hinggan ke Pesisir Sumatera Barat dan Indrapura. Sultan Iskandar
Muda mendirikan sebuah masjid yang indah dan megah dan sangat terkenal yaitu
Masjid Baiturahman.
E.
Pusat-Pusat
Pembaharuan Islam Di Aceh
Pada mulanya
pusat pemerintahan Aceh terletak di satu tempat yang dinamakan kampung Ramni
dan dipindahkan ke Darul Kamal oleh Sultan Alauddin Inayat Syah. Kemudian
setelah wafatnya Sultan Alauddin Inayat, maka naik tahta Sultan Muzaffar Syah
(870-901 H./1465-1497 M). Beliaulah yang menata dan membangun Aceh Darussalam.
Sebagaimana
keterangan di atas, bahwa Kesultanan Aceh Darussalam belum menjadi sebuah
kerajaan yang berdiri sendiri tetapi masih berupa kerajaan taklukkan, maka pada
saat kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1497-1530) Aceh mampu keluar dari pengaruh
kerajaan penakluknya bahkan balik mempengaruhi kerajaan penakluknya. Selain
itu, Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan yang telah
muncul sebelumnya ke dalam kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dan saat
itulah Kesultanan Aceh mulai berkembang di berbagai bidang seperti
perluasan wilayah, melakukan perlawanan pada Portugis dan perkembangan
perekonomian. Sepeninggal Sultan Ali Mughyat Syah, naik tahtalah anaknya Sultan
Salahuddin (1530-1538 M.), namun dikarenakan bersikap terlalu lunak pada
Portugis dan kurang memerhatikan pemerintahan maka digantikan oleh saudaranya
Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538-1571 M.). Pada masa kekuasaanya
pernah dilakukan penyerangan ke Malaka pada tahun 1547 M dan 1568 M.
Ketika
berakhirnya kekuasaan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar, untuk beberapa
lama kesultanan Aceh mengalami kemelut disebabkan perebutan kekuasaan di antara
pewaris kekuasaan. Akhirnya setelah melewati masa-masa tersebut pada tahun 1596
kekuasaan diambil alih oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Said al-Mukammal sampai
1604 dan diteruskan oleh Sultan Ali Riayat Syah periode 1604-1607 Aceh menjadi
stabil kembali. Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas
pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M.). Kemudian beliau
digantikan oleh menantunya Sultan Iskandar Tsani yang berkuasa sampai 1641 M.
Setelah itu kesultanan sempat dipimpin oleh beberapa Sultanah sampai pada tahun
1699 M.
Kesultanan
Aceh Darussalam masih berdiri sampai tahun 1903 tetapi eksistensi dari
Kesultanan Aceh mulai memudar karena penerus kekuasaan yang bersikap lunak pada
bangsa asing dan terjadinya perebutan kekuasaan, sehingga berakhirlah
Kesultanan Aceh pada tahun 1903.
F.
Hasil Dari
Pembaharuan Islam Di Aceh
Hasil
pembaharuan islam di aceh dengan adanya
kerajaan kerajaan seperti :
1.
Kerajaan Peureulak
Kerajaan Peureulak merupakan kerajan
pertama di Nusantara atau bahkan Asia Tenggara. Kerajaan ini diproklamirkan
berdiri pada hari Selasa, tanggal 1 Muharram tahun 225 H(840 M). Untuk
mengenang jasa penyebar Islam pertama di Perlak yaitu seorang Nahkoda Khalifah
maka Bandar Perlak diganti namanya menjadi Bandar Khalifah. Raja pertama
yang memerintah kerajaan ini ialah Said Maulana Alaiddin Abdul Aziz
Syah dan memerintah selama 24 tahun: dari tahun 225-249 H (840- 864 M).
Ibukota kerajaan ini adalah Bandar Khalifah (Bandar Perlak).[4]
Masa pemerintahan Islam Perlak
berlangsung selama 467 tahun dari tahun 225 H sampai dengan tahun 692 H dengan
13 orang sultan. Kerajaan Islam Perlak lahir bertepatan dengan masa
pemerintahan Al- Muktashim Billah, khalifah Abbasiyah terakhir yang
memerintah tahun 218-227 H (833-842 M). Sampai awal abad ke-10 tercatat empat
orang raja yang memerintah Kerajaan Islam Perlak, yaitu:
1)
Sultan Alaiddin
Sayid Maulana Abdul Aziz Syah (225-249 H /840-864 M)
2)
Sultan Alaiddin
Sayid Maulana Abdurrahim Syah (249-285 H/ 864-888 H)
3)
Sultan Alaiddin
Sayid Maulana Abbas Syah (285-300 H / 888-913 H)
4)
Sultan Alaiddin
Sayid Maulana Ali Mughaiyat Syah (302-305 H/ 915-918 M)
Penobatan Sultan yang keempat
tertunda selama tiga tahun karena terjadi pertentangan politik antara aliran
Syiah dan Ahlussunnah wal Jama’ah (sunni). Para saudagar yang dipimpin Nahkoda
Khalifah terdiri atas pemimpin- pemimpin kaum Syiah yang tersingkir oleh penguasa
dari dinasti Abbasiyah di Tanah Arab, Persia dan India. Pertentangan politik
antara kedua mazhab ini dalam kerajaan Islam saat itu sampai meluas ke Perlak.
Akhirnya, kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah berhasil menumbangkan kerajaan Islam
Syiah dan menggantikannya dengan kerajaan Ahlussunnah Peureulak. Dinasti
Makhdum merupakan pelanjut dari sultan-sultan dinasti Sayid
Maulana yang berjumlah dua belas orang, yaitu:
1)
Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat, (306- 310 H/ 918- 922M)
2)
Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (310- 334 H/922-946 M)
3)
Sultan Makhdum
Alaiddin Abdulmalik Syah Johan Berdaulat (334-361 H(946-973 M)
4)
Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat (402-450 H /1012-1059 M)
5)
Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat (450-470H /1059-1078 M)
6)
Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat (470-501 H (1078-1108 M)
7)
Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat(501-527 H /1108-1134 M)
8)
Sultan Makhdum Alaiddin
Mahmud Syah Johan Berdaulat,(527-552 H /1134-1158 M)
9)
Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Usman Syah JohanBerdaulat, (552-565 H /1158-1170 M)
10)
Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Muhammad SyahJohan Berdaulat (565-592 H /1170-1196 M)
11)
Sultan Makhdum
Alaiddin Malik AbduljalilSyah Johan Berdaulat (592-622 H /1196-1225 M)
12)
Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M
Dalam masa pemerintahan Sultan Abdul
Malik Syah, kaum Syiah kembali melakukan perlawanan terhadap sultan dan
terjadilah perang saudara selama empat tahun. Akhirnya, perang saudara ini
dapat diakhiri dengan kesepakatan damai, yaitu kerajaan Islam Perlak dibagi
menjadi dua. Perlak pesisir untuk golongan Syiah dengan ibukota Bandar Perlak.
Perlak pedalaman untuk golongan Ahlussunnah (sunni) dengan ibukota Bandar
Khalifah. Pembagian wilayah kekuasaan ini mengakhiri perang saudara yang
terjadi diantara dua idiologi politik yang saling mempengaruhi peta politik
dunia Islam. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah IItidak
mempunyai putera mahkota, namun dibalik itu terjadi peristiwa penting dari sisi
politis yaitu dilangsungkannya perkawinan dua orang puterinya dengan dua orang
raja. Puteri Ratna Kemala dikawinkan dengan Parameswara, salah
seorang Raja Malaka, yang menggantikan namanya
dengan Iskandarsyah setelah memeluk Islam. Dengan bantuan
iparnya Malik Abdul Azis Syah (putera mahkota Malik Muhammad Amin
Syah II), sultan berjihad mengembangkan Ajaran Islam ke seluruh daratan Semenanjung
Tanah Melayu. Sementara Puteri Ganggang Sari dinikahkan dengan
Sultan Malikussalih yang memerintah kerajaan Islam Samudera Pasai
dari tahun 659- 688 H (1261-1289 M). Faktor perkawinan ini menyebabkan
lancarnya penyatuan Kerajaan Islam Perlak ke dalam Kerajaan Islam Samudera
Pasai.
2.
Kerajaan Samudera
Pasai
Kerajaan Islam Samudera Pasai adalah
Kerajaan Islam terbesar dan termegah di AsiaTenggara pada abad ke-13. Kerajaan
ini terletak di daerah Aceh Utara, di pesisir timur laut Aceh. Kemunculannya
sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke 13 M,
sebagai hasil dari proses islamisasi daerah- daerah pantai yang pernah
disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7, ke-8 M, dan seterusnya.
Sebelumberdirinya Kerajaan Islam
Samudera Pasai, di daerah ini telah berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang
dipimpin oleh raja- raja yang bergelar ”Meurah”. Gelar Meurah Cut Intan
misalnya, adalah pahlawan Aceh dari negeri- negeri kecil seperti Jeumpa,
Samudera, Tanoh Data, dan lain-lain.
Bukti berdirinya kerajaan Samudera
Pasai pada abad ke-13 M itu didukung oleh adanya nisan kuburan terbuat dari
granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu dapat diketahui bahwa raja pertama
kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan
bertepatan dengan tahun 1297 M. Pembentukan kerajaan Islam Samudera Pasai
diawali dengan kedatangan seorang pembaharu Islam ke wilayah itu pada tahun 433
H (1042 M). Meurah Khair datang ketanoh Data (di sekitar Cot Girek
sekarang) untuk memperkenalkan sistem pemerintahan Islam ke raja Samudera.
Meurah Khair, sang pembaharu, berasal dari keluarga Sultan Mahmud Perlak. Ia
datang dengan dua tujuan sekaligus yaitu untuk mendakwah Islam dan membangun
Kerajaan Islam Samudera Pasai. Akhirnya tujuan in tercapai dan ia menjadi raja pertama
yang bergelar Maharaja Mahmud Syah, ia juga diberi gelar lokal yaitu, Meurah
Giri. Masa pemerintahannya dumulai dari tahun 433 H sampai dengan tahun 470 H
(1042-1078 M)
Berikut adalah daftar raja-raja
kerajaan Samudera Pasai:
1)
Maharaja MahmudSyah
(Meurah Giri), 433-470 H (1042-1078 M)
2)
Maharaja Mansur
Syah, 470-527 H (1078-1113 M)
3)
Maharaja
Khiyassyudin Syah, 527-550 H (1113-1155 M)
4)
Maharaja Nurdin
Sultan al-Kamil, 550-607 H (1155-1210 M)
5)
Sultan
Malikussalih, 659-688 H (659-688 H(1261-1289 M)
6)
Sultan Muhammad
Malikul Dhahir, 688-725 H (1289-1326 M)
7)
Sultan Ahmad
Malikul Dhahir, 725-750 H (1326-1350 M)
8)
Sultan Zainuddin
Malikul Az-Zahir,750-796 H (1350-1394 M)
9)
Sultan Zainal
Abidin, 1383-1400 H
10)
Malikah Nihrasiyah
Rawangsa Khadiyu, 801-831 H (1400-1427 M)
Sementara menurut pengakuan
sarjana-sarjana Barat, Malik as-Saleh merupakan pendiri kerajaan tersebut. Hal
itu diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Melayu dan juga
hasil penelitian atas beberapa sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat,
khususnya para sarjana Belanda, seperti Snouck Hurgronye, J.P. Molquette,J.L.
Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffacr, H.KJ. Cowan, dan lain-lain.
Dari segi politik, munculnya kerajaan
Samudera Pasai abad ke-13 M itu sejalan dengan suramnya peranan maritim
kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting di kawasan
Sumatera dan sekelilingnya. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan, gelar
Malik al- Saleh sebelum menjadi raja adalah bernama Meurah Silu atau Merah
Silu. Ia masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan
Syarif Mekah, yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik al-Saleh. Nisan
kuburan itu didapatkan diGampong Samudera bekas kerajaan Samudera Pasai
tersebut. Meurah Selu adalah puteraMerah Gajah. Nama Merah merupakan gelar
bangsawan yang lazim di Sumatera Utara. Selu kemungkinan berasal dari kata
sungkala yang aslinya berasal dari Sanskrit Chula (wilayah Thailand).
Dari hikayat itu terdapat petunjuk
bahwa tempat pertama sebagai pusat kerajaan Samudera Pasai adalah Muara Sungai
Peusangan, sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar di sepanjang jalur pantai
yang memudahkan parahu- perahu dan kapal-kapal mengayuhkan dayungnya ke
pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yang terletak berseberangan di muara
sungai peusangan yaitu, Pasai dan Samudera. Kota Samudera terletak agak lebih
ke pedalaman, sedangkan kota Pasai terletak lebih ke muara. Di tempat yang
terakhir inilah terletak beberapa makam raja-raja. Pendapat bahwa Islam sudah
berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh berita Cina dan
pendapat Ibn Batutah, seorang pengembara terkenal asal Maroko, yang pada
pertengahan abad ke-14 M (tahun 746H/1345 M) mengunjungi Samudera Pasai dalam
perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera Pasai diperintah oleh
Sultan Malik al-Zahir, putera Sultan Malik al-Saleh. Menurut sumber-sumber
Cina, pada awal tahun1282 M kerajaan kecil Sa-mu-ta-la (Samudera) mengirimkan duta- dutanya ke kerajaan
Cina dengan nama- nama muslim yakni Husein dan Sulaiman.
Ibnu Batutah juga menyatakan
bahwa Islam sudah hampir seabad lamanya disiarkan di Samudera Pasai. Ia
meriwayatkan kesalehan, kerendahan hati dan semangat keagamaan rajanya yang
seperti rakyat nya mengikuti mazhab Imam Syafi’i.
Berdasarkan beritanya pula, kerajaan
Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi agama Islam dan tempat
berkumpulnya para ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai
masalah keagamaan dan keduniaan. Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan
maritim ini, tidak mempunyai basis agraris. Basis perekonomiannya adalah
perdagangan dan pelayaran. Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran itu
merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkankerajaan memperoleh
penghasilan dan pajak yang besar. Tome Pires menceritakan, di Pasai
ada mata uang dirham. Dikatakannya pula bahwa setiap kapal yang membawa barang-
barang dari Barat dikenakan pajak 6%.
Mata uang dirham dari Samudera Pasai
tersebut pernah diteliti oleh H.K.J Cowanuntuk menunjukkan bukti-
bukti sejarah raja- raja Pasai. Mata uang tersebut menggunakan nama- nama
Sultan Alauddin, Sultan Manshur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid dan Abdullah,
pada tahun 1973 M, ditemukan lagi 11 mata uang dirham di antaranya bertuliskan
nama Sultan Muhammad Malik al-Zahir, Sultan Ahmad, Sultan Abdullah,semuanya
adalah raja-raja Samudera Pasai pada abad ke-14 M dan 15 M.
Atas dasar mata uang emas yang
ditemukan itu, dapat diketahui nama-nama raja dan urutan pemerintahannya
sebagai berikut:[5]
1)
Sultan Malik
al-Saleh yang memerintah sampai pada tahun 1207M,
2)
Muhammad Malik
al-Zahir (1297-1326 M)
3)
Mahmud Malik
al-zahir (1326-1345M)
4)
Manshur Malik
al-Zahir (1345-1346 M)
5)
Ahmad Malik al-Zahir
(1346-1383 M)
6)
Zainal-Abidin Malik
al-Zahir (1383-1405 M)
7)
Nahrasiyah (1402- ?
)
8)
Abu Zaid Malik
al-Zahir(7-1455 M)
9)
Mahmud Malikal
Zahir (1455-1477 M)
10)
Zain al-Abidin
(1477-1500 M)
11)
Abdullah Malik
al-Zahir (1501-1513 M)
12)
Sultan yang
terakhir adalah Zain al-Abidin (1513-1524 M).
Kerajaan Samudera Pasai berlangsung
sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukan oleh portugis
yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M diambil alih oleh
raja Aceh, Ali Mughayat Shah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada
di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.
Dalam masa pemerintahan Sultan
Muhammad Malikul Dhahir (688-725 H)dibentuklah suatu konfederasi kerajaan-
kerajaan Islam yang terdiri atas Kerajaan Islam Perlak, Kerajaan Islam Beunua
(Tamiang) dan kerajaan Islam Samudera Pasai. Ibnu Batutah pernah berkunjung ke
kerajaan Pasai dan menuliskan catatan bahwa Kerajaan Samudera Pasai diperintah
oleh seorang raja yang sangat alim dan salih. Kerajaan ini ramai dikunjungi
oleh pera pedagang dari berbagai penjuru dunia saat itu untuk keperluan
berdagang dan menuntut ilmu agama Islam.
3.
Kerajaan Islam
Tamiang
Kerajaan Islam Tamiang pada asalnya
bernama Negeri Beunua/ Benua. Asal usul Negeri Benua adalah Pulau Kampai di
Pangkalansusu (Langkat- Sumatera Utara). Di tahun 580 H (1184 M) satu rombongan
masyarakat yang berasal dari negeri Peunaroon (Tanah Alas) yang dipimpin oleh
Panglima Pucook Sulooh membuka daerah baru yang diberi nama ”Batu
Karang”. Para Pendatang ini berasal dari Tanah Alas. Mereka penganut Islam yang
telah lama menetap di Perlak. Pucook Sulooh meninggal dunia pada tahun 609 H
(1212 M).Anaknya yang bernama Raja Sepala mewariskan Kerajaan negeri
Tamiang. Kemudian diwariskan kepada Raja Pahdiwangsa dan selanjutnya
oleh Raja Dinok. Setelah Raja Dinok mangkat, negeri Tamiang diwariskan
kepada puteranya yang bernama Raja Malas.
Selanjutnya Tamiang diperintah
oleh Raja Kelabu Tunggal. Setelah raja ini mangkat, dilanjutkan
oleh Raja Peundekar. Kemudian raja ini mengangkat menantunya yang
bernama Proom Syah menjadi raja. Dari keturunan raja ini Tamiang
diperintah secara terus menerus sampai ia digantikan oleh Raja
Muhammad yang digelar Raja Silang. Selanjutnya negeri ini diperintah
oleh Raja Muda Seudia Putera dari seorang panglimayang bernama
Makhdum Sa’ad. Dari keturunan raja Muda Seudia ini yang memerintah Tamiang
secara turun temurun sampai ke masa terakhir pemerintahan kerajaan ini
diperintah oleh Tengku Raja Sulong bin Raja Habsyah bin Raja Ma’an.
Kerajaan Tamiang merupakan kerajaan
Islam terbesar ketiga di Aceh, wilayah kekuasaannya mencakup sebagian wilayah
timur kerajaan Deli. Selanjutnya kerajaan Islam Tamiang masuk ke dalam Kerajaan
Aceh Darussalam yang merupakan konfederasi dari kerajaan Islam Aceh lainnya.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan merupakan suatu proses belajar engajar yang
membiasakan kepada warga masyarakat sedini mungkin untuk menggali, memahami dan
mengamalkan semua nilai yang disepakati sebagai nilai yang terpujikan dan
dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan ciri pribadi,
masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Islam sendiri adalah proses bimbingan
terhadap peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik
(insankamil).
Keberhasilan dan kemajuan pendidikan di masa kerajaan
Islam di Aceh, tidak terlepas dari pengaruh Sultan yang berkuasa dan peran para
ulama serta pujangga, baik dari luar maupun setempat, seperti peran Tokoh
pendidikan Hazah Fansuri, Syamsudin As-Sumatrani, dan Syaeh Nuruddin A-Raniri,
yang menghasilkan karya-karya besar sehingga menjadikan Aceh sebagai pusat
pengkajian Islam.
B.
Saran
Penulis berharap
kepada para pembaca agar memberikan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini kedepannya.
Penulis
berharap para pembaca dapat menjadikan ini sebagai acuan dalam mempelajari
tentang sejarah peradaban islam.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyimi, A. 1993. Sejarah
Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Penerbit Alma’arif: Yogyakarta.
Yusuf, Mundzirin. 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Penerbit Pustaka: Yogyakarta.
Sudirman, Adi. 2014. Sejarah Peradaban Islam dari Era Klasik hingga Kini. Penerbit DIVA
Press: Yogyakarta.
Maryam dkk, Siti. 2012. Sejarah Peradaban Islam. Penerbit LESFI: Yogyakarta.
Yahya Harun, M. 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII. Penerbit Kurnia Kalam
Sejahtera: Yogyakarata.
[1] A. Hasyimi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, (Alma’arif, 1993), hlm. 68
[2] Ibid,. hlm 213 dan 437
[3] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
pustaka, 2006), hlm. 68.
[4] Adi Sudirman, Sejarah Peradaban Klasik dari Era Klasik
hingga Era Terkini, (Yogyakarta: DIVA Press, 2014), hlm. 198.
[5] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta:
LESFI, 2012), hlm. 326.
[6] M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII (
Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejarah, 1995), hlm. 15-17.
Post a Comment for "Pembaharuan islam di Aceh"