Pemikiran khawarij dan mujiah
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehidupan memang tidak luput dari setiap permasalahan. Dalam Islam
sendiri mulai sejak dahulu di zaman Rasulullah SAW sampai sekarang memiliki
permasalahan. Setelah wafatnya Rasulullah SAW mulai timbul banyaknya pergejolakan
yang timbul dalam kalangan umat. Setiap Pemerintah atau Khalifah yang berkuasa
berusaha untuk meminimalisir dari pemberontakan tersebut. Dari gejolak yang
timbul dari umat menimbulkan berbagai firqoh (kaum) dalam kalangan umat Islam
sendiri. Seperti kaum Syiah, kaum Khawarij, kaum Mu’tazilah, kaum Qadariyah,
kaum Jabariyah, dan kaum Murji’ah. Dari hal ini membuat umat sendiri menjadi
terpecah belah dalam pemikiran tentang Islam. Sehaingga hal inilah yang memicu timbulnya
dari “Teologi Islam”.
Dalam konteks historis lahirnya Murjiah pada akhir abad pertama Hijrah
pada saat Ibukota kerajaan Islam dari Madinah pindah ke Kuffah kemudian pindah
lagi ke Damaskus. Ini dipicunya adanya pergejolakan yang timbul dalam politik
imamah atau khilafat pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan yang kemudian
berkelanjutan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib RA. Sehingga pada tragedi
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan RA yang dilakukan oleh Abdullah bin Salam
menjadi pembuka yang dinyatakan kaum Muslimin membuka bencana baginya yang
tidak akan tetutup sampai hari Kiamat.
Setiap Aliran yang lahir memiliki pemikiran tersendiri dalam
berperndapat yang mana menjadi pegangan tersendiri dalam mengambil suatu
keputusan dan tindakan, baik itu dari kaum Syiah sampai kepada kaum Murji’ah.
Dalam kesempatan ini kami mencoba menjabarkan tentang Aliran dari Murji’ah yang
merupakan aliran yang ada dalam salah satu aliran dari aliran-aliran yang lahir
sejak masa para sahabat Rasulullah SAW.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian khawarij?
2.
Apakah pengertian murji’ah?
3.
Bagaimana pemikiran khawarij dam
murji’ah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Khawarij
Secara
etimologis kata khawarij berasal dari bahasa arab, yaitu kharaja yang berarti
keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad
Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang
keluar dari imam yang telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa
khulafaurrasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Berdasarkan
etimilogis pula, Khawarij juga berarti setiap muslim yang ingin keluar dari
kesatuan umat islam.
Sedangkan
yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu
sekte/aliran/kelompok pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena ketidak kesepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima
arbitrase atau tahkim dalam perang shiffin pada tahun 37 H\648 M, dengan
kelompok bughat atau pemberontak muawiyah bin abi Sufyan perihal persengketaan
khalifah. Kelompok khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di
pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah yang sah yang telah dibai’at
mayoritas ulama’ islam, sementara muawiyah berada di pihak yang salah karena
memberontak khalifah yang sah. Lagipula menurut penglihatan khawarij, pihak
Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, akan tetapi karena Ali
menerima permintaan damai muawiyah yang licuk itu, maka kemenangan yang hampir
diperoleh pun musnah.
Pengikut
Khawarij, pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya di
padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersifat sederhana, baik
dalam cara hidup maupun dalam cara berfikir. Namun, sebenarnya mereka keras
hati, berani, bersikap merdeka, tidak bergantung kepada orang lain, dan
cenderung radikal. Karena watak keras yang dimiliki oleh mereka itulah, maka
dalam berfikir dan memahami agama mereka pun berpandangan sangat keras[1].
Pada
masa-masa perkembangan awal Islam, persoalan-persoalan politik memang tidak
bisa dipisahkan dengan persoalan-persoalan teologis. Sekalipun pada masa-masa
Rasulullah masih hidup, setiap persoalan tersebut bisa diselesaikan tanpa
memunculkan perbedaan pendapat yang berkepanjangan di kalangan para sahabat.
Setelah Rasulullah wafat, dan memulainya penyebaran Islam ke seluruh pelosok jazirah
Arab dan luar Arab persoalan-persoalan baru pun bermunculan di berbagai tempat
dengan bentuk yang berbeda-beda pula. Sehingga, munculnya perbedaan pandangan
di kalangan ummat Islam tidak bisa dihindari.
Adapun pengaruh-pengaruh dari aliran
Khawarij :
a. Pengaruh
Negatif :
§ Seseorang
yang menganut ajaran ini akan selalu menentang dan tidak sependapat, ketika
salah satu paham berbeda dengan Al-Qur’an.
§ Akan sering
terjadinya hukuman mati, karena setiap orang yang bertindak salah, dianggap
kafir dan orang yang kafir halal untuk dibunuh.
§ Semua orang
akan takut untuk bertindak, karena takut akan melakukan kesalahan.
b.
Pengaruh Positif :
§
Cara pemilihan pemimpin dengan cara
demokratis, tidak bersifat egois yang memilih keturunannya.
§
Setiap orang akan lebih meningkatkan
ibadahnya, karena orang yang meninggalkan ibadah sholat akan dinyatakan kafir.
Adapun tokoh-tokohnya sebagai
berikut:
1.
Abdullah bin Wahab al-Rasyidi,
pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura, pimpinan Khawarij
pertama
2.
Urwah bin Hudair
3.
Mustarid bin sa’ad
4.
Hausarah al-Asadi
5.
Quraib bin Maruah
6.
Nafi’ bin al-azraq (pimpinan
al-Azariqah)
7.
Abdullah bin Basyir
8.
Zubair bin Ali
9.
Qathari bin Fujaah
10. Abd al-Rabih
11. Abd al Karim
bin ajrad
12. Zaid bin
Asfar
13. Abdullah bin
ibad
14. Abdullah ibn
ka’wa (al muhakkimah al ula)
15. Najdah ibn
‘amir al hanafiy (al najdat al ‘aziriyah)
16. Abdul karim
ibn ajrad (al ajaridah)
17. Zaid ibn al
asfar (al sufriyah)
B.
Pengertian
Murji’ah
Murji’ah
diambil dari kata irja atau arja’a yang
bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’amengandung
pula arti memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh
pangampunan dan rahmat Allah SWT. Selain itu arja’a berarti
pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan
amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang
menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan
Mu’awiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
Murji’ah
muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir
mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal ini
dilakukan oleh aliran Khawarij. Aliran ini menangguhkan penilaian terhadap
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena
hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang
mukmin yang melakukan dosa besar, masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
Rohison
Anwar dan Abdul Razak, dalam bukunya mengatakan bahwa ada beberapa teori yang
berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama
mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan
oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam
ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari
sektarianisme. Kelompok ini diperkirakan lahir bersamaan dengan
kemunculan Syi’ah danKhawarij[2].
Dilain
pihak, gagasan irja’ diperkirakan muncul pertama kali sebagai
gerakan politik yang dibawa oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad
Al-Hanafiah sekitar pada tahun 695M. Dalam teori ini dikisahkan bahwa 20 tahun
setelah kematian Muawiyah dunia islam dikoyak oleh pertikaian sipil karna telah
terjadi perpecahan umat. Menanggapi hal ini Al-Hasan kemudian memberikan sikap
politik sebagai upaya penanggulangan perpecahan uma islam tersebut, sehingga
kemudian ia mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah revolusioner
yang dibawa oleh Al-Mukhtar, yang terlampau mengagungkan Ali dan para
pengikutnya, serta menjauhkan diri dari kaum Khawarij yang
menolak kekhalifahan Mu’awiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan dari
pendosa.
Teori lain
mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukan
lah tahkim atas usulan Amr bin Asy, seorang kaki tangan
Mu’awiyah. Pada saat itu kelompok ali terpecah menjadi dua kelompok besar,
yaitu kelompok yang mendukung dan menentang Ali. Kelompok yang menentang
Ali pada akhirnya keluar dan membentuk sebuah kelompok bernama Murji’ah.
Golongan yang keluar dari barisan Ali ini menganggap bahwa keputusan tahkim tidak
berdasarkan hukum Allah, melainkan bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh karena
itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar,
dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini ditentang oleh sekelompok
sahabat yang kemudian disebut dengan Murji’ah, yang mengatakan
bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya
diserahkan kepada Allah, apakah Allah akan mengampuninya atau tidak.
Adapun pengaruh-pengaruh aliran
murji’ah sebagai berikut:
Pengaruh negatif:
§
Aliran Murji’ah meyakini bahwa suatu
perbuatan (amal) tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sehingga banyak orang
menyatakan yang penting “hatinya”, dan perbuatan maksiat yang dilakukannya
tersebut seakan-akan tidak mempengaruhi keimanan di hatinya.
§
Aliran Murji’ah menyamakan antara
orang yang shalih dengan yang tidak, dan orang yang istiqamah di atas agama
Allah dengan orang yang fasik. Sebab menurut mereka, amal shalih tidak
mempengaruhi keimanan seseorang, sebagaimana juga perbuatan maksiat tidak
mempengaruhi keimanan.
§
Menghilangkan unsur jihad fi
sabilillâh dan amar ma`ruf nahi mungkar.
§
Munculnya pemikiran Murji’ah ini
telah menyebabkan banyak hukum-hukum Islam menjadi hilang, sehingga menjadi
penyebab hilangnya syari’at. Pemikiran mereka juga telah merusak keindahan
Islam, sehingga menjadi penyebab manusia berpaling dan tidak mengagungkan
syari’at Allah.
§
Pemikiran Murji’ah membuka pintu
bagi orang-orang yang rusak membuat kerusakan dalam agama, dan merasa tidak
terikat dengan perintah dan larangan syari’at. Sehingga akan memperbesar kerusakan
dan kemaksiatan di tengah kaum Muslimin. Bahkan akhirnya sangat mungkin mereka
membuat melakukan perbuatan kekufuran dan kesyirikan, dengan alasan bahwa hal
itu merupakan amalan, dan tidak merasa bisa menyebabkan imannya menjadi
berkurang atau hilang. Na’udzubillâhi min-zhalik.
Pengaruh positif :
§
Aliran ini salah satunya yaitu
golongan ini memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh
pengampunan dan rahmat Allah SWT.
Tokoh-tokoh aliran murjiah
§
Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin
Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, adalah penggagas pendirian aliran murjiah.
§
Jahm ibn abi safyan (al-jahmiyah)
§
Yunus ibn ‘aun al-namiri
(al-yunusiyah)
§
Ubaid al-muktaib (al-ubaidiyah)
§
Gasan al-kufi (al-gasaniyah)
§
Abu sauban al-murji’I
(as-saubaniyah)
§
Mu’az al-tumani (at-tumaniyah)
§
Abu hasan al-shalihi
(ash-shalihiyah)
§
Husein ibn Muhammad al-najar
(an-najariyah)
§
Muhammad ibn karram (al-karamah)
C. Pemikiran Kaum Khawarij dan Murji’ah
Pemikiran
Kaum Khawarij
Bila dianalisis secara mendalam, doktrin yang
dikembangkan kaum khawarij dapat dikategorikan dalam tiga kategori: politik,
teologi, dan social. Kategori doktrin politik membicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan masalah kenegaraan, khususnya tentang kepala Negara
(khalifah), doktrin tersebut[3]:
1.
Khalifah atau imam harus dipilih
secara bebas oleh seluruh umat islam,
2.
Khalifah tidak harus berasal dari
keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah
apabila sudah memenuhi syarat,
3.
Khalifah dipilih secara permanen
selama yang bersangkuta bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus
dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman,
4.
Khalifah sebelum Ali adalah sah,
tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya, utsman r.a. dianggap
telah menyeleweng.
5.
Khalifah Ali adalah sah, tetapi
terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng,
6.
Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta
Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap telah mmenyeleweng,
7.
Pasukan perang jamal yang melawan
Ali juga kafir.
Menurut pandangan Khawarij, bahwa keimanan itu tidak diperlukan
jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun demikian, karena
pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan
semua manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah dalam berfikir, maupun
dalam segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu tidak didasarkan
kepada keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.
Dengan mengutip beberapa ayat Al-Quran, mereka
berusaha untuk mempropagandakan pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi
teologis itu, sebagaimana tercermin di bawah ini :
1.
Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan
Umar; sedangkan Usman dan Ali, juga orang-orang yang ikut dalam “Perang Unta”,
dipandang telah berdosa.
2.
Dosa dalam pandangan mereka sama
dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak
bertobat. Dari sinilah muncul term “kafir” dalam faham kaum Khawarij.
3.
Khalifah tidak sah, kecuali melalui
pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka menolak
pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
4.
Ketaatan kepada khalifah adalah
wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib
diperangi dan bahkan dibunuhnya.
5.
Mereka menerima Alquran sebagai
salah satu sumber diantara sumber-sumber hukum Islam.
6.
Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar,
Umar, dan Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke-7 kekhalifahannya Utsman
r.a. dianggap telah menyeleweng.
7.
Khalifah Ali adalah sah, tetapi
setelah terjadi arbitras (tahkim) ia dianggap telah
menyeleweng.
8.
Mu’awiyah dan Amr bin Al-Asy dan Abu
Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
Kaum Khawarij juga memiliki pandangan
atau pemikiran (doktrin-doktrin) dalam bidang sosial yang berorientasi pada
teologi, sebagaimana tercermin dalam pemikiran-pemikiran sebagai berikut:
1.
seorang yang berdosa besar tidak
lagi disebut muslim, sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis lagi, mereka
menganggap seorang muslim bisa menjadi kafir apabila tidak mau membunuh muslim
lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus
dilenyapkan pula,
2.
Setiap muslim harus berhijrah dan
bergabung dengan golongan mereka, bila tidak ia wajib diperangi karena dianggap
hidup di negara musuh, sedangkan golongan mereka dianggap berada dalam negeri
islam,
3.
Seseorang harus menghindar dari
pimpinan yang menyeleweng,
4.
Adanya wa’ad dan wa’id (orang
yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk
neraka),
5.
Amar ma’ruf nahi munkar,
6.
Manusia bebas memutuskan
perbuatannya bukan dari tuhan,
7.
Qur’an adalah makhluk,
8.
Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
bersifat mutasyabihat (samar).
Dari ketiga doktrin tersebut, doktrin sentral aliran
Khawarij adalah terletak pada bidang politik. Hal ini terbukti bahwa mereka
memiliki pemikiran yang radikal dalam bidang politik. Namun, dari sifat yang
radikal tersebut membuat mereka menjadi fanatik dalam manjalankan agama.
Sehingga dapat dikatakan bahwa orang Khawarij adalah orang yang bersifat keras
dalam menjalankan ajaran agama. dapat diasumsikan pula bahwa orang Khawarij
cenderung berwatak tekstualis yang menjadikan mereka menjadi bersifat
fundamentalis. Namun berbeda pada pemikiran di bidang sosial, pemikiran yang
cenderung bersifat tekstual dan fundamentalis cenderung tidak terasa. Jika
teologis seperti ini benar-benar merupakan pemikiran Khawarij, maka
dapat dismpulkan bahwa kaum ini adalah kaum yang berasal dari orang yang
baik-baik. Hanya saja keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas yang
pendapat dan pemikirannya diabaikan bahkan dikucilkan oleh para penguasa yang
membuat mereka menjadi bersikap ekstrim.
Pemikiran
kaum murji’ah
Rohison dan Abdul Rozak dalam bukunya mengatakan bahwa
ajaran pokok murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja yang banyak
diaplikasikan kedalam bidang politik dan teoligi. Dalam bidang politik
kaum Murji’ah banyak dikenal sebagai The Queietists (kelompok
bungkam) karena sikap netral mereka pada permasalahan politik dan sikap mereka
yang selalu diam dalam persoalan politik. Sedangkan dalam bidang teologi,
pemikiran mereka cenderung mengacu kepada permasalahan iman, kufur, dosa besar,
dosa ringan, tauhid, tafsir Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan atas dosa besar,
kemaksuman nabi, ada yang kafir di generasi awal islam, tobat, hakekat
Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan tuhan[4].
Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah,
W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
1.
Penangguhan keputusan terhadap Ali
dan Mu’awiyah hingga Allah memutuskan di akherat kelak.
2.
Penangguhan Ali untuk menduduki
rangking ke empat dalam peringkat Al-Khalifa Ar-Rasyidin.
3.
Pemberian harapan terhadap orang
muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4.
Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai
pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Sementara itu Harun Nasution menyebutkan, bahwa Murji’ah memiliki
empat ajaran pokok, yaitu :
1.
Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah,
Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan
menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.
Menyerahkan keputusan kepada Allah
atas orang muslim yang berdosa besar.
3.
Meletakkan (pentingnya) iman dari
amal.
4.
Memberikan pengharapan kepada muslim
yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu, Abu ‘A’ la Al-Maududimenyebutkan dua
doktrin pokok ajarran murji’ah, yaitu:
1.
Iman adalah percaya kepada Allah dan
Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi
adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun
meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
2.
Dasar keselamatan adalah iman
semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan
madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, menusia
cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam akidah tauhid.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara
etimologis kata khawarij berasal dari bahasa arab, yaitu kharaja yang berarti
keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad
Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang
keluar dari imam yang telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa
khulafaurrasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Berdasarkan
etimilogis pula, Khawarij juga berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan
umat islam.
Murji’ah
diambil dari kata irja atau arja’a yang
bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’amengandung
pula arti memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh
pangampunan dan rahmat Allah SWT. Selain itu arja’a berarti
pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan
amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang
menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan
Mu’awiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
B.
Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik
dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas,
Sirajuddin, I’tiqad Ahlussunnah wal jama’ah Jakarta: Radarjaya Offset,
2008.
Abdat, Abdul Hakim bin Amir, Keshahihan Hadits
Iftiraqul Ummah, Firqah-firqah Sesat di dalam Islam, Aqidah Salaf Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Imam Muslim, 2005.
Ahmad, Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: CV
Pustaka Setia , 1998.
Anwar, Rosihon dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung:
Pustaka Setia, 2000
Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid/kalam,
Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Nasir, A. Salihun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta:
CV. Rajawali, 1991.
Rosihon Anwar, Abdul Rozak dan Maman Abdu Djalel, Ilmu
Kalam Bandung: CV Pustaka Setia, 2006.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung:
Pustaka Setia 2006.
Wardani, Efistemologi Kalam Abad Pertengahan,
Yogyakarta: LkiS, 2003.
[1] Rosihon
Anwar, Abdul Rozak dan Maman Abdu Djalel, Ilmu Kalam (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2006). Hal. 49
Post a Comment for "Pemikiran khawarij dan mujiah"