Pemikiran di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Suksesnya
pendidikan di Indonesia tentunya tidak pernah lepas dari peran para Ulama’.
Sekian banyak ulama’ yang ada di Indonesia baik yang dikenal maupun yang tidak
tentunya banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kita ambil. Seiring berjalannya
waktu, para ulama’ yang telah berjasa di Indonesia banyak yang terlupakan,
bahkan mereka ajaran dan peran sertanya banyak yang diabaikan. Oleh karena itu,
kita sebagai mahasiswa tak sepatutnya melupakan jasa-jasa mereka. Bahkan kita
harus lebih giat lagi dalam meneruskan visi dan misi mereka. Dalam makalah kali
ini kita akan mencoba untuk sedikit memaparkan biografi dan peran serta mereka
dalam merentaskan Indonesia dari kebodohan.
Kami sebagai
pemakalah menyadari bawa makalah kami jauh daripada kesempurnaan. Tapi, tak
sepatutnya kita mengalah pada ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, marilah kita
coba untuk merubah ketidaksempurnaan menjadi sempurna. Dan kami sebagai
pemakalah juga mohon kritik dan saran yang membangun demi tercapanya
kesempurnaan itu. Walaupun kesempurnaan itu hanyalah milik-Nya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Riwayat Hidup KH. Ahmad
Dahlan serta pemikirannya ?
2.
Seperti apa Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asy’ari ?
3.
Bagaimana Riwayat Hidup H.A. Mukti
Ali ?
4.
Bagaimana Riwayat Hidup Syed
Muhammad Naquib Al-Attas?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan
lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1898 dan meninggal pada tanggal 25
Pebruari 1923. Ia berangkat dari keluarga diktatis dan terkenal alim dalam ilmu
agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar
kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Aminah, putri KH. Ibrahim yang
pernah menjabat sebagai penghulu di kraton Yogyakarta.
Pada usia
yang masih muda, ia membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung
denan memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang
benar dalam masjid. Menurut dia letak masjid yang tepat menghadap barat keliru,
sebab letak kota Mekkah berada disebelah barat agak ke utara dari Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa
kiblat di masjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan.
Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang
membersihkan lantai masjid dan tanda shaf yang ditulis dengan benar[1].
KH. Ahmad
Dahlan memperdalam ilmu agamanya kepada para ulma’ timur tengah. Beliau
memperdalam ilmu fiqih kepada kiai Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti
Syafi’i, ilmu falaq kepada kiai Asy’ari Bacean. Beliau juga sempat mengadakan
dialog dengan para ulama nusantara seperti kiai Nawawi Banten dan kiai Khatib
dari Minangkabau yang dialog ini pada akhirnya banyak mengalami dan
mendorongnya untuk melakukan reformasi di Indonesia adalah dialognya dengan
syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang tokoh modernis dari Mesir.
Dengan kedalaman
ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan islam,
KH. Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaharuan islam ke
pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. KH. Ahmad Dahlan melakukan
tabliah dan diskusi keagamaan sehingga atas desakan para muridnya pada tanggal
18 November 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping
aktif di Muhammadiyah beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo
da Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan utnuk beramal demi kemajuan
umat islam dan bangsa. KH. Ahmad Dalhlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H
atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen, Kemantren, Mergangsan,
Yogyakarta.
Pemikiran KH. Ahmad Dahlan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk
menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran
yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada
skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Upaya mengaktualisasikan
gagasan tersebut maka konsep pendidikan KH. Ahmad Dahlan ini meliputi :
1.
Tujuan Pendidikan
Menurut KH.
Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia
muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham
masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang
saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah
model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk
menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya,
pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya
tidak diajarkan agma sama sekali. Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah
dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak
menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak
menguasai ilmu agama.
Melihat
ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang
sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu
umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan
kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan
hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan
mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di
Madrasah Muhammadiyah.
2.
Materi pendidikan
Berangkat
dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum
atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a.
Pendidikan moral, akhalq yaitu
sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
b.
Pendidikan individu, yaitu sebagai
usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan
antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta
antara dunia dengan akhirat.
c.
Pendidikan kemasyarakatan yaitu
sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat[2].
3.
Model Mengajar
Di dalam
menyampaikan pelajaran agama KH. Ahma dahlan tidak menggunakan pendekatan yang
tekstual tetapi konekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan
atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan
kondisi.
a.
Cara belajar-mengajar di pesantren
menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem
masihal seperti sekolah Belanda.
b.
Bahan pelajaran di pesantren mengambil
kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya
diambil dari buku-buku umum.
c.
Hubungan guru-murid. Di pesantren
hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki
otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai
mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
B.
Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asy’ari
Nama lengkap
K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir
di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon
24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871. Asal-usul
dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan
Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Silsilah keturunannya, sebagaimana
diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang
tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan
bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya
dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).
Menurut
penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak
saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama
dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari
langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan
kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya
yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru
pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang
lebih tua dari umurnya sendiri. Bakat kepemimpinan Kiyai Hasyim sudah tampak
sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim
kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan
permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena
sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Semasa
hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan
di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia
menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang
meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan
Sidoarjo, ternyata K.H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan
studinya. Ia berguru kepada K.H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren
tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim
Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya
dengan putrinya, Khadijah.
Tepat pada
usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri
K. H. Ya’kub tersebut. Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya
segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim
Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong
oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya
jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim
Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh
Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.
Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap
7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang
pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini
tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.
K. H. Hasyim
Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar,
Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani,
Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah
Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani. Ia tinggal
di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim
Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian
keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah
Jawa[3].
Tanggal 31
Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari
mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun
berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin
besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan
dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. K. H. Hasyim Asy’ari
dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan
Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang
penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan
dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan
Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh
Presiden RI.
Pada tahun
1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan
sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia
pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang
untuk wilayah Jawa dan Madura. K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di
Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk
kepentingan agama dan pendidikan.
Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari
Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam
lingkungan pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung
di dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua yang
dialami dan dirasakan beliau selama itu menjadi pengalaman dan mempengaruhi
pola pikir dan pandangannya dalam masalah-masalah pendidikan. Salah satu karya
monumental Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitabnya
yang berjudul Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi
Ahuwal Ta’allum wama Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih, namun dalam
penulisan ini kami tidak menemukakan kitab aslinya dan akhirnya banyak
mengambil dari tulisan Samsul Nizar dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam,
dan buku-buku yang lain sebagai penunjang.
C.
Riwayat Hidup H.A. Mukti Ali
Nama
lengkapnya Prof Dr H Abdul Mukti Ali dilahirkan di kota Cepu, pada tanggal 23
Agustus 1923 dan Meninggal di kota Yogyakarta, pada tanggal 5 Mei 2004
(tepatnya berumur 81 thn) dengan meninggalkan seorang Istri bernama Siti
Asmadah dan tiga orang anak. Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali (lahir di Cepu, 23
Agustus 1923) adalah mantan Menteri Agama Kabinet Pembangunan II periode 1973-1978. Sejak berumur
delapan tahun, Mukti menjalani pendidikan Belanda di HIS. Ketika berumur 17
tahun, ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Termas, Kediri, Jawa Timur. Mukti Ali
kemudian melanjutkan studi ke India setelah perang dunia ke dua. Ia
menyelesaikan pendidikan Islam di India dengan memperoleh gelar doktor sekitar
tahun 1952. Setelah itu, ia melanjutkan kembali studinya ke McGill University,
Montreal, Kanada mengambil gelar MA.
Semasa
hidupnya, Mukti Ali telah menulis beberapa buku seperti : Beberapa Persoalan
Agama Dewasa ini, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Muslim Bilali dan
Muslim Muhajir di Amerika, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan,
Muhammad Iqbal, Ta'limul Muta'alim versi Imam Zarkasyi, Memahami Beberapa Aspek
Ajaran Islam, Asal Usul Agama, dan Alam Pikiran Islam Modern di India dan
Pakistan.
Abdul Mukti
Ali meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada tanggal 5 Mei 2004, sekitar pukul
17.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jenazahnya
dimakamkan di pemakaman keluarga besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.
Ide Pemikiran H.A. Mukti Ali
1.
Problematika kerukunan umat beragama
dapat dinilai sebagai transformasi religia intelektual dalam menemukan jawaban
atas pergulatan pribadi mengenai interaksi antar umat beragama di Indonesia.
Maka menurutnya betapa pentingnya mempelajari Ilmu Perbandingan Agama, dan
muncullah hal ini dalam kebijakan mentri agama tentang “Dialog Antar Umat
Beragama”.
2.
Peningkatan mutu pendidikan Agama,
diantaranya dengan mendirikan Lembaga Pendidikan Tilawatil Qur’an atau sering
disebut LPTQ baik di tingkat daerah maupun pusat.
3.
Memperbaiki dan menertibkan prosedur
administrasi, organisasi, termasuk personil yang ada dalam Departemen Agama.
4.
Membentuk wadah persatuan Ulama’
Indonesia dengan nama MUI
D.
Riwayat Hidup Syed Muhammad Naquib
Al-Attas
Syed
Muhammad al Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al Attas dilahirkan di kota Bogor pada
tanggal 5 September 1931, Ia adik kandung dari Prof.
DR. Hussein Al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas
Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah AL-Attas,
sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja
Sunda Sukapura, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan
keturunan ulama dan ahli tasawuf yangterkenal dari kalangan sayid[4].
Riwayat
pendidikan Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas (selanjutnya akan disebut
Al-Attas), sejak ia masih kecil berusia 5 tahun. Ketika ia berada di Johor
Baru, tinggal bersama dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik Ahmad,
kemudian dengan Ibu Azizah hingga perang kedua meletus. Pada tahun 1936-1941,
ia belajar di Ngee Neng English Premary Schoool di Johor Baru. Pada
zaman Jepang ia kembali ke Jawa Barat selama 4 tahun. Ia belajar agama dan
bahasa Arab Di Madrasah Al-Urwatul Wutsqa di Sukabumi Jawa Barat Pada
tahun 1942-1945. Tahun 1946 ia kemabali lagi ke Johor Baru dan tinggal bersama
saudara ayahnya Engku Abdul Aziz (menteri besar Johor Kala itu), lalu dengan
Datuk Onn yang kemudian juga menjadi menteri besar Johor (ia merupakan ketua
umum UMNO pertama). Pada tahun 1946, Al-Attas melanjutkan pelajaran di Bukit
Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru tahun 1946-1949.
Kemudian masuk tentara (1952-1955) hingga pangkat Letnan. Namun karena kurang
berminat akhirnya keluar dan melanjutkan kuliah di University Malaya tahun
1957-1959, lalu melanjutkan di Mc Gill University, Montreal, Kanada, dan
mendapat gelar M. A. Tidak lama kemudian melanjutkan lagi pada program pascasarjana
di University of London tahun 1963-1964 hingga mendapat gelar Ph. D. In 1987.
Al-Attas
mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui
institusi ini Al-Attas bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan
kajian dan penelitian mengenai Pemikiran dan Peradaban Islam, serta memberikan
respons yang kritis terhadap Peradaban Barat.
Ide Pemikiran Syed Muhammad Naquid
Al-Attas
Al-Atas menawarkan kepada kita hal-hal untuk memagari
intervensi dan pengaruh pedidikan barat yang tidak relevan dengan pendidikan
agama Islam, antara lain[5]:
1.
Konsep Ta’dib – menurutnya
pendidikan lebih cocok menggunakan Ta’dib dari pada Tarbiyah karena pendidikan
dalam pengertian Islam meliputi gagasan pendidikan dan segala yang terlibat
dalam proses pendidikannya. Pendidikan secara bertahap ditanamkan kedalam
manusia yang mempunyai akal. Maka ta’dib merupakan suatu upaya peresapan dan
penanaman pada diri manusia dalam proses pendidikan sedangkan adab sendiri
merupakan suatu muatan atau kandungan yang mesti ditanamkan dalam pendidikan
Islam. Adab melibatkan disiplin pikiran dan jiwa menunjuk kebenaran dan melawan
yang salah. Sedangkan tarbiyah berarti menghasilkan, mengembangkan dari
kepribadian yang tersembunyi dan mengembangkan kepada segala sesuatu yang
bersifat fisik dan material.
2.
Universalitas. Menurutnya konsep
pendidikan dalam Islam adalah berusaha mewujudkan manusia yang baik atau
manusia universal yang sesuai dengan fungsi diciptakannya manusia yakni sebagai
hamba Alloh dan kholifah dimuka bumi. Dan Bukan menciptakan Negara yang baik.
3.
Universitas, dalam rangka mewujudkan
insane Kamil maka ciri system pendidikan mencerminkan aspek manusia itu
sendiri, dan bukan Negara. Universitas Islam yang dimaksud mampu mencerminkan
pribadi Nabi sebagai Rosul baik dalam hal ilmu maupun tindakan sehingga dapat
menjadi manusia itu sendiri beradab.
4.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Suatu
alternative agar pendidikan yang dilakukan umat islam saat ini mampu memagari
konsep-konsep barat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan ditunjukkan
mampu menjawaab persoalan agama dan sekuler yang setidaknya mempersempit
dikotomi keduanya.
5.
Kurikulum. Kurikulum Ilmu Agama
mutlak diadakan pada seluruh tingkat pendidikan. Karena agama mampu membimbing
dan menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemikiran adalah
aksi (act) yang menyebabkan pikiran mendapat pengertian baru dengan perantaraan
hal yang sudah diketahui.sebenarnya yang beraksi disini bukan hanya pikiran
atau akal budi, yang beraksi sesungguhnya adalah seluruh manusia (the whole
man). Selanjutnya proses pemikiran adalah suatu pergerakan mental dari sutu hal
menuju hal lain, dari proposisi satu ke proposisi lainnya,dari apa yang sudah
diketahui ke hal yang belum diketahui.
Misalnya dari
realitas dunia ini kita dapat membuat pemikiran tentang eksistensi tuhan, dari
perbuatan-perbuatan kita, kita dapat membuat pemikiran tentang kemerdekaan
kehendak.karena pemikiran merupakan suatu gerak kemajuan, maka juga terjadilah
urutan momen-momen, urutan sebelum dan sesudahnya. Jadi, terdapat terminus a
quo, yakni hal yang merupakan pangkalan, hal yang sudah diketahui, dan terdapat
terminus ad quem (sasaran), yakni sesuatu yang muncul dari pangkalan
tadi.
B.
Saran
Penulis mengharapkan agar
apa yang sudah dijelaskan di atas dapat dipahami oleh pembaca. Selanjutnya
kritik dan saran dari pembaca sebagai pembangun sangat diharapkan guna
perbaikan dalam pembuatan makalh selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Djamaluddin. 1998. Kapita Salekta Pendidikan Islam.
Bandung : CV Pustaka Setia
Hasbullah. 1996. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada
Nizar, Samsul, 2002. Filsafat Pendidikan Islam
: Pendidikan historis, teoritis, Jakarta: Ciputat Pers
Noer, Delias,1985. Gerakan Modern Islam di
Indonesia, Jakarta: LP3ES
Dr. H. Samsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam
: Pendidikan historis, teoritis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) hlm. 100
Muslim, Ramdani.2005. 72 Tokoh Muslim Indonesia. Jakarta :
Restu Illahi
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo
Persada
[1] Drs. H.
Djamaluddin dan Drs. Abdullah Aly. Kapita Salekta Pendidikan Islam. (Bandung
: CV Pustaka Setia.1998) hlm.89-92
[3] Abuddin
Nata. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di
Indonesia (Jakarta : PT. Grafindo Persada. 2005). Hal. 72
[5] Ramayulis
dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT.
Ciputat Press Group, 2002), hlm. 265
Post a Comment for "Pemikiran di Indonesia"