Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pemikiran di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Suksesnya pendidikan di Indonesia tentunya tidak pernah lepas dari peran para Ulama’. Sekian banyak ulama’ yang ada di Indonesia baik yang dikenal maupun yang tidak tentunya banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kita ambil. Seiring berjalannya waktu, para ulama’ yang telah berjasa di Indonesia banyak yang terlupakan, bahkan mereka ajaran dan peran sertanya banyak yang diabaikan. Oleh karena itu, kita sebagai mahasiswa tak sepatutnya melupakan jasa-jasa mereka. Bahkan kita harus lebih giat lagi dalam meneruskan visi dan misi mereka. Dalam makalah kali ini kita akan mencoba untuk sedikit memaparkan biografi dan peran serta mereka dalam merentaskan Indonesia dari kebodohan.
Kami sebagai pemakalah menyadari bawa makalah kami jauh daripada kesempurnaan. Tapi, tak sepatutnya kita mengalah pada ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, marilah kita coba untuk merubah ketidaksempurnaan menjadi sempurna. Dan kami sebagai pemakalah juga mohon kritik dan saran yang membangun demi tercapanya kesempurnaan itu. Walaupun kesempurnaan itu hanyalah milik-Nya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan serta pemikirannya ?
2.      Seperti apa  Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asy’ari ?
3.      Bagaimana Riwayat Hidup H.A. Mukti Ali ?
4.      Bagaimana Riwayat Hidup Syed Muhammad Naquib Al-Attas?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1898 dan meninggal pada tanggal 25 Pebruari 1923. Ia berangkat dari keluarga diktatis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Aminah, putri KH. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di kraton Yogyakarta.
Pada usia yang masih muda, ia membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung denan memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Menurut dia letak masjid yang tepat menghadap barat keliru, sebab letak kota Mekkah berada disebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di masjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dan tanda shaf yang ditulis dengan benar[1].
KH. Ahmad Dahlan memperdalam ilmu agamanya kepada para ulma’ timur tengah. Beliau memperdalam ilmu fiqih kepada kiai Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti Syafi’i, ilmu falaq kepada kiai Asy’ari Bacean. Beliau juga sempat mengadakan dialog dengan para ulama nusantara seperti kiai Nawawi Banten dan kiai Khatib dari Minangkabau yang dialog ini pada akhirnya banyak mengalami dan mendorongnya untuk melakukan reformasi di Indonesia adalah dialognya dengan syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang tokoh modernis dari Mesir.
Dengan kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan islam, KH. Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaharuan islam ke pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. KH. Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan diskusi keagamaan sehingga atas desakan para muridnya pada tanggal 18 November 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping aktif di Muhammadiyah beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo da Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan utnuk beramal demi kemajuan umat islam dan bangsa. KH. Ahmad Dalhlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen, Kemantren, Mergangsan, Yogyakarta.

Pemikiran KH. Ahmad Dahlan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan KH. Ahmad Dahlan ini meliputi :
1.      Tujuan Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agma sama sekali. Akibat dialisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.



2.      Materi pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a.       Pendidikan moral, akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.      Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat.
c.       Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat[2].

3.      Model Mengajar
Di dalam menyampaikan pelajaran agama KH. Ahma dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi konekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
a.       Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
b.      Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
c.       Hubungan guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.

B.     Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asy’ari
Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871. Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Silsilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).
Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri. Bakat kepemimpinan Kiyai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K.H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K.H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah.
Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut. Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim. Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.
K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani. Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa[3].
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.
Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura. K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.



Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari
Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung di dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua yang dialami dan dirasakan beliau selama itu menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandangannya dalam masalah-masalah pendidikan. Salah satu karya monumental Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih, namun dalam penulisan ini kami tidak menemukakan kitab aslinya dan akhirnya banyak mengambil dari tulisan Samsul Nizar dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, dan buku-buku yang lain sebagai penunjang.

C.    Riwayat Hidup H.A. Mukti Ali
Nama lengkapnya Prof Dr H Abdul Mukti Ali dilahirkan di kota Cepu, pada tanggal 23 Agustus 1923 dan Meninggal di kota Yogyakarta, pada tanggal 5 Mei 2004 (tepatnya berumur 81 thn) dengan meninggalkan seorang Istri bernama Siti Asmadah dan tiga orang anak. Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali (lahir di Cepu, 23 Agustus 1923) adalah mantan Menteri Agama Kabinet Pembangunan II periode 1973-1978. Sejak berumur delapan tahun, Mukti menjalani pendidikan Belanda di HIS. Ketika berumur 17 tahun, ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Termas, Kediri, Jawa Timur. Mukti Ali kemudian melanjutkan studi ke India setelah perang dunia ke dua. Ia menyelesaikan pendidikan Islam di India dengan memperoleh gelar doktor sekitar tahun 1952. Setelah itu, ia melanjutkan kembali studinya ke McGill University, Montreal, Kanada mengambil gelar MA.
Semasa hidupnya, Mukti Ali telah menulis beberapa buku seperti : Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, Muhammad Iqbal, Ta'limul Muta'alim versi Imam Zarkasyi, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Asal Usul Agama, dan Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan.
Abdul Mukti Ali meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada tanggal 5 Mei 2004, sekitar pukul 17.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.

Ide Pemikiran H.A. Mukti Ali
1.      Problematika kerukunan umat beragama dapat dinilai sebagai transformasi religia intelektual dalam menemukan jawaban atas pergulatan pribadi mengenai interaksi antar umat beragama di Indonesia. Maka menurutnya betapa pentingnya mempelajari Ilmu Perbandingan Agama, dan muncullah hal ini dalam kebijakan mentri agama tentang “Dialog Antar Umat Beragama”.
2.      Peningkatan mutu pendidikan Agama, diantaranya dengan mendirikan Lembaga Pendidikan Tilawatil Qur’an atau sering disebut LPTQ baik di tingkat daerah maupun pusat.
3.      Memperbaiki dan menertibkan prosedur administrasi, organisasi, termasuk personil yang ada dalam Departemen Agama.
4.      Membentuk wadah persatuan Ulama’ Indonesia dengan nama MUI

D.    Riwayat Hidup Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Syed Muhammad al Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al Attas dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 5 September 1931, Ia adik kandung dari Prof. DR. Hussein Al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah AL-Attas, sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yangterkenal dari kalangan sayid[4].
Riwayat pendidikan Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas (selanjutnya akan disebut Al-Attas), sejak ia masih kecil berusia 5 tahun. Ketika ia berada di Johor Baru, tinggal bersama dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik Ahmad, kemudian dengan Ibu Azizah hingga perang kedua meletus. Pada tahun 1936-1941, ia belajar di Ngee Neng English Premary Schoool di Johor Baru. Pada zaman Jepang ia kembali ke Jawa Barat selama 4 tahun. Ia belajar agama dan bahasa Arab Di Madrasah Al-Urwatul Wutsqa di Sukabumi Jawa Barat Pada tahun 1942-1945. Tahun 1946 ia kemabali lagi ke Johor Baru dan tinggal bersama saudara ayahnya Engku Abdul Aziz (menteri besar Johor Kala itu), lalu dengan Datuk Onn yang kemudian juga menjadi menteri besar Johor (ia merupakan ketua umum UMNO pertama). Pada tahun 1946, Al-Attas melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru tahun 1946-1949. Kemudian masuk tentara (1952-1955) hingga pangkat Letnan. Namun karena kurang berminat akhirnya keluar dan melanjutkan kuliah di University Malaya tahun 1957-1959, lalu melanjutkan di Mc Gill University, Montreal, Kanada, dan mendapat gelar M. A. Tidak lama kemudian melanjutkan lagi pada program pascasarjana di University of London tahun 1963-1964 hingga mendapat gelar Ph. D. In 1987.
Al-Attas mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Al-Attas bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai Pemikiran dan Peradaban Islam, serta memberikan respons yang kritis terhadap Peradaban Barat.

Ide Pemikiran Syed Muhammad Naquid Al-Attas
Al-Atas menawarkan kepada kita hal-hal untuk memagari intervensi dan pengaruh pedidikan barat yang tidak relevan dengan pendidikan agama Islam, antara lain[5]:
1.      Konsep Ta’dib – menurutnya pendidikan lebih cocok menggunakan Ta’dib dari pada Tarbiyah karena pendidikan dalam pengertian Islam meliputi gagasan pendidikan dan segala yang terlibat dalam proses pendidikannya. Pendidikan secara bertahap ditanamkan kedalam manusia yang mempunyai akal. Maka ta’dib merupakan suatu upaya peresapan dan penanaman pada diri manusia dalam proses pendidikan sedangkan adab sendiri merupakan suatu muatan atau kandungan yang mesti ditanamkan dalam pendidikan Islam. Adab melibatkan disiplin pikiran dan jiwa menunjuk kebenaran dan melawan yang salah. Sedangkan tarbiyah berarti menghasilkan, mengembangkan dari kepribadian yang tersembunyi dan mengembangkan kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material.
2.      Universalitas. Menurutnya konsep pendidikan dalam Islam adalah berusaha mewujudkan manusia yang baik atau manusia universal yang sesuai dengan fungsi diciptakannya manusia yakni sebagai hamba Alloh dan kholifah dimuka bumi. Dan Bukan menciptakan Negara yang baik.
3.      Universitas, dalam rangka mewujudkan insane Kamil maka ciri system pendidikan mencerminkan aspek manusia itu sendiri, dan bukan Negara. Universitas Islam yang dimaksud mampu mencerminkan pribadi Nabi sebagai Rosul baik dalam hal ilmu maupun tindakan sehingga dapat menjadi manusia itu sendiri beradab.
4.      Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Suatu alternative agar pendidikan yang dilakukan umat islam saat ini mampu memagari konsep-konsep barat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan ditunjukkan mampu menjawaab persoalan agama dan sekuler yang setidaknya mempersempit dikotomi keduanya.
5.      Kurikulum. Kurikulum Ilmu Agama mutlak diadakan pada seluruh tingkat pendidikan. Karena agama mampu membimbing dan menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pemikiran adalah aksi (act) yang menyebabkan pikiran mendapat pengertian baru dengan perantaraan hal yang sudah diketahui.sebenarnya yang beraksi disini bukan hanya pikiran atau akal budi, yang beraksi sesungguhnya adalah seluruh manusia (the whole man). Selanjutnya proses pemikiran adalah suatu pergerakan mental dari sutu hal menuju hal lain, dari proposisi satu ke proposisi lainnya,dari apa yang sudah diketahui ke hal yang belum diketahui.
Misalnya dari realitas dunia ini kita dapat membuat pemikiran tentang eksistensi tuhan, dari perbuatan-perbuatan kita, kita dapat membuat pemikiran tentang kemerdekaan kehendak.karena pemikiran merupakan suatu gerak kemajuan, maka juga terjadilah urutan momen-momen, urutan sebelum dan sesudahnya. Jadi, terdapat terminus a quo, yakni hal yang merupakan pangkalan, hal yang sudah diketahui, dan terdapat terminus ad  quem (sasaran), yakni sesuatu yang muncul dari pangkalan tadi.

B.     Saran
Penulis mengharapkan agar apa yang sudah dijelaskan di atas dapat dipahami oleh pembaca. Selanjutnya kritik dan saran dari pembaca sebagai pembangun sangat diharapkan guna perbaikan dalam pembuatan makalh selanjutnya.
                
 
DAFTAR PUSTAKA

Djamaluddin. 1998. Kapita Salekta Pendidikan Islam. Bandung : CV Pustaka Setia
Hasbullah. 1996. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Nizar, Samsul, 2002. Filsafat Pendidikan Islam : Pendidikan historis, teoritis, Jakarta: Ciputat Pers
Noer, Delias,1985. Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES
Dr. H. Samsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam : Pendidikan historis, teoritis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) hlm. 100
Muslim, Ramdani.2005. 72 Tokoh Muslim Indonesia. Jakarta : Restu Illahi
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo Persada



[1] Drs. H. Djamaluddin dan Drs. Abdullah Aly. Kapita Salekta Pendidikan Islam. (Bandung : CV Pustaka Setia.1998) hlm.89-92

[2] Ramdani Muslim, 72 Tokoh Muslim Indonesi (Jakarta ; Restu Illahi. 2005). Hal. 64

[3] Abuddin Nata. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta : PT. Grafindo Persada. 2005). Hal. 72
[4] A.Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 100
[5] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Ciputat Press Group, 2002), hlm. 265

Post a Comment for "Pemikiran di Indonesia"