Peristilahan dalam ilmu hukum
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Sejak dahulu, manusia hidup bersama. Berkelompok membentuk
masyarakat tertentu, mendiami suatu tempat, dan menghasilkan kebudayaan sesuai
dengan keadaan dan tempat tersebut. Manusia sebagai makhluk individu mempunyai
kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat. Tiap manusia mempunyai sifat, watak, dan
kehendak sendiri. Dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain.
Setiap manusia memiliki kepentingan, dan kadang kepentingan tersebut berlainan
bahkan ada juga yang bertentangan, sehingga dapat menimbulkan perselisihan.
Apabila perselisihan itu dibiarkan, maka mungkin akan timbul
perpecahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, dari pemikiran manusia dalam
masyarakat dan makhluk sosial, kelompok manusia menghasilkan suatu kebudayaan
yang bernama aturan hukum tertentu yang mengatur segala tingkah lakunya agar
tidak menyimpang dari hati sanubari manusia. Dalam makalah ini akan membahas
mengenai “Istilah-Istilah dalam Ilmu Hukum” yang akan memberikan gambaran pada
kita tentang hukum itu sendiri.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Dilihat dari latar belakang di atas maka dapat diambil
rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian Subjek hukum?
2.
Apa
pengertian Objek hukum?
3.
Apa
pengertian Lembaga hukum?
4.
Apa
pengertian Asas hukum?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
SUBJEK HUKUM
Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan Bahasa
Belanda rechtsubject atau law of
subject (Inggris).
Secara umum rechtsubject diartikan
sebagai pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum.
Menurut Soedjono Dirjisosworo Subjek hukum atau subject van een recht;
yaitu “ orang” yang mempunyai hak, manusia pribadi atau badan hukum yang
berhak, berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah perkumpulan
atau organsasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek hukum,
misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya.
Sedangkan perbuatan yang dapat menimbulakan akibat hukum yakni tindakan
seseorang berdasarkan suatu ketentuan hukum yang dapat menimbulkan hubungan
hukum, yaitu, akibat yang timbul dari hubungan hukum seperti perkawinan antara
laki-laki dan wanita, yang oleh karenanya memberikan dan membebankan hak-hak
dan kewajiban- kewajiban pada masing-masing pihak[1].
Subjek hukum memiliki kedudukan dan peranan yang sangat
penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan karena subjek hukum
tersebut yang dapat mempunyai wewenang hukum. Menurut ketentuan hukum, dikenal
dua macam subjek hukum yaitu Manusia dan Badan Hukum.
1. Manusia sebagai Subjek Hukum
“Manusia” adalah pengertian
“biologis” ialah gejala dalam alam, gejala biologika, yaitu makhluk hidup yang
mempunyai pancaindera dan mempunyai budaya. Sedangkan “orang” adalah pengertian
yuridis ialah gejala dalam hidup masyarakat. Dalam hokum menjadi pusat
perhatian adalah orang atau persoon.
Setiap orang adalah subjek hukum (rechtspersoonlijkheid) yakni pendukung hak dan
kewajiban. Namun tidak setiap orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum
diwakili oleh orang tuanya, walinya atau pengampunya (curator). Sedangkan penyelesaian hutang-piutang orang
yang dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (wesskamer).
2. Badan Hukum
Dalam pergaulan hukum di
tengah-tengah masyarakat, ternyata manusia bukan satu-satunya subjek hukum
(pendukung hak dan kewajiban), tetapi masih ada subjek hukum lain yang sering
disebut “Badan hukum” (rechtspersoon).
Adanya badan hukum (rechtspersoon) di samping manusia (natuurlijkpersoon) adalah suatu realitas yang timbul
sebagai suatu kebutuhan hukum dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat.
Sebab, manusia selain mempunyai kepentingan bersama dan tujuan bersama yang
harus diperjuangkan bersama pula. Karena itu mereka berkumpul mempersatukan
diri dengan membentuk suatu organisasi dan memilih pengurusnya untuk mewakili
mereka. Mereka juga memasukkan harta-kekayaan mereka masing-masing menjadi
milik bersama, dan menetapkan peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku
dikalangan mereka anggota organisasi itu. Dalam pergaulan hukum, semua orang-orang
yang mempunyai kepentingan perlu sebagai “kesatuan yang baru” yang mempunyai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban anggota-anggotanya serta dapat bertindak hukum
sendiri.
B.
LEMBAGA HUKUM
Lembaga hukum (rechtsinstituut) adalah himpunan peraturan-peraturan
hokum yang mengandung beberapa persamaan (anasir-anasir sama) atau bertujuan
mencapai suatu objek yang sama. Oleh karna itu ada himpunan peraturan-peraturan
hokum yang mengatur mengenai perkawinan “hukum perkawinan” himpunan peraturan-peraturan
yang mengatur tentang perceraian dinamakan “lembaga hukum percaraian”, demikian
seterusnya[2].
Lembaga-lembaga hukum tersebut mempunyai hubungan satu sama
lain. Lembaga-lembaga hukum yang mempunyai persamaan, bersama-sama merupakan
suatu “lapangan hukum” (rechtsveld). Dengan
demikian semua lembaga hukum Eropa bersama-sama merupakan satu lapangan hukum
yang disebut “hukum Eropa ”. Semua lembaga hukum adat Indonesia bersama-sama
merupakan satu lapangan hukum yang dinamakan “hukum adat Indonesia”. Antara
lapangan hukum Eropa dan lapangan hukum adat Indonesia memang mempunyai
perbedaan yang prinsipil, tetapi juga ada persamaannya.
C.
OBJEK HUKUM
Objek hukum ialah segala sesuatu yang berguna bagi subjek
hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok (objek) suatu
hubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek hukum.
Dalam hal ini tentunya sesuatu itu mempunyai harga dan nilai,
sehingga memerlukan penentuan siapa yang berhak atasnya, seperti benda-benda
bergerak ataupun tidak bergerak yang memiliki nilai dan harga, sehingga
penguasanya diatur oleh kaidah hukum.
Dalam sistem hukum perdata Barat (BW) yang ebrlaku di
Indonesia. Pengertian zaak (benda) sebagai objek hukum tidak hanya meliputi
“benda yang berwujud” yang dapat ditangkap dengan pancaindera, akan tetapi juga
“benda yang tidak berwujud”, yakni hak-hak atas barang yang berwujud. Dalam
sistem huku adat tidak dikenal pengertian “benda yang tidak berwujud”
(onlichamelijk zaak), meskipun apa yang disebut BW dengan onlichamelijk zaak,
bukannya tidak ada sama sekali dalam hukum adat. Perbedaannya ialah bahwa dalam
pandangan hukum adat hak atas suatu benda tidak dibayangkan terlepas dari benda
yang berwujud, sedangkan dalam pandangan hukum perdata Barat, hak suatu benda
seolah-olah terlepas dari bendanya, seolah-olah merupakan benda tersendiri.
Perbedaan pandangan ini kata Wirjono Prodjodikoro,
disebabkan karena perbedaan cara berpikir orang-orang Indonesia asli cenderung
pada kenyataan belaka (conkreet denken), sedangkan cara bepikir orang-orang
Barat cenderung pada hal yang hanya berada dalam pikiran belaka.
D.
ASAS HUKUM
Seperti halnya norma hukum, maka asas hukum juga merupakan
petunjuk hidup. Tetapi antara norma hukum dan asas hukum terdapat perbedaan
yang prinsipiil. Norma hukum adalah petunjuk hukum yang diberi sanksi atas
pelanggarnya, sedangkan asas hukum adalah petunjuk hidup yang tidak diberi
sanksi atas pelanggarnya. Peraturan hukum perumusan (formulering) atau
kristalisasi daripada sas hukum, yaitu perumusan yang diberi sanksi[3].
Dengan demikian asas hukum ditemukan dan disimpulkan,
langsung ataupun tidak langsung, dalam peraturan-peraturan hukum yang pada
hakikatnya mengandung unsur-unsur asas-asas hukum yang bersangkutan. Oleh
karena asas hukum terkandung dalam peraturan-peraturan hukum, sedangkan
peraturan-peraturan hukum dalam masyarakat sifatnya tidak tetap, karena
senantiasa mengikuti perubahan dan perkembangan perasaan yang hidup dalam
masyarakat, maka dengan sendirinya asas hukum yang terkandung di dalamnya pun sifatnya
tidak abadi. Asas hukum berubah sesuai dengan tempat dan waktu.
Satjipto Rahardjo menyatakan, asas hukum merupakan
jantungnya peraturan hukum, karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi
lahirnya suatu peraturan hukum. Asas hukum juga merupakan alasan bagi lahirnya
peraturan hukum. Asas hukum ini tidak akan habis kekuasaannya karena telah
melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan
melahirkan peraturan hukum selanjutnya. Karena itu Paton menyebutnya sebagai
sarana yang membuat hukum hidup, tumbuh dan berkembang, serta menunjukkan,
serta menunjukkan bahwa hukum tidak hanya sekedar kumpulan peraturan-peraturan
belaka. Asas hukum itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etik.
Karenanya asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum
(positif) dengan cita-cita sosial dan pandangan etik masyarakat. Melalui asas
hukum ini peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian-bagian dari
suatu tatanan etik. Karena adanya ikatan internal antara asas-asas hukum, maka
hukum merupakan suatu sistem, yaitu sistem hukum[4].
Untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan
diperlukan asas hukum, karena asas hukum ini memberikan pengarahan terhadap
perilaku manusia di dalam masyarakat sebagaimana dikatakan van Apeldoorn bahwa
asas hukum adalah asas yang melandasi pranata-pranata hukum tertentu, atau
melandasi suatu bidang hukum tertentu.
Asas hukum merupakan pokok pikiran yang bersifat umum yang
menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang konkret (hukum positif).
Satjipto Rahardjo mengatakan, asas hukum adalah jiwanya peraturan di dalam
hukum (equality before the law), setiap orang harus
diperlakukan sama, hal ini disebabkan:
1.
Asas
hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum;
2.
Asas
hukum sebagai landasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Sedangkan dalam
asas kewibawaan diperkirakan adanya ketidaksamaan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan Bahasa
Belanda rechtsubject atau law of
subject (Inggris). Secara umum rechtsubject diartikan
sebagai pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum.
Lembaga hukum (rechtsinstituut) adalah himpunan
peraturan-peraturan hokum yang mengandung beberapa persamaan (anasir-anasir
sama) atau bertujuan mencapai suatu objek yang sama. Oleh karna itu ada
himpunan peraturan-peraturan hokum yang mengatur mengenai perkawinan “hukum
perkawinan” himpunan peraturan-peraturan yang mengatur tentang perceraian dinamakan
“lembaga hukum percaraian”, demikian seterusnya.
Objek hukum ialah segala sesuatu yang berguna bagi subjek
hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok (objek) suatu
hubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek hukum.
Dalam hal ini tentunya sesuatu itu mempunyai harga dan nilai,
sehingga memerlukan penentuan siapa yang berhak atasnya, seperti benda-benda
bergerak ataupun tidak bergerak yang memiliki nilai dan harga, sehingga
penguasanya diatur oleh kaidah hukum.
B. SARAN
Penulis menydari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk
masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Mertokusumo Sudikno, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberti Yogyakarta,
Yogyakarta, 1988.
Tutik,Triwulan Titik , Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustakarya,
Jakarta, 2006.
Soedjono, Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja Grapindo Persada,
Jakarta, cet. kelima, 1999.
Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum¸ PT Citra Aditya Bakti, Bandung, cet.
ke-II, 1999.
[2]
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum¸Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, cet ke-II, 1999, hal. 140-141.
[4]
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Yogyakarta: Liberti
Yogyakarta, 1988, hal. 102-103.
Post a Comment for "Peristilahan dalam ilmu hukum "