Qadariah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dimasa ini kita banyak menemukan berbagai macam paham-paham yang dianut
oleh masyarakat kita. Semua itu terjadi bukan karena beragamnya Islam sendiri
tapi beragamnya pengertian Islam dari berbagai penganutnya. Setiap pemikiran
akan berdampak pada pemeluknya sehingga menyebabkan fanatisme yang berlebih
untuk membela apa yang mereka yakini. Tak ayal sering terjadi perselisihan
antara pengikut paham tertentu dengan pengikut paham lainnya.
Pengetahuan tentang paham-paham yang beredar di Indonesia umumnya ataupun sekeliling kita. Khususnya, haruslah kita mampu mengetahuinya
bukan untuk mengendorkan iman kita tapi untuk menambah iman kita.
Perlahan tapi pasti hanya keimanan dan kataqwaan yang mampu menyelamatkan kita dan mampu membawa kita bertemu dengan Dzat yang selalu kita harapkan untuk bertemu dengannya.
Perlahan tapi pasti hanya keimanan dan kataqwaan yang mampu menyelamatkan kita dan mampu membawa kita bertemu dengan Dzat yang selalu kita harapkan untuk bertemu dengannya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan
qadariyah?
2.
Bagaimana sejarah munculnya
qadariyah?
3.
Siapakah tokoh-tokoh qadariyah?
4.
Bagaimanakah pemikiran tentang
teologi qadariyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Qadariyah
Qadariyah
berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan
kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran
yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.
Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya: Ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu
aliran yang memberi penekanan atas
kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam
Hal ini Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian
bahwa manusia mempunyai qudrah atu kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,
dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar
Tuhan[1].
Seharusnya,
sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar
menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat.
Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia
mempunyai kebebasan berkehendak. Menurut Ahmad Amin, Sebutan ini diberikan
kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadits yang
menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.
B.
Sejarah
Munculnya Kaum Qadariah
Paham qadariah itu sendiri
muncul akibat pengaruh dari orang luar (orang nasrani yang masuk islam kemudian
berbalik ke nasrani lagi). Muhammad ibn syu’aid yang memperoleh informasi dari
Al-Auza’i mengatakan bahwa mula orang yang membawa atau memperkenalkan paham
qadariah dalam kalangan islam itu sendiri adalan “SUSAN” seperti yang
dijelaskan diatas, dia adalah orang nasrani yang masuk islam dengan tujuan
mempengaruhi dan kemudian kembali lagi keagamanya lagi (Murtad). Dan dari orang
inilah petama kalinya Ma'bad ibn Khalif al-Juhani
al-Basri dan Ghailan al-Dimasyqi memperoleh
paham tersebut. Dan lahirnya qadariah itu sendiri dipengaruhi oleh paham bebas
yang berkembang dikalangan pemeluk agama masehi (Nestoria).
Ma’bad
Al-jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi, menurut watt adalah penganut Qadariyah yang
hidup setelah Hasan Al-Basri. Kalau dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi
dalam Mizan Al-I’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin yang menyatakan bahwa Ma’bad
Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan Al-Bashri, maka sangat mungkin faham
Qadariyah ini mula-mula dikembangkan oleh Hasan Al-Bashri, dengan demikian
keterangan yang ditulis oleh ibn Nabatah dalam Syahrul Al- Uyun bahwa faham
Qadariyah berasal dari orang irak kristen yang masuk islam kemudian kembali
lagi kekristen, adalah hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham
ini agar orang-orang yang lain tidak tertarik dengan pikiran Qadariyah.
Lagipula menurut Kremer, seperti dikutip Ignaz Goldziher.
Golongan Qadariyah ini mengingkari Allah mengetahui perbuatan-perbuatan
sebelum terjadinya dan meyakini Ia belum menentukannya. Mereka mengatakan,
Tidak ada takdir, bahwa semua kejadian itu baru. Yaitu kejadian itu baru, tidak
didahuluhi oleh takdir dan tidak diketahui Allah sebelumnya. Allah hanya
mengetahui setelah adanya kejadian itu. Mereka berkeyakinan Allah tidak
menciptakan perbuatan-perbuatan hamba-Nya dan takdir-Nya tidak berkaitan
dengannya.
Dalam hal ini Max Hortan berpendapat, bahwa teologi Masehi di dunia Timur
pertama-tama menetapkan kebebasan manusia dan pertanggungan jawabnya yang penuh
dalam segala tindakannya. Karena dalil-dalil mengenai pendapat ini memuaskan
golongan bebas Islam (Qadariyah), maka mereka merasa perlu mengambilnya. Menurut
al-Zahabi dalam kitab Mizan al-l'tidal yang dikutip oleh Ahmad Amin,
bahwa Ma'bad al-Juhani adalah seorang tabi'in yang dapat dipercaya (baik),
tetapi dia telah memberi contoh dengan hal yang tidak terpuji, yaitu mengatakan
tentang tidak adanya qadar bagi Tuhan. Dialah penyebar paham Qadariyah di Irak.
Adapun Ghailan al-Dimasyqi (Abu Marwan Gailan ibn Muslim) adalah penyebar paham
Qadariyah di Damaskus. Dia seorang orator, maka tidak heranlah jika banyak
orang yang tertarik untuk mengikuti pahamnya.
Ada dua motif timbulnya paham Qadariyah ini, menurut hemat penulis
disebabkan oleh 2 faktor. Pertama, faktor extern yaitu agama Nasrani, dimana
jauh sebelumnya mereka telah memperbincangkan tentang qadar Tuhan dalam
kalangan mereka. Kedua, faktor intern, yaitu merupakan reaksi terhadap paham
Jabariyah dan merupakan upaya protes terhadap tindakan-tindakan penguasa Bani
Umayah yang bertindak atas nama Tuhan dan berdalih kepada takdir Tuhan.
Apakah dengan kematian tokoh-tokohnya dan besarnya gelombang tantangan
terhadapnya, kemudian paham Qadariyah ini mati atau terhenti? Memang benar
secara organisasi/aliran mereka tidak berwujud lagi, tetapi existensi ajarannya
masih tetap berkembang, yaitu dianut oleh kaum Mu'tazilah. Bidah Qadariyah mempunyai
dua konsepsi pokok yaitu,
Pertama
: Mengingkari ilmu Allah
Kedua : Hamba-hambalah yang menciptakan perbuatan-perbuatan mereka dengan
sendirinya (tanpa ada kaitannya dengan takdir Allah)
Perbedaan mereka dengan
salaf adalah terletak pada konsepesi mereka yang menyatakan bahwa
pebuatan-perbuatan hamba-hamba telah ditakdirkan untuk mereka dan dari hasil
usaha mereka sendiri tidak ada kaitannya dengan kekuasaan Allah. Kebatilan
madzhab yang terahir ini lebih ringan daripada madzhab pertama. Ibnu Taimiyah
menjelaskan maksud perkatakaan-perkataan salaf yang mengafirkan Qadariy, “Para
ulama salaf mengkafirkan golongan Qadariyah yang menolak al-Kitab dan ilmu
Allah dan mereka tidak menvonis kafir seorang (Qadariy) yang menetapkan ilmu
Allah dan seorang Qadariy yang mengingkari perbuatan-perbuatan hamba itu
ciptaan Allah.
Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan
para imam yang lainnya menvonis kafir seorang Qadariy yang mengingkari ilmu
Allah yang terdahulu. Golongan Qadariyah telah hilang, akan tetapi Mu’tazilah
membangun konsepsinya di atas konsepsi Qadariyah dan menyebarluaskannya. Dengan
demikian kita dapat memprediksikan bahwa Mu’tazilah mewarisi ilmu dari
Qadariyah. Oleh karena itu Mutazilah disebut juga Qadariyah[2].
Berikut
beberapa dalil yang mereka pakai :
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada
peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada
musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya
(kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri".
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran [3]:
165)
“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. An-Nisa [4]:111)
“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. An-Nisa [4]:111)
“Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’du [13]:11)
“Dan Katakanlah: "Kebenaran
itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan
diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka.
Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS.
Al-Kahfi [18]:
Menurut
Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali
dimunculkan. Oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah
seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri.
Adapun Ghalian adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi
maula Usman bin Affan.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyum, seperti
dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan
faham Qadariyah adalah orang Irak yang semuala beragama kristen kemudian
beragama islam dan balik lagi keagama kristen. Dari orang inila Ma’bad dan
Ghailan mengambil faham ini. Orang irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan
Muhammad Ibnu Syu’i
Sementara itu, W. Montgomery watt menemukan dokumen
lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa jerman yang dipublikasikan melaului
majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham
Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul malik
olah Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan. Hal ini memang menjadi
perdebatan, namun yang jelas, berdasarkan catatannya terdapat dalam kitab
Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas memilih antara
berbuat baik atau buruk.
C.
Tokoh-Tokoh
Qadariyah
Berikut ini
adalah tokoh-tokoh Qadariyah, yaitu:
1.
Ma’bad al Juhani
Menurut
riwayat Ibnu Natabah Ma’bad mengambil paham Qadariyah dari seorang Kristen yang
masuk Islam kemudian berbalik lagi (Murtad). Sementara itu Adz Dzahabi dalam
“Mizan al-I’tidal” menulis bahwa ia seorang tabi’in yang dapat dipercaya,
kendatipun dipandang memberikan contoh yang kurang pas dalam masalah Qadariyah
ini[3].
Ma’bad
termasuk murid Abu Dzar al-Ghifari. Ia pernah juga berguru kepada Hasan al
Bashri. Ia dinyatakan orang pertama yang membahas tentang qadar. Dari sinilah
mulai bangkit golongan Muslimin yang berijtihad secara rasional terhadap Nash
Alquran dan Sunnah Nabi. Ia yang telah membangkitkan semangat rasional itu
ternyata akhir hayatnya dibunuh oleh al-Hajjaj setelah memberontak bersama Ibnu
al-Asy’at. Dari sini dapat dikatakan bahwa ia dihukum bunuh karena terlibat
persoalan politik dan bukan karena dituduh sebagai seorang Zindiq.
2.
Ghaylan ad-Dimasqi
Ayah Ghaylan
adalah seorang budak yang telah dimerdekakan oleh sahabat Utsman bin Affan.
Ghaylan tinggal di Damaskus, ia mahir berpidato sehingga banyak orang yang
tertarik kepadanya dan mengikuti paham Qadariyah ini. Karena paham ini dianggap
menyesatkan, maka Hisyam bin Abdul Malik menahan dan memerintahkan untuk
memotong kaki dan tangannya, kemudian dibunuh dan di salib.
D.
Pemikiran
Tentang Teologi Qadariyah
Aliran
Qadariyah ini mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak dalam perbuatannya.
Manusia sebagai pelaku dalam perbuatan baik dan buruk, iman, kufur, dan taat
atau maksiat. Mereka juga berpendapat kebaikan atau perbuatan yang baik datang
dari Allah, sedangkan perbuatan jahat datang dari manusia itu sendiri.
Pendapat
Ghaylan yang berkenaan dengan iman tidak jauh berbeda dengan aliran Murji’ah,
yang menyatakan iman itu tidak bisa bertambah dan tidak bisa berkurang. Oleh
karena itu, manusia sebaiknya tidak boleh mengaku paling utama dalam beriman.
Dalam masalah sifat Allah sama dengan aliran Mu’tazilah yang menafikan
sifat-sifat Allah, seperti ilmu, qadrah dan lain-lain. Ia berpendapat
sifat-sifat itu adalah zat itu sendiri. Pada masalah Alquran, aliran ini
berpendapat bahwa Alquran itu makhluq, maka tidak bersifat qadim. Sementara itu
dalam masalah imamah, tidaklah hanya orang Quraisy yang berhak menjadi pemimpin
selama berpegang pada Alquran dan Sunnah serta mendapat dukungan umat.
Menurut Dr.
Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298, pokok-pokok ajaran
Qadariyah itu adalah[4]:
1.
Orang yang berdosa besar itu bukan
kafir dan bukan mukmin, tapi fasik dan orang fasik itu masuk neraka secara
kekal. Pendapat mereka itu seperti timbul sesudah terjadi pembunuhan Khalifah
Utsman, perang unta antara Khalifah Ali dan Siti ‘Aisyah janda Nabi saw. dan
perang Shiffa antara Khalifah Ali dan Mu’wiyah yang menyebabkan banyak orang
bertanya : Siapa yang benar dan siapa yang salah, dalam semua peristiwa itu. Sesudah
itu mereka bertanya apakah yang bersalah dalam pembunuhan Utsman dan kedua
peristiwa peperangan itu menjadi kafir atau masih tetap mukmin?
Pertanyaan itu oleh Kaum Khawarij
dijawab bahwa orang yang melakukan dosa besar itu menjadi kafir. Sebaliknya kaum
Murjiah mengatakan, bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tetap mukmin.
Sedangkan Washil bin ‘Atha, seorang tokoh Qadariyah menyatakan bahwa yang
melakukan dosa besar itu fasik dan kedudukannya antara kafir dan mukmin, tapi
kata ‘Atha, orang yang melakukan dosa besar itu kekal dalam neraka.
2.
Allah swt tidak menciptakan amal
perbuatan manusia. Manusia sendirilah kata mereka yang menciptakan segala amal
perbuatannya dan karena itulah manusia akan menerima balasan baik (surga) atas
segala amalnya yang baik, dan menerima balasan buruk (siksa neraka) atas segala
amal perbuatannya yang salah dan dosa. Karena itu pula Allah swt berhak disebut
adil.
Boleh jadi
pendapat mereka itu dipengaruhi oleh pendapat Jaham bin Shafwan yang ekstrim
yang menyatakan sebaliknya yaitu bahwa tidak ada bedanya dengan batu yang
menerima apa saja yang berlaku atas dirinya. Menurut keterangan Washil bin
‘Atha telah mengutus beberapa anak muridnya datang ke Khurusan untuk bertukar
pikiran atu berdebat dengan Jaham bin Shafwan.
3.
Kaum Qadariyah mengatakan bahwa
Allah itu Esa atau satu dalam arti bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat
azaly, seperti ilmu, kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan
zat-Nya sendiri. Menurut mereka Allah swt itu mengetahui, berkuasa, hidup,
mendengar dan melihat dengan zat-Nya sendiri. Tidak ada sifat-sifat yang
menambah atas zat Allah. Pendapat yang mengatakan bahwa Allah memiliki
sifat-sifat yang qadim itu, menurut Qadariyah sama dengan mengatakan bahwa
Allah itu lebih dari satu, padahal Allah itu satu dan tidak bersekutu dalam
segala hal dan dalam segala keadaan. Mungkin sekali yang menyebabkan mereka
berpendapat demikian itu adalah karena pada zaman mereka banyak orang yang
menganggap bahwa zat Allah swt itu jasmani dan tidak memiliki sifat-sifat yang
sama dengan sifat-siafat makhluk, antara lain ialah Mutazil bin Sulaiaman yang
hidup sezaman dengan tokoh Qadariyah.
4.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa
akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, walaupun
Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu memiliki sifat yang
menyebabakannya baik atau buruk. Misalnya, benar itu memiliki sifat-sifat
sendiri yang menyebabkannya baik, dan sebaliknya ialah bohong itu juga memiliki
sifat sendiri yang menyebabkannya buruk. Oleh karena itulah maka semua orang
yang berakal sama-sama menganggap baik atas perbuatan menyantuni fakir miskin
dan menyelamatkan orang yang tenggelam dan semua menganggap buruk terhadap
perbuatan kufur (tidak berterima kasih) atas kebaikan yang diterima dan
memberikan makanan kepada semua orang kaya yang tidak membutuhkan bantuan,
walaupun hal itu semua tidak diajarkan oleh agama. Bahkan orang yang mulhid
(tidak berTuhan) pun begitu anggapannya. Agama tidak menyebabkan sesuatu
menjadi buruk karena larangannya. Agama pun tidak bisa membuat sesuatu menjadi
terbalik, seperti yang baik menjadi buruk karena dilarangnya atau yang buruk
menjadi baik karena diperintahnya. Bahkan perintah atau larangan agama itu
justru mengikuti keadaan segala sesuatu. Artinya, kalau sesuatu itu buruk tentu
agama melarangnya, dan kalau sesuatu itu baik tentu saja agama akan
memerintahkannya. Aliran Qadariyah muncul mula-mula di Basrah, lalu tersebar
luas di seluruh Irak atas prakasa Washli bin ‘Atha dan ‘Amr bin Ubaid pada tahun
105 H atau tahun 723 M.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Qadariyah
berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan
kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran
yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.
Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya: Ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu
aliran yang memberi penekanan atas
kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam
Hal ini Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian
bahwa manusia mempunyai qudrah atu kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,
dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar
Tuhan.
Seharusnya,
sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar
menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat.
Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia
mempunyai kebebasan berkehendak. Menurut Ahmad Amin, Sebutan ini diberikan
kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk hadits yang
menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.
B.
Saran
Dari
kesimpulan tersebut dapat kita ambil pelajaran mengenai faham qadariyah, kita
sebagai umat islam yang mempunyai pedoman masing-masing haruslah berpegang
teguh pada ajaran masing-masing yang di anut, agar keselarasan dalam umat
muslim beragama dapat terjalin dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmuni, Yusran. 1993. Ilmu
Tauhid. Jakarta: citra niaga Rajawali Pers.
Nasution, Harun. 2010. Teologi
Islam: aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan. Jakarta: UI
Press
Musthofa, Kholili, Karwadi.
2005. Tauhid. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
A. Hanafi. 2001. Pengantar
Theology Islam. Jakarta: PT. Al Husna Zikra.
Nata, Abudin. 2001. Ilmu
Kalam, Filsafat dan Tasawwuf. Jakarta: Rajawali Pers
Abdul Razak, DR. M.Ag, Rosihon Anwar, DR. M.Ag. 2007.Ilmu
Kalam. Bandung. Pustaka Setia
[3] Yahya, Dirasah fi Ilmi al-Kalam wa al-Falsafah
al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Nahdlah al-Arabiyah; 1972), hlm. 99.
[4] Ali Mustafa
al Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah
(Mesir Mathba’ah Ali, Shabih wa Auladih, t.t.), hlm. 340.
Post a Comment for "Qadariah"