Sejarah Perkembangan Kerajaan Aceh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak masa
lampau, wilayah Indonesia terkenal akan bidang pelayaran dan perdagangan yang
bersifat internasional. Perdagangan tersebut dilakukan dengan menyusuri
pantai-pantai dan melewati beberapa kota pelabuhan. Dalam makalah ini, saya
sebagai penulis akan menguak bagaimana sejarah mengenai kerajaan Aceh yang
berkembang di Pulau Jawa.
Kerajaan
Aceh mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Perkembangan
pesat yang dicapai kerajaan Aceh ini tidak lepas dari letak kerajaannya yang
sangat strategis, yaitu di Pulau Sumatera bagian Utara dan dekat dengan
pelayaran internasional. Ramainya aktivitas pelayaran ini sangat mempengaruhi
perkembangan kehidupan kerajaan Aceh di segala bidang, seperti halnya dalam
aspek kehidupan politik, aspek ekonomi, social maupun kebudayaannya.
Mengenai
kapan berdirinya kerajaan Aceh, memang belum diketahu secara pasti. Namun,
berdasarkan Bustanus salatin (1637M) karangan nuruddin Ar Raniri yang berisi
silsilah sultan-sultan Aceh, serta kabar datang dari orang Eropa, bahwa
Kerajaan Aceh telah berhasil membebaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir.
B.
Tujuan
1.
Mengetahui bagaimana Kerajaan Aceh
dirintis serta perkembangannya hingga mencapai masa kejayaan
2.
Mengetahui kehidupan social, politik
dan ekonomi dari Kerajaan Aceh
3.
Mengetahui factor-faktor apa saja
yang mengakibatkan kerajaan Aceh mengalami kemunduran.
C.
Rumusan
masalah
1.
Bagaimana sejarah dan perkembangan
Kerajaan Aceh ?
2.
Bagaimana kehidupan Sosial, Politik
dan Ekonomi dari kerajaan Aceh?
3.
Hal Apa saja yang mengakibatkan
Kerajaan Aceh mengalami kemunduran?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan
perkembangan kerajaan Aceh
Kerajaan
Aceh dirintis oleh Mudzaffar Syah. Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis
di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang yang
besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir.
Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta
negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires
menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan
Aceh).
Aceh berdiri
sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui
Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung
Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra
Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk
agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain
pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual hasil
dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina.
Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan
sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya
wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat
itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan
Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520.
Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga
berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan
peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan
diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan
Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan
Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut
juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao
di Bandar Aceh (Poesponegoro: 2010, 28)
Setelah
memiliki kapal ini, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim bersiap-siap
untuk menyerang Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun rencana itu
gagal. Ketika perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada Kerajaan Aceh
tersebut justru berhenti sejenak di sebuah kota. Disana mereka dijamu dan
dihibur oleh rakyat sekitar, sehingga secara tak sengaja sang awak kapal
membeberkan rencananya untuk menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal
tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun
melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur daerah Portugis (William Marsden,
2008: 387)
Selain itu
sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim untuk
terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di Indonesia. Mereka
terus berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar Aceh,
dimana kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis, termasuk daerah
Pasai. Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil merebut benteng
yang terletak di Pasai. Hingga akhirnya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun
1528 karena diracun oleh salah seorang istrinya. Sang istri membalas perlakuan
Sultan Ibrahim terhadap saudara laki-lakinya, Raja Daya. Dan ia pun digantikan
oleh Sultan Alauddin Syah (William Marsden, 2008: 387-388)
Sultan
Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung dari Sultan
Ibrahim. Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia
mencoba menyerang Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan
berhasil menaklukan Aru pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September
1571. Sultan Ali Ri’ayat Syah atau Ali Ri’ayat Syah, yang merupakan anak bungsu
dari Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba merebut
Malaka sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan
1575. Hingga akhirnya ia tewas 1579 (Denys Lombard: 2006, 65-66)
Sejarah juga
mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga berusaha
mengambangkan kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan, mengadakan
hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti
Turki, Abysinia, dan Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563, ia mengirimkan utusannya
ke Konstantinopel untuk meminta bantuannya kepada Turki dalam melakukan
penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah Aceh dan sekitarnya.
Mereka berhasil menguasai Batak, Aru dan Baros, dan menempatkan sanak
saudaranya untuk memimpin daerah-daerah tersebut. Penyerangan yang dilakukan
oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari bantuan tentara Turki.
Mansyur Syah
atau Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di Semenanjung adalah
orang berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan Ali Ri’ayat Syah.
Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat
baik, jujur dan mencintai para ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari
nusantara maupun luar negeri yang datang ke Kerajaan Aceh. Hingga akhirnya ia
wafat pada tahun 1585 dan digantikan oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn
Sultan Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588. Sejak tahun1588,
Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firman Syah atau
Sultan Muda hingga tahun 1607 (Poesponegoro: 2010, 30-31)
Kerajaan
Aceh mulai mengalami masa keemasan atau puncak kekuasaan di bawah pimpinan
Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada masa
Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai
bidang, yakni dalam bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan
internasional, memperkuat armada perangnya, serta mampu mengembangakan dan
memperkuat kehidupan Islam. Bahkan kedudukan Bangsa Portugis di Malaka pun
semakin terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat dari Kerajaan Aceh di
bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (Poesponegoro: 2010, 31)
Sultan
Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan
perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi kemakmuran
masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619,
serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah penghasil
timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan
Melayu hingga Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615. Ia pun diberi gelar
Iskandar Agung dari Timur.
Kemajuan
dibidang politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah satunya yaitu
Aceh yang bergaul dengan Turki, Inggris, Belanda dan Perancis. Ia pernah mengirimkan
utusannya ke Turki dengan memberikan sebuah hadiah lada sicupak atau lada
sekarung, lalu dibalas dengan kesultanan Turki dengan memberikan sebuah meriam
perang dan bala tentara, untuk membantu Kerajaan Aceh dalam peperangan. Bahkan
pemimpin Turki mengirimkan sebuah bintang jasa pada sultan Aceh (Harry
Kawilarang, 2008: 21-22)
Dalam
lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa
ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang
masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U
Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman,
Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf
Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
Dalam
hubungan ekonomi-perdagangan dengan Mesir, Turki, Arab, juga dengan Perancis,
Inggris, Afrika, India, Cina, dan Jepang. Komoditas-komoditas yang diimpor
antara lain: beras, guci, gula (sakar), sakar lumat, anggur, kurma, timah putih
dan hitam, besi, tekstil dari katun, kain batik mori, pinggan dan mangkuk,
kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain yang disebut-sebut dalam Kitab
Adat Aceh. Komoditas yang diekspor dari Aceh sendiri antara lain kayu
cendana, saapan, gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan
(Poesponegoro: 2010, 31)
Di bawah
kekuasannya kendali kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan lancar. Terutama
daerah-daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian Kerajaan Aceh,
dimulai dari pantai barat Sumatra hingga ke Timur, hingga Asahan yang terletak
di sebelah selatan. Hal inilah yang menjadikan kerajaan ini menjadi kaya raya,
rakyat makmur sejahtera, dan sebagai pusat pengetahuan yang menonjol di Asia
Tenggara (Harry Kawilarang, 2008: 24)
B.
Kehidupan
Sosial, politik dan Ekonomi
1.
Kehidupan Sosial
Adalanya penggolongan masyarakat
menjadi beberapa golongan, yaitu teuku (kaum bangsawan), golongan teungku (Kaum
ulama yang memegang), Hulubalang (prajurit) serta rakyat biasa.
Antara Golongan teuku dan Teungku sering timbul persaingan yang mengakibatkan
melemahnya kerajaan Aceh.
2.
Kehidupan Politik
Aceh tumbuh secara cepat menjadi
kerajaan besar karena didukung oleh letaknya yang strategis, kemudian
Kerajaannya memiliki Bandar pelabuhan. Aceh juga memiliki daerah yang kaya akan
tanaman lada. Tanaman ini sendiri merupakan komoditi ekspor yang sangat
penting. Selain itu, jatuhnya malaka ke tangan Portugis menyebabkan pedagang
Islam banyak singgah ke Aceh, ditambah Jalur pelayaran beralih melalui
sepanjang pantai barat Sumatera.
3.
Kehidupan Ekonomi
Letaknya yang sangat strategis, di
jalur pelayaran dan perdagangan Selat malakah menitikberatkan pada , maka
Kerajaan Aceh menitikberatkan pada perekonomian pada bidang perdagangan.
Penguasaan atas daerah pantai barat dan timur sumatera banyak menghasilkan
lada. Sementara di Semenanjung Malaka menghasilkan lada dan timah.
C.
Penyebab
Mundurnya kerajaan Aceh
Berikut
merupakan factor yang mengakibatkan kerajaan Aceh mengalami kemunduran.
1.
Kekalahan perang antara Aceh melawan
portugis di Malaka pada tahun 1629 M
2.
Tokoh pengganti Sultan Iskandar Muda
tidaklah sebaik yang terdahulu.
3.
Permusuhan yang hebat diantara kaum
ulama yang menganut ajaran Syamsyudias-Sumatra dan penganut ajaran Nur ad-Din
ar-raniri
4.
Saerah-daerah yang jauh dari
pemerintahan pusat melepaskan diri dari Aceh
5.
Pertahanan Aceh lemah sehingga
bangsa-bangsa Eropa berhasil mendesak dan menggeser daerah perdagangan Aceh.
Akhirnya, perekonomian di Aceh menjadi melemah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kerajaan Aceh
merupakan kerajaan bercorak Islam yang letaknya sangat strategis di jalur
pelayaran dan perdagangan internasional. Aceh juga memiliki daerah kekuasaan
yang sangat luas, sehingga Kerajaan ini sangan maju terutama di bidang
perekonomiannya. Perkembangannya sangat pesat terlebih saat pemerintahan Sultan
Iskandar Muda. Dibawah kepemimpinannya, kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan
yang besar dan berkuasa atas perdagangan Islam. Bahkan telah menjadi Bandar transito
yang dapat menghubungkan seluruh pedagang dunia barat.
B.
Saran
Makalah yang
ditulis adalah makalah yang jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dari pembaca demi kemajuan dari makalah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Edukatif HTS, Modul Sejarah IPS,
Surakarta, CV Hayati Tumbuh Subur
Langen, van, K.F.H. 1986. Susunan Pemerintahan
Aceh Semasa Kesultanan. Alih Bahasa oleh Aboe bakar. Banda Aceh:
Dokumentasi dan Informasi Aceh
Lombard, Denys. 2007. Kerajaan Aceh Zaman Sultan
Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Said, Mohammad, H., a. 1981. Aceh Sepanjang
Abad (Jilid Pertama). Medan: PT Percetakan dan Penerbitan Waspada
medan.
Sufi, Rusdi & Wibowo, Agus Budi, a. 2006. Kerajaan-Kerajaan
Islam di Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Post a Comment for "Sejarah Perkembangan Kerajaan Aceh"