Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Fungsi Hadist terhadap Al-Qur'an


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Fungsi Hadist Beserta Contohnya
Hadis adalah sumber hukum islam kedua yang telah di sepakati oleh para ulama (ahlul ilmi) dapat memunculkan hukum dengan sendirinya tampa besertaan dengan al-Qur’an.[1] Disamping itu hadist juga memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan Al-Qur’an apalagi bila kita tinjau dari sisi fungsinya. Fungsi hadist terhadap Al-Qur’an secara umum yaitu sebagai bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan takhshis, bayan taqyid, bayan tasyri’, dan bayan tabdil.  Kejelasan fungsi-fungsi hadist tersebut diatas  adalah sebagai berikut.
1.      Bayan Ta’kid
Bayan ta’kid atau disebut juga dengan bayan Taqrir  atau bayan itsbat adalah hadist yang berfungsi untuk memperkokoh atau memperkuat isi kandungan Al-Qur’an.[2] Dalam hal ini, hadist hanya berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an,[3] dengan demikia maka kandungan hukumnya memiliki dua dalil sekaligus yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi.[4]
Diantara contoh bayan ta’kid adalah firman Allah SWT:[5]
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ....
Karena itu, barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa… (Q. S. Al-Baqarah (2): 185)
Ayat Al-Qur’an di atas di ta’kid (di perkuat) oleh hadist Nabi SAW:
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْاوإِذَارَأَيْتُمُوْهُ فَـأَ فْطِرُوْا
“Apabila kalian melihat (ru’yat) bulan maka, berpuasalah. Dan begitu pula apabila melihat (ru’yat) bulan itu maka, berbukalah”(H. R.Muslim).
2.      Bayan Tafsir
            Yang dimaksud dengan bayan tafsir adalah hadist berfungsi untuk menerangkan ayat-ayat yang sangat umum (a’m), global (mujmal), dan kesaman makna (musytarak) dengan memberikan perincian  penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih global (mujmal), memberikan batasan (taqyid) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih belum terbatasi (muthlaq), dan memberikan kekususan (takhshih) ayat-ayat yang masih umum (a’m).[6] Badri Khaeruman mendefinisikan dengan hadist yang difungsikan menerangkan hal-hal yang tidak mudah di ketahui pengertiannya (mujmal atau musytarok fihi)[7] atau dapat dikatakan memberikan penafsiran dan penjabaran yang lebih konkret tentang garis besar yang ada di dalam al-Qur’an.[8]
            Jadi, bila memandang pengertian di atas maka bayan takhshis dan bayan taqyid termasuk dalam katagori bayan tafsir. Di antara contoh bayan tafsir  ini adalah:[9]
1)      Bayan Tafsir Mujmal adalah seperti hadist yang menerangkan ke mujmala-an ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat dan haji. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan masalah ibadah tersebut masih bersifat global atau secara garis besarnya saja. Contohnya kita diperintahkan shalat, namun Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerankan rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi SAW dengan sabdanya,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
            “Shalatlah sebagaimana kamu melihatku shalat.”(H.R. Bukhari)
2)      Bayan Tafsir Musytarak Fihi, adalah menjelaskan tentang ayat quru’. Allah SWT berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Untuk menjelaskan lafazh quru’ ini, datanglah hadist Nabi SAW berikut ini,
طَلاَقُ الْأَمَةِ إِثْنَتَـانِ وَعِدَّ تُهَـا حَيْضَتَـانِ
“Talak budak dua kali dan iddahnya dua haid.” (H.R. Ibnu Majah)
Sehingga arti kata perkataan quru’ dalam ayat Al-Qur’an tersebut di atas berarti suci dari haid.
3)      Bayan Tafsir Taqyid adalah sifat mutlaq ayat Al-Qur’an yang antara lain
Q. S Al-Maidah (5) : 38, yaitu :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Hadist Nabi:
لاَ تُقْطَعُ يَدُ السَّـارِقِ إِلَّافَيْ رُبْعِ دِيْنَـارٍ فَصـَاعِدًا
“Tangan pencuri tidak boleh di potong, melainkan pada (pencurian sebilai) seperempat dinar atau lebih.” (H. R. Mutafaq menurut lafadz Muslim)
4)    Bayan Tafsir Takhshis keumuman ayat-ayat Al-Qur’an adalah hadist Nabi SAW, berikut ini.
لاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْـأً
“Seorang pembunuh tidak berhak menerima harta warisan” (H. R. Ahmad)
Hadist tersebut men-takhshis keumuman firman Allah SWT dalam Q. S. An-Nisa (4): 11 yaitu :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan..
3.      Bayan Takhshis
Bayan Takhshis adalah membatasi atau mengkhususkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum.[10]
Sebagai contoh adalah hadist Nabi SAW:
لاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْـأً
“Seorang pembunuh tidak berhak menerima harta warisan” (H. R. Ahmad)
Yang membatasi ayat al-Qur’an an-Nisa 11:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ  
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan..



4.      Bayan Taqyid
Bayan Taqyid adalah membatasi ayat yang bersifat mutlak (hakikat kata tampa memandang jumlah maupun sifatnya) dengan sifat, keadaan atau syarat tertentu.[11] 
Contoh ayat Q. S Al-Maidah (5) : 38, yaitu :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّه
Di batasi dengan hadist:
لاَ تُقْطَعُ يَدُ السَّـارِقِ إِلَّافَيْ رُبْعِ دِيْنَـارٍ فَصـَاعِدًا
“Tangan pencuri tidak boleh di potong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih.” (H. R. Mutafaq menurut lafadz Muslim)
5.      Bayan Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan tasyri’ adalah ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an maka dimunculkan hukumnya, baik yang tidak ada sama sekali atau yang diketemukan pokok-pokoknya (ashl) saja.[12]
Hadist termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya adalah hadist penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam wanita pezinah yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Salah satu contoh yang lain adalah hadist tentang hukum zakat fitrah sebagai berikut;[13]
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Bahwasanya Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadlan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan Muslim.” (H. R Muslim)



6.      Bayan Tabdil
Bayan tabdil di sebut juga dengan nasakh (membatalkan), alijalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), atau taqyir (mengubah). Yang dimaksud dengan tabdil disini adalah menghapus ketentuan hukum yang ada di al-Qur’an.[14]
Salah satu contoh dari katagori bayan tabdil adalah sabda Rasul SAW dari ibnu Umamah Al-Bihili,
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing). Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris.”(H. R Ahmad dan Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa’i. Hadist ini dinilai hasan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi).
Hadis ini menurut mereka men-naskh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2): 180, yakni;
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ 
Diwajibkan atas kamu, apabila seorng di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dari karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atau orang-orang yang bertaqwa (Q. S. Al-Baqarah (2): 180)
Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan Q. S Al-Baqarah (2): 180 di atas, di naskh hukumnya dengan hadist yang menjelaskan bahwa ahli waris tidak boleh menerima wasiat, sebab ahli waris akan mendapatkan bagian warisan tersendiri setelah mayit meninggal.[15]

B.     Pandangan Ulama
Sehubungan dengan fungsi hadist sebagai bayan tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam merincinya lebih lanjut.[16]
1.      Menurut Imam Malik bin Annas, yaitu: meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tafshil, bayan Isbat, dan bayan tasyri’.
2.       Menurut Imam Syafi’i, yaitu: meliputi bayan takhsis, bayan ta’yin, bayan tasyri’, bayan nasakh, bayan tafshil dan bayan isyaroh.
3.      Menurut Ahman bin Hanbal: yaitu meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, dan bayan takhsis.
Hadits sebagai penjelas atau bayan Al-Qur’an itu memiliki bermacam-macam fungsi. Imam Malik menyebutkan lima macam fungsi, yaitu sebagai bayan at-taqrir, bayan at-tafsir, bayan at-tafsil, bayan at-bast, bayan at-tasyri. Sementara itu, Imam Safi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan at-tafsil, bayan at-takhsis, bayan at-ta’yin, bayan at-tasyri dan bayan an-nasakh. Dalam “Al-Risalah” ia menambahkan dengan bayan al-isyarah.Ibnu qoyyim menyebutkan empat bayan, yaitu; bayan ta’kid, bayan tafsir,bayan tasyri’, bayan takhsis dan takyid. Imam Ahmad dan Hanbal menyebutkan empat fungsi yaitu bayan al-ta’kid, bayan at-tafsir, bayan at-tasyri dan bayan at-takhsis.[17]
Meskipun para ulama menggunakan istilah yang berbeda, namun pada dasarnya yang mereka maksudkan sama saja. Secara umum fungsinya adalah menguatkan (ta’qid), merinci (tafshil), menjelaskan (tafsir), memunculkan hukum baru (tasryi’) serta merevisi hukum al-quran (naskh).[18]









BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Jadi, fungsi Hadist terhadap Al-Qur’an secara umum ada enam, yaitu: sebagai bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan takhshis, bayan taqyid, bayan tasyri’, dan bayan tabdil. Dan ulama berbeda pendapat mengenai bayan takhshis, bayan taqyid ada yang memasukkan kedalan golongan bayan tafsir dengan menambah dua bayan lain yaitu bayan tafsir mujmal serta bayan Musytarak Fihi ada yang memisahkannya.
Pandangan para ulama mengenai bayan secara umum terbagi menjadi empat pendapat ada yang berbeda tetapi memiliki esensi yang sama yaitu Secara umum berfungsi untuk menguatkan (ta’qid), merinci (tafshil), menjelaskan (tafsir), memunculkan hukum baru (tasryi’) serta merevisi hukum al-quran (naskh).










Daftar Pustaka

Amin, Muhammadiyah. 2008. Ilmu Hadist. Yogyakarta: Graha Guru.
As-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. 2006. Irsyadul Fuqul. Kairo: Darus Salam.
Idri. 2010. Studi Hadist. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Ismail, M. Syuhudi. 1999. Pengantar Ilmu Hadist. Bandung: Pustaka Setia.
Khaeruman, Badri.2010. Ulum al-Hadist. Bandung: Pustaka Setia.
Solahudin, Agus dkk. 2009. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Suprapta, Munzier. 2013. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja Grafindo Pustaka.
Yasid, Abu. 2011. Hubungan simbiotik al-Qur’an dan al-Hadist dalam membentuk diktum-diktum hukum. Ponorogo: Jurnal Tsaqofah.




[1] Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Syaukani, Irsyadul Fuqul (Kairo: Darus Salam, 2006), Jilid:1 h.132
[2] Agus Solahudin, dkk, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h.78.
[3] Idri, Studi Hadist (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), h.24.
[4] Abu Yasid, Hubungan simbiotik al-Qur’an dan al-Hadist dalam membentuk diktum-diktum hukum (Ponorogo: Jurnal Tsaqofah, Vol.7, No.1, April, 2011),h.144.
[5] Munzier Suprapta, Ilmu Hadist (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka: 2013), h.59.
[6] Agus Solahudin, dkk, Ulumul Hadist, 81.
[7] Badri Khaeruman, Ulum al-Hadist (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h.49.
[8] Abu Yasid, Hubungan simbiotik al-Qur’an dan al-Hadist dalam membentuk diktum-diktum hukum,h.145.
[9] Munzier Suprapta, Ilmu Hadist,h.61-63.
[10] Idri, Studi Hadist, h.28.
[11] Ibid.
[12] Munzier Suprapta, Ilmu Hadist, h.64.
[13] Ibid.
[14] Idri, Studi Hadist,h.30.
[15] Ibid.
[16] Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadist (Yogyakarta: Graha Guru, 2008), h.17.
[17] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 1999),h.58-60
[18] Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadist,h.17.

Post a Comment for "Fungsi Hadist terhadap Al-Qur'an"