Fungsi Hukum Islam
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Hukum merupakan suatu peraturan yang di buat untuk
mengatur, mengikat, dan memaksa masyarakat untuk mematuhi suatu hal yang
dianggap baik dan perlu oleh suatu lembaga. Hukum juga erat kaitannya dengan
masyarakat. Hukum dalam islam, merupakan sebuah pedoman atau batas bagi diri
untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Hukum dalam islam bukanlah
buatan dari makhluk-Nya seperti hukum yang ada dan berkembang selama ini di
masyarakat. Melainkan hukum islam itu ada dan berdasar dari ajaran dan pedoman
yang Allah SWT berikan, yaitu berupa perantara, Al-Qur’an misalnya yang
merupakan pedoman tertinggi bagi umat islam di seluruh semesta ini.
Di Negara kita, Indonesia, juga memiliki hukum
tertinggi dalam pelaksanaan kepemerintahannya, yaitu UUD 1945. Di dalam pembukaan
UUD 1945 terdapat kutipan bahwasanya Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini
menyatakan bahwa Negara kita Indonesia meyakini adanya hukum agama yang
berjalan dan bersikap menindak dalam kehidupan rakyatnya. Kutipan tersebut juga
menyatakan bahwa Indonesia merupakan Negara yang melegalkan agama.
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
saja sumber Hukum Islam dan peranannya sebagai pedoman kegiatan
umat islam ?
2. Bagaimana
fungsi Hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat ?
3. Bagaimana
kontribusi Hukum Islam dalam Perundang-undangan di Indonesia ?
4. Bagaimana kedudukan
Al-Qur’an sebagai sumber Hukum Islam dalam mengatur kehidupan bermasyarakat ?
5. Kapan dan dimana
penerapan Hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat ?
6. Mengapa Al-Qur’an
dijadikan sumber Hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat ?
1.3 TUJUAN
1. Menjelaskan
kedudukan Al-Qur’an sebagai pedoman kegiatan umat islam.
2. Menjelaskan arti dan
fungsi Assunnah.
3. Menjelaskan peranan
Assunnah sebagai petunjuk muslim.
4. Menjelaskan
kedudukan akal pikiran manusia dalam berijtihad.
5. Menjelaskan peranan
Ijtihad sebagai sumber pengembangan nilai-nilai islam.
6. Menjelaskan fungsi
hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat.
7. Menyebutkan
kontribusi hukum islam dalam perundang-undangan di Indonesia.
8. Mengetahui kapan dan dimana hukum
islam di terapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
9. Mengetahui sebab-sebab Al-Qur’an dijadikan sumber hukum islam dalam kehidupan
bermasyarakat.
1.4 METODE
PENULISAN
Dalam pembuatan makalah ini,
kami mencari segala informasi yang di butuhkan dari berbagai sumber, baik dari
buku, internet, maupun instrumen pendukung lainnya. Dalam penulisannya kami
memilah berbagai sumber tersebut dan mendiskusikan dengan pihak yang ahli
dibidangnya agar tidak terjadi kerancuan atau keambiguan bagi pembaca dalam
memahami isi makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN HUKUM ISLAM
Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari
kata mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum.
Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan
kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan
bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga
merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada
hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang
tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang
yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh
anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum
Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah
Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang
diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata
“seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci
dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
2.2 SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
A.
Al-Qur’an
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang
diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri
dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
Ø
Tuntunan yang
berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yang berkaitan dengan iman
kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir,
serta qadha dan qadar.
Ø
Tuntunan yang
berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti
yang baik serta etika kehidupan.
Ø
Tuntunan yang
berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
Ø
Tuntunan yang
berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat.
·
Isi Kandungan Al
Qur’an
Ø
Isi kandungan Al
Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
1. Segi Kuantitas
Al
Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa
kata
2. Segi Kualitas
Isi
pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang
mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan
dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam.
2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur
hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin
dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut
Ilmu Fiqih.
3. Hukum yang berkaitan dengan akhlak. Yakni tuntutan
agar setiap muslim memiliki sifat – sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku –
perilaku tercela.
Ø
Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua
kelompok:
1. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti
shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan
hubungan manusia dengan tuhannya.
2. Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan
(muamalah) seperti perjanjian perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian,
pendidikan, perkawinan dan lain sebagainya.
Ø
Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:
1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam
berkeluarga, yaitu perkawinan dan warisan.
2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang
berhubungan dengan jual beli (perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan
lain-lain. Maksud utamanya agar hak setiap orang dapat terpelihara dengan
tertib.
3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu
yang berhubungan dengan keputusan, persaksian dan sumpah.
4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang
berhubungan dengan penetapan hukum atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas.
5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama,
yaitu hubungan antar kekuasan Islam dengan non-Islam sehingga tercapai
kedamaian dan kesejahteraan.
6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta
benda, seperti zakat, infaq dan sedekah.
Ketetapan
hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada yang rinci dan ada yang garis besar.
Ayat ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah,
kekeluargaan dan warisan. Pada bagian ini banyak hukum bersifat ta’abud (dalam
rangka ibadah kepada Allah SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk
memahaminya sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang
bersifat garis besar, umumnya berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian,
ketata negaraan, undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan
dengan masalah ini hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya
disebutkan nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan
zaman. Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum,
ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah
dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya
banyak sekali.
B.
Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW
baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan
sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan
untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi
Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ
Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al
Hashr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan
seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan
cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia
pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki
akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia.
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki
kedua fungsi sebagai berikut.
1.
Memperkuat
hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an
dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT
didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan
dalam firmannya :
... وَاجْتَنِبُوا
قَوْلَ الزُّورِ
Artinya:
“…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat
diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
2.
Memberikan rincian
dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya,
ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah
haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat
dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat,
tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan
oelh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT
mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut :
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِير...ِ
Artinya:
“Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap
tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits
menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan
belalang. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al
Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan
membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah.
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai
berikut:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan
tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang
samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits.
2. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung
sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan
termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak
terlalu berat atau tidak terlalu penting.
3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu
syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif
banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain,
disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang
tidak dipenuhi.
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits
yang shohih, yaitu:
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal.
C. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an
maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta
berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil
ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog
nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz
diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan
menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan
hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukum dengan Al Qur’an, Rasul
bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?”
Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi,
“seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”,
Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian,
Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah
mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam
setelah Al Qur’an dan hadits. Untuk melakukan
ijtihad (mujtahid) harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1. Mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang
bersangkutan dengan hokum.
2. Memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya
untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits.
3. Mengetahui soal-soal ijma.
4. Menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih
yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah,
selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat
sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat
tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia.
Dalam berijtihad seseorang dapat menempuhnya dengan
cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan
orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah
SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan.
Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولوَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ َ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan rasulnya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk
taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin
pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi
salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu
yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti
sekarang ini.
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian
yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena
antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya,
mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini
diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara keduanya
terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun
bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan
karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an. Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas
maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
1. Dasar (dalil)
2. Masalah yang akan diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Bentuk Ijtihad yang lain
· Istihsan/Istislah,
yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret
dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau
kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan.
- Istishab, yaitu meneruskan
berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil,
sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut.
- Istidlal, yaitu menetapkan
suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al
Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat
atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah
hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum
agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak
bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits.
- Maslahah
mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak
diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah
itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar
kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang
telah ditetapkan.
- Al ‘Urf, ialah urusan yang
disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya.
- Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan
yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan
mudarat.
D. Pembagian Hukum dalam Islam
Hukum
dalam Islam ada lima yaitu:
1. Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika
perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka yang mebgerjakannya akan mendapat
pahala, jika tidak dikerjakan maka ia akan berdosa.
2. Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala,
jika tidak dikerjakan tidak berdosa.
3. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa
jika tidak dikerjakan atau ditinggalkan mendapat pahala.
4. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau
dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala.
5. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh
pula ditinggalkan. Kalau dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau
ditinggalkan.
Dalil
fiqih adalah Al Qur’an, hadits, ijma’ mujtahidin dan qiyas. Sebagian ulama
menambahkan yaitu istihsan, istidlal, ‘urf dan istishab.
Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilannya terdiri
atas empat macam.
1. Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya
dan maksudnya menunjukkan kepada hukum itu .Hukum seperti ini
tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim, tidak
seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu, zakat, puasa, haji
dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie berpendapat apabila ada
ketentuan hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian, setiap muslim wajib
mengikutinya.
2. Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya
terhadap hukum-hukum itu. Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk
berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum
atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau
tidakkah khiar majelis bagi dua orang yang berjual beli. Dua orang yang jual beli boleh memilih antara
meneruskan jual beli atau tidak selama keduanya belum berpisah. Kata “berpisah”
yang dimaksud dalam hadits ini mungkin berpisah badan atau pembicaraan, mungkin
pula ijab dan kabul. Sperti wajib menyapu semua kepala atau sebagian saja
ketika wudhu’, dalam memahami ayat:
وَامْسَحُوابِرُءُوسِكُمْ
Artinya:
“Dan sapulah kepalamu” (QS Al Maidah : 6)
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata tidak membaca basmalah. Alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah.
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata tidak membaca basmalah. Alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah.
1. Hukum yang tidak ada nas, baik secara qa’i (pasti)
maupun zanni (dugaan), tetapi pada suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin
atas hukum-hukumnya Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan
seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk
ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum
yang telah disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan
umat itu menurut Rasulullah SAW tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat.
Mujtahidin merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT
menyuruh hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul
mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin.
Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak berdasarkan
penelitian.
2. Hukum yang tidak ada dari nas, baik qat’i ataupun
zanni, dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum itu. Seperti yang
banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqih mazhab. Hukum seperti ini adalah hasil
pendapat seorang mujtahid. Pendapat menurut cara yang sesuai denngan akal
pikirannya dan keadaan lingkungannya masing-masing diwaktu terjadinya peristiwa
itu. Hukum-hukum seperti itu tidak tetap, mungkin berubah dengan berubahnya
keadaan atau tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid dimasa kini atau
sesduahnya berhak membantah serta menetapkan hukum yang lain. Sebagaimana
mujtahid pertama telah memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya. Ia pun dapat
pula mengubah hukum itu dengan pendapatnya yang berbeda dengan tinjauan yang
lain, setelah diselidiki dan diteliti kembali pada pokok-pokok pertimbangannya.
Hasil ijtihad seperti ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh muslim. Hanya
wajib bagi mujtahid itu sendiri dan bagi orang-orang yang meminta fatwa
kepadanya, selama pendapat itu belum diubahnya.
2.3. FUNGSI HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Tujuan
hukum Islam, baik secara global maupun secara detail, mencegah kerusakan pada
manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka: mengarahkan mereka kepada
kebenaran, dan kebajikan, serta menerangkan jalan yang harus dilalui oleh
manusia.
Hukum
Islam disyariatkan oleh Allah dengan tujuan utama untuk merealisasikan dan melindungi
kemaslahatan umat manusia, baik individu ataupun kolektif untuk menjamin,
melindungi dan menjaga kemaslahatan tersebut Islam menetapkan sejumlah aturan,
baik berupa perintah atau larangan. Perangkat aturan ini disebut hukum pidana
Islam. Sedangkan tujuan pokok dalam penjatuhan hukum dalam syari’at Islam ialah
pencegahan dan pengajaran serta pendidikan.
Oleh
karena tujuan hukum adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian
rupa yang cukup mewujudkan tujuannya, dan dengan demikian maka terdapat prinsip
keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Dengan demikian, maka hukuman dapat
berbeda-beda terutama hukuman ta’zir.
Menurut
definisi mutakalimin, agama ditujukan untuk kemaslahatan hamba di dunia dan di
akhirat. Islam sebagai agama memiliki hukum yang fungsi utamanya terhadap
kemaslahatan umat. Adapun fungsi adanya hukum Islam adalah sebagai berikut:
a. Fungsi Ibadah
Hukum
Islam adalah aturan Tuhan yang harus dipatuhi umat manusia dan kepatuhan
merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
b. Fungsi Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar
Hukum
Islam telah ada dan eksis mendahului masyarakat karena ia adalah bagian dari
kalam Allah yang qadim. Namun dalam prakteknya hukum Islam tetap bersentuhan
dengan masyarakat. Penetapan hukum tidak pernah mengubah atau memberikan
toleransi dalam hal proses pengharamannya. Contoh: Riba dan khamr tidak
diharamkan secara sekaligus tetapi secara bertahap oleh karena itu kita
memahami fungsi kontrol sosial yang dilakukan lewat tahapan riba dan khamr.
c. Fungsi Zawajir
Fungsi
hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala
bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan.Fungsi ini terlihat dalam
pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hokum atau
sanksi hokum. Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa/
badan, hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf,
hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak
pidana tersebut. Adanya sanksi hokum mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai
sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman
serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi hukum Islam ini dapat dinamakan
dengan Zawajir.
d. Fungsi Tanzim wa Islah al-Ummah
Fungsi
tersebut adalah sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses
interaksi sosial sehingga terwujudnya masyarakat harmonis, aman dan
sejahtera.Dalam hal-hal tertentu, hokum Islam menetapkan aturan yang cukup
rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam hokum yang berkenaan dengan
masalah yang lain, yakni masalah muamalah, yang pada umumnya hokum Islam dalam
masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada
bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada
aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa
ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hokum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah
begitu saja untuk bidang hokum tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling
terkait.
Adapun
metode-metode pengambilan hukum Islam yaitu Ijma’ dan Qiyas, Istihsan, Al-
Maslahat, Al- Mursalat atau Istihlah, Saddu Al- Zari’at.
1.
Ijma dan Qiyas
a. Ijma
Ijma
adalah kesepakatan para ulama mujtahid dalam memutuskan suatu perkara atau
hukum. Ijmā dilakukan untuk merumuskan suatu hukum yang tidak disebutkan secara
khusus dalam kitab Al-Qur’an dan sunah.
Contoh Ijma:
ü
Menjadikan sunnah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
ü
Pengumpulan dan pembukuan Al-qur’an sejak pemerintahan Abu Bakar tetapi
idenya berasal dari Umar bin Khatab
ü
Penetapan awal ramadhan dan syawal berdasarkan ru’yatul hilal.
b. Qiyas
Qiyas
adalah mempersamakan hukum suatu masalah yang belum ada kedudukan hukumnya dengan
masalah lama yang pernah ada karena alasan yang sama.
Contoh Qiyas :
ü
Setiap minuman yang memabukan contohnya mensen, sabu-sabu dan lain-lain
disamakan dengan khamar, ilatnya sama-sama memabukan.
ü
Harta anak wajib dikeluarkan zakat disamakan dengan harta dewasa.
Menurut syafei karena sama-sama dapat tumbuh dan berkembang, dan dapat menolong
fakir miskin.
ü
Mengatakan telmi kepada ortu disamakan dengan membentak dan ah, karena
ilatnya sama-sama menyakiti dengan ucapan.
2. Istihsan
Menurut
bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan
kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
berdasar dalil syara'.
Jadi
singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada
hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.
Misal
yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong
tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal
seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun
kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong
tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang
menguatkannya.
Mula-mula
peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu
pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang
mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil
pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Contoh Istihsan :
Menurut
Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung
gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan
istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan
burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah
bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang
buas itu langsung Minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat
minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan
mulut binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram
dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau
zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Oleh karena itu
sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan,
demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada
burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasarkan keadaan inilah
ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut
istihsan.
3. Al Maslahat Al Mursalat
Merupakan
metode penetapan hukum yang kasus atau maslahatnya tidak dapat ditetapkan atau
diatur secara eksplisit di dalam Al-Qur’an dan hadist, dan tidak pula
bertentangan dengan keduanya.
Contoh :
Dalam
pelayaran dengan kapal laut, dimana kapal demikian olengnya dan besar
kemungkinan akan tenggelam jika semua barang yan ada di dalamnya tidak dibuang
ke laut. Dalam keadaan semacam itu diperbolehkan membuang barang-barang ke
laut, meskipun tidak seizin yang empunya demi untuk kemaslahatan penumpang,
yaitu menolak bahaya yang mengancam keselamatan jiwa mereka.
4. Saddu al-Zari’at
Saddu al-Zari’at diartikan sebagai upaya
mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap kasus hukum yang pada dasarnya
mubah. Larangan itu berkesinambungan dimaksudkan untuk menghindari perbuatan
lain atau tindakan lain yang dilarang.
Ada
empat kategori Zari’at berdasarkan pada kemungkinan membawa dampak negatif,
yaitu :
1.
Zari’at yang pasti akan membawa manfaat, seperti menggali sumur di jalan
umum yang gelap terhadap zari’at semacam ini para ahli fiqih telah sepakat
melarangnya.
2.
Zari’at yang jarang membawa mafsadat, seperti menanam dan membudidayakan
pohon anggur. Meskipun buah anggur ada kemungkinan dibuat minuman keras, hal
itu termasuk jarang. Karena itu, menurut ahli fiqih menanam anggur tidak perlu
dilarang.
3.
Zari’at yang berdasarkan hukum yang kuat akan membawa kepada mafsadat,
seperti menjual anggur kepada orang atau perusahaan yang biasa memproduksi
minuman keras. Zari’at ini harus dilarang.
4.
Zari’at yang seringkali membawa mafsadat, namun kekawatiran terjadinya
tidak sampai pada tingkat dugaan kuat, melainkan atas dasar asumsi biasa.
Misalnya, transaksi jual beli secara kredit. Diasumsikan dalam transaksi
tersebut akan membawa mafsadat terutama bagi
debitur. Mengenai zari’at ini para ahli ushul fiqh berbeda pendapat. Ada
yang berpendapat harus dilarang dan ada pula yang sebaliknya.
2.4. KONTRIBUSI HUKUM ISLAM DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA
Islam sebagai agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk Indonesia, tentu sangat berpengaruh terhadap pola hidup
bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya tidak lepas dari syari'at yang dikandung
agamanya. Melaksanakan syari'at agama yang berupa hukum-hukum, menjadi salah
satu parameter ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya.
Bagi kalangan muslim, jelas yang dimaksudkan
sebagai hukum adalahHukum Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber
pada AIquran, dan sunnah Rasul.
Kaidah-kaidah yang bersumber dari Allah SWT
kemudian lebih dikonkretkan diselaraskan dengan kebutuhan zamannya rnelalui ijtihad
atau penemuan hukum oleh para mujtahid dan pakar di bidangnya masing-masing, baik secara
perorangan maupoun kolektif.
Dalam perjalanan kodifikasi hukum nasional
Indonesia, keberadaan hokum Islam sangat penting, selain sebagai materi bagi
penyusunan hukum nasional, hokum Islam juga menjadi inspirator dan dinamisator
dalam pengembangan hokum nasional. Hukum Islam sangat dekat dengan
sosioantropologis bangsa Indonesia,sehingga kehadirannya dapat dengan mudah
diterima oleh masyarakat luas.Kedekatan sosioantropologis Hukum Islam dengan
masyarakatnya menjadifenomena tersendiri ditandai dengan maraknya upaya
formalisasi pemberlakuansyari'at Islam di berbagai wilayah di Indonesia.
Sebagai negara berdasar atas hukum yang
berfalsafah Pancasila, Negara melindungi agama, penganut agama, bahkan berusaha
memasukkan hukum agamaajaran dan hukum agama Islam dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, sebagaimana pernyataan the founding father RI, Mohammad Hatta,
bahwa dalampengaturan negara hukum Republik Indonesia, syari'at Islam
berdasarkan AI-Qur'andan Hadis dapat dijadikan peraturan perundang-undangan
Indonesia sehingga orangIslam mempunyai sistem syari'at yang sesuai dengan
kondisi Indonesia.7 DekritPresiden 5 Juli 1959 − dalam salah satu konsiderannya
− menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai
Undang-Undang Dasar 1945, danadalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan
konstitusi tersebut. maka era ini dapat dikatakan era penerimaan hukum
Islam sebagai sumber otoritatif.
Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional
kita di Indonesia selama inipada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga
pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum
Islam.
Sistem Hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda.
Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasardasaralam pikiran
bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem hukum adatorang harus
menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakatIndonesia.
Kemudian sistem Hukum Islam, yang merupakan sistem hukum yangbersumber
pada kitab suci AIquran dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammaddengan
hadis/sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid dengan ijtihadnya.
Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang
sangat besar dalam pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang
menjadikan hokum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional
yaitu:
1.
Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan, UU Peradilan
Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat, dan UU Otonomi
Khusus Nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undangundang lainnya yang
langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor 10 Tahun
1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip
syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang semakin
memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2.
Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam
akanmemberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.
3.
Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang
terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran mereka
Bila
dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesianampaknya
eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti terlihat dalam
beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh Hukum Islam:
1.
Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disahkan, Pada Pasal 2 undang-undang ini, ditulis bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Sementara
dalam pasal 63 menyatakan bahwa, yang dimaksud pengadilan dalam Undang-undang
ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
2.
Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama disahkan. Undang-undangini membuktikan bahwa Peradilan Agama
sudah sepantasnya hadir, tumbuh, serta dikembangkan di bumi Indonesia. Hal ini
membuktikan adanya kontribusi umat Islam sebagai umat yang mayoritas.
3.
Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Indonesia termasuk negara yang paling banyak
jamaah hajinya. Sebabkuota yang ditentukan oleh Arab Saudi adalah 1 persen dari
total jumlahpenduduk suatu negara. Indonesia berpenduduk sekitar 250 juta,
makakuota haji sekitar 250 ribu jiwa.
Agar penyelenggaraan haji bisa berjalan
lancar, tidak ada kesulitan, baikdi dalam negeri maupun ketika di luar negeri,
maka diperlukan manajemenyang baik. Apalagi haji dilaksanakan jauh dari negeri
Indonesia, yaitu lebihdari 10.000 mil, melibatkan banyak orang dan departemen,
dilaksanakanserentak dengan jutaan manusia dari seluruh dunia dalam satu
tempatdan waktu yang sama. Untuk itu, pemerintah harus terlibat langsung
dalampenyelenggaraannya, sebab menyangkut nama baik negara Indonesia.Untuk
mendukung upaya penyelenggaraan ibadah haji yang efektif,efisien dan terlaksana
dengan sukses, maka pemerintah mengeluarkanUndang-Undang Nomor 17 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan IbadahHaji. Kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan
Menteri AgamaNomor 224 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan
Umroh.
4.
Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Negara menjamin warganya melaksanakan ajaran
agamanya,melindungi fakir miskin dan untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakatIndonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat
(1),Pasal 29 dan Pasal 34 UUD 1945, maka pemerintah perlu membuatperangkat
yuridis yang akan mendukung upaya tersebut. Kemudian lahirlahUU Nomor 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat. Untuk melaksanakan UU tersebut muncul Keputusan
Presiden Nomor 8 tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional, yang di dalamnya
mencantumkan perlunya tigakomponen untuk melaksanakan pengelolaan zakat, yaitu
Badan Pelaksana,Dewan Pertimbangan dan Komisi Pengawas. Sebelum berlakunya UU
diatas, sejak masa penjajahan Belanda sudah ada perundang-undangan
yangberkaitan dengan zakat, yaitu Bijblad Nomor 2 tahun 1893 tanggal 4
Agustus1893 dan Bijblad Nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905.
5. Undang-Undang Wakaf
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 oleh
Presiden Susilo Bambang Yudoyono (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 159).
Sebenarnya di Indonesia sudah ada beberapa
Peraturan Perundang-undangan tentang wakaf, antara lain adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997 tentang perwakafan tanah milik. Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997 itu hanya mengatur tentang wakaf sosial (wakaf
umum) di atas tanah milik seseorang atau badan hukum. Tanah yang diwakafkan
dalam Peraturan Pemerintah itu dibatasi hanya tanah milik saja, sedangkan
hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak
pakai tidak diatur. Di samping itu benda-benda lain seperti uang, saham dan
lain-lain juga belum diatur dalam Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu,
pengembangan wakaf di Indonesia cukup tersendat-sendat.
Jika dibandingkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan
tentang wakaf ini terdapat beberapa hal baru dan penting. Beberapa diantaranya
adalah mengenai masalah nazhir, harta benda yangdiwakafkan (mauquf bih), dan
peruntukan harta wakaf (mauquf ‘alaih), serta perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia.
Berkenaan dengan masalah nazhir, karena dalam undang-undang ini yang dikelola
tidakhanya benda tidak bergerak yang selama ini sudah lazim dilaksanakan di
Indonesia, tetapi juga benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat
berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan lainlain, maka
nazhirnya pun dituntut mampu untuk mengelola benda-benda tersebut.
Dalam undang-undang ini harta benda wakaf
tidak dibatasi padabenda tidak bergerak saja tetapi juga benda bergerak seperti
uang, logammulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak
sewadan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
6.
Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh
Memasuki era reformasi, kemerdekaan
mengeluarkan pendapatterbuka luas. Pemerintah pun sangat responsif terhadap
aspirasimasyarakat kehidupan demokrasi berjalan dinamis.
Aspirasi rakyat Aceh yang selama Orde Baru
tidak tersalurkan, kaliini mendapat respon yang luar biasa dari Pemerintah.
Kehidupan rakyat Aceh yang religius, menjunjung tinggi adat, dan telah
menempatkanulama pada peran yang sangat terhormat dalam kehidupan
masyarakat,berbangsa dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Untuk itu, akhirnya pemerintah memberikan
jaminan kepastianhukum dalam penyelenggaraan keistimewaan yang dimiliki rakyat
Aceh sebagaimana tersebut di atas dengan munculnya Undang-Undang Nomor44 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
7. Undang-Undang Otonomi Khusus di Aceh
Sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia menurutUUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintah
Daerahyang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dalam Undang-undang
Melihat karakter sosial dan masyarakat Aceh
dengan budaya Islam yangkuat, dan telah memberikan semangat juang yang tinggi
pada masaperjuangan memperebutkan kemerdekaan negara Indonesia. Maka
seiringdengan munculnya era reformasi serta aspirasi rakyat Aceh.
Pemerintahmemberikan otonomi khusus. Sehubungan dengan itu ditetapkan
UndangundangNomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi Daerah Istimewa
Aceh Darussalam.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 tahun
2001 tentangOtonomi Khusus Propinsi Daerah Istimewa Aceh, salah satunya dalambidang
hukum, maka baru-baru ini telah disahkan Qanun (Perda) Nomor13 tahun 2003
tentang Judi, Nomor 14 tahun Minuman Keras, Nomor 15tahun 2003 tentang Hal
Mesum dan telah diterapkan Hukuman Cambuk.
8.
Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang
diundangkan padatanggal 10 November 1998, menandai sejarah baru di bidang
perbankan yangmulai memberlakukan sistem ganda dual system banking di
Indonesia, yaitu konvensional dan syari’ah.
Tren perkembangan perbankan syariahyang
begitu cepat dengan memperoleh simpatik luas dari umat muslim dan jugadari
nonmuslim. Sistem Perbankan Syariah berdiri di atas akad-akad yang
telahdisepakati bersama dengan prinsip syariah tak boleh merugikan dan juga
tidakboleh membebankan kerugian bersama kepada salah satu pihak.
Keuntunganmenjadi keuntungan bersama, dan juga kerugian menjadi kerugian yang
harusditanggung bersama.
Sistem perbankan syariah telah teruji dan
terbukti di seluruh dunia,termasuk Indonesia, dalam menghadapi krisis moneter
yang dapat terjadi kapansaja. Pemerintah telah menyatakan keseriusannya untuk
menelaah urgensipembuatan UU Perbankan Syariah di Indonesia, dan akhirnya pada
tanggal 17 Juni 2008 DPR mengesahkan Undang-Undang Tentang Perbankan
Syariahyang diundangkan pada tanggal 16 Juli 2008. Lembaran Negara
RepublikIndonesia Tahun 2008 Nomor 94 tentang Perbankan Syariah, dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
9. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang No.
7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pada tanggal 28 Februari 2006, UU No. 7 tahun
1989 tentangPeradilan Agama telah diamandemen melalui UU No. 3 tahun
2006tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 (Lembaran Negara
RepublikIndonesia tahun 2006 Nomor 22). Perubahan tersebut dilakukan karena UU
No. 7 tahun 1989 tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.
Kewenangan Peradilan Agama yang semula
bertugas dan berwenangmemeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara
tingkat pertamaantara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan,
kewarisan, wasiat dan hibah, waqaf dan shadaqah. Berdasarkan UUNo. 3 tahun 2006
kewenangannya diperluas dalam bidang ekonomisyari’ah meliputi: Bank Syari’ah,
Asuaransi, Asuransi Syari’ah, ReasuransiSyari’ah dan Surat Berharga Berjangka
Menengah Syari’ah, SekuritasSyari’ah, Pengadilan Syari’ah, Dana Pensiun Lembaga
Keuangan (DPLK)Syari’ah, Bisnis Syari’ah dan Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah.
Dalam beberapa tahun belakangan ini
perkembangan bidang-bidangekonomi syari’ah memang pesat. Ini yang akan menjadi
problem ke depan.Transaksi bisnis syari’ah bukan saja dilakukan oleh orang yang
beragamaIslam, tetapi juga sangat mungkin antara orang Islam dan bukan
Islam.Problemnya, apakah Peradilan Agama berwenang menangani sengketaSyari’ah
antara orang Islam dengan yang bukan Islam.
Oleh karena itu dalam penjelasan Pasal 49 UU
No. 3 tahun 2006,dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “antara orang-orang
yangberagama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum uyang dengan sendirinya
menundukan diri dengan sukarela kepada hukum Islammengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama sesuaidengan ketentuan Pasal 49.
Hal yang perlu menjadi perhatian adalah
eksistensi Peradilan Agamayang telah mendapat pengakuan secara konstitusional .
Dengan masuknya Peradilan Agama ke dalam UUD 1945, tidak akan ada perdebatan
lagimengenai kehadiran peradilan agama dalam sistem kekuasaan kehakiman di
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
10. Kompilasi Hukum Islam
Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia
terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan
sering terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman
pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam.
Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi
Hukum Islam (KHI),yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama
para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama
tidak mempunyai bukustandar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUH
Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1
Tahun 1991yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI.
2.5. KEDUDUKAN AL-QUR’AN
1. Al-Qur’an Sebagai Sumber
Berbagai Disiplin Ilmu Keislaman
Disiplin ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an
di antaranya yaitu:
a. Ilmu
Tauhid (Teologi)
b. Ilmu
Hukum
c. Ilmu
Tasawuf
d. Ilmu
Filasafat Islam
e. Ilmu
Sejarah Islam
f. Ilmu
Pendidikan Islam
2. Al-Quran sebagai Wahyu Allah SWT yaitu
seluruh ayat Al-Qur’an adalah wahyu Allah; tidak ada satu kata pun yang datang
dari perkataan atau pikiran Nabi.
3. Kitabul Naba wal akhbar
(Berita dan Kabar) arinya, Al-Qur’an merupakan khabar yang di
bawah nabi yang datang dari Allah dan di sebarkan kepada manusia.
4. Minhajul Hayah (Pedoman
Hidup), sudah seharusnya setiap Muslim menjadikan
Al-Qur’an sebagai rujukan terhadap setiap problem yang di hadapi.
5. Sebagai salah satu sebab masuknya orang arab ke agama
Islam pada zaman rasulallah dan masuknya
orang-orang sekarang dan yang akan datang.
6. Al-Quran sebagai suatu yang bersifat Abadi
artinya, Al-Qur’an itu tidak akan terganti oleh kitab apapun sampai hari kiamat
baik itu sebagai sumber hukum, sumber ilmu pengetahuan dan lain-lain.
7. Al-Qur’an di nukil secara mutawattir artinya, Al-Qur’an
disampaikan kepada orang lain secara terus-menerus oleh
sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta
karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-bedanya tempat tinggal mereka.
8.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum, seluruh mazhab sepakat
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menetapkan hukum, dalam kata lain bahwa
Al-Qur’an menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah.
9. Al-Qur’an
di sampaikan kepada nabi Muhammad secara lisan
artinya, baik lafaz ataupun maknanya dari Allah SWT.
10. Al-Qur’an
termaktub dalam Mushaf, artinya bahwa setiap
wahyu Allah yang lafaz dan maknanya berasal dari-Nya itu termaktub dalam Mushaf
(telah di bukukan).
11. Agama islam datang dengan al
qur'annya membuka lebar-lebar mata manusia agar mereka
manyadari jati diri dan hakikat hidup di muka bumi.
2.6. PENERAPAN HUKUM ISLAM
Penerapan Hukum Islam dalam Kehidupan Muslim Allah SWT
telah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah secara bertahap sebagai pedoman
bagi seluruh umat manusia. Karena seperti yang telah dijelaskan dalam Surat
Al-Anbiya ayat 107:
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
”Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.”
Ketika satu ayat diturunkan, maka segera beliau
menyampaikannya. Apabila ayat itu berisi suatu perintah, maka beliau dan kaum
muslimin segera melaksanakannya. Apabila berisi larangan, maka beliau dan kaum
muslimin juga segera meninggalkan dan menjauhinya. Sehingga, beliau segera
menerapkan hukum-hukum tersebut, begitu ayat-ayat tentang hukum itu turun.
Tanpa menunggu-nunggu barang sejenak, maupun menangguhkannya. Itulah penerapan
Hukum Islam pada zaman Rasulullah. Penerapan Hukum Islam yang turunnya dari
Allah hukumnya adalah wajib sesuai firman-Nya dalam Surat Al-Maidah ayat 49 :
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ
بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ
النَّاسِ لَفَاسِقُون َ
“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan kamu terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
Sedangkan penerapan Hukum Islam pada zaman sekarang
lambat laun mengalami degradasi 16
penggunaan Hukum Islam secara menyeluruh. Banyak hukum yang digunakan tidak
berasal dari hukum Allah, melainkan dipadu-padankan dengan hasil pemikiran
manusia. Penerapan Hukum Islam sekarang lebih mengedepankan pendapat
masing-masing individu yang terkadang juga dituliskan dalam perundang-undangan.
Jika penerapannya diserahkan kepada setiap individu, setiap orang akan
menyatakan dirinya sebagai hakim, yang berakibat terjadinya kekacauan struktur
sosial. Sebab itu, pemerintah merupakan jalur terbaik untuk menerapkan
hukum-hukum itu. Jika cara ini tidak terwujud, maka umat Islam harus turun
tangan bekerja sama dengan ikhlas untuk melakukan munasabah amar ma'ruf nahi
munkar kepada mereka. Jika mereka tidak menghiraukannya, maka umat Islam harus
membentuk sebuah lembaga (as-sulthah) yang memiliki kekuatan hukum sebagai
wacana mewujudkan hukum-hukum itu.
2.7. SEBAB AL-QUR’AN
SEBAGAI SUMBER HUKUM
Kitab suci Al-Qur'an memiliki keistimewaan-keistimewaan yang dapat
dibedakan dari kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya, di antaranya ialah:
Ø Al-Qur'an
memuat ringkasan dari ajaran-ajaran ketuhanan yang pernah dimuat kitab-kitab
suci sebelumnya seperti Taurat, Zabur, Injil dan lain-lain. Juga ajaran-ajaran
dari Tuhan yang berupa wasiat. Al-Qur'an juga mengokohkan perihal kebenaran
yang pernah terkandung dalam kitab-kitab suci terdahulu yang berhubungan dengan
peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa, beriman kepada para rasul, membenarkan
adanya balasan pada hari akhir, keharusanmenegakkan hak dan keadilan, berakhlak
luhur serta berbudi mulia dan lain-lain. Allah Taala berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
ۚ
“Kami menurunkan kitab Al-Qur'an kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya, untuk membenarkan dan menjaga kitab yang terdahulu sebelumnya. Maka dari itu, putuskanlah hukum di antara sesama mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah. Jangan engkau ikuti nafsu mereka yang membelokkan engkau dari kebenaran yang sudah datang padamu. Untuk masing-masing dari kamu semua Kami tetapkan aturan dan jalan.”(QS. Al-Maidah: 48)
Ø Ajaran-ajaran
yang termuat dalam Al-Qur'an adalah kalam Allah yang terakhir untuk memberikan
petunjuk dan bimbingan yang benar kepada umat manusia, inilah yang dikehendaki
oleh Allah Ta'ala supaya tetap sepanjang masa, kekal untuk selama-lamanya. Maka
dari itu jagalah kitab Al-Qur'an agar tidak dikotori oleh tangan-tangan yang
hendak mengotori kesuciannya, hendak mengubah kemurniannya, hendak mengganti
isi yang sebenarnya atau punhendak menyusupkan sesuatu dari luar atau
mengurangi kelengkapannya.
Allah Ta'ala
berfirman:“
Sesungguhnya
Al-Qur'an adalah kitab yang mulia. Tidak akan dihinggapi oleh kebatilan
(kepalsuan), baik dari hadapan atau pun dari belakangnya. Itulah wahyu yang
turun dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Terpuji.” (QS. Fushshilat: 41-42)
Allah Ta'ala
berfirman pula:
إِنَّا نَحْنُ
نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 9)
Adapun
tujuan menjaga dan melindungi Al-Qur'an dari kebatilan, kepalsuan dan
pengubahan tidak lain hanya agar supaya hujah Allah akan tetap tegak di hadapan
seluruh manusia, sehingga Allah Ta'ala dapat mewarisi bumi ini dan siapa yang
ada di atas permukaannya.
Ø Kitab Suci
Al-Qur'an yang dikehendaki oleh Allah Ta'ala akan kekekalannya, tidak mungkin
pada suatu hari nanti akan terjadi bahwa suatu ilmu pengetahuan akan mencapai
titik hakikat yang bertentangan dengan hakikat yang tercantum di dalam ayat
Al-Qur'an. Sebabnya tidak lain karena Al-Qur'an adalah firman Allah Ta'ala,
sedang keadaan yang terjadi di dalam alam semesta ini semuanya merupakan karya
Allah Ta'ala pula. Dapat dipastikan bahwa firman dan amal perbuatan Allah tidak
mungkin bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Bahkan yang dapat
terjadi ialah bahwa yang satu akan membenarkan yang lain. Dari sudut inilah,
maka kita menyaksikan sendiri betapa banyaknya kebenaran yang ditemukan oleh
ilmu pengetahuan modern ternyata sesuai dan cocok dengan apa yang terkandung
dalam Al-Qur'an. Jadi apa yang ditemukan adalah memperkokoh dan merealisir
kebenaran dari apa yang sudah difirmankan oleh Allah Swt. sendiri.
Dalam hal
ini baiklah kita ambil firman-Nya,
سَنُرِيهِمْ
آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ
الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ..
“Akan Kami
(Allah) perlihatkan kepada mereka kelak bukti-bukti kekuasaan Kami disegenap
penjuru dunia ini dan bahkan pada diri mereka sendiri, sampai jelas kepada
mereka bahwa Al-Qur'an adalah benar. Belum cukupkah bahwa Tuhanmu Maha
Menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat: 53).
Ø Allah Swt.
berkehendak supaya kalimat-Nya disiarkan dan disampaikan kepada semua akal
pikiran dan pendengaran, sehingga menjadi suatu kenyataan dan perbuatan.
Kehendak semacam ini tidak mungkin berhasil, kecuali jika kalimat-kalimat itu
sendiri benar-benar mudah diingat, dihafal serta dipahami. Oleh karena itu Al-Qur'an
sengaja diturunkan oleh Allah Ta'ala dengan suatu gaya bahasa yang istimewa,
mudah, tidak sukar bagi siapa pun untuk memahaminya dan tidak sukar pula
mengamalkannya, asal disertai dengan keikhlasan hati dan kemauan yang kuat. Di
antara bukti kemudahan bahasa yang digunakan oleh Al-Qur'an ialah banyak sekali
orang-orang yang hafal di luar kepala, baik dari kaum lelaki, wanita,
anak-anak, orang-orang tua, orang kaya atau miskin dan lain-lain sebagainya.
Allah Swt. Berfirman:“
وَلَقَدْ
يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Sungguh Kami
(Allah) telah membuat mudah pada Al-Qur'an untuk diingat dan dipahami. Tetapi
adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar:17)
BAB III
PENUTUP
3.1.SIMPULAN
1. Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan
kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur’an tertulis
dalamn bentuk mushaf diawali dengan surat al-fatihah dan ditutup dengan an-Nas.
Al-Qur’an mempunyai kedudukan yang sanagt penting bagi manusia sebagai pedoman
kehidupan
2. As-Sunnah berarti perkataan, perbuatan, dan
taqrir nabi Muhammad SAW yang berfungsi sebagai penguat hukum yang telah
ditetapkan oleh Al-Qur’an, memberikan rincian terhadap pernyataan Al-Qur’an
yang bersifat global, membatasi kemutlakan yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, dan
menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an.
3. Ijtihad yaitu menggunakan keseluruhan
kesanggupan berfikir untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan mengeluarkan
hukum dari al-Qur’an dan Sunnah
4. Fungsi hukum islam dalam kehidupan
bermasyarakat yaitu fungsi ibadah, fungsi amar ma’ruf nahi munkar, fungsi
zawazir, dan fungsi tanzim wa Islah al Ummah.
5. Kontribusi hukum islam yang sudah menjadi
hukum nasional antara lain hukum perkawinan, hukum tentang pelaksanaan haji,
bagi hasil, infaq dan wakaf.
6. Fungsi
hukum islam dalam kehidupan bermasyarakat adalah mengatur segala tingkah laku
dari bangun tidur sampai tidur lagi.
3.2.SARAN
Islam bukan
hanya sekedar nama, akan tetapi sebuah agama yang memiliki aturan-aturan yang
harus kita taati. Mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita
mampu menjadi muslim yang benar ada nya. Islam bukan lelucon yang mampu kita
permainkan dan merubah semua aturan tersebut. Dan jangan pernah jadikan islam
sebagai topeng untuk berbuat kedzaliman
Sebagai umat
islam yang menjunjung tinggi hukum, hendaklah kita selalu berpegang teguh
kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai pedoman hidup dalam kehidupan
bermasyarakat. Karena sesuai sabda Rosulullah jika kita berpegang teguh kepada
Al_qur’an dan Al-Hadist Insya’allah kita akan selamat dunia akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Muadz. 2011. Macam-macam Hukum. http://poltek-muadz.blogspot.com/. 09-12-2014
Ø Omase, Cs. 2013. Macam-Macam Hukum Syariat Islam. http://www.suaragresik.com/2013/07/macam-macam-hukum-syariat-islam.html.
09-12-2014
Ø Setiawan, Eddy. 2012. Macam-Macam Hukum Islam. https://eddysetia.wordpress.com/2012/08/02/macam-macam-hukum-islam/. 09-12-2014
Ø Nur Alfiah, Siti. Sumber-Sumber Hukum Islam. http://sitinuralfiah.wordpress.com/bahan-ajar-2/sumber-sumber-hukum-islam/. 09-12-2014
Ø Masiv, Lyla. 2013. Ijtihad dan Fungsi Hukum Islam
dalam Kehidupan Masyarakat. http://lylamasiv.blogspot.com/2013/05/ijtihad-dan-fungsi-hukum-islam-dalam.html.
09-12-2014
Ø Qiso, Abdullah. 2013. Fungsi dan Kedudukan Al-Qur’an dalam
Islam. 09-12-2014
Ø Rahmawati, Kiki. 2011. Kedudukan Al-Qur’an dalam Hukum
Islam dan Pembagian Hukum Islam. http://kikirahmawati2111.blogspot.com/2011/08/kedudukan-al-quran-dalam-hukum-islam.html.
09-12-2014
Ø Ansori, Irfan. 2011. Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
Islam Pertama. http://rahasiasuksesirfanansori.wordpress.com/2011/10/31/al-quran-sebagai-sumber-hukum-islam-pertama/. 09-12-2014
Post a Comment for "Fungsi Hukum Islam"