Hadist tentang larangan perempuan menjadi pemimpin
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Peranan
wanita dalam masyarakat merupakan pokok
persoalan. Dimana kecenderungan penilaian bahwa normativitas
Islam menghambat ruang gerak wanita dalam masyarakat. Hal ini
didukung oleh pemahaman bahwa tempat terbaik bagi
wanita adalah di rumah, sedangkan di luar rumah banyak terjadi
kemudharatan.
Pandangan
yang paling umum adalah bahwa keluarnya wanita dari rumah
untuk maksud tertentu dihukumi dengan subhat, antara
diperbolehkan dan tidak. Dalam bahasan fiqh ibadah,
jika subhat lebih baik ditinggalkan. Sedangkan dalam fiqh muamallah
bisa dijalankan dengan rukhshah darurat. Akan tetapi menurut
pandangan Qardhawy, bahwa keluarnya wanita dari rumah untuk keperluan
tertentu adalah diperbolehkan. Bahkan menahan wanita di dalam
rumah hanyalah bentuk perkecualian dalam jangka waktutertentu sebagai
bentuk penghukuman[1].
Meski
banyak pendapat yang mengatakan hadis larangan kepempimpinan politik perempuan
dinilai sahih, ternyata masih dapat didiskusikan. Di kalangan ulama ada yang
tidak sepakat terhadap pemakaian hadis tersebut bertalian dengan masalah
perempuan dan politik. Tetapi banyak juga yang menggunakan hadis tersebut
sebagai argumen untuk menggusur perempuan dari proses. pengambilan keputusan.
Benarkah demikian, dari pembahasan makalah ini akan kami sebutkan beberapa
hadist yang berkaitan dengan hal tersebut sebagaiman yang akan diuraikan dalam
makalah ini.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Dari latar
belakang di atas penulis merumuskan masalah yaitu analisis hadist tentang
larangan kepemimpinan perempuan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hadist Pertama
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ
الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ
نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ أَيَّامَ الْجَمَلِ لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ لَنْ
يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً (رواه البخاري)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Utsman bin Al
Haitsam] telah menceritakan kepada kami ['Auf] dari [Al Hasan] dari [Abu
Bakrah] mengatakan; Dikala berlangsung hari-hari perang jamal, aku telah
memperoleh pelajaran dari pesan baginda Nabi, tepatnya ketika beliau
Shallallahu'alaihiwasallam tahu kerajaan Persia mengangkat anak perempuan Kisra
sebagai raja, beliau langsung bersabda: "Tak akan baik keadaan sebuah kaum
yang mengangkat wanita sebagai pemimpin urusan mereka." HR. Bukhari)
Sanad hadist, bermula dari Abu Bakrah yang mendengar
lansung dari Nabi, kemudian Al-Hasan, “Auf serta Utsman bin Al Haitsam dan
diriwayatkan oleh imam al-Bukhari. Abu bakrah adalah sahabat Nabi, kemudian
al-Hasan sendiri dari kalangan Tabi’in sebagai thobaqot yang meriwayatkan
hadist dari sejumlah Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta “Auf
adalah golongan Tabi’ut Tabi’in kemudian diikuti oleh Utsman bin Al Haitsam dan diriwayatkan oleh
imam al-Bukhari[2].
Al-Bukhari lahir di Bukhara,
Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun
beliau lebih dikenal Imam Bukhari seorang ahli hadits yang termasyhur diantara
para ahli hadits. Berdasarkan analisis singkat para perawi atau sanad hadist
tersebut dapat dikategorikan bahwa sanad hadist tersebut shahih dimungkinkan
adanya keteesambungan ganerasi anatara perawi. Berikut skema sanad hadist
tersebut:
B.
Hadist Kedua
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ
الْمَرْوَزِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ
الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنَا سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ َنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَزَادَ اللَّيْثُ الَ يُونُسُ كَتَبَ رُزَيْقُ إِلَى
ابْنِ شِهَابٍ وَأَنَا مَعَهُ يَوْمَئِذٍ بِوَادِي الْقُرَى هَلْ تَرَى أَنْ
أُجَمِّعَ َرُزَيْقٌ عَامِلٌ عَلَى أَرْضٍ يَعْمَلُهَا وَفِيهَا جَمَاعَةٌ مِنْ
السُّودَانِ وَغَيْرِهِمْ َرُزَيْقٌ يَوْمَئِذٍ عَلَى أَيْلَةَ فَكَتَبَ ابْنُ
شِهَابٍ وَأَنَا أَسْمَعُ يَأْمُرُهُ أَنْ يُجَمِّعَ ُخْبِرُهُ أَنَّ سَالِمًا حَدَّثَهُ أَنَّ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ َنْ
رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي
أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ
زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا َالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ
وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ َالرَّجُلُ رَاعٍ
فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Bisyr bin
Muhammad Al Marwazi] berkata, telah mengabarkan kepada kami ['Abdullah]
berkata, telah mengabarkan kepada kami [Yunus] dari [Az Zuhri] berkata, telah
mengabarkan kepada kami [Salim bin 'Abdullah] dari [Ibnu 'Umar] radliallahu
'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap
kalian adalah pemimpin." [Al Laits] menambahkan; [Yunus] berkata; Ruzaiq
bin Hukaim menulis surat kepada [Ibnu Syihab], dan pada saat itu aku bersamanya
di Wadi Qura (pinggiran kota), "Apa pendapatmu jika aku mengumpulkan orang
untuk shalat Jum'at?" -Saat itu Ruzaiq bertugas di suatu tempat dimana
banyak jama'ah dari negeri Sudan dan yang lainnya, yaitu di negeri Ailah-. Maka
Ibnu Syihab membalasnya dan aku mendengar dia memerintahkan (Ruzaiq) untuk
mendirikan shalat Jum'at. Lalu mengabarkan bahwa [Salim] telah menceritakan
kepadanya, bahwa ['Abdullah bin 'Umar] berkata, "Aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan
setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam
adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang
suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya.
Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan
dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang
pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai
pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut." Aku menduga
Ibnu 'Umar menyebutkan: "Dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas harta
bapaknya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atasnya. Setiap kalian adalah
pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang
dipimpinnya." (HR. Bukhari)
Sanad hadist yang kedua ini, dari Ibn Umar, Salim bin
'Abdullah, Az Zuhri seringkali meriwayatkan hadist dari Tabi’in, kemudian Yunus
adalah tobaqhot kecil dari Tabi’in, 'Abdullah serta Bisyr bin Muhammad Al
Marwazi dan hadist ini diriwatkan oleh Bukhari. Dalam analisis sanad Hadist
kedua ini, penulis mengambil pendapat al-Bukhari yang mengatakan bahwa sanad
hadist ini berkualitas shahih. Lebih jelasnya berikut skema sanad dari hadist
yang kedua:
Kedua hadist yang dipaparkan diatas, dipahami sebagai
isyarat bahwa perempuan tidak boleh dijadikan pemimpin dalam urusan
pemerintahan atau politik serta rumah tangga. Oleh karenanya banyak ulama yang
menyatakan seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah/imam. Para ulama
tersebut menanggapi hadis ini sebagai ketentuan yang bersifat baku-universal,
tanpa melihat aspek-aspek yang terkait dengan hadis, seperti kapasitas diri
Nabi SAW ketika mengucapkan hadis, suasana yang melatarbelakangi munculnya
hadis, setting sosial yang melingkupi sebuah hadis. Padahal, segi-segi yang
berkaitan dengan diri Nabi SAW dan suasana yang melatarbelakangi atau
menyebabkan terjadinya hadis mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman hadis
secara utuh.
C.
Kritik Matan
Dari
kalangan ulama’ atas masalah yang berkaitan dengan hadist kedua diatas,
meskipun dari segi sanad dinilai shahih. Akan tetapi sebagian banyak yang
mangkritisi matan atau isi dari hadist tersebut, seperti yang akan penulis
paparkan dibawah ini[3]:
1. Hadist
pertama
Hadist
pertama, jumhur ulama’ memahami hadist tersebut secara tektual. Mereka
berpendapat berdasarkan hadist tersebut perempuan dilarang memegang jabatan
menjadi kepala Negara, hakin dan lain-lain. Akan tetapi perempuan hanya diberi
tangung jawab untuk menjaga harta suaminya.
Kemudian
sebagian pendapat ulama’ mengatakan bahwa hadist tersebut semestinya dipahami
secara kontekstual yaitu dengan cara memahami bagaimana hadist tersebut keluar.
Antara lain memahami kondisi masyarakat dan system politik pada waktu itu.
Sehingga hadist tersebut dapat diterapkan pada situasi yang diinginkan Nabi
Muhammad dan ditinggalkan pada kondisi yang berbeda.
Maksudnya
dengan metode ini atau pendekatan kontekstual adalah memahami hadits
berdasarkan dengan peristiwa-peristiwa situasi ketika hadits itu disampaikan,
dan kepada siapa pula ditujukan. Dengan lain perkataan, bahwa dengan metode
kontekstual itu diperlukan sabab al-wurud al-hadits.
Jika
dipahami secara tekstual, maka akan timbul kesan diskriminasi antara antara hak
laki-laki dan perrempuan, secara konteks saat itu, secara sosiologis wanita
kurang dihargai dan memperoleh hak-haknya, bahkan tertindas akibat
warisan-warisan jahiliyah atas tradisi yang melekat dari bangsa Arab saat itu.
Dari paparan
di atas, hingga saat ini beberapa pemikir juga tetap banyak yang
mengaplikasikannya. Seperti Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya. Selanjutnya
dalam menganalisis hadist ini, penulis mengadopsi pendapat imam al-Ghazali,
ketika Nabi mengucapkan hadist tersebut pasukan Persia telah dipaksa mundur dan
luas wilayahnya makin menyempit. Dari pernyataan al-Ghazali tersebut,
memberikan isyarat bahwa perempuan tidak diserahi tugas sebagai pemimpin oleh
Nabi adalah perempuan yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan, baik dilihat
dari segi kepakaran maupun dari segi budaya setempat. Jadi hadist pertama tidak
bisa dijadikan alasan penolakan untuk menjadikan perempuan sebagai pemimpin.
2.
Hadist kedua,
Hadist ini
terdapat dalam lima kitab hadist dengan enam belas jalur sanad. Terhadap hadist
ini al-ghazali sepakat dengan muhadditsin bahwa dari segi sanad maupun matan hadist
ini berkualitas shahih. Namun al-Ghazali dalam hadist ini lebih memfokuskan
pada matan hadist bahwa ia hanya focus menyoroti kata “perempuan adalah
pemimpin dalam urusan rumah tangga suaminya”.
Akan tetapi,
menurut al-Ghazali perempuan boleh mengerjakan pekerjaan diluar rumah, namun
tetap diingatkan bahwa tugas utama perempuan adalah dalam rumah tangganya dan
apat melaksanakan kewajiban tersebut terlabih dahulu dan diliputi rasa
ketaqwaan.
D. Syarat Perempuan Bekerja di Luar Rumah
Bolehnya perempuan menduduki
posisi penting di lembaga pemerintahan – dari kepala negara sampai ketua RT– maupun
di sektor swasta bukan tanpa syarat. Islam membuat aturan-aturan yang harus
ditaati atas setiap langkah yang dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah.
Dalam hal ini, Qardawi menyatakan ada tiga syarat yang harus dipenuhi wanita
yang bekerja di luar rumah[4]:
أولاً أن يكون العمل مشروعًا، فلا يجوز أن تعمل المرأة
في عمل غير مشروع، كما لا يجوز للرجل أن يعمل في عمل غير مشروع، ولكن توجد أشياء
تجوز للرجل ولا تجوز للمرأة، فلا يجوز أن تعمل راقصة مثلاً، ولا يجوز أن تعمل
سكرتيرة خاصة لرجل يغلق عليها مكتب، وتضاء لمبة حمراء؛ فلا يجوز الدخول، لأن خلوة
المرأة بالرجل بلا زوج ولا محرم، محرمة بيقين وبالإجماع.
الأمر
الثاني: هو ألا يكون هذا العمل منافيًا لوظيفتها الأساسية في مملكتها الأساسية كما
تقول، فعملها الأول أنها زوجة تؤدي حقوق الزوجية، وأم تؤدي حقوق الأولاد، فإذا كان
هذا العمل سيتعارض تمامًا مع ذلك، فهذا لا يقبل بحال.
الأمر
الثالث: أن تلتزم بالآداب الإسلامية، مثل آداب الخروج واللبس والمشي والكلام
والحركة، فلا يجوز أن تخرج متبرجة، ولا يجوز أن تخرج متعطرة ليشم الرجال ريحها،
ولا يجوز أن تمشي كما قال تعالى: (ولايضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن) أي
تلبس حذاء بكعب عال وتضرب به في الأرض كأنها تقول للناس: “خذوا بالكم”، كما لا
يجوز الكلام إلا بالمعروف (ولا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض وقلنا قولًا
معروفًا) فهذه آداب يجب أن تراعيها إذا قامت بعملها هذا.
Pertama, pekerjaan itu tidak
dilarang syariah. Wanita tidak boleh melakukan pekerjaan yang dilarang syariah
sebagaimana hal itu tidak boleh bagi laki-laki. Akan tetapi ada juga jenis
pekerjaan yang boleh bagi laki-laki tapi tidak boleh bagi perempuan. Misalnya,
wanita tidak boleh menjadi penari, atau sekretaris pribadi bagi laki-laki yang
berada di dalam kamar tertutup. Karena wanita yang khalwat [berduaan dalam
ruangan tertutup] dengan lelaki lain tanpa ditemani suami atau mahram adalah
haram secara pasti menurut ijmak ulama.
Kedua, pekerjaan yang
dilakukan hendaknya tidak meniadakan tugas wanita yang utama yaitu sebagai
istri dengan melaksanakan hak-hak rumah tangga dan sebagai ibu dalam memenuhi
hak-hak anak. Sekiranya pekerjaan tersebut akan mengganggu tugas-tugas
utamanya, maka itu tidak bisa diterima.
Ketiga, berpegang teguh pada
etika Islam. Seperti tata cara keluar rumah, berpakaian, berjalan, berbicara,
dan menjaga gerak-geriknya. Oleh karena itu, wanita tidak boleh keluar tanpa
mengenakan busana muslim, atau memakai parfum supaya wanginya tercium
laki-laki. Dan tidak boleh berjalan dengan gaya jalan seperti yang digambarkan
Allah dalam QS An-Nur 24:31 “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”[34] Sebagaimana tidak dibolehkan
berbicara kecuali untuk kebaikan seperti disebut dalam QS Al-Ahzab 33:32 “Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik Inilah etika prinsip
yang harus dijaga oleh wanita yang bekerja di luar rumah.)[9]
E. Pandangan beberapa ulama` tentang wanita menjadi pemimpin
Ulama` yang tidak
membolehkannya
Alasan Pertama: Pemimpin wanita pasti
merugikan , seperti hadist dari abi bakroh قَالَ لَنْ
يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة
Alasan Kedua: Wanita kurang akal dan agama
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
عَقْلٍ
وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ
الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ مَا رَأَيْتُ
مِنْ نَاقِصَاتِ
“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang
akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain
salah satu di antara kalian wahai wanita.” (HR. Bukhari no. 304)
Adapun makna hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam:
ما رأيت من
ناقصات عقل ودين أغلب للب الرجل الحازم
من إحداكن فقيل يا رسول لله ما نقصان
عقلها ؟ قال أليستشهادة
المرأتين بشهادة رجل ؟ قيل يا رسول الله ما
نقصان دينها ؟ قالأ ليست إذا
حاضت لم تصل ولم تصم ؟
“Tidaklah aku pernah melihat
orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang
teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” Lalu ada yang
menanyakan kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud kurang
akalnya?” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah
persaksian dua wanita sama dengan satu pria?” Ada yang menanyakan lagi, ”Wahai
Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang agamanya?” Beliau shallallahu
’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah ketika seorang wanita mengalami
haidh, dia tidak dapat melaksanakan shalat dan tidak dapat berpuasa?” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Alasan Ketiga: Wanita ketika shalat
berjama’ah menduduki shaf paling belakang
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ
صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shof untuk
laki-laki adalah paling depan sedangkan paling jeleknya adalah paling belakang,
dan sebaik-baik shof untuk wanita adalah paling belakang sedangkan paling
jeleknya adalah paling depan.” (HR. Muslim no. 440)
Alasan Keempat: Wanita
tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, tetapi harus dengan wali
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, لاَ نِكَاحَ
إِلاَّ بِوَلِىٍّ
Alasan Kelima: Wanita menurut tabiatnya
cenderung pada kerusakan
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ،
فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ
، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَىْءٍ فِى
الضِّلَعِ أَعْلاَهُ ، فَإِنْ
ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ ،
وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ
أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
خَيْرًا
“Bersikaplah yang baik
terhadap wanita karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Bagian
yang paling bengkok dari tulang rusuk tersebut adalah bagian atasnya. Jika
engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk tadi, maka dia akan patah. Namun,
jika kamu membiarkan wanita, ia akan selalu bengkok, maka bersikaplah yang baik
terhadap wanita.” (HR. Bukhari no. 5184)
Alasan Keenam: Wanita mengalami haidh,
hamil, melahirkan, dan menyusui
“Dan perempuan-perempuan yang
tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan[5]; dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan
barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath Tholaq : 4)
Jika datang waktu seperti ini, maka di mana tanggung jawab wanita sebagai
pemimpin?
Ulama` yang membolehkannya
Alasan ke 1 Tidak ada ayat yang
secara tegas melarang wanita menjadi pemimpin
Analisis : Pola kalimat dalam
al-Qur’an dalam menetapkan suatu larangan ada kalanya dalam bentuk fiil nahi
(larangan) atau fiil nafi (pembatalan umum) atau berupa kalimat berita tetapi
maksudnya mengandung larangan. Mengenai larangan dan pembatalan hal ini telah
kita fahami bersama, adapun contoh mengenai pengabaran yang bersifat larangan
adalah firman Allah surat al baqoroh ayat 228 dan abasa ayat 1-2.
Syeikh Muhammad Abduh
rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya bahwa yang dimaksud dengan derajat
dalam ayat ini adalah kepemimpinan dan melaksanakan kebaikan .
Orang yang menentang hal ini
perlu mendalami bahasa arab supaya mengerti al-Qur’an dan pola-pola kalimat
bahasa arab yangberlaku di lingkungan ahli bahasa arab.
Alasan ke 2 Surat an Nisa ayat 34 hanya berkaitan dengan kepemimpinan keluarga
Analisis : untuk menguji
logika tersebut perlu kita ketahui bersama dengan pikiran yang logis :
Subhanahu wa Ta’alatelah
memberikan hak kekuasaan pada laki-laki lantas bagaimana dengan perkara yang
besar seperti mengatur negara? Bila dalam
ruang lingkup yang kecil saja Allah
Pendapat yang mengatakan ayat
itu hanya membatasi kekuasaan dalam keluarga maka kita perlu tengok kembali
para ulama salaf bahkan ulama sekarang dalam menafsirkan ayat tersebut. Mereka
para ulama memberikan penjelasan bahwa kepemimpinan itu adalah kepemimpinan
dalam segala aspek kehidupan tidak hanya terbatas pada keluarga. Diantara para
ulama tafsir yang berpendapat demikian adalah Syihabuddin al Baghdadi
rahimahullah dalam ruhul ma’ani, imam as Syaukani rahimahullah dalam fathul
qodir serta imam Thobathaba’I rahimahullah dalam tafsir mizan.
Alasan ke 3 Perempuan dan laki-laki
sama sebagai kholifah
Analisis : Kata kholifah memiliki tiga makna yaitu :
·
Pengganti, seperti termaktub
dalam surat al baqoroh ayat 30, dan yunus ayat 14.
·
Nabi, seperti termaktub dalam
shaad ayat 26.
·
Penghuni, seperti termaktub
dalam surat al a’raf ayat 129
Alasan ke 4 Perempuan juga
bertanggung jawab membangun pemerintah
Allah Ta’ala berfirman dalam surat at Taubah ayat 71:
“Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Alasan ke 5 Islam memberi hak
politik kepada wanita
Allah Ta’ala berfirman dalam surat As Syuraa ayat 38 :
“Dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang kami berikan kepada mereka[6].”
Analisis : Hak musyawarah bagi
perempuan sebagaimana disebut pada ayat tersebut tidak sendirinya dapat
dijadikan dasar hukum bahwa perempuan juga mempunyai hak memimpin pemerintah
dan negara. Hak seperti ini telah Allah Ta’ala khususkan bagi laki-laki seperti
tersebut dalam uraian point 1 dan 2.
Alasan ke 6 Al
Qur’an mengisahkan adanya kerajaan yang dipimpin oleh seorang wanita Allah
berfirman dalam surat Al Naml ayat 22-23 :
Artinya : Maka tidak lama
kemudian (hudhud) datang, lalu berakata:”Aku telah mengeathui seseuatu yang
tidak engaku ketahui dan aku membawa keapadamu dari negeri saba’ sebuah berita
yang benar. Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan yang memerintah negeri
mereka dan dia diberi segalanya serta mempunyai singgahsana yang besar.
Analisis : Bilqis menjadi ratu
di negeri Saba’ yang masyarakatnya musyrik. Setelah Bilqis masuk Islam di
hadapan Nabi Sulaiman ‘alaihisalam ia tidak lagi kembali menjadi ratu di Saba’.
Hal ini menunjukan bahwa syariat pada masa Nabi Sulaiman ‘alaihisalam juga
tidak membenarkan wanita untuk menjadi pemimpin negara.
Alasan ke7 Redaksi hadits tidak
melarang hanya meniadakan keberuntungan.
Alasan ke 8 Imam at
Thobari dan Malik membolehkan wanita menjadi hakim/qodli
Ibnu Tin mengatakan bahwa
hadits Abi Bakrah yang dijadikan hujah adalah hanya sebatas larangan menjadi
qodli (hakim). Ini adalah pendapat mayoritas ulama, tetapi Ibnu Jarir dan
mengatakan : Perempuan dibenarkan mengadili perkara-perkara yang perempuan
diterima menjadi saksinya, sebagian pengikut Maliki membenarkan seorang wanita
menjadi qodli secara mutlak.
Alasan ke 9 Karena keadaan darurat
Ini adalah alasan terakhir
yang mereka lontarkan untuk mendukung pendapat mereka yaitu karena darurat dan
kondisi yang mendesak, sebagaimana kaidah usul fiqh : الضرورة تبيح
المحضورات
“Darurat membenarkan semua hal yang tadinya terlarang”.
Ini adalah alasan terakhir
yang mereka lontarkan untuk mendukung pendapat mereka yaitu karena darurat dan
kondisi yang mendesak, sebagaimana kaidah usul fiqh.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berkaitan
dengan hadis kepemimpinan perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa Nabi SAW
saat menyampaikan hadis tersebut bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul
yang pembicaraannya pasti mengandung kebenaran dan dibimbing wahyu, tetapi
harus dipahami bahwa pendapat Nabi SAW yang demikian itu disabdakan dalam
kapasitas beliau sebagai manusia. biasa (pribadi) yang mengungkap realitas
sosial keberadaan masyarakat (bayan al-waqi') pada saat hadis tersebut
disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di
kemudian hari andai pemimpin itu diserahkan pada perempuan yang secara sosial
tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.
Dengan
demikian, hadis tentang pernyataan Nabi SAW dalam kepemimpinan perempuan
tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i kepala
negara; namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi SAW yang
memberikan peluang adanya 2 (dua) kemungkinan. Pertama, boleh jadi sabda Nabi
SAW tersebut merupakan do'a agar pemimpin sukses dan sebagaimana sikap dan
tindakan yang pernah beliau tunjukkan pula pada saat menerima kabar tentang
dirobeknya surat Nabi SAW oleh Kisra Persia. Kedua, boleh jadi hal tersebut
merupakan pendapat Nabi SAW yang didasarkan pada fakta realitas tradisi
masyarakat yang pada saat itu.
B. SARAN
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik
dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Azami, M. M. . Memahami Ilmu Hadist ( Tela’ah
Metodologi & Literatur Hadist) Jakarta: Lentera, 1997.
Bustamin, M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik
Hadist. Jakarta Raja Grafindo Persada, 2004.
Ismail, M. Syahudi. Metodologi Penelitian Hadist
Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Majid Khon, Abdul. Ulumul Hadist. Ed. Achmad
Zirzis, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadist. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002.
Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqolani, Bulughul
Marom Kitabul Qodo, Berut, Darur Fikr 2001, hlm.245.
[1] Taqiyuddin Abil Fath, Ikhkamul Akhkam, Kitabul Aiman wan-Nadar,
Berut, Darul Alamiyyah,2008 hlm. 139.
[2] Abi Abdillah
Abdus Salam. Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Marom. Juz IV Hal : 274
Maktabah Darul Fikr Bairut Lebanon.
[3] Qadri Azizi, Elektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Nasional
dan Hukum Umum. Cet. I, Yogyakarta, Gama Media, 2002, hlm. 37.
[4] Jamaludin
Abi Al-Hajjaj Yusuf Al-Mazi, Tahdzibul Kamal Fi Asmair-Rijal, (Bairut
: Muassasah Risalah, tt.),hal.16
[6] Abu
Abdullah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Riyadh: Baitul Afkar, 1998), hal.838
Post a Comment for "Hadist tentang larangan perempuan menjadi pemimpin"