Demokrasi dalam Al-quran
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Demokrasi
telah di kenal sejak abad ke-5 masehi sebagai respons terhadap pengalaman buruk
monarki dan kediktatoran di negara-negara kota Yunani kuno, namun ide-ide
demokrasi modern baru berkembang pada abad ke-16 Masehi, yakni tentang
kedaulatan rakyat dan kontrak sosial yang di perkenalkan oleh Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778). ide-ide tersebut merupakan respons terhadap monarki
absolut akhir abad pertengahan dalam sejarah Eropa, yang menggantikan kekuasaan
gereja (teokrasi).
Demokrasi
sebagaimana didefinisikan oleh Lincoln, adalah pemerintahan dari rakyat,
melalui rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Demokrasi mengandaikan masyarakat
secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh
aktivitas politik, legislatif, ekskutif, dan yudikatif. Dalam konsep politik,
demokrasi adalah apa yang sering dikaitkan dengan konsep politik, atau konsep
sosial tertentu, seperti konsep persamaan di hadapan di undang-undang,
kebebasan berkepercayaan dan akidah, keadilan sosial, jaminan atas hak-hak
tertentu, seperti hak hidup, berkebebasan, dan bekerja, serta sejenisnya.
Bila
difahami secara tekstual maka demokrasi adalah kekuasaan yang tidak terbatas,
karena rakyat yang punya kepentingan dan rakyat pulalah yang akan melaksanakan
di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu filsuf kenamaan seperti Jean Jacques
Rousseau menyempurnakan konsep demokrasi ini dengan teori demokrasi perwakilan,
di mana rakyat menitipkan hak dan kewajibannya melalui wakil-wakilnya yang
duduk baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sistem perwakilan inilah
yang kemudian dikembangkan menjadi norma berharga dan prinsip yang diterima
dalam dunia politik kontemporer.
Pemikiran
demokrasi ini merupakan reaksi dan perlawanan terhadap pemikiran penyerahan
diri kepada Tuhan yang berkembang di Eropa pada saat itu. Pemikiran penyerahan
diri ini menyatakan bahwa para raja menjalankan hukum atas pilihan dan
penyerahan dari Tuhan. Dengan demikian, para raja mempunyai kekuasaan mutlak
dalam kehidupan politik, bahan sampai kekuasaan yang tidak terbatas. Wajarlah
bila paham kedaulatan rakyat saat itu menjadi alternatif untuk keluar dari
kekuasaan mutlak para raja atas dasar perwakilan Tuhan.
Umat Islam
seringkali kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama, demokrasi
bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum diterima secara
bulat. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa reserve,
sementara yang lain, justru bersikap ekstrem. Menolak bahkan
mengharamkannya sama sekali. Tak sedikit sebenarnya yang tidak bersikap
sebagaimana keduanya. Artinya, banyak yang tidak mau bersikap apapun.
Kondisi ini dipicu dari kalangan umat Islam sendiri yang kurang memahami
bagaimana Islam memandang demokrasi.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka
kami penulis mencoba merumuskan beberapa masalah, diantaranya:
1.
Apakah
Al Qur’an berbicara tentang demokrasi?
2.
Apakah
demokrasi memiliki kelemahan dalam perspektif Al-Qur’an?
3.
Bagaimana
posisi dalam perspektif demokrasi (Qur’ani)?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Memaknai
Demokrasi Dalam Islam
Bagi
Islam, secara umum demokrasi adalah konsepsi netral yang bisa berarti positif
dan negatif. kenegatifannya manakala konsep tersebut mengabdi pada imperialisme
barat dan disatu sisi dipaksakan pada dunia timur. Sementara aspek positifnya,
konsep demokrasi mampu menumbangkan rezim-rezim diktator di berbagai belahan
negara komunis di penghujung abad yang lampau. Para pakar politik, terutama di
kalangan negara-negara islam, melihat adanya persamaan dan kemiripan antara
islam dan demokrasi. Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang menekankan
pada hak-hak dan kewajiban rakyat, dan keseimbangan antara rakyat dan negara.
Sementara Islam sangat menghargai esistensi kemanusiaan.
Praktek
demokrasi sesungguhnya telah berlangsung sejak zaman Rasulullah hidup bersama
masyarakat kota Madinah. Peristiwa Baitul Aqabah I dan II, Nabi Muhammad
diangkat menjadi imam oleh utusan dari Madinah.
Begitu
juga tentang ketaatan rakyat kepada pemerintahannya secara prinsip diatur dalam
Al Qur'an dan Al Hadits. Dalam QS. Annisa: 59, menyatakan “Wahai
orang-orang yang beriman taatilah Allah swt, tatatilah Rasul-Nya, dan para
pemimpin di antara kamu”. Ayat ini memberikan konsep ketaatan rakyat kepada
pemerintah sejajar dengan ketaatan dalam beribadah. Begitu pentingnya ayat-ayat
politik ini sehingga dibutuhkan penalaran yang jernih dalam menangkap makna
yang tersirat dalam berbagai teks Al Qur'an di kalangan umat islam, terdapat 3
pola pemahaman relasi islam dan politik;
1.
Pola
integralistik, di mana kelompok ini memahami bahwa islam mengatur secara detail
persoalan sosial kemasyarakatan, termasuk persoalan politik kenegaraan.
2.
Pola
sekularistik di mana islam dan politik adalah sesuatu yang berbeda, sehingga
agama mengurusi hal-hal yang ukhrowi, sementafa politik hany berdimensi transcendental.
3.
Pola
fakultatif, yakni pemahaman yang sangat moderat dan realistik. Faham ini
menyadari bahwa Islam adalah agama yang sempurna (kaffah), namun Al Qur'an
tidak memberikan aturan detail perihal suatu macam ibadah. Konsekwensinya,
urusan detail tentang persoalan muamalah termasuk politik diserahkan secara
teknis sesuai dengan situasi dan kondisi.
Demokrasi
adalah sebuah tema yang banyak dibahas oleh para ulama dan intelektual Islam.
Untuk menjawab dan memposisikan demokrasi secara tepat kita harus terlebih
dahulu mengetahui prinsip demokrasi berikut pandangan para ulama tentangnya.
B.
Prinsip
Demokrasi
Menurut
Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi
standar baku, di antaranya:
1.
Kebebasan
berbicara setiap warga negara.
2.
Pelaksanaan
pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali
atau harus diganti.
3.
Kekuasaan
dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas
4.
Peranan
partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat.
5.
Pemisahan
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
6.
Supremasi
hukum (semua harus tunduk pada hukum).
7.
Semua
individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.
C.
Pandangan
Ulama tentang Demokrasi:
Dalam
hal ini ada pro dan kontra dari kalangan ulama’ dalam memandang demokrasi
apakah sejalan dengan Al Qur’an ataukah malah haram karena tidak sesuai dengan
syari’at.
Adapun
yang berpendapat bahwa demokrasi tidak menyalahi syari’at, diantaranya sebagai
berikut:
1.
Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi secara
tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang
memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi
adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga
cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat)
merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham
teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan
di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas
pada para pendeta.
2.
Muhammad
Iqbal
Menurut Iqbal, sejalan dengan
kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi
spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama.
Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang
bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya,
menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah
kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah
konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi
yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang
berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai
berikut:
·
Tauhid
sebagai landasan asasi.
·
Kepatuhan
pada hukum.
·
Toleransi
sesama warga.
·
Tidak
dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
·
Penafsiran
hukum Tuhan melalui ijtihad Muhammad Imarah
Menurut
beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya
secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan
hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura
(Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan
hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum
sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang
tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi,
Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi
sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya. Demokrasi Barat
berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut
Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat
Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam
pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman. Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta
alam. (al-A’râf: 54).
Inilah
batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun
hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas,
serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
3.
Yusuf
al-Qardhawi
Menurut beliau, substasi demokrasi
sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya:
·
Dalam
demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang
kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka
tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan
Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh
makmum di belakangnya.
·
Usaha
setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam.
Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin
adalah bagian dari ajaran Islam.
·
Pemilihan
umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak
menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi
kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak,
berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat
dibutuhkan.
·
Penetapan
hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip
Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk
Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara
mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya
yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan
tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu
Abdullah ibn Umar. Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat,
serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan
dengan Islam.
4.
Salim
Ali al-Bahnasawi
Menurutnya, demokrasi mengandung
sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif
yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan
rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah
penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap
menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan
adanya Islamisasi demokrasi sebagai berikut:
·
Menetapkan
tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
·
Wakil
rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
·
Mayoritas
bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan
Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
·
Komitmen
terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral
yang duduk di parlemen.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya
bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep
demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam
mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah
kebijakan lewat wakilnya.
Adapun
yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak
sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari
rambu-rambu illahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi
yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
1.
Demokrasi
tersebut harus berada di bawah payung agama.
2.
Rakyat
diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3.
Pengambilan
keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4.
Suara
mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama
dalam musyawarah.
5.
Musyawarah
atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang
sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6.
Produk
hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7.
Hukum
dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
B.
SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
A.Dahl,
robert, Demokrasi dan Pengkritiknya, terj. A. Rahman Zainuddin,
(Jakarta: Paramadina, 1992)
A. Kamil,
Sukron, Islam dan Demokrasi, Tela’ah konseptual dan historis, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002).
Efendi,
Bachtiar, “Islam dan Demokrasi : Mencari Sebuah Sintesa yang Memungkinkan” dalam
M. Nasir tamara dan Elza peldi taher (Ed), Agama dan Dialog antar peradaban, (Jakarta:
Paramadina, 1996).
Post a Comment for "Demokrasi dalam Al-quran"