Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Fungsi hadist terhadap Al-qur'an



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, memiliki peranan sangat penting dalam membentuk peradaban manusia yang mulia. Sebagai agama, Islam tidak saja hanya mengatur hubungan manusia dan Tuhannya, tetapi juga hubungan manusia dan manusia, hubungan manusia dan alam sekitarnya. Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam adalah wahyu Allah SWT yang berisikan sejarah, hukum, dan syariat-syariat yang menuntun dan membimbing umat Islam ke jalan yang benar, yang pada akhirnya akan memuliakan manusia itu sendiri. Al-Quran juga membenarkan Kitab-Kitab yang Allah turunkan sebelumnya yaitu Zabur, Taurat dan Injil.
Sebagai kitab suci tentu saja Al-Quran merupakan sumber hukum utama bagi umat Islam dalam menjalankan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan Allah. Untuk menjelaskan banyak hal yang bersifat umum dalam Al-Quran, maka Hadis memiliki peran penting dalam menuntun dan dan mengarahkan manusia dalam menjalankan ajaran Al-Quran.
Kata “Hadis” secara bahasa dapat diartikan “baru” (al-jadid), yang merupakan lawan kata dari al-qadim (lama/terdahulu). Makna ini dipahami sebagai berita yang disandarkan kepada Nabi Saw, karena pembaruannya sebagai perimbangan dengan berita yang terkandung dalam Al-Quran yang sifatnya qadim. Dengan demikian hadis memiliki peran yang sangat penting dan tinggi bagi umat Islam sebagai sumber hukum atau penjelasan dari sumber hukum yang ada di Al-Quran.
Terkadang, banyak yang memahami agama setengah-setengah, dengan dalih kembali pada ajaran Islam yang murni, yang hanya berpegang teguh pada sunnatullah atau Al-Quran saja dan meniadakan peranan hadis, sehingga banyak yang terjerumus pada jalan yang sesat, mereka tidak hanya sesat melainkan juga menyesatkan yang lain. Oleh karena itu, peranan hadis terhadap Al-Quran dalam melahirkan hukum syariat Islam tidak bisa dikesampingkan lagi, karena tidak mungkin  umat Islam memahami ajaran Islam dengan benar jika hanya merujuk pada Al-Quran saja, melainkan harus diimbangi dengan hadis.
Di sisi lain Imam Syafi’i telah menanamkan fondasi epistemologis yang sangat kokoh ketika mengeluarkan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: iza asaha al-hadits fahuwa mazhabi, bahwa ketika “jika sebuah hadis telah teruji kesahihannya, itulah mazhabku”. Berawal dari konteks ini ternyata perkembangan agama (hukum) Islam tidak terlepas dari kontek kajian hadis.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Kedudukan hadist sebagai sumber hukum islam?
2.      Bagaimana kedudukan hadist sebagai bayan at-taqrir?
3.      Bagaimana kedudukan hadist sebagai bayan at tafsir?
4.      Bagaimana kedudukan hadist sebagai bayan at tasyri’?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    KEDUDUKAN HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Kedudukan hadits atau sunnah mendekati Al-Quran. Hadis adalah berfungsi menafsirkan nashnya, menjelaskan pengertiannya, men-takhsishyang ‘amm, men-taqyid yang muthlaq, menjelaskan yang musykil, menjelaskan yang mubham, dan menjelaskan hukum-hukumnya. Oleh karena itu wajib mengikutinya sebagaimana mengikuti Al-Quran. Dengan demikian sangat jelaslah kedudukan hadis di dalam Islam sangat tinggi dan penting, terlebih lagi dalam pengambilan hukum yang tepat yang dapat diterapkan dalam kehidupan umat Islam[1].
Imam Ahmad berkata, “mencari hukum dalam Al-Quran haruslah melalui hadis, demikian pula halnya dengan mencari agama. Jalan yang dibentang untuk mempelajari fiqh Islam sesuai syariat ialah melalui haditsatau sunnah.”
 Sebagaimana telah dikemukan bahwa para ulama sepakat dalam menetapkan bahwa hadis berkedudukan sebagai pensyarah dan penjelas bagi Al-Quran. Dalam hal ini Al-Quran kerap kali membawa keterangan-keterangan yang bersifat tidak terinci dan ada juga yang bersifat umum atau tidak dibatasi.
Kedudukan sunnah (hadis) dalam Islam sebagai sumber hukum. Para ulama juga telah berkonsensus bahwa dasar hukum Islam adalah Al-Quran dan sunnah (hadis). Dari segi urutan tingkatan dasar Islam ini, sunnah (hadis) menjadi dasar hukum Islam (tasyri’iyyah) kedua setelah Al-Quran. Hal ini dapat dimaklumi karena beberapa alasan sebagai berikut:
1.      Fungsi sunnah (hadis) sebagai penjelas terhadap Al-Quran
Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap Al-Quran. Tentunya pihak penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks Al-Quran sebagai pokok asal, sedangkan sunnah sebagai penjelas (tafsir) yang dibangun karenanya. Dengan demikian segala uraian dalam sunnah berasal dari Al-Quran.


2.      Mayoritas sunnah relatif kebenarannya.
Seluruh umat Islam juga telah berkonsensus bahwa Al-Quran seluruhnya diriwiyatakan secara mutawatir (para periwayat secara kolektif dalam segala tingkatan). Maka ia memberi faedah absolut kebenarannya dari Nabi, kemudian di antaranya ada yang memberi petunjuk makna secara tegas dan pasti dan secara relatif petunjuknya. Sedangkan sunnah (hadis), diantaranya ada yang muatawatir yang memberikan faedah absolut kebenarannya, dan di antaranya bahkan yang mayoritas ahad (periwayatnya secara individual) memberikan faedah relatif kebenarannya bahwa ia dari Nabi meskipun secara umum dapat dikatakan absolut kebenarannya.

B.     Fungsi Hadist Sebagai Bayan at Taqrir
Dalam hal ini posisi hadits sebagai taqrir (penguat) yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam al Qur’an. Fungsi hadits disini hanya memperkokoh isi kandungan al Quran. Seperti hadits tentang shalat, zakat, puasa dan haji, merupakan penjelasan dari ayat shalat, ayat zakat, ayat puasa dan ayat haji yang tertulis dalam al Qur'an[2].
Contoh: Hadits Nabi tentang melihat bulan untuk puasa Ramadhan
صو مو ا لرءويته و افطروالرءويته
Artinya: ”Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihatnya”. (HR. Muttafaq alaih).
Hadits ini menguatkan firman Allah SWT
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
Artinya: ”Barangsiapa diantara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah”. (Q.S. Al  Imran: 185)
Hadits di atas dikatakan  bayan taqrir terhadap ayat al Qur'an, karena maknanya sama dengan al Qur'an, hanya lebih tegas ditinjau dari bahasanya maupun hukumnya.

C.    Fungsi Hadist Sebagai Bayan at Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan tafsir adalah hadist berfungsi untuk menerangkan ayat-ayat yang sangat umum (a’m), global (mujmal), dan kesaman makna (musytarak) dengan memberikan perincian  penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih global (mujmal), memberikan batasan (taqyid) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih belum terbatasi (muthlaq), dan memberikan kekususan (takhshih) ayat-ayat yang masih umum (a’m). Badri Khaeruman mendefinisikan dengan hadist yang difungsikan menerangkan hal-hal yang tidak mudah di ketahui pengertiannya (mujmal atau musytarok fihi) atau dapat dikatakan memberikan penafsiran dan penjabaran yang lebih konkret tentang garis besar yang ada di dalam al-Qur’an.
Jadi, bila memandang pengertian di atas maka bayan takhshis dan bayan taqyid termasuk dalam katagori bayan tafsir. Di antara contoh bayan tafsir  ini adalah:
1)      Bayan Tafsir Mujmal adalah seperti hadist yang menerangkan ke mujmala-an ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat dan haji. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan masalah ibadah tersebut masih bersifat global atau secara garis besarnya saja. Contohnya kita diperintahkan shalat, namun Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerankan rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya[3]. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi SAW dengan sabdanya,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
            “Shalatlah sebagaimana kamu melihatku shalat.”(H.R. Bukhari)

2)      Bayan Tafsir Musytarak Fihi, adalah menjelaskan tentang ayat quru’. Allah SWT berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Untuk menjelaskan lafazh quru’ ini, datanglah hadist Nabi SAW berikut ini,
طَلاَقُ الْأَمَةِ إِثْنَتَـانِ وَعِدَّ تُهَـا حَيْضَتَـانِ
“Talak budak dua kali dan iddahnya dua haid.” (H.R. Ibnu Majah)
Sehingga arti kata perkataan quru’ dalam ayat Al-Qur’an tersebut di atas berarti suci dari haid.

3)      Bayan Tafsir Taqyid adalah sifat mutlaq ayat Al-Qur’an yang antara lain
Q. S Al-Maidah (5) : 38, yaitu :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana[4].

Hadist Nabi:
لاَ تُقْطَعُ يَدُ السَّـارِقِ إِلَّافَيْ رُبْعِ دِيْنَـارٍ فَصـَاعِدًا
“Tangan pencuri tidak boleh di potong, melainkan pada (pencurian sebilai) seperempat dinar atau lebih.” (H. R. Mutafaq menurut lafadz Muslim)

4)    Bayan Tafsir Takhshis keumuman ayat-ayat Al-Qur’an adalah hadist Nabi SAW, berikut ini.
لاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْـأً
“Seorang pembunuh tidak berhak menerima harta warisan” (H. R. Ahmad)
Hadist tersebut men-takhshis keumuman firman Allah SWT dalam Q. S. An-Nisa (4): 11 yaitu :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan..

D.    Fungsi Hadist sebagai Bayan Tasyri’
Bayan tasyri’ adalah penjelasan hadis Nabi yang mendefenisikan suatu ketetapan hukum secara independen yang tidak didapati dalam nash-nash Al-Quran secara tekstual. Penjelasan itu muncul dengan sebab adanya permasalahan-permasalahan yang timbul di antara masyarakat[5]. Di sinilah hadis Nabi mengeluarkan penjelasan dan sekaligus keputusan dengan tidak berorientsi terhadap Al-Quran namun tetap ada bimbingan langsung dari sang pemilik semesta, Allah SWT.  Misalnya hadits Nabi:

و حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنرَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ
 الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Tidak boleh menikahi seorang perempuan bersamaan dengan bibinya dari pihak bapak & tak boleh menikahi perempuan bersamaan dengan bibinya dari pihak ibunya”. (HR. Malik No.977)

Hadits di atas menjelaskan bahwa seseorang dilarang mempoligami perempuan bersamaan dengan bibinya. Disini Nabi memutuskan suatu hukum akan larangan itu. Dalam Al-Quran tidak ada sebuah ayat tersurat tentang larangan mengawini perempuan bersamaan dengan bibinya baik dari arah ayah maupun ibu. Hanya ada dalam Al-Quran keterangan-keterangan tentang dilarangnya menikahi perempuan beserta kelurganya, seperti ibu, saudara, anak dan sebagainya. Disinilah hadis mejelaskan haramnya menikahi bibi perempuan yang dinikahi tanpa berorientasi terhadap Al-Quran dalam  membuat keputusan itu.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa apa yang telah disunnahkan oleh Rasulullah SAW tidak terdapat dalam kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga, sebagaimana Allah berfirman:
Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, yaitu jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan di bumi”. (Q.S. Al-Syura: 52)


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Al-Quran memang merupakan pedoman umat Islam yang utama, namun isi dan redaksi dari Al-Quran itu sendiri masih sangat bersifat global (mujmal). Maka dari itu kedudukan hadis dalam Islam yang utama adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Quran yang masih global. Rasulullah diperintahkan untuk menjelaskan tiap-tiap ajaran kepada para sahabat setelah beliau mendapatkan penjelasan dari Jibril.
Peran kedua adalah agar hadis menjadi pedoman ketika muncul persoalan-persoalan yang tidak secara spesifik terdapat dalam Al-Quran. Setelah masa Rasulullah SAW. Al-Quran dan Hadis dijadikan sebagai rujukan para ulama untuk mengeluarkan fatwa dan aturan lainya. Karena tidak menutup kemungkinan perseteruan akan terjadi di masa yang akan datang berhubungan dengan hukum dalam Al-Quran.
Peran yang ketiga, menjaga agar ayat-ayat Al-Quran tidak secara sembarangan dilencengkan sehingga seolah ayat-ayat Al-Quran berkontradiksi. Penjelasan Rasulullah sudah merupakan penjelasan yang dapat dipahami bahwa juga telah ditafsirkan mendalam oleh para ulama. Rasulullah yang bergelar uswatun hasanah segala ucapan dan kepribaianya adalah pencitraan dari Al-Quran. Sehingga umat Islam yang mengikuti hadis-hadis Rasulullah adalah mereka yang juga taat kepada Al-Quran.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.






DAFTAR PUSTAKA

Agus Solehudin, M dan Suyadi, Agus. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: Bumi Aksara
Noer Sulaiman, M. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Supian, Aan. 2014. Ulumul Hadis. Bogor: IPB Press




[1] Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Syaukani, Irsyadul Fuqul (Kairo: Darus Salam, 2006), Jilid:1 h.132

[2] Agus Solahudin, dkk, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h.78.

[3] Munzier Suprapta, Ilmu Hadist (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka: 2013), h.59.

[4] Badri Khaeruman, Ulum al-Hadist (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h.49.
[5] Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadist (Yogyakarta: Graha Guru, 2008), h.17.

Post a Comment for "Fungsi hadist terhadap Al-qur'an"