Fungsi Qawaidh fidyah dalam ilmu fiqih dan hubungannya dengan usul fiqh
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Kaidah
fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan
masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga merupakan
pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan cara
menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah. Berhubung hukum
fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang
menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan
sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi
tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman
berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya, adalah
perlu sekali.
Bahwa permasalahan-permasalahan yang muncul
dalam kehidupan sehari-hari beragam macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar
didapati jalan keluar untuk penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah
secara umum yang diikuti cabang-cabang secara lebih mendetail terkait
permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini tentunya
sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasahalan yang muncul
ditengah-tengah kehidupan di zaman modern ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Qawaid
Fiqhiyah?
2. Bagaimana
sumber-sumber Qawaid Fiqhiyah?
3. Bagaimana fungsi
Qawaid Fiqhiyah dalam ilmu fiqh?
4. Bagaimana hubungan
Qawaid Fiqhiyah dengan ushul fiqh?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qawaid Fiqhiyah
Dalam
pengertian ini ada dua terminologi yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu,
yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah,
dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan
atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr.
Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah:
"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan
hukum juz'i yang banyak"[1]
Sedangkan secara terminologi fiqh
berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi:
”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara
yang amaliyah yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan
melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan".
Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka
yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh
Imam Tajjudin as-Subki:
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian
dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat
itu".
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar
fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang
berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk
dalam ruang lingkup kaidah tersebut.
B.
SUMBER – SUMBER QAWAID FIQHIYYAH
Qawaid Fiqhiyyah adalah sebuah disiplin ilmu yang menjadi dasar
memberikan alasan terhadap para ulama dalam memberikan alasan dari hukum yang
mereka perpegangi. Terbentuknya Qawaid Fiqhiyyah sebagai sebuah ilmu, tidak
terlepas dari sumber – sumber yang menjadi dasar sehingga menjadi sebuah Qawaid
Fiqhiyyah. Adapun sumber-sumber Qawaid Fiqhiyyah di antaranya[2]
:
1.
Al quran
Al Quranul Karim merupakan sumber pokok dan dalil utama bagi hukum
syariat Islam. Kumpulan firman – firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw dan dinukilkan dengan jalan mutawatir. Ayat – ayat Al quran Allah
turunkan dengan cara yang terpisah – pisah menurut kejadian dan peristiwa dalam
masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu peristiwa tersebut di dalam istilah
hukum Islam di sebut asbabun nuzul.
Aturan – aturan hukum syariat ini berlakunya berangsur – angsur menurut
situasi sebab – sebab turunnya ayat, disesuaikan dengan kemampuan umat pada
masa dahulu. Membutuhkan stategi tepat untuk pendekatan kepada masyarakat
jahiliyyah untuk meninggalkan kebiasaan yang dilarang oleh syariat Islam dan
mengubah hukum mereka yang sudah kuno dengan hukum baru. Hal itu dapat dilihat dengan jelas
seperti aturan larangan minum khamar dan maisir.
Kebanyakan hukum yang ada dalam Al quran bersifat umum dan tidak
membicarakan soal – soal juz’i, dengan artian tidak satu persatu dijelaskan
secara rinci dalam Al quran. Karena itu,
Al quran membutuhkan penjelasan – penjelasan. Di antaranya melalui
Hadits. Dapat diketahui bahwa ayat Al quran yang umum seperti masalah shalat,
zakat, jihad dan urusan – urasan lainnya, dijelaskan dengan Hadits. Selain itu,
untuk menyingkapi persoalan kekinian yang membutuhkan jawaban untuk persoalan
ini, maka para ulama menggunakan ijma’ dan qiyas dalam mengambil suatu hukum.
Qawaid Fiqhiyyah bersumber dari teks Al quran untuk menyusun suatu
kaidah, seperti kaidah Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan. Dalil yang
menjadi patokan dari kaidah ini yaitu dalam surat AlBaqarah ayat 185
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu . . .
Surat Al-Baqarah ayat 286
“Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya”
Dari prinsip-prinsip yang termuat dalam teks
ayat di atas memberikan isyarat bahwa dalam hukum syar’i tidak didapati suatu
tuntutan yang melewati batas kemampuan hambanya. Pada hakikatnya bertujuan
untuk memberikan kemudahan dan keringanan. Dan contoh kaidah lain
yaitu Kemudharatan itu harus dihilangkan, ayat Al quran yang senada dengan
kaidah ini adalah surat Al-Baqarah ayat 231:
“janganlah kamu rujuki mereka
untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka”
2. Sunnah
Sunnah merupakan segala yang dinukilkan atau diberitakan dari Nabi saw,
baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan nabi. Melihat dari
pengertian di atas, sunnah dapat dibagi atas : Sunnah Qauliyyah, Sunnah
Fi’liyyah, dan Sunnah Taqririyyah. Sunnah ada kalanya
mutawatir dan ada kalanya ahad. Ulama sepakat bahwa hadits mutawatir dapat menjadi hujjah. Berkenaan hadits ahad, para
ulama berbeda pendapat dalam menjadi kan hadits ahad sebagai hujjah. Namun
hadits yang shahih yang dapat diterima untuk dijadikan hujjah, dan menjadi
sumber kaidah.
Rasulullah saw selalu menyampaikan segala sesuatu dengan cara singkat,
padat, lugas dan mudah dipahami. Dengan demikian, ucapan beliau banyak menjadi
inspirasi dalam lahirnya qawaid fihiyyah. Contoh kaidah yang merujuk kepada
sunnah atau hadits yaitu : hukum semua perkara itu sesuai dengan tujuan atau
niatnya.
Kaidah ini berkaitan dengan dalil hadits yang disampaikan oleh
Rasulullah yang berbunyi,
“sesungguhnya amal perbuatan bergantung pada niatnya”
Contoh lain seperti kaidah kemudharatan
itu harus dihilangkan.
Kaidah ini sama dengan hadits Nabi sawyang isinya:
“Tidak boleh membuat mudharat
terhadap diri sendiri dan tidak b oleh memudharatkan orang lain”
3. Ijma’
Setelah
Al Quran dan Sunnah, maka Ijma’ sebagai sumber ketiga menurut para ulama
sebagai sumber hukum syari’at Islam. Ijma’ merupakan suatu kemufakatan atau
kesatuan pendapat para ahli muslim yang mujtahid dalam segala zaman mengenai
sesuatu ketentuan hukum syari’at. Ijma’
sebagai hujjah dengan berdasarkan dalil Al quran yaitu dalam potongan ayat
surat An nisa ayat 115
“wahai
orang – orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada
Rasul dan ulil amri dari kamu sekalian...”
Adapun kaidah yang berdasarkan pada ijma’
yaitu : Tidak ada ijtihad jika sudah ada nash
4. Ijtihad
Ijtihad dalam pengertian bahasa
yaitu meluangkan kesempatan dan mencurahakan kesungguhan. Adapun dalam
pengertian istilah yaitu meluangkan kesempatan dalam usaha untuk mengetahui
ketentuan – ketentuan hukum dalam dalil Syari’at Segala persoalan hukum ulama – ulama
mujtgahid selalu memakai ketentuan – ketentuan nash kecuali jika pada suatu
persoalan tidak terdapat dalil nash mengungkapkan, maka disini mereka
mengqiyaskan perkara ini kepada perkara lain yang memiliki sama illatnya[3].
Dalam ijtihad, adapun contoh kaidah
yang digunakan yaitu “ijtihad yang lalu, tidak bisa dibatalkan ijtihad yang
baru”. Hal ini berdasarkan perkataan dari
Umar Bin Kattab :
“itu adalah yang kami putuskan pada
masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”.
Dari kaidah di atas maksudnya yaitu
ijihat yang satu tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain, tidak dapat
diganggu gugat, selagi tidak ada ijtihad yang lebih kuat yang dapat membantah.
5. Qiyas
Qiyas dari segi bahasa merupakan
mengukurkan sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya. Secara istilah ialah menetapkan
hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang
sudah ada ketentuan hukumnya. Adapun rukun qiyas ada empat macam
a. Asal (pokok) yaitu yang menjadi
ukuran (maqis ‘alaih)
b. Far’un (cabang) yaitu yang diukur
(maqis) atau yang diserupakan
c. Illat, yaitu sebab yang
menggabungkan pokok dengan cabang
d. Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi
cabang dan sama dengan yang terdapat pada pokok
Salah satu kaidah yang mirip dengan
qiyas yaitu
“sesuatu
yang baru terjadi disandarkan pada waktu terdekatnya”
5. Istihsan
Istihsan ialah meninggalkan hukum
sesuatu hal/peristiwa yang bersandar kepada dalil syara’ menuju kepada hukum
lain yang bersandar kepada dalil syara’ pula, karena ada suatu dalil syara’
yang mengharuskan peninggalan tersebut. Dalam istihsan, ada dua dalil untuk
menetapkan hukum sesuatu hal, kemudian seseorang mujtahid meninggalkan salah
satu dalil yang jelas/ kuat untuk menuju kepada dalil yang lain, karena ada
sesuatu hal. Salah satu kaidah yang menjadikan istihsan sebagai sumber
qawaid yaitu
“Apabila bertentangan dua mafsadat,
maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan dikerjakan lebih ringan
kepada mudaratnya”
6. Istishab
Dari segi bahasa perkataan Istishab
diambil dari perkataan “istishabtu ma
kaana fil maadhi” artinya saya membawa serta apa yang telah ada waktu yang
lampau sampai sekarang. Secara istilah, melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada
dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang
mengubah kedudukan hukum tersebut. Contoh kaidah yang
merujuk kepada istishab:
“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak
ada hal lain yang mengubahnya”
7. Mashlahah Mursalah
Merupakan kebaikan (mashlahah) yang
tidak disinggung-singgung syara’, untuk mengerjakan atau meninggalkannya,
sedangkan kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari keburukan. Salah satu kaidahnya
“Sesuatu yang lebih mampu mewujudkan
kemaslahatan dalam tiap wilayah lebih didahulukan”
8. Urf
‘Urf ialah apa yang biasa dijalankan
orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Dengan kata lain ialah adat
istiadat. Alasan pengambilan ‘Urf diantaranya
a. Syari’at Islam dalam mengadakan
hukum juga memperhatikan kebiasaan urf yang berlaku padda bangsa Arab, seperti
syarat kafaah dalam perkawinan dan urut-urutan perwalian dalam nikah dan
pewarisan harta pusaka atas dasar ashabah.
b. Apa yang dibiasakan orang, baik
kata-kata maupun perbuatan, menjadi pedoman hidup mereka yang membutuhkan.
Salah satu contoh kaidah yang
menjadikan Urf sebagai sumber qawaidnya:
“adat istiadat itu ditentukan
sebagai hukum”
9. Sadduz Zari’ah
Yaitu menumbat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan. Salah satu rujukan kaidah yaitu
“Menolak
kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan”
C. Fungsi
Qawaid Fiqhiyyah dalam Ilmu Fiqih
Ilmu fiqih mempunyai hubungan erat dengan qawid
fiqhiyyah, karena kaidah al-fiqhiyyah
merupakan kunci berfikir dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih.
Dengan bantuan qawaid fiqhiyyah semakin tampak jelas semua permasalahan hukum
baru yang tumbuh ditengah masyarakat dapat ditampung oleh syariat islam dengan
mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya.
Hal demikian dapat terjadi karena kaitan
permasalahannya dengan dalil-dalil yang terdapat dalam al-quran dan sunnah
(Hadits) Rasul semakin jelas kemana hubungannya. Persoalan baru semakin banyak
tumbuh dalam masyarkat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat
itu sendiri. Maka diperlukan kunci berpikir guna memecahkan persoalan
masyarakat sehingga tidak menjadi berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Dengan
demikian qawaid fiqhiyyah sangat berhubungan dengan tugas pengabdian ulama ahli
fiqih dalam rangka mengefektifkan dan mendinamiskan ilmu fiqih kearah pemecahan
problema hukum masyarakat[4].
Secara global manfa’at yang diperoleh pelajar yang
mempelajari qawaid al-fiqhiyyah antara lain:
1. Dapat
menyesuaikan persoalan yang masih rinci dengan menggunakan qawid fiqhiyyah
2. Mempeermudah
untuk memahami permasalahan yang ada pada setiap mazhab
3. Membantu
ahli fiqih untuk mengistinbathkan suatu hukum
4. Bisa
membantu untuk mengetahui maqhaasid as-syari’ah dan rahasia-rahasianya.
5. Ahli
Fiqih bisa memcahkan suatu permasalahan yang kontradiktf.
6. Mempermudah
seorang pelajar untuk bisa membandingkan antara mazhab dengan mazhab yang lain.
Dari beberapa fungsi qawaid fiqhiyyah diatas, dapat
di beri contoh bahwasannya ketika seorah faqih (ahli fiqih) dan pelajarpada
umumnya sudah menguasai qawaid fiqhiyyah secara keseluruhan, maka telah
sempurnalah kemampuan dalam memahami syariat agama atau bisa disebut ahli fiqih yang telah sempurna keilmuannya.
Qawaid Fiqhiyah
adalah salah satu cabang dari ilmu syariat, dimana ia memiliki fungsi yang
sangat penting bagi pembinaan hukum Islam.
Fungsi Qawaid Fiqhiyah itu sendiri adalah :
1. Untuk
menghadirkan berbagai macam hukum
2. Untuk
menunjukkan bahwa hukum-hukum yang sama illatnya meskipun berbeda-beda
merupakan satu jenis illat dan maslahat.
3. Untuk
memudahkan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukallaf.
Dari fungsi-fungsi
diatas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya qawaid fiqhiyyah kita bisa
mengetahui segala bentuk hukum secara lebih mendalam tidak hanya melihat secara
tekstual, dan dengan qawaid fiqhiyyah ini kita bisa menggali berbagai macam
hukum furuiyyah secara lebih mendalam.
Para ulama mazhab
yang empat sangat menjunjung tinggi ilmu ini, dan mereka menyebutkan pula
fungsi qawaid fiqhiyah sebagai berikut :
1. Menurut
Imam Sarkhasi dalam kitab Khitamu Ba’dul Fusuli, “siapa saja yang menghukumi
suatu masalah cabang dengan ashl dan memahaminya maka ia akan mudah mengambil
kesimpulannya”.
2. Menurut
Imam Al-Mardinami dalam kitab Al-Ma’akil, “barang siapa yang menghukumi ashl
dengan sebenarnya, maka ia bisa mengeluarkan hukum sesuai keinginannya".
3. Menurut
Ilmuwan Ibnu Nujen, “sebenarnya qawaid fiqhiyah merupakan ushul fiqh, namun
kemudian derajatnya meningkat ke derajat ijtihad meskipun dalam berfatwa”.
4. Menurut
Imam Al-Qarafi, “qawaid ini sangat penting dalam fiqh dan besar sekali
manfa’atnya. Mereka yang benar-benar menela’ahnya akan menjadi seorang faqih
dan mendapatkan kemuliaan, serta mendapatkan rahasia-rahasia fiqh. Ilmu ini
juga akan memudahkan dalam memberikan fatwa”.
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa fungsi qawaid fiqhiyyah dalam ilmu fiqih antara lain :
1. Dengan
menggunakan hukum ashal serta berbagai cabangnya, menjadikan seseorang mampu
untuk menganalisis berbagai masalah dan dapat memahami fiqih secara benar.
2. Dengan
mempelajarinya, akan membantu penghapalan dan penetapan berbagai masalah yang
berdekatan, dan mampu memcapai ketetapan hukum tanpa merasa lelah dan
memerlukan waktu yang panjang.
3. Kebutuhan
para hukum fiqh untuk menghafal qawaid semakin mendesak dikarenakan semakin
kompleksnya berbagai masalah dalam kehidupan.
4. Kurangnya
perhatian terhadap qawaid fiqhiyah, menurut Muhammad Ath-Thahir ‘Asyura, itu
menjadi penyebab terbelakangnya fiqh.
D. Hubungan
Qawaid Fiqhiyah dengan Ushul Fiqh
Ilmu Ushul fiqh apabila dikaitkan dengan fiqih
adalah sama dengan suatu ukuran atau control bagi penggalian hukum. Dengan
demikian posisi ilmu Ushul fiqih itu sama dengan posisi ilmu nahwu yaitu
digunakan untuk mengontrol penulisan dan pembicaraan. Sedangkan qawaid
fiqhiyyah putusan-putusan umum atau putusan yang bersifat mayoritas. Dimana
bagian-bagian yang termuat didalamnya adalah berupa permasalahan hukum fiqih.
Oleh karena itu, objek dari al-qaidah fiqhiyyah selamanya adalah perbuatan
mukallaf.
Antara Fiqh dan
Syari'ah itu saling berkaitan, hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq disebut umumun
khususun min wajhin yakni: Fiqh identik dengan Syari'ah dalam
hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar. Sementara pada sisi yang lain Fiqh
lebih luas, karena pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid yang
salah, sementara Syari'ah lebih luas dari Fiqh karena bukan hanya mencakup
hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah,
akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu. Syariah sangat lengkap, tidak hanya
berisikan dalil-dalil furu', tetapi mencakup kaidah-kaidah umum dan
prinsip-prinsip dasar dari hukum syara, seperti: Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhyah.
Syari’ah lebih universal dari Fiqh. Syari’ah wajib
dilaksanakn oleh seluruh umat manusia sehingga kita wajib mendakwahkannya,
sementara fiqh seorang Imam tidak demikian adanya. Syariah seluruhnya pasti
benar, berbeda dengan fiqh. Syari'ah kekal abdi, sementara fiqh seorang Imam
sangat mungkin berubah. Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah
yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah,
makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili). Produk
ilmu fiqh adalah “fiqh”, Produk kaidah-kaidah istinbath hukum dari
sumber-sumber hukum Islam yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh.
Jika qawaid
ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka qawaid
fiqhiyah dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing qawaid
tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat qawaid
ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang qawaid
fiqhiyah merupakan petunjuk pelaksana dari qawaid
ushuliyah tersebut, sehingga kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang
disebut sebagai qawaid fiqhiyah, yang jelas keduanya merupakan patokan dalam
mengistinbathkan dan mengijtihadkan suatu hukum.[5]
Dari uraian ditas
dapat disimpulkan bahwa, hubungan qawaid fiqhiyyah dengan Ushul Fiqih merupakan
suatu kesatuan yang utuh dalam memahami ilmu fiqih, jika dianalogikan sebuah
bangunan, yang mana bangunannya ini adalah ilmu fiqih. Maka yang menjadi
pondasi dari bangunan tersebut adalah Ushul fiqih, sedangkan Qawaid fiqhiyyah
merupakan penyempurna banguan tersbut, yang mana ushul fiqih ada sebelum ilmu
fiqih dan qawaid fiqhiyyah ada setelah
ilmu fiqih.
Ilmu fiqih, ilmu
ushul fiqih dan qawaid fiqhiyyah ini merupakan satu kesatuan yang sangat utuh
dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya, jadi seseorang belum
bisa dikatakan sebagai ahli fiqih jika dia belum menguasai ilmu ushul dan
qawaid fiqhiyyah.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Qawaid fiqhiyah adalah Suatu
perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari
padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu. Ilmu
fiqih mempunyai hubungan erat dengan qawid fiqhiyyah, karena kaidah
al-fiqhiyyah merupakan kunci berfikir
dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih. Dengan bantuan qawaid fiqhiyyah
semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah
masyarakat dapat ditampung oleh syariat islam dengan mudah serta cepat dapat
dipecahkan permasalahannya.
Hal demikian dapat terjadi karena kaitan
permasalahannya dengan dalil-dalil yang terdapat dalam al-quran dan sunnah
(Hadits) Rasul semakin jelas kemana hubungannya. Persoalan baru semakin banyak
tumbuh dalam masyarkat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat
itu sendiri. Maka diperlukan kunci berpikir guna memecahkan persoalan
masyarakat sehingga tidak menjadi berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Dengan
demikian qawaid fiqhiyyah sangat berhubungan dengan tugas pengabdian ulama ahli
fiqih dalam rangka mengefektifkan dan mendinamiskan ilmu fiqih kearah pemecahan
problema hukum masyarakat.
B.
SARAN
Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna
perbaikan untuk masa yang akan datang. Penulis berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca dalam memahami fungsi Qawaid Fiqhiyah dalam ilmu fiqh.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, iskandariyah
muassasah tsaqofah al- Jamiiyah .1983.
Hasbi as-siddiqy, Pengantar
Hukum Islam, Jakarta bulan bintang 1975.
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah
Fiqh, Jakarta. Bulan bintang. 1976.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta.
Ali Ahmad al Nadawy, al Qawi’id al Fiqhiyyah, (Dmasascus; Dar al
Qalam, 1994)
[1] Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushulfiqh al-Islami, iskandariyah
muassasah tsaqofah al-Jamiiyah. 1983.hal.4.
[2]
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah, (Ciputat: ADELINA,
2008), hal. 73
[3]
A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta
: Widjaya, 1962), hal. 125
[4]
Imam Musbikin, Qawaid
Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 91
[5]Asjmuni A.
Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan bintang. 1976. hal11.
Post a Comment for "Fungsi Qawaidh fidyah dalam ilmu fiqih dan hubungannya dengan usul fiqh"