Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hadist dan Sunnah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Nabi Muhammad SAW adalah manusia pilihan  Allah SWT yang diutus di muka bumi ini untuk memberikan bimbingan kepada umat manusia agar selamat dalam menjalani hidup di dunia yang merupakan tempat manusia menanam amal yang akan dipetiknya di akherat kelak. Sosok Nabi adalah sosok manusia yang menjadi uswatun hasanah bagi umat manusia. Semua ucapan, perbuatan maupun kebiasaan-kebiasaan beliau di abadikan dan dihabarkan sampai dengan kita melalui hadis-hadis yang telah di riwayatkan oleh para perawi hadis, sehingga dengan jasa-jasa para perawi tersebut kita dapat mempelajari dan meneladani beliau.
Para ulama sepakat bahwa Hadis adalah merupakan sumber hukum yang ke dua setelah Al-Qur`an, namun para ulama ada perbedaan dalam mendifinisikan hadis dan sunnah. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan sudut pandang masing-masing sesuai dengan terbatas dan luasnya obyek tinjauan masing-masing. Pada makalah ini akan kami sampaikan pengertian hadis dan sunnah menurut para ahli hadis serta kedudukannya dalam syariat Islam.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah pengertian hadist dan sunnah?
2.      Apakah perbedaan hadist dan sunnah?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN HADIS DAN SUNNAH
1.      Pengertian Hadits
a.       Pengertian Hadis Secara Etimologi
Menurut Ibn Manzhur, Kata Hadis berasal dari bahasa Arab yaitu al-hadits, jamaknya al-ahadits, al-hadistsan dan al-hudtsan . Secara etimologis kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al –qodim (yang lama) dan al-khabar yang berarti kabar atau berita. (Solahudin.,2009:13)
Secara Etimologi Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag dalam bukunya Ulumul Hadis mengemukakan bahwa kata hadis berasal dari akar kata حَدَثَ يَحدُثُ حُدُوثًا وَحَدَاثَة bermakana الجدّه yang berarti baru, الطّريّ yang berarti lunak dan الخبر ولكلام yang berarti berita, pembicaraan dan perkataan.
Dari makna etimologi di atas yang tepat dalam kontek ilmu hadis adalah hadis bermakana berita, pembicaraan dan perkataan karena yang dimaksud  hadis di sini adalah berita yang datang dari Nabi.
b.      Pengertian Hadis Secara Terminologi
Dari segi terminologi banyak para ahli hadis  memberikan definisi hadis yang berbeda, tetapi maknanya sama diaantaranya adalah:
Hadis ialah segala yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. baik perkataan, perbuatan maupun keizinannya. (Ali Fayyad terj. Drs. Zarkasyi Chumaidy, 1998:17)
Jumhuru`l Muhadditsin mengaritkan hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya. (Rahman, 1981: 6).
Dengan demikian, menurut ulama hadis, esensi hadis adalah segala berita yang berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ikhwal Nabi Muhammad SAW. (Solahudin, 2009:17)
Dari pengertian hadis tersebut di atas maka dapat dikatakan hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi. Segala yang bersumber dari nabi itu bisa berupa ucapan, perbuatan maupun sikap persetujuan maupun hal ikhwal nabi.
2.      Pengertian Sunnah
a.       Pengertian Sunnah Secara Etomologi
Menurut bahasa sunnah berarti” Jalan yang dilalui, baik atau buruk”. Arti lain ialah” jalan yang ditempuh kemudian di ikuti orang lain”.  Arti lain lagi adalah arah, peraturan, mode atau cara tentang tindakan atau sikap hidup. (Zuhri, 2003: 5)
Kata sunnah, menurut kamus Arab bermakna: jalan, arah, peraturan, mode atau cara tentang tindakan atau sikap hidup. (Mustofa Azami Terj A. Yamin, 1996:20)
b.      Pengertian Sunnah Secara Terminologi
Dari sudut terminologi para ahli hadis tidak membedakan antara hadis dan sunnah. Menurut mereka, hadis atau sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan penetapan maupun sifat beliau, dan sifat ini baik berupa sifat-sifat fisik, moral maupun perilaku sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya. (Solahudin, 2009:19)
Sunnah pada dasarnya sama dengan hadis, namun dapat dibedakan dalam pemaknaanya, seperti yang diungkapkan oleh M.M. Azami bahwa sunnah adalah model kehidupan Nabi SAW., sedangkan hadis adalah periwayatan dari model kehidupan Nabi SAW., tersebut. (Solahudin, 2009:19)
Muhammad Mustofa Azzami, MA.,Ph.D. menyatakan sunnah bermakna teladan kehidupan sehingga sunnah Nabi bermakna teladan kehidupan beliau (Mustofa Azami Terj A. Yamin, 1996:21)
Dari beberapa pengertian sunnah di atas maka dapat disimpulkan bahwa sunnah adalah segala yang datangnya dari Nabi Muhammad SAW.

B.     PERBEDAAN HADIS DAN SUNNAH
Perbedaan sunnah dan hadits Rasulullah SAW. Sebagai contoh sederhana, hadits nabi adalah semua perkataan, perbuatan dan taqrir yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dalam hal ini lepas dari sisi hukumnya, apakah merupakan bagian dari tasyri’ atau bukan.
Sedangkan sunnah Rasulullah SAW adalah aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW, baik melalui ucapan maupun tindakan beliau, dimana masalah itu memang menjadi bagian dari aturan syariat Islam. Dan dari sisi hukum, bisa menjadi wajib, mandub, mubah, makruh ataupun haram.
Ada banyak perbuatan dan perkataan Nabi Muhammad SAW yang sama sekali tidak bermakna tasyri’, artinya meski beliau pernah melakukannya atau mengatakannya, tapi tidaklah menjadi bagian dari hukum syariat Islam. Misalnya adalah larangan beliau untuk melakukan penyerbukan (talqih) pada pohon kurma di Madinah. Sebenarnya beliau tidak secara eksplisit melarang melainkan beliau hanya bertanya mengapa harus dilakukan peyerbukan. Namun para shahabat saat itu berkesimpulan bahwa pertanyaan beliau itu bermakna keharaman. Sehingga mereka meninggalkan pekerjaan itu dan panen kurma pun gagal. Ketika mereka adukan hal itu kepada beliau, beliau hanya berkata bahwa kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian. Artinya ketika Rasulullah SAW ‘melarang’ masalah penyerbukan itu, sama sekali tidak terkandung hukum keharaman. Hal itu beliau lakukan lantaran sebagai orang Mekkah, beliau awam dengan penyerbukan dan bertanya tapi ditafsirkan sebagai larangan.
Contoh lainnya adalah masalah metode pengobatan nabawi yang sering terdapat dalam hadits. Kita sering mendapati bahwa di dalam hadits itu sering kali Rasulullah SAW bersabda bahwa obat penyakit ini adalah itu dan obat penyakit anu adalah anu. Padahal Rasulullah SAW bukanlah diutus sebagai tabib / dokter yang tugasnya menyembuhkan penyakit pisik atau mengajarkan dunia pengobatan. Padahal Rasulullah SAW itu tidak diutus sebagai seorang tabib, melainkan sebagai seorang nabi yang membawa risalah. Kalau pun beliau pernah berkata tentang masalah pengobatan, maka bukan bagian dari hukum dan risalah, tetapi sebagai bagian dari sisi kemanusiaan beliau. Karena itu berobat dengan apa yang pernah disebutkan nabi tidak berkonsekuensi hukum wajib dan seterusnya.
Seringkali kita mendapatkan seolah-olah bila Rasulullah SAW mengatakan tentang suatu obat, maka penggunaannya menjadi bagian dari syariat Islam. Padahal ketika itu perkataan Rasulullah SAW bukan sebagai seorang nabi yang mengajarkan pensyariatan obat-obatan itu, tetapi lebih sebagai seorang yang hidup di suatu masa dan wilayah tertentu. Dan sebagai bagian dari masyarakat yang punya pergaulan luas, wajar kalau beliau memiliki pengetahuan yang banyak termasuk dalam masalah obat-obatan. Contohnya adalah hadits-hadits berikut ini :
Sebaik-baik pengobatan adalah bekam (hijamah). (HR. Tabarani, Ahmad dan Al-Hakim).
Hendaklah kalian menggunakan kayu India ini karena dia memiliki 7 khasiat yang menyembuhkan (HR. Bukhari)
Hendaklah kalian menggunakan jintan hitam (habbah sauda’) karena benda itu adalah obat dari segala penyakit kecuali As-Saam (kematian) (HR. Ibnu Majah dan Turmuzi)
Pakailah celak mata dengan itsmid (antimonium), karena dia membuat mata menjadi bening dan menumbuhkan rambut(HR. Turmuzi).
Padahal ketika beliau menyebutkan bekam, kayu india, jintan hitam atau celak dari itsmid, beliau tidak mengatakan hal itu sebagai bagian dari syariat Islam. Sehingga bila seseorang tidak menggunakannya tidak berdampak pada dosa atau kemaksiatan. Meski pun bila seseorang melakukannya semata-mata bertabarruk dari perkataan Rasulullah SAW, dibolehkan.
Begitu juga dengan anak panah yang dilepaskan saat peperangan, meski haditsnya menyebutkan bahwa siapa yang melepaskan anak panah di medan perang, maka dia akan mendapat ini dan ini. Padahal intinya adalah ikut beperang dan bukan pada penggunaan anak panahnya. Di zaman sekarang ini, senjata yang kita gunakan bukan lagi anak panah, tetapi senapan otomatis, pelontar granat atau roket..
Begitu juga denga kayu ara’ yang sering digunakan untuk bersiwak (menggosok gigi), bukan pada kayunya namun pada menggosok giginya. Bahwa kayu ara’ itu punya khasiat in dan itu, silahkan saja. Tetapi Islam tidak pernah menetapkan bahwa siwak yang menggunakan kayu ara’ saja yang disunnahkan. Kayu ara’ adalah alat untuk bersiwak yang dikenal di masa itu.

C.    HADIST SHAHIH, HADIST HASAN DAN HADIST DHAIF
1.      Definisi Hadis Shahih
Kata Shahih (الصحيح) dalam pengertian bahasa, diartikan sebagai orang sehat antonim dari kata as-saqîm (السقيم) =  orang yang sakit. Jadi yang dimaksud hadis shahih adalah hadis yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ ضَبْطاً كَامِلاً عَنْ مِثْلِهِ وَ خَلاَ مِنَ الشُّذُوْذِ وَ الْعِلَّةِ
“Hadis yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang ‘adil dan dhabith (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat (‘illat
Imam As-Suyuthi mendifinisikan hadis shahih dengan “hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat) yang ‘adil dan dhabith, tidak syadz dan tidak ber‘illat”.
Definisi hadis shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam asy-Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
Pertama, apabila diriwayatkan oleh para ar-râwiy (periwayat) yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadis yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafazhnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafad, bunyi hadis yang Dia riwayatkan sama dengan hadis yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlîs (penyembuyian cacat),
Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi s.a.w., atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim membuat kriteria hadis shahih sebagai berikut:
a.       Rangkaian ar-râwiy (periwayat) dalam sanad itu harus bersambung mulai dari ar-râwiy (periwayat) pertama sampai ar-râwiy (periwayat) terakhir.
b.      Para ar-râwiy (periwayat)nya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti ‘adil dan dhabithh,
c.       Hadisnya terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz (janggal), dan
d.      Para ar-râwiy (periwayat) yang terdekat dalam sanad harus sejaman.
2.      Pengertian Hadis Hasan
Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.
Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan.
Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang  ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih.
Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.       Sanad hadis harus bersambung.
b.      Perawinya adil
c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
3.      Pengertian Hadits Dhaif
Kata  dha’if  menurut bahasa berasal dari kata  dhuifun  yang berarti lemah lawan dari kata qawiy  yang berarti kuat. Maka sebutan hadits dha’if, secara bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Hadits dha’if  ialah hadis yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz, dan cacat. Atau menurut Imam Nawawi , yaitu hadis yang tidak memenuhi kualifikasi hadits shahih maupun hadits hasan. Ke-dho’ifan suatu hadis akan berbeda-beda, seperti halnya perbedaan pada tingkat ke-shahihan dalam sebuah hadis shahih. Diantara kategori hadis dho’if ada hadis yang mempunyai “gelar khusus” seperti Hadits Maudhu’, Hadits Syadz, dll.
Adapun kriteria hadits dhoif adalah dimana ada salah satu syarat dari hadits shohih dan hadits hasan yang tidak terdapat padanya, yaitu sebagai berikut:
a.       Sanadnya tidak bersambung
b.      Kurang adilnya perawi
c.       Kurang dhabithnya perawi
d.      Ada syadz atau masih menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang   lebih tsiqah dibandingkan dengan dirinya
e.       Ada illat atau ada penyebab samar dan tersenbunyi yang menyebabkan tercemarnya suatu hadits shohih meski secara zohir terlihat bebas dari cacat.
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Nabi Muhammad SAW adalah manusia pilihan  Allah SWT yang diutus di muka bumi ini untuk memberikan bimbingan kepada umat manusia agar selamat dalam menjalani hidup di dunia yang merupakan tempat manusia menanam amal yang akan dipetiknya di akherat kelak. Sosok Nabi adalah sosok manusia yang menjadi uswatun hasanah bagi umat manusia.
Semua ucapan, perbuatan maupun kebiasaan-kebiasaan beliau di abadikan dan dihabarkan sampai dengan kita melalui hadis-hadis yang telah di riwayatkan oleh para perawi hadis, sehingga dengan jasa-jasa para perawi tersebut kita dapat mempelajari dan meneladani beliau.

B.     SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

 Azmi, Muhammad Mustofa. Metodologi Kritik Hadis, Terj. Drs. A.Yamin. 1996 , Bandung: Pustaka Hidayah.
Khon, Abdul Majid. 2009 Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah.
Qordhawi, Yusuf. Terj. Al-Baqir, Muhammad. 1993, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Muhammad SAW., Bandung:Karisma.
Rahman, Fatchur. 1981, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Bandung:AlMaarif
Solahudin, Agus dan Agus Suyadi  2009, Ulumul Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia.
Zuhri, Muh. 2003, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta:PT Tiara Wacana

Post a Comment for "Hadist dan Sunnah"