Hukum islam di timur tengah dan asia tenggara masa kini
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam adalah agama yang pada saat ini sudah menyebar
ke seluruh Benua dan Negara yang ada dipermukaan bumi ini.Karena memang didalam
ajaran Islam itu sendiri menuntut kepada orang yang memeluk agama Islam untuk menyebarkannya
kepada umat-umat yang lainnya yang belum kenal Islam, di dalam Islam pun
ajaranya mudah dimengerti sesuai rasional dan juga banyak bukti-bukti alam
bahwa agama Islam adalah agama yang benar.Maka orang Islam yang berakhlak baik
memudahkan dalam penyebaranya agar penduduk sekitar yang non Islam mau
menerima, mengikuti, dan masuk agama Islam.
Salah satu fakta tentang orang yang paling berpengaruh
diseluruh dunia adalah Nabi kita Rasulullah Muhammad Shallallahu‘alaihiwasallam.Beliau
menyebarkan Islam sendirian diMekkah yang saat itu penduduknya jahiliyah dan
kemudian berubah menjadi masyarakat yang berakhlak baik dengan memeluk Agama
Islam yang dibawa oleh beliau.Dari sinilah sejarah penyebaran Islam semakin
luas ke seluruh dunia hingga sampai ke Asia Tenggara.
Seiring berjalanya waktu dari penyebaran Islam di
Mekkah sampai ke penjuru dunia, maka para pakar sejarah melakukan penelitian
dan menceritakan dalam buku seperti apa perjalanan penyebaran Islam itu
hingga bisa mencapai ke setiap Negara. Sebenarnya para ahli sejarah yang
telah menggungkapkan seperti apa perjalanan penyebaran Islam ada yang
berbeda-beda pendapat, dari masalah penepatan tahun persisnya waktu kejadian
tersebut, tapi pada dasarnya semua saling melengkapi. Karena seiring dengan berkembangya
teknologi di zaman sekarang, buku-buku tentang sejarah direvisi dari
kekurangan-kekurangannya, sehingga menjadi semakin lengkap dan benar.
B. Rumus
Masalah
a.
Bagaimana teori-teori masuknya Islam
ke kawasan Asia Tenggara
b.
Cara-cara datang dan berkembangnya
Islam di Asia Tenggara
c.
Tahap-tahap perkembangan Islam di
Asia Tenggara
d.
Perkembangan Islam di negara-negara
Asia Tenggara
e.
Kerajaan
Islam di Asia Tenggara
f.
Pengaruh Islam di Asia Tenggara
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum Islam
dan perubahan sosial
Hubungan teori hukum dan perubahan
sosial merupakan salah satu problem dasar bagi filsafat-filsafat hukum. Hukum
yang karena memiliki hubungan dengan hukum-hukum fisik yang diasumsikan harus
tidak berubah itu menghadapi tantangan perubahan sosial yang menuntut kemampuan
adaptasi dirinya. Seringkali benturan perubahan sosial itu amat besar sehingga
mempengaruhi konsep-konsep dan lembaga-lembaga hukum, yang karenanya
menimbulkan kebutuhan akan filsafat hukum Islam.
Argumen bahwa konsep hukum Islam
adalah absolute dan otoriter yang karenanya abadi, dikembangkan dari dua sudut
pandang. Pertama mengenai sumber hukum Islam adalah kehendak Tuhan, yang mutlak
dan tidak bisa berubah. Jadi hal ini pendekatan ini lebih mendekati problem
konsep hukum dalam kaitan perbedaan antara akal dan wahyu. Yaitu: (1) hukum dan
teologi, (2) hukum dan epistemology. Sudut pandang kedua berasal dari difinisi
hukum Islam, bahwa hukum Islam tidak dapat diidintifikasi sebagai system
aturan-aturan yang bersifat etis atau moral. Jadi hal ini membicarakan kaitan
perbedaan antara hukum dan moralitas.
Argumen-argumen yang dikemukakan
oleh para pendukung keabadian Islam diringkaskan dalam tiga pernyataan umum:
1.
Hukum Islam adalah abadi karena konsep hukum yang bersifat otoriter, ilahi dan
absolute dalam Islam tidak memperoleh perubahan dalam konsep-konsep dan
institusi-institusi hukum. Sebagai konsekuwensi logis dari konsep ini, maka
sanksi yang diberikannya bersifat ilahiyah yang karenanya tidak bisa berubah.
2.
Hukum Islam adalah abadi karena sifat asal dan perkembangannya dalam priode
pembentukannya menjauhkannya dari institusi-institusi hukum dan perubahan
sosial, pengadilan-pengadilan dan Negara.
3.
Hukum Islam adalah abadi karena ia tidak mengembangkan metodologi perubahan hukum
yang memadai.[1][1]
Dalam literature hukum Islam kontemporer, kata
“pembaruan” silih berganti dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi,
reaktualisasi, dekontruksi, rekontruksi, tarjid, islah dan tajdid. Diantara
kata-kata itu yang paling banyak digunakan adalah kata-kata islah, reformasi,
dan tajdid. Islah dapat diartikan dengan perbaikan atau memperbaiki, reformasi
berarti membentuk atau menyusun kembali, tajdid mengandung arti membangun
kembali, menghidupkan kembali, menyususn kembali atau memperbaikinya agar dapat
dipergunakan sebagaimana yang diharapkan.[2][2]
Masyarakat senantiasa mengalami
perubahan, dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, social ekonomi dan
lainnya. Menurut para ahli linguistic dan sematik, bahasa akan mengalami
perubahan sehingga diperlukan usaha atau ijtihad. Tentu kondisi suatu
masyarakat akan berpengaruh terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti.
Namun, ini berarti bahwa hukum tidak akan berubah begitu saja, tanpa
memperhatikan norma yang terdapat dalam sumber utama hukum islam yaitu al-Quran
dan Sunnah. Sejarah mencatat bahwa ijtihad telah dilaksanakan dari masa ke
masa.[3][3]
Pendekatan secara historis, untuk
memahami sifat dasar hukum Islam telah menyatakan hal-hal sebagai berikut,
sebagai ciri khas hukum Islam:
1. Sifat idealistic
2. Religious
3. Kekakuan
4. Sifat kausistik
Penyerapan
hukum ISLAM PADA negara-NEGARA muslim
Pengaruh dunia barat yang pertama
dirasakan negara Islam dengan datangnya imperialisme pada awal abad ke-19,
membuat wilayah Islam memiliki sistem hukum negara yang terbatas mengatur aspek
hubungan publik, pribadi dan hubungan internasional, sistem hukum yang mereka
gunakan bukan syari’ah. Undang-Undang Eropa yang dipaksakan pada negara-negara
yang diduduki imperialis Inggris, Perancis, dan Belanda, bertentangan dengan
kehendak masyarakat dan membuat kesal para ulama. Tahap demi tahap orang Islam
yang berada dalam pengaruh penguasa-penguasa ini diberi peluang untuk menempuh
studi yang lebih tinggi di negara-negara Eropa. Dengan demikian, para
imperialis mendapat dukungan di wilayah jajahan dan masyarakat pribumi sehingga
berpengaruh pada masyarakat dan bahkan para ulama.
Pengaruh sistem Hukum Eropa terhadap masyarakat Islam
ditemukan dalam hukum publik meliputi konstitusi dan hukum pidana, transaksi
sipil dan komersial. Ahli Hukum Eropa sangat pandai, mereka tidak mengubah
hukum personal masyarakat Islam sekaligus melainkan secara pelan-pelan.
Imperium Turki Usmani, khalifah Islam pertama yang
dipengaruhi sistem Hukum Eropa pada abad 19 melalui penyerahan kapitulasi.
Kekuatan Barat diperkenalkan pada warga negara yang menetap di Timur Tengah
sebagai pegawai negeri dan pedagang. Di negara-negara Asia Selatan dan
Tenggara, dan Afrika Timur, dan Barat, para penjajah melakukan perdagangan. Dari
sini hukum komersial Eropa dilaksanakan dalam sistem kapitulasi.
Negara yang dipengaruhi sistem hukum Eropa adalah
negara-negara Magribi, yaitu Maroko, Tunisia, dan negara Nigeria di Afrika
Barat.Dikalangan elit muslim terdidik Eropa, percaya pada ilmu Hukum Islam,
terutama hasil dari inovasi hukum. Apabila seseorang mengaplikasikan hukum
Islam yang tidak diketahui siapa pencipta dan kapan yurisprudensi itu dibuat,
mereka pasti akan menyatakan keheranannya kepada hakim Islam yang sudah dapat
mencapai tingkat kompetensi yudisial pada abad ke 7 dan 8, yang belum dapat
mereka capai abad 19 dan 20. imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan
Imam Ahmad bin Hanbal beserta para pengikutnya, sudah dapat memikirkan
masalah-masalah hukum 13 abad lebih awal sampai dewasa ini. Namun bagi mereka
yang percaya ilmu Hukum Islam sebagai penemuan para ahli hukum tidak dapat
disanksikan lagi keberadaannya. Mereka percaya bahwa hakim-hakim Islam itu
telah dapat mendahului pemikiran manusia. Titik pandang yang benar para ahli
Hukum Islam, pengetahuan yang luas dan refleksi yang sangat berkembang,
benar-benar bukan dari imajinasi mereka sendiri.
Fakta yang mereka ketemukan dalam genggaman sistem
yurisprudensi itu kaya akan teori-teori dan prinsip-prinsip yang komprehensif, mereka
menjelaskan dan menganalisis sistem yurisprudensi Islam secara lengkap. Mereka
tidak berlaku sebagai ahli hukum dan pemikir dengan mengumpulkan data yang
tersedia dan menetapkan tiap teori yang relevan. Kemudian mereka mentabulasi
setiap prinsip Hukum Islam. apabila terjadi inovasi atau berpikir ke depan, itu
merupakan inovasi ilmu Hukum Islam yang merupakan perkembangan rasional manusia
yang menyampaikan teori-teori untuk tujuan membina manusia menuju kemulyaan dan
kesempurnaan dengan membawa mereka ke tingkat yang paling tinggi.
Di samping berbagai ragam kemajuan umat Islam dalam
segala segi dan aspek pengetahuan manusia, sebagian ilmuwan Barat mengomentari
tentang tumbuh suburnya kebudayaan negeri-negeri Islam pada abad pertengahan.
Mereka mengatakan, rata-rata umat Islam dengan sedikit pengetahuan sejarah
Islamnya akan merasa enggan menerima gambaran yang benar.
Dapat dikatakan bahwa negara-negara dan masyarakat
Kristen Eropa pada dasarnya masih tetap statis, mungkin benar. Sumbangan
peradaban Islam ke Eropa sangat besar dan benar-benar membantu untuk mencapai
apa saja yang dapat mereka capai selama masa renaissance karena pengaruh
pertemuan mereka dengan umat Islam dan karena ide-ide segar dengan hadirnya
kaum muslimin yang ada di Eropa. Membantu premis yang keliru ini para ilmuwan
barat berbalik menyatakan itu disebabkan karena negara dan masyarakat Islam
tetap sekali. Hukum syari’ah telah terbukti dapat mengakomodasikan dirinya
secara sukses terhadap pemenuhan kebutuhan internal sebagaimana yang sudah
dikenal. Namun desakan yang kini (pada abad 19) timbul tanpa konfrontasi Islam
dengan situasi yang berbeda. Pendapat ini sama sekali tidak benar karena
desakan untuk mengadopsi sistem Hukum Barat yang didasarkan atas konsep-konsep
dan institusi-institusi mendasar yang
asing bagi agama Islam dan hukum syari’ah tidak berasal dari orang-orang Islam
melainkan dari kolonial Barat. Umat Islam di awal masa kolonial tidak ingin
mengubah sistem Hukum Islam mereka dan tidak ingin mengadopsi nilai-nilai dan
standar-standar Barat. Lembaran sejarah telah dipenuhi dengan banyak contoh
oposisi umat Islam dengan perubahan yang dipaksakan dalam hukum agamanya. Akan
tetapi, zaman dominasi asing telah membalikkan situasi secara drastis.
Imperealis-imperealis Barat telah membantu umat Islam untuk mengatasi
persoalan-persoalan yang mereka hadapi agar terhindar dari tekanan-tekanan
pemerintah untuk mengadopsi sistem hukum baru. Akibatnya sangat sedikit hukum
syari’ah di negeri-negeri Islam yang diketemukan, kecuali yang hanya dalam
ruang lingkup hukum keluarga, namun ada pula istilah reformasi yang digunakan.
Di seluruh negeri Islam, kecuali Saudi Arabia, sistem hukum yang diambil murni
bukan hukum syari’ah dan bukan pula hukum Eropa yang dipraktekkan sampai
sekarang.
Aktifitas Ulama’ Terhadap
Pengembangan Hukum Islam
Beberapa
ulama’ bangkit menawarkan ide-ide pembaharuan (Reformasi) pemikiran dengan
gerakannya masing-masing. Secara garis besar ada dua kecendrungan atau trend
pembaharuan yang muncul pada saat ini. Pertama,
trend Salafiah yaitu gerakan pembaruan yang berbijak atas dasar Salafi.
Gerakan ini berkecendrungan menghubungkan otoritas ulama’ abad pertengahan
(abad 2H) dan menyerukan perlunya kembali pada al-Qur’an dan Hadits (back to
Qaran and hadith) sebagai rujukan utama dalam perumusan hukum Islam.
Gerakan
ini mucul di daerah Arabia yang di komandani olek Syekh Muhammad bin Abdullah
bin Adul Wahhab (1115-1206) gerakan ini di ilhami oleh ide-ide pemikirannya
Ibnu Taimiyah. Setelah mengalami pengembaraan panjang, ia mendakwahkan selogan
baru “madzhab al-Muwahhidun/Purifikasi”. Gerakan ini muncul sebagai
reaksi terhadap paham tauhid yang menurut mereka sudah banyak diselewengkan
oleh umat sehingga banyak bercampur dengan aliran dinamisme dan animisme yang
mempercayai adanya kekuatan ghaib selain Allah yang mengarah kepada tahayyul,
bid’ah, dan churafat (TBC).
Di
India, muncul seorang tokoh yang terkenal dengan pemikirannya yang radikal
yaitu Syekh Waliullah al-Dahlawi. Melalui karya monomentalnya “hujatu al-Bhalighah”
ia menyerukan perluya pembaruan hukum Islam melalui menyesuaian (adaptasi)
ajaran Islam dengan budaya lokal. Menurutnya, bahwa Islam mampu baradaptasi
dengan situasi setempat dan tuntutan zaman. Hal yang perlu dipegang dan
dipertahankan adalah ajaran dasarnya yang universal. Sedangkan interpretasi dan
aplikasinya dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi. Di antara
ide-ide yang ditawarkan adalah menterjemahkan al-Qur’an dengan bahasa
Persia.
Kedua,
Trend Reformis, gerakan ini berupaya untuk melakukan pengkajian ulang (renterpretasi)
dan adaptasi hukum Islam dengan perkembangan dunia modern. Tokoh gerakan
ini antara lain, Jamaluddin al-Afghani (Istambul 1824-1897)dengan idenya “Pan
Islamisme” (persatuan seluruh Islam) dan pembaraan ilmu pengetahuan dengan
memperluas kurikulum lembaga-lembaga pendidikan. Menurun al-Afghani, bahwa
mundur dan lemahnya umat Islam disebabkan karena umat Islam tidak bersatu.[4][4]
Gagasan
lain yang tidak kalah penting adalah statemennya bahwa “ijtihad terbuka
kembali”. Ide pembaruan yang ditawarkan
oleh al-Afghani mendapat sambutan yang positif dari Muhammad Abduh di Mesir
(1849) dan Rasyid Ridla di Libanon (1865).
Dalam
bayak hal ide Muhammad Abduh inilah yang banyak diambil sebagai model gerakan
Keislaman di Indonesia, seperti pesis, muhammadiyah, dan al-Wasiliyah.
Sebagaimana Muhammad Abduh, Syekh Isma’il at-Taimi juga mengangkat ide-ide
segar di Tunisia (awal abad 19M). dia mengajak kaum musliin di Tunisia untuk
keluar dari jebakan keterasingan dan kebuntuan. Semangat kebangkitan untuk
keluar dari kejumudan dan kebekuan terus terkobar dari masa kemasa, baik geakan
yang cendrung salafiah maupum modern.
FORMAT Gerakan Ulama’ pada Masa
Kebangkitan KEMBALI HUKUM ISLAM
Dalam
pola gerakan ulama’ pasca kebangkitan ini terdapat empat pola utama yang
menonjol. Adapun empat pola utama tersebut yaitu: pertama, tradisionalism
atau salafiyah. Ibnu Taimiyah, as-Syaukani, Abdul Wahab, dan Ibnu Qoyim.
Pendukung pola ini menekankan keharusan kembali
kepada al-Qur’an dan Sunnah mereka mengecam takhlid dan mendakwahkan
keharusan mengikuti para ulama’ salaf (sahabat dan thabi’in). karakteristik
dari pola ini adalah keteguhannya dalam memegang Sunnah dan pandangannya yang
sangat literalis terhadap nash-nash al-Qur’an. Gerakan ini menolak terhadap
statemen bahwa ikhtilaf adalah ramat.
Penelitian
yang dilakukan oleh pendukung pola ini membuktikan bahwa hadits Rasul yang
menyebutkan “ikhtilaf umatku adalah rahmat” dinyatakan maudlu’ dan tidak punya
dasar. Karena itu semua ikhtilaf harus dikembalikan pada al-Qur’an dan hadits,
bukan pada pendapat para fuqaha’. Kedua, Modernisme. Pola
pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan sarjana muslim yang sebagian
besar terdidik dalam alam pendidikan sekuler. Pendukung pola ini mendakwahkan
bahwa fiqih Islam tidak lagi mampu merespon berbagai perkembangan baru yang
mncul dan multidimensi kebutuhan kepentingan manusia.[5][5] Ketiga, Survivalisme. Pendukung pola ini
bercita-cita membangun pemikiran fiqih yang sudah ada. Keluasan tsarwah
fiqhiyah harus dikembangkan dan bukan malah dikorbankan. Keempat,
Neo-survivalisme. Gerakan ini menawarkan fiqih perkembangan dengan
mengadakan pendekatan transvormatif yaitu menggabungkan pemahaman sejarah hukum
Islam dengan sosiologi hukum. Menurut pendukung pola ini, kegagalan fuqaha’
selama ini karena mereka kurang memperhatikan perubaha yang terjadi masyarakat
dengan kondisi hukum, sehingga terjadi kesenjangan antara fiqih secara teoritis
dengan realita di masyarakat secara praktis.
TRANFORMASI
FIQH MELALUI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Transformasi fiqh
tersebut merupakan suatu perubahan bentuk, dari produk penalaran fuqaha yang
“beragam” (mukhtalaf fih) menjadi produk badan penyelenggara negara
yang bersifat “seragam” (muttafaq ‘alayh), yakni peraturan
perundang-undangan (al-qānun).[3]
Perubahan bentuk tersebut, dalam berbagai hal diikuti oleh perubahan substansi,
sehingga dapat dikatakan sebagai perubahan struktural dalam konteks struktur
dan kultur masyarakat bangsa karena adanya faktor determinan yang bersifat
konstan bagi perubahan kehidupan manusia secara semesta.[4]
Transformasi itu bermakna suatu proses kontekstualisasi norma fiqh (sebagai majmū‘at
al-ahkām) ke dalam struktur masyarakat bangsa. Dalam proses itu terjadi
reduksi, adaptasi, dan modifikasi norma fiqh yang “anti struktur” menjadi qanun
yang “terstruktur”, yang memiliki daya ikat serta daya atur. Bahkan, dalam hal
tertentu, qanun memiliki daya paksa. Dengan demikian, ketika fiqh
ditransformasi ke dalam qanun ia telah mengalami perubahan wujud dan fungsi
dalam konteks sistem hukum nasional.[5]
Fiqh telah terintegrasi dengan norma lain, yang telah berubah bentuk menjadi
qanun. Bahkan dalam hal tertentu mengalami perubahan makna, baik dalam arti
perluasan makna maupun penyempitan makna.
Atas perihal
tersebut, dalam bidang tertentu di Indonesia, misalnya, makna subyek hukum
mengalami perluasan, dari orang (naturlijk persoon) menjadi orang dan
atau badan hukum (rechtspersoon) sebagaimana tampak dalam hukum
perwakafan (wakif dan nadzir) dan hukum pengelolaan zakat (muzakki
dan mustahiq). Hal itu tampak dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004, wakif terdiri atas perseorangan, organisasi, dan
badan hukum yang mewakafkan benda miliknya. Sedangkan nadzir adalah
kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan penguasaan
benda wakaf. Sementara itu, menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, muzakki adalah orang atau badan
hukum yang dimiliki oleh Muslim yang berkewajiban menunaikan zakat. Sedangkan mustahiq
adalah orang atau badan hukum yang berhak menerima zakat.
Secara sosiologis
transformasi fiqh tersebut merupakan produk interaksi antara kelompok elite
Islam (“ulama bebas”, pemimpin organisasi kemasyarakatan, pejabat agama, dan
cendekiawan Muslim) dengan elite penguasa, yaitu pemerintah dan unsur kekuasaan
lainnya. Dalam proses penyusunan dan pembahasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, misalnya, peranan elite Islam sangat menonjol. Hal itu
dilakukan melalui pertemuan dan pendekatan dengan fraksi-fraksi di Dewan
Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan pembahasan intensif di kalangan mereka.
Setiap butir rancangan undang-undang itu dikaji dan diukur berdasarkan
ketentuan fiqh. Pertemuan sebagian ulama Jawa Timur di Jombang, 22 Agustus
1973, yang menghasilkan rumusan berbagai usul atas perubahan Rancangan
Undang-Undang itu (Lihat: Amak F. Z., 1976: 35-48), menunjukkan usaha mereka
dalam proses transformasi fiqh ke dalam qanun.[6]
Usaha-usaha yang
demikian, menjadikan fiqh sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan qanun.
Atau, sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid (1975: 61), “Apa yang
dituju adalah bagaimana menjadikan hukum Islam lebih banyak lagi menggunakan
pertimbangan-pertimbangan manusiawi, termasuk pertimbangan ilmiah praktis, dalam
proses pengambilan keputusan hukumnya”. Dengan perkataan lain, usaha seperti
itu menjadikan (sebagian) fiqh terintegrasi ke dalam qanun. Ia menjadi hukum
yang mengikat, mengatur, dan dapat dilaksanakan bagi penataan kehidupan
manusia.
Apa yang dikemukakan
di atas menunjukkan bahwa fiqh memiliki potensi dan posisi dalam sistem hukum
nasional yang bersumber pada qanun. Kini, di samping civil law system, dan
common law system, juga berkembang Islamic law system yang
intinya adalah fiqh. Di beberapa negara Islam, fiqh menjadi sumber utama
program legislasi nasional (eksplisit dan implisit). Misalnya, Bahrein (Pasal
2), Bangladesh (Pasal 8), Iran (Preamble), Maroko (Preamble),
Mauritania (Preamble), Mesir (Pasal 2), Kuwait (Pasal 2), Oman (Pasal
2), Pakistan (Preamble), Saudi Arabia (Pasal 8), Syria (Pasal 2), dan
Yaman (Pasal 3). Sementara itu, di negara-negara sekuler program legislasi
nasional didasarkan pada keputusan parlemen yang tidak bersangkut paut dengan
hukum agama (pada umumnya). Khusus di Indonesia, hukum agama (Islam) dan hukum
agama pada umumnya, diakui dan dihormati sebagai hukum yang hidup dalam
masyarakat, yang menjadi salah satu “bahan baku” dalam pengembangan hukum
nasional.
Berkenaan dengan
uraian di atas, ada tiga gagasan utama yang digunakan dalam penelitian
transformasi fiqh. Ketiga gagasan itu, dewasa ini, merupakan bagian dari gejala
kehidupan di berbagai negara dan kawasan, khususnya di dunia Islam. Ia berada
dalam tataran perubahan hukum di berbagai satuan masyarakat bangsa, dari hukum
tidak tertulis menjadi hukum tertulis, dari hukum yang bersifat khusus
(internal Muslim) menjadi bersifat umum (Cf. Galanter, 1966: 168).
Gagasan pertama
ialah fiqh (dalam arti majmū‘at al-ahkām), yakni
produk penalaran fuqaha bagi penataan kehidupan umat manusia. Ia bersifat
semesta, tanpa terikat oleh struktur sosial meskipun mempertimbangkan dan
berkembang dalam sistem sosial yang berlaku, sebagaimana tampak dalam proses
perumusan fiqh yang juga menggunakan dalil empiris (selain dalil normatif dan
dalil metodologis), seperti al-‘urf, syar‘un man qablanā, dan
al-maslahah al-mursalah. Atas perihal tersebut, dikenal fiqh yang
bercorak lokal di antaranya fiqh Hijazi, fiqh Kufi, fiqh Mishri, fiqh Hindi,
dan fiqh Indunisi. Demikian pula ketika fiqh itu diterapkan dalam kehidupan
masyarakat, ia mengalami penyesuaian dengan tradisi dan derajat kemampuan
subyek hukum (mukallaf) berdasarkan prinsip istitha‘a.
Gagasan kedua
ialah transformasi fiqh ke dalam qanun dalam
sistem hukum nasional. Ia merupakan pengalihan substansi fiqh
ke dalam substansi qanun, yang meliputi empat tataran hukum, yakni (1) tataran
asas atau prinsip hukum; (2) tataran hukum material (hukum substantif); (3)
tataran hukum formal (hukum acara); dan (4) tataran pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum. Transformasi itu dilaksanakan berdasarkan politik hukum dari
badan penyelenggara negara yang ditindaklanjuti oleh program legislasi. Hal itu
terjadi di berbagai negara Islam dan negeri Muslim. Menurut beberapa sumber
sebagaimana dikemukakan oleh al-Sibā‘i (1966), Tahir Mahmood (1972 dan 1987),
Muhamamad Siraj (1993), dan Sudirman Tebba (1993), terjadi transformasi fiqh,
khususnya norma hukum pribadi dan keluarga (al-ahwāl al-syakhshiyah)
ke dalam qanun. Bahkan hal itu terjadi di negara yang mayoritas penduduknya
non-Muslim, misalnya di Philipina dan Thailand (Lihat: Anonimus, 1983; Surin
Pitsuan, 1989).
Gagasan ketiga
ialah sistem hukum nasional sebagai bagian dari sistem
masyarakat dalam ikatan negara kebangsaan. Dalam sistem hukum itu mencakup
beberapa hal. Pertama, nilai-nilai fundamental yang telah disepakati sebagai
rujukan utama sebagaimana tersurat dalam konstitusi. Kedua, bahan baku dalam
pembentukan dan pengembangan hukum. Ketiga, arah pengembangan hukum yang hendak
dicapai. Keempat, berbagai bidang kehidupan yang memerlukan pengaturan. Kelima,
proses politik melalui suprastruktur dan infrastruktur politik. Keenam,
perangkat hukum dalam jenjang hukum tertulis yang ditetapkan oleh badan penyelenggara
negara. Ketujuh, penegakan hukum melalui badan dan aparat penegakan hukum.
Kedelapan, pluralitas dan perkembangan masyarakat bangsa secara internal.
Kesembilan, perkembangan masyarakat dunia yang ditunjang oleh produk teknologi
(eksternal). Berbagai hal itu merupakan unsur (subsistem) dalam sistem hukum
nasional sebagai suatu kesatuan terintegrasi yang saling berhubungan, saling
menunjang, dan saling tergantung.
Khusus di
Indonesia, transformasi fiqh ke dalam qanun tersebar dalam berbagai undang-undang,
baik dalam hukum keluarga maupun hukum keperdataan lain. Hal itu dapat dilihat,
antara lain, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1992 Jo. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1999 jo. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2004 tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA
al-‘Usairy, Ahmad. Sejarah Islam.
Jakarta: AKBAR MEDIA.2012 (Penerjemah: Samson Rahman).
Avendonk,
C.V..Encyclopedia of Islam. Leiden: Britll Ltd, 1934.
Abdurrahman,
Dudung. Sejarah Peraadaban Islam: dari masa klasik hingga modern. Yogyakarta:
Jurusan SPI fak. Adab Sunan Kalijaga bekerjasama dengan LESFI Yogyakarta. 2003.
Hasjmi.Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia.Jakarta: P.T. Al-Maarif, 1981. hlm. 375
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam.Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008
Majalah
Tauhid Edisi 2/Th. 1, Sya’ban 1433 H/Juli 2012 M.
Post a Comment for "Hukum islam di timur tengah dan asia tenggara masa kini"