Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hukum perikatan



Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perikatan.
Dalam pembahasan ini, pemakalah berusaha memjelaskan melalui makalah sederhana ini tentang Pokok-pokok Hukum Perikatan yang dalam KUHPerdata sendiri diatur di buku III.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Ketentuan Umum Perikatan ?
2.      Apa saja Unsur-Unsur Hukum Perikatan ?
3.      Apa saja Jenis-jenis Perikatan ?
4.      Bagaimana Berakhirya atau hapusnya Perikatan ?
5.      Bagaiman Dasar Hukum Perikatan ?
6.      Apa saja Azas-Azas Hukum Perikatan ?

1.      Pengertian Perikatan
Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah pristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah bersusun. Pristiwa hukum itu menciptakan hubungan hukum[1].
Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi[2].
Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa perikatan itu adalah hubungan hukum. Hubungan hukum itu timbul karena adanya pristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, keadaan. Objek hubungan itu adalah harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, dan pihak yang wajib memenuhi tuntutan itu disebut debitur. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa perikatan adalah hubungan hukum mengenai harta kekayaan yang terjadi antara kreditur dan debitur[3].
2.      Pengaturan Hukum Perikatan
Perikatan diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan mengenai perikatan meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi aturan yang tercantum dalam Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi perikatan umum. Adapun bagian khusus meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam bab-bab bersangkutan.
Pengaturan nama didasarkan pada “sistem terbuka”, maksudnya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam Undang-Undang. Sistem terbuka dibatasi oleh tiga hal, yaitu :
a.        Tidak dilarang Undang-Undang
b.        Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
c.        Tidak bertentangan dengan kesusilaan
Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena perjanijian maupun karena Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber peikatan adalah Undang-Undang dan perikatan. Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang terjadi karena Undang-Undang dirinci menjadi dua, yaitu perikatan yang terjadi semata-mata karena ditentukan dalam Undang-Undang dan perikatan yang terjadi karena perbuatana orang. Perikatan yang terjadi karena perbuatan orang, dalam pasal 1353 KUH Perdata dirinci lagi menjadi perbuatan menurut hukum (rechmatig daad) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
3.      Prestasi dan Wanprestasi
Prestasi
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor. Namun, jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPdt, selalu ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu:
a.       Memberikan sesuatu, misalnya, menyerahkan benda, membayar harga benda, dan   memberikan hibah penelitian.
b.      Melakukan sesuatu, misalnya, membuatkan pagar pekarangan rumah, mengangkut barang tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan.
c.       Tidak melakukan sesuatu, misalnya, tidak melakukan persaingan curang, tidak melakukan dumping, dan tidak menggunakan merek orang lain.
Pasal 1235 ayat (1) KUHPdt menjelaskan pengertian memberikan sesuatu, yaitu menyerahkan penguasaan nyata atas suatu benda dari debitor  kepada kreditor atau sebaliknya, misalnya, dalam jual beli, sewa menyewa, perjanjian gadai, dan utang piutang. Dalam perikatan yang objeknya “melakukan sesuatu”, debitor wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya, melakukan perbuatan membongkar tembok, mengosongkan rumah, dan membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan tersebbut, debitor arus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan. Debitor bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan. Dalam perikatan yang objeknya “tidak melakukan sesuatu”, debitor tidak melakukan perbuatan yang telah disepakati dalam perikatan, misalnya, tidak membuat tembok rumah yang tinggi sehingga menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila debitor melakukan pembuatan tembok yang berlawanan dengan perikatan ini, dia bertanggung jawab karena melanggar perjanjian dan harus membongkar tembok atau membayar ganti kerugian kepada tetangganya.
Sebagian besar perikatan yang dialami dalam masyarakat terjadi karena perjanjian. Karena itu, Undang-Undang mengatur bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt). Artinya, jika salah satu pihak tidak bersedia memenuhi prestasinya, kewajiban berprestasi itu dapat dipaksakan.
Jika pihak yang satu tidak memenuhi prestasinya, pihak yang lainnya berhak mengajukan gugatan ke muka pengadilan dan pengadilan akan memaksakan pemenuhan prestasi tersebut dengan menyita dan melelang harta kekayaannya sejumlah yang wajib dipenuhinya kepada pihak lain. Perjanjian yang diakui dan diberi akibat hukum itu adalah perjanjian yang tidak dilarang Undang-Undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan masyarakat. Karena itu, ada tiga sumber perikatan, yaitu perjanjian, Undang-Undang, serta ketertiban umum dan kesusilaan[4].
Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitor karena dua kemungkinan alasan, yaitu:
a.        Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun kelalaian dan
b.        Karena keadaan memaksa (force majeure, diluar kemampuan debitor.Jadi, debitor tidak bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor diakatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Dalam hal ini, ada tiga keadaan, yaitu:
a.        Debitor tidak memnuhi prestasi sama sekali;
b.        Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak baika atau keliru; dan
c.        Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitor dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan jangka waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak? Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasi. Dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPdt debitor dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan debitor supaya dia memenuhi prestasinya? Debitor perlu diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitor wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitor tidak memenuhinya, debitor dinyatakan telah lalai atau wanprestasi.
Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapat juga secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui pengadilan negeri yang berwenang, yang disebut sommatie. Kemudian, pengadilan negeri dengan perantaraan juru sita menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitor yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi, misalnya, melalui surat tercatat, telegram, faksimile, atau disampaikan senidri oleh kreditor kepada debitor dengan tanda terima. Surat peringatan ini disebut ingebreke stelling.
Akibat hukum bagi debitor yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini:
a.       Debitor diwajibkan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor (Pasal 1243 KUHPdt).
b.   Apabila perikatan itutimbal balik, kreditor dapat menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan melalui pengadilan (Pasal 1266 KUHPdt)
c.       Perikatan untuk memberikan sesuatu, risiko beralih kepada debitor sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPdt)
d.      Debitor diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPdt)
e.       Debitor wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka pengadilan negeri dan debitor dinyatakan bersalah[5].
4.      Keadaan Memaksa (Overmacht)
Keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa debitor tidak dapat disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitor[6].
5.      Ganti Rugi
Ganti kerugian hanya berupa uang bukan barang, kecuali jika diperjanjikan lain. Untuk melindungi debitor dari tuntutan sewenang-wenang dari pihak kreditor, Undang-Undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang wajib dibayar oleh debitor sebagai akibat dari kelalainnya (wanprestasi). Kerugian yang harus diabayar oleh debitor hanya meliputi:
a.        Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan
b.        Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (kelalaian) debitor
c.        Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah utang.
B.     Unsur-Unsur Hukum Perikatan
·         Unsur hubungan hukum dalam hukum perikatan
Yang dimaksud dengan unsur hubungan hukum dalam hukum perikatan adalah hubungan yang didalamnya melekat hak pada salah satu pihak dan pada pihak lainnya melekat kewajiban. Hubungan hukum dalam hukum perikatan merupakan hubungan yang diakui dan diatur oleh hukum itu sendiri. Tentu saja antara hubungan hukum dan hubungan sosial lainnya dalam kehidupan sehari-hari memiliki pengertian yang berbeda, oleh karena hubungan hukum juga memiliki akibat hukum apabila dilakukan pengingkaran terhadapnya.
·         Unsur kekayaan
Yang dimaksud dengan unsur kekayaan dalam hukum perikatan adalah kekayaan yang dimiliki oleh salah satu atau para pihak dalam sebuah perikatan. Hukum perikatan itu sendiri merupakan bagian dari hukum harta kekayaan atau vermogensrecht dimana bagian lain dari hukum harta kekayaan kita kenal dengan hukum benda.
·         Unsur pihak-pihak dalam hukum perikatan
Yang dimaksud dengan unsur pihak-pihak dalam hukum perikatan adalah pihak kreditur dan pihak debitur yang memiliki hubungan hukum. Pihak-pihak tersebut dalam hukum perikatan disebut sebagai subyek perikatan.
·         Unsur obyek hukum atau prestasi
Yang dimaksud dengan unsur obyek hukum atau prestasi dalam hukum perikatan adalah adanya obyek hukum atau prestasi yang diperikatkan sehingga melahirkan hubungan hukum. Dalam pasal 1234 KUH Perdata disebutkan bahwa wujud dari prestasi adalah memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
·         Unsur Schuld dan Unsur Haftung
Yang dimaksud dengan unsur schuld adalah adanya hutang debitur kepada kreditur. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur haftung dalam hukum perikatan adalah harta kekayaan yang dimiliki oleh debitur yang dipertanggungjawabkan bagi pelunasan hutang debitur.
1.      Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau terjadi. Mungkin untuk memperjanjikan bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul itu. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde).[7] Menurut Pasal 1253 KUHperdata tentang perikatan bersyarat “suatu perikatn adalah bersyarat mankala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut”.
Pasal ini menerangkan tentang perikatan bersyarat yaitu perikatan yang lahir atau berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin akan terjadi tetapi belum tentu akan terjadi atau belum tentu kapan terjadinya. Berdasarkan pasal ini dapat diketahui bahwa perikatan bersyarat dapat dibedakan atas dua, yakni:
·         Perikatan dengan syarat tangguh.
·         Perikatan dengan syarat berakhir.
a.       Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila syarat “peristiwa” yang dimaksud itu terjadi, maka perikatan dilaksanakan (pasal 1263 KUHpdt). Sejak peristiwa itu terjadi, keawjiban debitor untuk berprestasi segera dilaksanakan. Misalnya, A setuju apabila B adiknya mendiami paviliun rumahnya setelah B menikah. Nikah adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan, jika B nikah A wajib menyerahkan paviliun rumahnya untuk didiami oleh B.
b.      Perikatan dengan syarat batal
Perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila “peristiwa” yang dimaksud itu terjadi (pasal 1265 KUHpdt). Misalnya, K seteju apabila F kakaknya mendiami rumah K selam dia tugas belajar di Inggris dengan syarat bahwa F harus mengosongkan rumah tersebut apabila K selesai studi dan kembali ketanah air. Dalam contoh, F wajib menyerahkan kembali rumah tersebut kepada K adiknya.[8]
2.      Perikatan Dengan ketetapan Waktu (tidjsbepaling)
Maksud syarat “ketetapan waktu” ialah bahwa pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada waktu yang ditetapkan. Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya sudah pasti, atau berupa tanggal yang sudah tetap. Contonya:”K berjanji pada anak laki-lakinya yang telah kawin itu untuk memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang dikandung isterinya itu telah dilahirkan”. Menurut KUHperdata pasal 1268 tentang perikatan-perikatan ketetapan waktu, berbunyi “ suatu ketetapan waktu tidak, menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaanya”. Pasal ini menegaskan bahwa ketetapan waktu tudak menangguhkan lahirnya perikatan, tetapi hanya menangguhkan pelaksanaanya.Ini berarti bahwa perjajian dengan waktu ini pada dasarnya perikatan telah lahir, hanya saja pelaksanaanya yang tertunda sampai waktu yang ditentukan.[9]
3.      Perikatan mana suka (alternatif)
Pada perikatan mana suka objek prestasinya ada dua macam benda. Dikatan perikatan mana suka keran dibitur boleh memenuhi presatasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun, debitur tidak dapat memaksakan kreditur untuk menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang ditentukan dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak milik prestasi itu ada pada debitor jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditor.[10]
4.      Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng (hoofdelijk atau solidair)
Ini adalah suatu perikatan diaman beberapa orang bersama-sam sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek. Bebrapa orang yang bersama-sama mengahadapi orang berpiutang atau penagih hutang, masing-masing dapat dituntut untuk membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka pemabayaran ini juga membaskan semua temen-temen yang berhutang. Itulah yang dimaksud suatu periktan tanggung-menanggung. Jadi, jika dua A dan B secara tangggung-menanggung berhutang Rp. 100.000, kepada C maka A dan B masing-masing dapat dituntut membayar Rp. 100.000.[11]


5.      Perikatan yang dapat dibagi dan perikatan yang tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dapat dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Persoalan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi itu mempunyai arti apabila dalam perikatan itu terdapat lebih dari seorang debitor atau lebih dari sorang kreditor. Jika hanya seorang kreditor perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi.
6.      Perikatan dengan penetapan hukuman (strabeding)
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melaikan kewajibannya dalam praktek banyak dipakai perjanjian diamana siberhutang dikenakan suatu hukuman apabila ia tidak menepati janjinya. Hukuman itu, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Menurut pasal 1304 tentang mengenai perikatan-perikatan dengan ancaman hukuman, berbunyi “ anman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana seorang untuk imbalan jaminan pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi”.[12]
Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan. Kespeluh cara tersebut diuraikan satu demi satu berikut ini :
1.      Pembayaran
Yang dimaksud dengan pembayaran dalam hal ini tidak hanya meliputi penyerahan sejumlah uang, tetapi juga penyerahan suatu benda. Dalam hal objek perikatan adalah pembayaran uang dan penyerahan benda secara timbal balik, perikatan baru berakhir setelah pembayaran uang dan penyerahan benda.
2.      Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penitipan
Jika debitor telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantaraan notaries, kemudian kreditor menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditor itu kemudian debitor menitipkan pembayaran itu kepada panitera pengadilan negeri untuk disimpan. Dengan demikian, perikatan menjadi hapus ( Pasal 1404 KUH Perdata ).
3.      Pembaruan Utang ( Novasi )
Pembaruan utang terjadi dengan cara mengganti utang lama dengan utang baru, debitor lama dengan debitor baru. Dalam hal utang lama diganti dengan utang baru, terjadilah penggantian objek perikatan, yang disebut “ Novasi Objektif”. Disini utang lama lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subyeknya), maka jika debitornya yang diganti, pembaruan ini disebut “Novasi Subjektif Pasif” jika kreditornya yang diganti, pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.
4.      Perjumpaan Utang (kompensasi)
Dikatakan ada penjumpaan utang apabila utang piutang debitor dan kreditor secara timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan itu utang piutang lama lenyap.
5.      Pencampuran Utang
Menurut ketentuan Pasal 1436 KUH Perdata, Pencampuran utang itu terjadi apabila kedudukan kreditor dan debitor itu menjadi satu tangan. Pencampuran utang tersebut terjadi demi hukum. Pada pencampuran hutang ini utang piutang menjadi lenyap.
6.      Pembebasan Utang
Pembebasan utang dapat terjadi apabila kreditor dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitor dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perikatan dengan pembebasan ini perikatan menjadi lenyap atau hapus.
7.      Musnahnya benda yang terutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH Perdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdangkan, atau hilang bukan karena kesalahan debitor, dan sebelum dia lalai , menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan; perikatan menjadi hapus (lenyap) akan tetapi, bagi mereka yang memperoleh benda itu secara tidak sah, misalnya, kerena pencurian, maka musnah atau hilangnya benda itu tidak membebaskan debitor (orang yang mencuri itu) untuk mengganti harganya.
8.      Karena pembatalan
Menurut ketentuan pasala 1320 KUH Perdata, apabila suatu perikatan tidak memenuhi syarat-syarat subjektif. Artinya, salah satu pihak belum dewasa atau tidak wenang melakukan perbuatan hukum, maka perikatan itu tidak batal, tetapi “dapat dibatalkan” (vernietigbaar, voidable).
9.      Berlaku Syarat Batal
Syarat batal yang dimaksud disini adalah ketentuan isis perikatan yang disetujui oleh kedua pihak, syarat tersebut apabila dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (nietig, void) sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut “syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dibuat. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perkatan.
10.  Lampau Waktu (Daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah alat untuk memperolah sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang.

E.     Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum[14].
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2.      Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.      Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming)
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1.      Perikatan (Pasal 1233 KUH Perdata) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2.      Persetujuan (Pasal 1313 KUH Perdata) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.      Undang-undang (Pasal 1352 KUH Perdata) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
F.     Azas-Azas Hukum Perikatan
1.      Asas Konsensualisme
Asas konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt. Pasal 1320 KUHPdt : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :
1)      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2)      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3)      suatu hal tertentu
4)      suatu sebab yang halal.
Pengertian kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang disetujui antara pihak-pihak Asas-Asas Hukum Perikatan
2.      Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt[15]:
1)      Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”
2)      Para pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu merupakan kehendak bebas para pihak Asas-Asas Hukum Perikatan
3.      Asas Kebebasan Berkontrak
Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya” Ketentuan tersebut memberikan kebebasan parapihak untuk :
1)      Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2)      Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
3)      Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4)      Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Di samping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum perikatan nasional, yaitu :
1. Asas kepercayaan;
2. Asas persamaan hukum;
3. Asas keseimbangan;
4. Asas kepastian hukum;
5. Asas moral;
6. Asas kepatutan;
7. Asas kebiasaan;
8. Asas perlindungan;





A.    Kesimpulan 
1.      Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditor.
2.      Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt).
3.      Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan. Yaitu : pembayaran, penawaran, pembayaran tunai diikuti penitipan, pembayaran utang, perjumpaan utang, pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya benda yang terutang, karena pembatalan, berlaku syarat batal dan lampau batas.



Muhammad, Abdulkadire, ”Hukum Perdata Indonesia”, Penerbit PT . Citra Adytia Bakti,Bandung,1993.
Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet  31, 2001.
Miru, Amadi dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Muhammad, Abdulkadir, HUKUM PERDATA INDONESIA, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2010.
Ali, Chidir, 1984, Yurisprudensi Hukum Perdata Indonesia (Jilid I), Bandung: CV Armico.







[1] Abdulkadire Muhammad, ”hukum perdata indonesia”, Penerbit PT . Citra Adytia Bakti,Bandung,1993. Hal 198.
[2] ibid
[3] Ibid hal 199.
[4] Ibid, hal 202
[5] Ibid hal 205
[6] Ibid
[7] Prof. Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, Jakarta : PT. Intermasa, cet  31, 2001, hlm 128
[8] Op.cit. Abdulkadir Muhammad, hal. 249.
[9] Amadi Miru dan Sakka Pati, HUKUM PERIKATAN : Penjelasan Makna Pasal 1233 samapi 1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers,2011, hlm 31.
[10] Op.cit. Abdulkadir Muhammad, hal. 250-251.
[11] Op.cit, Subekti, hal. 130
[12] Op.cit. Amadi Miru dan Sakka Pati, hal. 55.
[13] Op.cit. Abdulkadir Muhammad, hal 218.
[14] Subekti. 1954. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Interma.hal.45
[15] Ali, Chidir, 1984, Yurisprudensi Hukum Perdata Indonesia (Jilid I), Bandung: CV Armico.hlm.24

Post a Comment for "Hukum perikatan"