Ijma dan kehujahannya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Untuk hidup
didunia dan kesejahteraannya di ahirat, yang allah turunkan melalui rasulnya
yang berupa alqur’an dan hadis, karena dalil- dalil atau nas-nas yang ada dalam
al-quran dan hadis terbatas jumlahnya sedangkan peristiwa yang terjadi semakin
bertambah sesuai dengan perkembangan jumlah manusia yang setiap hari bertambah
sehingga peristiwa yang terjadi menjadi tidak terbatas.
Dari
masalah- masalah yang belum ada nasnya Kemudian dimasukkannya hukum –hukum yang
disepakati oleh para sahabat nabi (di ijma’ ) sehingga oleh jumhurul ulama’
disepakati bahwa salah satu sumber- sumber syariat islam adalah ijma’.
Karena
syariat itu adalah hukum –hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh allah
sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani ,diikuti dan dilaksanakan dalam
kehidupannya, maka kita perlu untuk mengetauhui apa yang di maksud ijma’.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian
ijma’
2. Kehujjahan
ijma’
3. Rukun Ijma’
4. Macam-macam
kehujjahan
C.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Maksud dan
tujuan kami dalam penyusunan makalah ini adalah untuk mempermudah memahami
ijma’ dalam amalan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN IJMA’
Ijma`
menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal,
seperti perkataan seseorang yang berati “kaum itu telah sepakat (sependapat)
tentang yang demikian itu.”
Menurut
istilah ijma, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara dari
peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh
ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang
pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada
waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan
bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada
permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun
kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat
dikatakan ijma[1].
B.
Latar Belakang
Kemunculan Ijma Dan Perkembangannya
Ijma' dalam
sejarah Islam yang aktual adalah suatu proses alamiah bagi penyelesaian
persoalan melalui pembentukan pendapat mayoritas dalam umat secara bertahap.
Setelah Rasulullah SAW wafat dan wahyu berhenti turun, muncullah kebutuhan
untuk membatasi kemungkinan salah dalam ijtihad. Bagi kita, nampaknya gagasan
ijma' muncul sebagai kebutuhan sosio-politik yang kemudian direstui pada
masa-masa kemudia atas dasar ayat-ayat al Qur'an dan tradisi Rasulullah SAW.
Kami kira, tidak ada konsep ijma' an sich seperti pada masa
hidup Rasulullah SAW. Alasannya adalah bahwa wahyu dan ucapan Rasulullan SAW
merupakan kata pemutus bagi persoalan-persoalan yang muncul pada masa beliau
masih hidup. Karena itu, nampaknya wajar bila konsep tersebut muncul ketika
kaum muslimin dihadapkan pada persoalan-persoalan baru. Pada waktu-waktu inilah
tentunya lalu dirasakan perlunya memastikan ketepatan jawaban mereka terhadap
persoalan-persoalan tersebut, yang didasarkan pada pendapat pribadi. Contoh
praktis yang pertama mengenai ijma' setelah wafatnya Rasulullah SAW yang
kejadian Saqifah bani Sa'idah. Dalam majelis ini, pendapat Umar ibnu Khattab
berkaitan dengan pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah diterima oleh kaum
muslimin yang hadir di tempat itu dan kemudian diakui oleh umat. Dapat
dipastikan bahwa gagasan ijma' memperoleh ekspresi dalam kejadian tersebut;
meskipun demikian, ini juga tidak memberikan landasan ataupun rumusan teknis
bagi konsep ijma' ini. Pada umumnya, persoalan-persoalan muncul dan jawabannya
dicari oleh kaum muslimin dengan dasar ra'yyang dijamin oleh
persetujuan diam-diam dari umat. Pendapat pribadi para sahabat, terutama
pendapat Umar, dalam masalah-masalah hukum, dikemudian hari diterima sebagai
ijma' para sahabat. Jadi, ijma' bermula dari pendapat pribadi perseorangan
(atau ijtihad) dan berpuncak pada penerimaan persetujuan universal oleh umat
atau suatu pendapat tertentu dalam jangka panjang. Ijma' mucul dengan
sendirinya, dan tidak dipaksakan kepada umat.
Dalam
pandangan para ahli hokum, bahwa ijma' secara justifiksi validitas didasarkan
atas ayat al Qur'an (3:103) dan (4:115) dan mengutip sejumlah tradisi dari
Rasulullah SAW. Ayat al Qur'an yang dikutip untuk mendukung ijma' merujuk pada
perilaku umum dari kaum muslimin dan persatuan mereka, dan bukannya pada
consensus kaum muslimin dalam bidang hukum, khususnya dalam pengertian
teknisnya. Ayat-ayat ini pada mulanya tidaklah dipahami oleh Rasulullah SAW
maupun oleh para sahabat sebagai satu argument yang mendukung ijma'.
Selain
mengutip dari ayat al Qur'an, ijma' juga dapat dijustifikasikan melalui hadits.
Dalam abad ke-2 Hijrah, al Syafi'i mengutip sejumlah hadits dari Rasulullah SAW
yang menguatkan prinsip ijma', tetapi ia tidak berbicara apa-apa mengenai
hadits. Ia hanya menyatakan: "Kita tahu bahwa orang banyak tidak akan
bersepakat dalam hal yang bertentangan dengan sunnah Rasul ataupun dala suatu
kesalahan". Sulit untuk mengatakan apakah al Syafi'i dalam pikirannya
mengenai hadits tersebut di atas dan merujuk dengan pernyataan itu. Tetapi jika
seandainya ia mengetahui hadits tersebut, tentu ia akan mengutipnya bersama
dengan tradisi-tradisi yang lain.
Dalam pandangan para cendekiawan Islam, bahwa ijma'
tak ada hubunganya dengan opinion prudentium dalam hukum
Romawi, malahan sangat berbeda dalam beberapa aspeknya. Pertama, dalam
Islam, tak pernah umat ataupun otoritas lain yang diketahui, memberikan
wewenang kepada para ulama. Kedua, setiap muslim yang memiliki
kemampuan untuk menafsirkan hukum berhak untuk memikir dan menafsir ulang
hukum. Sehingga kebebasan untuk menafsirkan hukum dan mengkritik consensus para
ulama, yang ada dalam Islam, tidak terdapat dalam hukum Romawi. Untuk
memperjelas lebih jauh ide tentang ijma'. Jadi, dalam Islam, ijma' merupakan
proses yang terus berlanjut dan kegiatan yang kontinue, serta berubah bersamaan
dengan berubahnya keadaan. Dalam keadaan bagaimanapun juga, tidak ada dan tak
pernah ada suatu badan dalam Islam yang pendapat-pendapatnya dapat dinyatakan
sebagai opinio prudentium, semata-mata karena memang Islam
tidak menetapkan lembaga demikian.
Sejak
periode sahabat hingga masa imam-imam mujtahid, pemikiran ijma` telah
berkembang melalui 3 periode sebagai berikut [2];
1. Ijmā’ Pada
Masa Sahabat
Setelah
wafatnya Nabi Muhammad saw. bermunculan permasalahan baru yang membutuhkan
kejelasan hukum. Langkah yang dilakukan para sahabat adalah dengan melakukan
ijtihad kolektif sebagai langkah kehati-hatian. Maka setiap muncul permasalahan
baru, Abu Bakar dan khalifah setelahnya, Umar bin Khattab, segera mengumpulkan
tokoh-tokoh masyarakat untuk memusyawarahkan dan mempelajari sikap apa yang
harus diambil dalam menghadapi permasalahan itu. Seperti pemilihan khalifah,
memerangi orang murtad, dan pembagian tanah taklukan yang ada di Iraq, Mesir,
dan Syam. Apabila tercapai kesepakan, hukum langsung dijalankan dan harus diikuti
seluruh kaum muslimin. Apabila kesepakatan belum tercapai, maka diskusi
dilanjutkan hingga semua sampai pada keputusan bersama yang dianggap sebagai Ijmā’, dari sini terdapat
banyak Ijmā’ sahabat.
2. Ijmā’ Pada
Masa Tabiin
Pada
masa ini pemikiran tentang Ijmā’ mulai berkurang disebabkan
berpencarnya fukaha[2] ke
beberapa wilayah dan beragamnya pendapat, sementara tidak ada kebijakan
pemerintah untuk mengumpulkan fukaha untuk mencapai suatu kesepakatan, sehingga Ijmā’ menjadi sedikit atau bahkan
tidak ada.
3. Ijmā’ pada
Masa Imam-imam Mujtahid
Pada
masa ini yang mengemuka adalah pentingnya mengikuti Ijmā’ terdahulu pada masa sahabat.
Masing-masing imam mazhab berusaha untuk mengikuti Ijmā’ sebelumnya agar tidak dianggap
membangkang atau kontroversial. Dalam hal ini mereka sangat dipengaruhi oleh
wilayah masing-masing, misalnya Imam Malik mengikuti Ijmā’ penduduk Madinah, Sementara
Imam Abu Hanifah merasa cukup dengan kesepakatan ulama Kufah.
4.
Ijmā’ pada
Masa Fukaha Mazhab
Pada
masa ini muncul pemikiran keharusan mengikuti mazhab fikih tertentu di kalangan
fukaha, masing-masing pihak membela mazhab imamnya dengan klaim Ijmā’ yang kemudian menjadi banyak.
Walau demikian, semuanya masih sama-sama memandang pentingnya menerima dan
mengamalkan Ijmā’sahabat
agar tidak dianggap shadh (ganjil). Saat itu pula Ijmā’ menjadi satu ketetapan di benak
umat Islam sebagai hujah yang qaṭ’i (pasti). Maka mulai sejak itu, para
fukaha di setiap negeri menentang keras terhadap orang-orang yang melanggar Ijmā’. Sikap ini muncul dari
anggapan bersihnya perjalanan hidup para sahabat, ditambah dengan riwayat yang
mengatakan, “Umatku tidak bersepakat dalam kesesatan” dan riwayat, “Apa
yang dianggap baik kaum muslimin adalah baik di sisi Allah”, serta hadits
yang diriwayatkan al-Syafi’i dari Umar ra., “Ingatlah, barang siapa
menginginkan kesenangan hidup di tengah syurga, hendaklah mengikuti jama’ah.
Karena syetan bersama orang yang sendirian, dan menjauh dari dua orang”
C.
MACAM-MACAM IJMA’
Macam-macam
ijma’ jika dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu [3]:
1.
Ijma’ Sharih
Yaitu semua mejtahid mengemukakan
pendapat mereka masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha
(memberi keputusan). Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan
yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati
salah satunya. Ijma’ sharih ini merupakan ijma’ yang haqiqi, ijma’ yang
dijadikan hujjah syar’iyyah menurut madzhab jumhur. Ijma’ sharih disebut juga
dengan ijma’ bayani, ijma’ qauli atau ijma’ haqiqi.
2.
Ijma’ Sukuti
Yaitu
pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid
lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak pendapat tersebut
secara jelas. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila telah memenuhi beberapa
kriteria berikut :
a.
Diamnya mujtahid itu betul-betul
tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan. Bila terdapat tanda-tanda
yang menunjukan adanya kesepakatan, yang dilakukan oleh sebagian mujtahid. Maka
tidak dikatakan ijma’sukuti, melainkan ijma’ sharih. Begitu pula bila terdapat
tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid, itupun bukan
ijma’sukuti.
b.
Keadaan diamnya para mujtahid itu
cuku lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya
dipandang cukup untuk mengemukaka hasil pendapatnya.
c.
Permasalahan yag difatwakan oleh
mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil
yang bersifat dzanni. Sedangkan permasalahan yang tidak boleh di-ijtihadi atau
yang bersumber dari dalil-dalil qath’I, jika seorang mujtahid mengeluarkan
pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam. Hal itu
tidak bisa disebut ijma’.
Mengenai
ijma’ sukuti ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat, yaitu sebagai berikut
:
1.
Imam Syafi’I dan mayoritas fuqaha
mengemukakan : tidak memasukkan ijma’ sukuti ini kedalam kategori ijma’.
Mereka
beralasan bahwa orang yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang
berpendapat. Oleh karena itu, jika diam dipandang sebagai ijma’, berarti diam
itu dapat dianggap sebagai pembicaraan yang dinisbatkan kepada serorang
mujtahid yang belum tentu menerima pendapat tersebut.
Selain itu
diam juga tidak dianggap sebagai setuju, karena dimungkinkan banyak faktor yang
membuatnya diam. Misalkan diamnya mujtahid itu mungkin dia setuju, mungkin di
belum berijtihad dalam masalah tersebut, atau mungkin ia telah berijtihad tapi
belum mendapatkan hasil yang mantap dan banyak juga kemungkinan-kemungkinan
lain yang bisa saja terjadi. Dengan demikian, diam tidak dapat dipandang
sebagai hujjah untuk menerima pendapat seorang mujtahid.
2.
Sebagian fuqaha yang lain
berpendapat : memasukkan ijma’sukuti dalam kategori ijma’. Hanya saja
kekuatanya dibawah ijma’ sharih.
Sebagian
fuqaha itu beralasan bahwa pada dasarnya diam tidak dapat dikategorikan hujjah
kecuali sesudah merenung atau berfikir. Selain itu, pada umumnya tidak semua
pemberi fatwa (mufti) memberikan keterangan pada suatu masalah. Tetapi yang
umum pada setiap masa (generasi) adalah para mufti besar memberikan fatwa,
sedang ulama yang lain menerimanya.
3.
Ijma’ sukuti dapat dijadikan
argumentasi (hujjah) akan tetapi tidak termasuk dalam kategori ijma’. Ulama
yang berpendapat demikian, mereka beralasan bahwa meskipun ijma’ sukuti tidak
memenuhi kriteria ijma’, tidak setiap orang alim mengemukakan pendapatnya, akan
tetapi dapat dijadikan hujjah, karena diamnya seorang ulama lebih kuat
menunjukkan arti setuju, dibanding sikap menentang[4].
Jika
ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma’, dapat dibagi kepada
:
a.
Ijma’ qath’i, yaitu
hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah qath’I atau diyakini benar terjadinya,
tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum adalah peristiwa atau kejadian yang
telah ditetakan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
b.
Ijma’ dzanni, yaitu
hukum yang dihasilkan ijma’ itu adalah dhanni. Masih ada kemungkinan lain bahwa
hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil
ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.
Selain macam-macam ijma’ diatas, dalam kitab-kitab
ushul fiqh terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa
terjadinya, tempat terjadinya atau orang-orang yang melaksanakannya.
Ijma’-ijma’ itu adalah :
a.
Ijma’ sahabat, yaitu
ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
b.
Ijma’ khulafaur rasyidin, yaitu
ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bun Abi
Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat orang itu
hidup.
c.
Ijma’ syaikhan, yaitu
ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dab Umar bin Kattab.
d.
Ijma’ ahli madinah, yaitu
ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama madinah. Madzhab Maliki menjadikan ijma’
ahli madinah ini sebagai salah satu sumber hukum islam.
e.
Ijma’ ulama kuffah, yaitu
ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama kuffah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’
ulama kuffah sebagai salah satu sumber hukum islam.
Ijma’ dipandang tidak sah, kecuali bila mempunyai
sandaran, sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu
fatwa dalam masalah agama tanpa sandaran adalah tidak sah.
D.
HUJJAH IJMA’
Status
kehujjahan dan kedudukannya dalam syari’at. Kebanyakan ulama menetapkan bahwa
ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum Islam dalam menetapkan hukum
dengan nilai kehujjahan yang bersifat zhanny. Sedangkan golongan Syi’ah
memandang bahwa ijma’ ini sebagai hijjah yang harus diamalkan, Namun lebih
lanjut, kalangan Syi’ah tidak menerima ijma’ sebagai hujjah, dengan alasan karena
pembuat hukum menurut keyakinan mereka adalah iman yang mereka anggap ma’shum
(terhindar dari dosa).
Untuk
menguatkan pendapatnya ini, jumhur mengemukakan beberapa ayat Al-Qur’an dan
Hadits Nabi, diantaranya :
1. Q.S Al-Nisa,
ayat 59 :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
2. Hadits Nabi
yang artinya : “Umatku tidak akan berkumpul melakukan
kesalahan (H.R.al-Tirmidzi) “ menurut redaksi hadits lain, artinya : “ saya
memohon kepada Allah agar umatku tidak sepakat melakukan kesalahan lalu Allah
mengabulkannya (H.R.Ahmad bin Hambal dan al-Thabari)”.
Apabila mujtahid telah sepakat
terhadap suatu ketetapan hukum suatu peristiwa atau masalah, maka mereka wajib
ditaati oleh umat. Hukum yang disepakati itu adalah hasil pendapat para
mujtahid umat Islam, kerenanya pada hakikatnya hukum ini adalah hukum umat yang
dibicarakan oleh mujtahid dan ijma’ ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum
syar’i, setelah Al-Qur’an dan Hadits.
Kemungkinan terjadinya Ijma’ Jumhur
ulama berpendapat bahwa ijma’ mungkin dapat terlaksana dan memang telah terjadi
dalam kenyataan. Umpamanya pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah setelah
wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijma’, demikian juga haramnya lemak babi dan
lain-lain hukum furu’ sebagaimana yang tersebar dalam kitab-kitab fiqih.
Ulama yang berpendapat tidak mungkin
terjadinya ijma’ melihat dari segi sulitnya mencapai kata sepakat diantara
sekian banyak ulama mujtahid, sedangkan ulama yang menyatakan mungkin
terjadinya ijma’ melihat dari segi secara teoritis memang dapat berlaku
meskipun sulit terlaksana secara praktis.
Para ulama ushul fiqih klasik dan
modern telah membahas persoalan kemungkinan terjadinya ijma’. Mayoritas ulama
klasik mengatakan tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan secara aktual
ijma’ itu telah ada. Mereka mencontohkan hukum-hukum yang telah disepakati ,
seperti kesepakatantentang pembagian harta waris bagi nenek sebesar seperenam
dari harta waris dan larangan menjual makanan yang belum ada ditangan penjual.
Adapun ijma’ dalam pandangan ulama
ushul fiqih kontemporer, seperti Abu Zahrah, ‘Abdul Wahhab Khallaf, dan Wahbah
Zuhaili, mengatakan bahwa ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah dizaman sahabat,
karena para sahabat masih berada pada satu daerah. Adapun dimasa sesudahnya,
untuk melakukan ijma’ tidak mungkin, karena luasnya wilayah Islam dan tidak
mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada suatu tempat. Zakiyuddin Sya’ban
mengatakan bahwa apabila didapati dalam kitab-kitab fiqih ungkapan ijma’, maka
yang mereka maksud kemungkinan ijma’ sukuti atau ijma’ kebanyakan ulama, bukan
ijma’ sebagaimana yang didefenisiskan oleh para ahli ushul fiqih.
E. Kedudukan
Ijma Dalam Perkembangan Hukum Islam Kontemporer
Gagasan ijma‘ yang agak luas
dikemukakan al-Syafi‘i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma‘ adalah
kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis,
karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang
sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal[5].
Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir
neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma‘ dalam
masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan
individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma‘ setelah
melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian,ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas
masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak
monolitik. Golongan minoritas yang merasaijtihad-nya lebih mendekati
kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran
gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara
mayoritas, opini itu membentuk ijma‘ baru dan
menggantikan ijma‘lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus
masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura.
Pada level negara, ijma‘ masyarakat
akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh
lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma‘.
Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi
teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada
para ahli. Undang-undang atau hukum yang ditetapkan majelis bisa saja benar
atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat,
ia tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma‘ masyarakat.
Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara
potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi
mayoritas melalui proses perdebatan.
Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang
lembaga syura-ijma‘ ini ke dalam suatu majelis internasional
yang beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah
memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh
majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional
dan situasi sosial masing-masing negeri.
Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma‘ bisa
memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority
rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi
negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara
merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris
klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber
tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma‘. Dengan
kata lain, ijma‘ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi
bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk
menjalankannya.
Mekanisme ijma‘ yang telah
diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik,
sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara
individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum
masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik.
Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim
ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik.
Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus
menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu
konsensus.
Mekanisme ijma’ semacam ini
menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim,
dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh
dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936),
mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan
kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di
lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak
mungkin tercapai. Menurut
al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan
pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya,
mengkuduskan kesatuan kemanusiaan umum (al-wah{dah al-insa>niyyah
al-‘ammah), kesatuan keagamaan umum (al-wah{dah al-di>niyyah
al-‘ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wah{dah
al-di>niyyah al-kha>ssah). Implementasi prinsip-prinsip ini, menurut
al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan
berdimensi sakral dan religius.
Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap
anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan
lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut
tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan
hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern,
seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi
antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim.
Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang
dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik
Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam
proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma‘ mengkristal
atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas,
ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung di
atas, konsensus atau ijma‘ masyarakat inilah yang kemudian
diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional.
Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya
merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke
dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (preference
representation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga
bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika suatu
masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan
preferensi ini, deliberasi, advokasi, pengajuan rancangan undang-undang, serta
cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis.
Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura[6].
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk
konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu
hal adalah melalui referendum. Ijma‘, berdasarkan alur logika yang
telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi
masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan
dalam implementasi ijma’-referendum ini. Pada level regional atau
internasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim
juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsepijma’. Dengan
merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan
atau ber-ijma‘ untuk melaksanakannya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ijma’
menurut bahasa adalah azam dan ittifaq(kesepakatan). Sedangkan menurut istilah
yang sering dipakai oleh kebanyakan ulama adalah : Status kehujjahan dan
kedudukannya dalam syari’at, yaitu Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma’
dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum Islam dalam menetapkan hukum, dengan
dalil dari Al-Quran dan Sunnah.
Kemungkinan
terjadinya Ijma’, yaitu Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ mungkin dapat
terlaksana dan memang telah terjadi dalam kenyataan. Umpamanya pengangkatan Abu
Bakar menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijma’, demikian
juga haramnya lemak babi dan lain-lain.
Macam-macam
ijma’, yaitu : Adapun ijma’ ditinjau dari cara-cara terjadinya atau cara
menghasilkannya terbagi menjadi dua bagian, yaitu : Ijma’ Sharih,
Ijma’ Sukuti, Sedangkan ditinjau dari segi qathi’ atau zhanni dalalah hukumnya juga terbagi menjadi dua, yaitu : Ijma’ Qathi’ Dilalah, Ijma’ Zhanii Dalalah, Ada lagi lagi yang membagi ijma’ menjadi dua macam, yaitu : Ijma’ Qath’i, Ijma’ Zhanni, Ijma’ (kesepakatan) ulama ini dapat dibagi menjadi tiga cara, yaitu : Dengan Ucapan (qauli), Dengan Perbuatan (fi’li) dan Dengan Diam (sukuti)
Ijma’ Sukuti, Sedangkan ditinjau dari segi qathi’ atau zhanni dalalah hukumnya juga terbagi menjadi dua, yaitu : Ijma’ Qathi’ Dilalah, Ijma’ Zhanii Dalalah, Ada lagi lagi yang membagi ijma’ menjadi dua macam, yaitu : Ijma’ Qath’i, Ijma’ Zhanni, Ijma’ (kesepakatan) ulama ini dapat dibagi menjadi tiga cara, yaitu : Dengan Ucapan (qauli), Dengan Perbuatan (fi’li) dan Dengan Diam (sukuti)
B.
SARAN
Mengingat
manusia tidak luput dari kesalahan, makalah yang kami susun inipun masih banyak
kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dari
masyarakat pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Syekh Muhammad bin Shalih
Al-Utsmani. Ushul Fiqih. Jogjakarta : Media Hidayah. 2008.
Syekh Ali bin Muhammad Al-Jurjani.
At-Ta’rifat. Haromain. Syarifuddin, Amir. Prof.Dr. Ushul Fiqih
jilid I. Ciputat : Logos. 1997.
Wahhab Khallaf, Abdul. Prof. Dr.
(alih bahasa : Prof. KH. Masdar Helmy). Ilmu Ushul Fiqih. Bandung :
Gema Risalah Press. 1997.
Yahya, Mukhtar.Prof. Dr.dan Prof.
Drs. Fatchurrahman. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam.
Bandung : Al-Ma’arif. 1993.
Suparta.Drs. dan Drs. Djedjen
Zainuddin. Fiqih . Semarang : Toha Putra. 2004.
Haroen, Nasrun.Dr. MA. Ushul
Fiqih I. Ciputat : Logos. 1997
[4] Prof. Dr. Abdul Wahab Kallaf. Kaidah-kaidah Hukum
Islam Ilmu Ushulul Fiqh. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002). Hal : 63-64
Post a Comment for "Ijma dan kehujahannya"