Keadaan hari tasyri' pada zaman belanda jepang
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia dengan
mayoritas penduduknya beragama Islam adalah sebuah komunitas muslim terbesar di
dunia. Ironisnya, dengan jumlah yang besar tersebut tidaklah cukup
menggambarkan bagaimana umat Islam di Indonesia menjadi umat yang terhormat di
bawah naungan syariat Islam yang mulia tersebut. Singkatnya, kalau kita
ingin melihat kemiskinan, kebodohan, korupsi, kriminalitas tengoklah masyarakat
Indonesia. Contoh di atas adalah sebuah kondisi yang amat kontradiktif dengan
apa ajaran yang dianut oleh muslim, idealnya, Indonesia sebagai negeri
muslim adalah negeri yang dalam alqur’an dinyatakan sebagai baldatun
warobbbun ghofur karena Islam sebagai agama yang syumul wa mutakamil
adalah seperangkat ajaran yang jika diamalkan dengan baik oleh umatnya akan
menghantarkan manusia ke arah kejayaan di dunia dan juga di akhirat.
Hal
ini bukanlah isapan jempol, sejarah telah mencatatnya dengan tinta emas,
hal ini juga telah diakui ilmuan barat bahwa umat Islam di bawah naungan
syariat pernah memimpin peradaban baik peradaban ilmu,ekonomi,budaya,social dan
pertahanan keamanan. Kenapa hal ini bias terjadi? Karena syariat Islam
diturunkan Allah Swt sebagai pembawa misi rahmatan lil’alamin. Secara
umum, memiliki maksud dan tujuan untuk mendatangkan kemaslahatan dan sekaligus
menolak kemudharatan dalam kehidupan ummat manusia. Selanjutnya, konsep ini
dikenal dengan maqashid syariah. ada lima kebutuhan kehidupan primer
manusia yang mesti ada (ad-dharuriyyat al-khams).
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Hukum Islam pada Masa Pra Pemerintahan Hindia Belanda?
2. Bagaimana Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang?
3. Bagaimana Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tarikh Tasyri’
Tarikh
tasyri’ adalah dua term terdiri dari tarikh, yang berarti sejarah dan tasyri’
yang berarti penetapan hukum. Dengan demikian tarikh tasyri’ al-Islami secara
sederhana dapat difahami sebagai sejarah penetapan suatu hukum. Dari pengalaman
itu para fuqaha kemudian dapat memahami siapa para mujtahidin itu dan bagaimana
mereka melakukan proses penetapan hukum relevansinya terhadap situasi dan
kondisi budaya yang melingkupinya. Secara literer tarikh tasyri’ juga dapat
difahami sebagai ilmu yang membahas tentang keadaan fiqih Islam pada masa
kerasulan (Nabi Muhammad SAW) dan masa-masa sesudahnya, dimana masa-masa itu
dapat menolong dalam pembentukan hukum, dan dapat menjelaskan hukum yang
tiba-tiba datang, baik terdiri dari nasakh, takhsis, dan sebagainya, maupun
membahas tentang keadaan para fuqaha dan mujtahidin serta hasil karya mereka
dalam menyikapi hukum tersebut[1].
Dengan
demikian, pada hakikatnya tarikh tasyri’ tumbuh dan berkembang di masa Nabi SAW
sendiri karena Nabi SAW mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum dan
berakhir dengan wafatnya Nabi SAW. Dan dalam hal ini, nabi SAW berpegang kepada
wahyu.
Para
fuqaha, ahli-ahli fiqh, hanyalah menerapkan kaidah-kaidah kulliyah,
kaidah-kaidah yang umum meliputi keseluruhan, kepada masalah-masalah juz-iyah,
kejadian-kejadian yang detail dengan mengistinbathkan, mengambil hukum dari
nash-nash syara’, atau ruhnya, di kala tidak terdapat nash-nashnya yang jelas.
Ringkasnya tarikh tasyri’ merupakan kata lain dari sejarah fiqh.
Secara
umum, kaidah-kaidah syari’at itu telah dikokohkan, ditegakkan asasnya dan
disempurnakan pokok-pokoknya pada zaman Nabi SAW. yang menjadi saksinya adalah
firman Allah:
“ Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu
jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Nabi SAW bersabda:
“ Aku tinggalkan untukmu dua perkara, niscaya kamu tidak akan tersesat selagi
kamu berpegang pada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah
nabi-Nya.”
Dari
keterangan-keterangan di atas jelaslah bahwa Nabi SAW tidak akan meninggalkan
kehidupan ini kecuali setelah menyempurnakan pembangunan syari’at. Adapun hukum
setelah beliau wafat yang ditetapkan melalui hasil ijtihad para sahabat dan
tabi’in, pada hakikatnya adalah perluasan terhadap kaidah-kaidah universal dan
penyesuaian terhadap peristiwa-peristiwa parsial yang baru muncul, serta
merupakan hasil pengambilan hukum-hukum dari nash yang dipahami mereka (sahabat
dan tabi’in), dan qiyas (analogi) terhadap nash dalam masalah yang tidak
terdapat dalam nash. Jadi, dengan demikian tidak ada sumber tasyri’ yang
melebihi Al-Qur’an dan Sunnah tingkat keuniversalannya, sekalipun sudah lama
berlaku.
Namun
demikian banyak para fuqaha yang berbeda cara pandangnya dalam memahami ruang
lingkup dan rentang tarikh tasyri’. Ada beberapa pakar yang memahami tarikh
tasyrik tidak hanya berhenti pada era Rasul, melainkan proses sejarah penetapan
hukum Islam sejak Rasul hingga kini disebut sebagai fenomena tarikh tasyri’
dalam Islam.
B. Hukum Islam
pada Masa Pra Pemerintahan Hindia Belanda
Hukum Islam dewasa ini sebagian merupakan hukum yang tidak tertulis dalam
kitab perundang-undangan, tetapi menjadi hukum yang hidup, berkembang dan
berlaku serta dipatuhi oleh masyarakat Islam yang berdiri sendiri, disamping undang-undang
tertulis. Dan ini merupakan keharusan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan serta
hajat hidup masyarakat. Apalagi penduduk Indonesia sebagian besar beragama
Islam. Dari sudut filsafat amat tepatlah kiranya meninjau nilai-nilai hukum
Islam dan eksistensinya dalam praktek pengadilan agama.
Pada masa
pra pemerintahan Hindia Belanda dijumpai beberapa macam intruksi gubernur
jendral yang ditujukan kepada para bupati, khususnya di pantai utara jawa agar memberikan
kesempatan kepada para ulama untuk menyelesaikan masalah perdata di kalangan
penduduk menurut ajaran Islam. Bahkan konon keputusan raja Belanda 1019 pada
tanggal 24 Januari 1882 yang kemudian diumumkan dalam staatsbad tahun 1882 no.
152 tentang pembentukan (peradilan agama) di dasarkan atas Teore Van Dan Barge
yang menganut paham reception in complex. Yang berarti bahwa hukum Islam
yang berlaku bagi pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya. Tetapi Teore Van
Dan Berg tersebut di tentang oleh Snouck Hurgronje dkk. Yang menganut paham
teore receptie yang intinya menyatakan bahwa hukum Islam dipandang sebagai
hukum apabila telah diterima (direcipili) oleh hakim adat[2].
Pada pra pemerintahan Hindia Belanda
dikenal ada 3 Peradilan Agama, yaitu:
1. Periode
Tahkim
Dalam masalah pribadi yang mengakibatkan perbenturan
antara hak-hak dan kepentingan dalam tingkah laku mereka, mereka bertahkim
kepada seorang pemuka agama yang ada di tengah-tengah kelompok masyarakat
mereka itu, misalnya seorang wanita bertahkim kepada seorang penghulu sebagai
wali yang berhak menikahkannya dengan pria yang diinginkannya.
2. Periode
Ahlul Hilli Wal Aqdi
Mereka telah membaiat, mengangkat seorang ulama Islam
diantara mereka yang dapat bertindak sebagai Qadhi untuk menyelesaikan setiap perkara
yang terjadi di antara mereka. Jadi Qadhi bertindak sebagai hakim.
3. Periode
Thauliyah
Periode ini telah mulai tampak pengaruh ajaran Islam
kepada masyarakat.
Sesuai dengan pendapat Carel van der Winter seorang ahli tertua mengenai
soal-soal Jawa Javanichi yang lahir dan meninggal di Yogyakarta (1799-1859),
Soloman Keyzer (1823-1868) maha guru ilmu bahasa dan ilmu kebudayaan Hindia
Belanda, terakhir Prof. Mr. Lodewijke Willem Christian Van den Berg
(1854-1927), yang dalam tahun 1884 menulis buku Muhammadagch recht
(azas-azas hukum islam), menyatakan bahwa “Hukum Islam diperlakukan bagi
orang-orang Islam bumi putera walaupun dengan sedikit
penyimpangan-penyimpangan”.
Pendapat ini sesuai dengan Regerings Reglement (Staatsblad 1884) no. 129 di
Negeri Belanda jo. S. 1885 No. 2 di Indonesia, terutama diatur dalam pasal 75,
pasal 78 jo. Pasal 109 RR tersebut, pada waktu itu dikenal dengan Receptio
in Complexu.
Pasal 75 ayat (3) RR tersebut
mengatur:
“Apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang
beragama Islam oleh Hakim Indonesia haruslam diperlakukan Hukum Islam
Gondsdienstig Wetten dan kebiasaan mereka”.
Pasal 75 ayat (4) RR disebut:
“Undang-undang agama, adat dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh
hakim Eropa pada Pengadilan yang lebih tinggi, andaikata terjadi pemeriksaan
banding”.
Pasal 78 RR:
“Bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau
mereka yang dipersamakan dengan orang Indonesia, maka mereka tunduk kepada
keputusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama
atau ketentuan lama mereka”.
Pasal 109 RR ditentukan:
“Ketentuan seperti tersebut dalam pasal 75 dan 78 itu berlaku juga bagi
mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, yaitu orang-orang Arab,
Moor, orang Cina, dan semua mereka yang beragama Islam, maupun orang-orang yang
tidak beragama”.
Pasal 7 Rechterlijke Organisatie
ditetapkan:
“Sidang-sidang pengadilan negeri (Landraad) harus dihadiri oleh seorang
fungsionare yang mengetahui seluk beluk agama Islam, kalau yang dihadapkan itu
tidak beragama Islam, maka penasihat itu adalah kepala dari orang itu”.
Dari ketentuan dan undang-undang tersebut di atas, tampak bahwa di masa
pertama pemerintahan Hindia Belanda, Huku Islam itu diakui eksistensinya
sebagai hukum positif yang berlaku bagi orang Indonesia, terutama mereka yang
beragam Islam, dan perumusan-perumusan, ketentuan-ketentuan itu dalam
perundang-undangan ditulis satu nafas dan sejajar dengan Hukum Adat, bahkan
sejak zaman VOC pun keadaan ini telah berlangsung demikian juga seperti
terkenal dengan compendium freijer.
Sejalan dengan berlakunya Hukum Islam itu pemerintah Hindia Belanda
membentuk pengadilan agama dimana berdiri pengadilan negeri dengan Staatsblad
No. 152 dan 153, kemudian diiringi dengan terbentuknya Pengadilan Tinggi Agama
(Mahkamah Syar’iyyah), yang berfungsi sebagai pengadilan tinggi banding dan
terakhir berdasarkan pasal 7 g staatsblad 1937 No. 610. Dan dalam tahun 1937
dengan staatsblad 1937 No. 638 dan 639 dibentuk pula Peradilan Agama di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur dengan nama Pengadilan Qadhi pada
tingkat pertama dan Pengadilan Qadhi Besar pada tingkat banding dan terakhir.
C. Hukum Islam
pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten
menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan
selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera pemerintah jepang mengeluarkan
berbagai peraturan. Salah satu diantaranaya adalah UU nomor 1 Tahun 1942, yang
menegasakan bahwa pemerintah Jepang Meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya
dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda ketetapan baru ini tentu saja
berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi
terakhirnya dimasa pendudukan Belanda[3].
Meskipun demikian, pemerintah Jepang
tetap melakukan berbagai kegiatan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia
diantaranya adalah:
1. Janji panglima militer Jepang untuk
melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa
2. Mendirikan shumubu (kantor urusan
agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam,
seperti Muhammadiyah dan NU
4. Menyetujui berdirinya majelis Syuro
Muslimin Indonesia (masyumi) pada bulan Oktober 1943
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah
sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA
6. Berupaya memenuhi desakkan para
tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan pengadilan agama dengan meminta
seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan
laporan untuk itu namun upaya ini kemudian dimentahkan oleh Soepomo dengan
alasan konfleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka
Dengan
demikian nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa
pendudukan Jepang di tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang
lbih baik daipada belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin
Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso
menyatakan bahwa, kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam.
Islam tidak memiliki para pegawai dibidang agama yang terlatih dimasjid-masjid
atau pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah
posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah
suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan[4].
D. Hukum Islam
pada Masa Kemerdekaan
Ketika
Indonesia memasuki pintu kemerdekaan, muncul para nasionalis Islam (Islamic Nationalist) yang berjuang
berasaskan Islam dan berpandangan bahwa negara dan masyarakat harus diatur
oleh Islam, Islam sebagai agama dalam arti luas yaitu agama yang mengatur tidak
hanya hubungan manusia dengan tuhan, tetapi juga mengatur hubungan antara
sesama manusia serta sikap manusia terhadap lingkungannya. Kelompok Nasionalis Islami ini
berhadapan dengan para Nasionalis Sekuler yang merupakan pribadi-pribadi yang
beranggapan bahwa agama dan Negara itu terpisah secara tegas. Kompromi antara
dua kubu ini melahirkan modus Vivendi, yakni rumusan untuk preambule
Undang-undang Dasar yang dikenal dengan Piagam Jakarta yang ditandatangani oleh
Sembilan anggota BPUPKI pada tanggal 22 Juni 1945. Dalam proses perumusan dasar
Negara lebih lanjut, yang dilakukan oleh wakil rakyat hasil pemilihan umum
tahun 1955, muncul tiga usul tentang dasar Negara: Pancasila, Islam, dan
Sosialis Ekonomi.
Politik hukum Negara Republik
Indonesia barulah memberikan hukum Islam bagi pemeluknya oleh pemerintah orde
baru sebagaimana dibuktikan dengan adanya Undang-Undang 1947 tentang
perkawinan, pasal 2 UU tersebut menyatakan bahwa perkawinan sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Dalam upaya mengaplikasikan
hukum Islam sesuai dengan konteks zaman dan waktu. Timbul pemikiran-pemikiran
baru pada zaman orde baru, pemikiran ini berupaya melakukan penilaian ulang
atas beberapa institusi hukum Islam seperti kewarisan dan peninjauan terhadap
lembaga perbankan yang semakin menguat di kehidupan modern.
Berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945, dan pembukuan UUD 1945 tersebut, maka kedudukan Hukum Islam
telah mulai mantap dan berkembang karena hukum Islam pada pokoknya adalah Hukum
dari Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan rumusan falsafah Negara Pancasila.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah Hukum Islam di Indonesia
sudah ada sebelum penjajah Belanda masuk ke Indonesia. Sebab Islam telah lebih
dahulu masuk ke Indonesia dibandingkan para penjajah. Artinya dalam periode ini
hukum Islam belum tertulis dan belum dijadikan undang-undang, tetapi dalam
prakteknya hukum Islam berlaku bagi pemeluk Islam. Pada masa pemerintahan
Belanda Hukum Islam berlaku apabila telah disepakati oleh hakim adat. Pada era
Pendudukan Jepang Hukum Islam tidak jauh berbeda dari pada era Belanda, akan
tetapi ada kebijakan untuk Hukum Islam, sehingga pada masa Jepang lebih baik
dari pada Belanda.
Setelah memasuki kemerdekaan, hukum
Islam mendapatkan tempat di pemerintahan dengan dijadikannya Islam sebagai
salah satu dasar Negara. Pada periode orde lama, Indonesia dikuasai oleh kaum
Nasionalis dan Komunis, sehingga Hukum Islam tidak dapat berkembang, sehingga
tidak mendapatkan tempat sebagaimana mestinya. Pada masa orde baru hukum Islam
mulai kembali diperjuangkan, sehingga hukum Islam telah berlaku secara langsung
dan sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Pada masa reformasi, hukum Islam
direaliasasikan dalam undang-undang dan peraturan yang nyata. Sehingga bukan hanya menetapkan hukum Islam,
bahkan membentuk hukum Islam yang baru dan berlandaskan Islam yang dapat dijadikan
hukum Nasional.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan
untuk masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad SF.
Amirullah, Drs. dkk. 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press.
Ramulyu,
Mohd. Idris. 1995. Hukum Perkawinan,
Kewarisan, Hukum Acara Pengadilan Agama dan Zakat Menurut Islam. Jakarta:
Sinar Grafika.
Majid Khon
M.Ag, Dr.H.Abdul. 2013. Ikhtisar Tarikh Tasyri’, Jakarta: AMZAH.
Usman MA, Drs. H. Mushlih. 1997. Kaidah-kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[1]
Mohd. Idris Ramulyu, Hukum Perkawinan, Kewarisan, Hukum
Acara Pengadilan Agama dan Zakat Menurut Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
1995), hal. 119-120.
[2]
Drs. Amirullah Ahmad SF. dkk. Dimensi Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 55-56.
[3]
Dr.H.Amiur Nuruddin dan Drs.Azhari Akmal Tarigan. Hukum
Perdata Islam di Indonesia. PT Kencana. Bandung, hal 1
[4]
DR. Juhaya S. Praja. Hukum Islam di Indonesia
(Perkembangan dan Pembentukan). PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, hal. Ix
Post a Comment for "Keadaan hari tasyri' pada zaman belanda jepang"