Kebudayaan masyarakat Minang kabau 2
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Manusia
adalah makhluk yang diciptakan tuhan sebagai satu-satunya makhluk yang
berbudaya, dimana kebudayaan memiliki pengertian sebagai seluruh sistem
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan manusia dalam proses belajar (Koentjaraningrat). Sebelum
kedatangan bangsa-bangsa Barat di kawasan Nusantara ini, adat adalah
satu-satunya sistem yang mengatur masyarakat dan pemerintahan, terutama di
kerajaan-kerajaan Melayu, mulai dari Aceh, Riau, Malaka, Jawa, Banjar, Bugis,
hingga Ambon dan Ternate. Agama Islam pada umumnya terintagrasi dengan
adat-adat yang dipakai di kerajaan-kerajaan tersebut.
Adat Minangkabau
pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain, tetapi dengan beberapa
perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan
karena masyarakat Minang sudah menganut sistem garis keturunan menurut Ibu,
matrilinial, sejak kedatangannya di wilayah Minangkabau sekarang ini. Kekhasan
lain yang sangat penting ialah bahwa adat Minang merata dipakai oleh setiap
orang di seluruh pelosok nagari dan tidak menjadi adat para bangsawan dan
raja-raja saja. Setiap individu terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua
laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan diatur
secara adat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah tradisi atau adat
istiadat Masyarakat Minangkabau?
2.
Bagaimanakah bahasa Masyarakat Minangkabau?
3.
Bagaimanakah kepercayaan/ agama
masyarakat Minangkabau?
4.
Bagaimanakah kebiasaan masyarakat
Minangkabau?
5.
Bagaimana sistem pencaharian masyarakat
Minangkabau?
6.
Bagaimana sistem pengetahuan masyarakat
Minangkabau?
7.
Bagaimanakah sistem
kekerabatan masyarakat Minangkabau?
8.
Bagaimana kesenian masyarakat
Minangkabau?
9.
Apakah makanan khas masyarakat
minangkabau?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tradisi Atau Adat
Istiadat Masyarakat Mingakabau
Dalam
masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan
budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik
mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin. Ketiganya
saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam
masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat
dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
Adat Minang sarat
dengan formalitas dan interaksi yang dikemas sedemikian rupa sehingga acara
puncaknya tidak sah, tidak valid, jika belum disampaikan dengan bahasa
formal yang disebut pasambahan.
Acara-acara adat, mulai dari yang simple seperti mamanggia, yaitu
menyampaikan undangan untuk menghadiri suatu acara, hingga yang berat seperti
pengangkatan seseorang menjadi Pangulu, selalu
dilaksanakan dengan sambah-manyambah.
Sambah-manyambah
di sini tidak ada hubungannya dengan menyembah Tuhan, dan orang Minang tidak
menyembah penghulu atau orang-orang terhormat dalam kaumnya. Melainkan yang
dimaksud adalah pasambahan kato. Artinya pihak-pihak yang berbicara atau
berdialog mempersembakan kata-katanya dengan penuh hormat, dan dijawab
dengan cara yang penuh hormat pula. Untuk itu digunakan suatu varian Bahasa
Minang tertentu, yang mempunyai format baku.
Format
bahasa pasambahan ini penuh
dengan kata-kata klasik, pepatah-petitih dan dapat pula dihiasi pula dengan
pantun-pantun. Bahasa pasambahan ini dapat berbeda dalam variasi dan penggunaan
kata-katanya. Namun secara umum dapat dikatakan ada suatu format yang standar
bagi seluruh Minangkabau. Terkait dengan
pasambahan, adat Minang menuntut bahwa dalam setiap pembicaraan, pihak-pihak
yang berbicara ditentukan kedudukannya secara formal, misalanya sebagai tuan
rumah, sebagai tamu, sebagai pemohon, atau sebagai yang menerima permohonan.
2.
Sirih dan pinang
Sirih dan
pinang adalah lambang formalitas dalam interaski masyarakat Minangkabau. Setiap
acara penting dimulai dengan menghadirkan sirih dan kelengkapannya seperti buah
pinang, gambir, kapur dari kulit kerang. Biasanya ditaruh diatas carano
yang diedarkan kepada hadirin. Siriah dan pinang dalam situasi tertentu diganti
dengan menawarkan rokok.
Makna sirih
adalah secara simbolik, sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan
mengadakan suatu pembicaran. Suatu pemberian dapat juga berupa barang berharga,
meskipun nilai simbolik suatu pemberian tetap lebih utama daripada nilai
intrinsiknya. Dalam pepatah adat disebutkan, siriah nan diateh, ameh nan
dibawah. Dengan sirih suatu acara sudah menjadi acara adat meskipun tidak
atau belum disertai dengan pasambahan kato.
Sirih dan pinang juga mempunyai makna pemberitahuan, adat yang lahiriah, baik
pemberitahuan yang ditujukan pada orang tertentu atau pada khalayak ramai.
3.
Baso-basi
Satu lagi
unsur adat Minang yang penting dan paling meluas penerapannya adalah baso-basi:
bahkan anak-anak harus menjaga baso-basi. Tuntuan menjaga baso-basi
mengharuskan setiap invidu agar berhubungan dengan orang lain, harus selalu
menjaga dan memelihara kontak dengan orang disekitarnya secara terus-menerus.
Seseorang orang Minang tidak boleh menyendiri.
Baso-basi
diimplementasikan dengan cara yang baku. Walaupun tidak dapat dikatakan formal,
baso-basi berfungsi menjaga forms, yaitu hubungan yang selain harmonis
juga formal antara setiap anggota masyarakat nagari, dan menjamin bahwa setiap orang
diterima dalam masyarakat itu, dan akan memenuhi tuntutan hidup bermasyarakat
sesuai dengan adat yang berlaku di nagari itu.
B. Bahasa Masyarakat Mingakabau
Bahasa
Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada
perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang
dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya
kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru
beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu
serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu.
Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah
terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing.
Pengaruh
bahasa lain yang diserap ke dalam Bahasa Minang umumnya
dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai
pada beberapa prasasti di
Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya
Islam yang
diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam
penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.
Meskipun
memiliki bahasa sendiri orang Minang juga menggunakan Bahasa Melayu dan
kemudian bahasa Indonesia secara
meluas. Historiografi tradisional orang Minang, Tambo Minangkabau, ditulis
dalam bahasa Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu atau sastra Indonesia lama. Suku Minangkabau menolak penggunaan
bahasa Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah. Bahasa Melayu
yang dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah
digunakan untuk pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga
menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan
pemerintah Hindia Belanda di wilayah
Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa
standar dan juga digunakan di wilayah Johor, Malaya. Namun kenyataannya bahasa
yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam yang terpengaruh
oleh bahasa Minangkabau.
Guru-guru
dan penulis Minangkabau berperan penting dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi.
Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah di Bukittinggi merupakan salah
satu pusat pembentukan bahasa Melayu formal. Dalam masa diterimanya bahasa
Melayu Balai Pustaka, orang-orang Minangkabau menjadi
percaya bahwa mereka adalah penjaga kemurnian bahasa yang kemudian menjadi
bahasa Indonesia itu.
C.
Kepercayaan/ Agama Masyarakat Mingakabau
Kedatangan
para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18,
telah menghapus adat budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Budaya
menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam
pesta-pesta adat masyarakat Minang. Para ulama yang
dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Tuanku Nan Renceh mendesak kaum
adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat
kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk
berkiblat kepada syariat Islam.
Reformasi
budaya di Minangkabau terjadi setelah perang Paderi yang
berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya
perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai
(cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada
syariah Islam. Hal ini tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai (Adat bersendikan kepada
syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak
reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan
manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu,
setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, disamping
surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang
beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar
mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.
Masyarakat
Minangkabau merupakan penganut agama Islam yang taat.Mereka boleh dikatakan
tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan lainnya. Upacara-upacara adalah kegiatan
ibadah yang berkaitan dengan salat hari raya Idul Fitri, hari raya kurban dan
bulan ramadhan. Di samping itu upacara-upacara lainya adalah upacara Tabuik
dll.
D.
Kebiasaan Masyarakat Mingakabau
Kalau orang Minang tanya adat Minang itu apa? Jawabanya sederhana saja.
Peraturan hidup sehari-hari. Kalau hidup tanpa aturan bagi orang Minang namanya
“tak beradat”. Jadi aturan itulah yang adat. Adat itulah yang menjadi pakaian
sehari-hari atau menjadi sebuah kebiasaan dalam masyarakat. Bagi orang Minang,
duduk dan berdiri selalu beradat, Berbicara beradat, Berjalan beradat, makan
dan minum beradat, bertamu beradat, bahkan, menguap dan batuk pun bagi orang
Minang beradat.
Adat yang semacam ini, mungkin dapat kita sebut dengan adat sopan santun
dalam kehidupan sehari-hari. Apakah ada orang Minang hanya mengatur sopan
santun dalam pergaulan saja? Jawabanya pastilah tidak. Masih banyak
aturan-aturan lain yang terdapat dalam adat Minang, justru mengatur hal-hal
yang sangat mendasar.
Contoh
beradat dalam Minang itu misalnya:
§
Batahnyo lapeh
orak ‘bertanya lepas lelah’
§
Berundiang sudah
makan ‘berunding sesudah makan’
Kalau orang Minang kedatangan tamu, tuan
(nyonya) rumah biasanya mempersilahkan tamu itu duduk lebih dahulu. Nyonya
rumah langsungmenyuguhkan minuman pelepas lelah. Setelah rasa haus dan dahaga
si tamu hilang, barulah si nyonya rumah bertanya tentang maksud kedatangannya.
Begitu pula bila kita sedang menunggu kedatangan
rombongan tamu yang sudah kita ketahui maksud kedatanganya, misalnya untuk
merundingkan perkawinan, maka rombongan tamu itu langsung disuguhi minuman
pelepas lelah, kemudian biasanya diajak makan (biasanya makan malam). Setelah
selesai makan, barulah diajak berunding mengenai pelaksanaan pekerjaan yang
akan dilakukan. Begitulah kira-kira aturan yang dipakai dalam hal “bertanya”,
“berunding” menurut adat Minang.
E. Mata
Pencaharian Masyarakat Mingakabau
Orang
Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan
intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar
berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini
berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota
besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar
wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia
dan Singapura
F.
Sistem Pengetahuan Masyarakat Mingakabau
AA. Navis
dalam bukunya Alam terkembang jadi Guru menjelaskanBudaya Minangkabau
mendorong masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari
ilmu. Filosofi Minangkabau yang mengatakan bahwa "alam terkembang menjadi
guru", merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat Minangkabau untuk
selalu menuntut ilmu. Pada masa kedatangan Islam, pemuda-pemuda Minangkabau
selain dituntut untuk mempelajari adat istiadat juga ditekankan untuk mempelajari
ilmu agama.Hal ini mendorong setiap kaum keluarga, untuk mendirikan surau
sebagai lembaga pendidikan para pemuda kampong.
Setelah
kedatangan imperium Belanda, masyarakat Minangkabau mulai dikenalkan dengan
sekolah-sekolah umum yang mengajarkan ilmu sosial dan ilmu alam.Pada masa Hindia-Belanda, kaum
Minangkabau merupakan salah satu kelompok masyarakat yang paling bersemangat
dalam mengikuti pendidikan Barat.Oleh karenanya, di Sumatera Barat banyak
didirikan sekolah-sekolah baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta.
Semangat
pendidikan masyarakat Minangkabau tidak terbatas di kampung halaman saja.Untuk
mengejar pendidikan tinggi, banyak diantara mereka yang pergi merantau.Selain
ke negeri Belanda, Jawa juga
merupakan tujuan mereka untuk bersekolah.
G.
Sistem Kekerabatan Masyarakat Minangkabau
Sistem
kekerabatan dalam suku minangkabau adalah Materineal yaitu garis keturunan
berdasarkan ibu,sehingga system kekerabatan memerhitungkan dua generasi diatas
ego laki-laki dan satu generasi dibawahnya.Urutannya sebagai berikut:
1.
Ibunya ibu
2.
Saudara perempuan dan laki-laki
ibunya ibu
3.
Saudara laki-laki ibu
4.
Anak laki-laki,perempuan,saudara
perempuan ibu ibunya ego
5.
Saudara laki-laki dan pempuannya ego
6.
Anak laki-laki dan perempuan saudara
perempuan ibu
7.
Anak laki-laki dan perempuan saudara
perempuan ego
8.
Anak laki-laki dan perempuan,anak
perempuan,saudara perempuan ibunya ibu
Kesatuan keluarga kecil seperti diatas di sebut
paruik.pada sebagian masyarakat ada kesatuan yang di sebut kampueng yang
memisahkan antara paruik dengan suku. Kepentingan keluarga diurus oleh
laki-laki yang bertindak sebagai niniek mamak. Ego di artikan sebagai istilah
yang menunjukkan seseorang yang menjadi pusat perhatian dalam suatu rangkaian
hubungan dengan seseorang atau sejumlah orang lain.
H. Kesenian
Masyarakat
Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian
yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara
tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan
tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan
rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan
bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring
pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan
oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri
tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain itu, adapula
tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai
biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam
randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.
Di samping
itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni
berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat
dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata
sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme. Dalam seni
berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga
diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik. Sebuah pertunjukan
kesenian talempong, salah satu alat musik pukul tradisional
Minangkabau.
I. Makanan Khas Masyarakat Minangkabau
Masakan Minangkabau atau masakan
Padang merujuk kepada makanan orang Minangkabau di Indonesia. Nama Padang diberi kerana kota Padang adalah pusat budaya suku Minangkabau. Masakan
Minangkabau adalah di kalangan makanan yang termasyhur di sepanjang kepulauan Melayu. Minangkabau perantauan membuka kedai makan Padang, terutamanya di bandar-bandar besar Indonesia.
Salah satu dari rantai kedai makan tradisional paling berjaya di Indonesia
telah dimajukan oleh orang Minangkabau.
Rendang adalah masakan tradisional bersantan dengan
daging sapi sebagai bahan utamanya. Masakan khas dari Sumatera Barat, Indonesia
ini sangat digemari di semua kalangan masyarakat baik itu di Indonesia sendiri
ataupun di luar negeri. Selain daging sapi, rendang juga menggunakan
kelapa(karambia), dan campuran dari berbagai bumbu khas Indonesia di antaranya
Cabai (lado), lengkuas, serai, bawang dan aneka bumbu lainnya yang biasanya
disebut sebagai (Pemasak). Rendang memiliki posisi terhormat dalam budaya
masyarakat Minangkabau. Rendang memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat
Minang Sumatra Barat yaitu musyawarah, yang berangkat dari 4 bahan pokok,
yaitu:
§
Dagiang
(Daging Sapi), merupakan lambang dari Niniak Mamak (para pemimpin Suku adat)
§
Karambia
(Kelapa), merupakan lambang Cadiak Pandai (Kaum Intelektual)
§
Lado
(Cabai), merupakan lambang Alim Ulama yang pedas, tegas untuk mengajarkan
syarak (agama)
§
Pemasak
(Bumbu), merupakan lambang dari keseluruhan masyarakat Minang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebudayaan minang memiliki ragam budaya
yang memiliki potensi besar bagi kekayaan kebudayaan Indonesia. Orang melayu
umumnya diidenditaskan sebagai orang yang tinggal di tanah melayu, beragama
islam, dan melaksanakan adat istiadat melayu, namun sebenarnya melayu sendiri
ibarat rumah yang di isi oleh berbagai macam penghuni dengan berbagai macam
jenis pandangan hidup pula dan tidak harus orang yang mendiami daerah melayu.
Dikarenakan dalam perkembangan zaman
melayu memiliki berbagai macam versi. Namun keanekaragaman yang ada dapat
memberi warna baru bagi kekayaan
kebudayaan Indonesia yang perlu ketahui dan kita lestarikan.
B.
Saran
Keaekaragaman kebudayaan Indonesia
terutama kebudayaan melayu harus senantiasa kita jaga dan kita lestarikan,
mulai dari memperkenalkan kebudayaan-kebudayaan kepada tiap-tiap generasi
diantaranya melalui pendidikan kebudayaan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar,
Welhendri. 2001. Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik.
Yogyakarta: Galang Press.
De
Jong, P.E. de Josselin. 1960. Minangkabau and Negeri Sembilan.
Socio-Political Structure in Indonesia. Jakarta: Bhratara.
Djamaris,
Edward, 1991. Tambo Minangkabau. Suntingan Teks disertai Analisa Struktur.
Jakarta: Balai Pustaka.
Doblin,
Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri :
Minangkabau 1784-1830. Jakarta: YOI
Esten,
Mursal. 1993. Minangkabau, Tradisi dan Perubahannya. Padang: Angkasa
Raya
Post a Comment for "Kebudayaan masyarakat Minang kabau 2"