Makna dan hakikat hukum islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Allah
menciptakan manusia untuk beribada kepada-Nya. Dalam rangka melaksanakan ibadat
kepada Allah SWT, manusia telah diberi petunjuk oleh-Nya. Petunjuk Allah
tersebut dinamakan al-Din. Istilah al-Din disebut juga al-Millah atau
al-Islam.
Al-Din yang
diberikan Allah kepada manusia sama dari dulu sampai dengan akhir zaman. Dan
untuk melaksanakan al-Din tersebut, selanjutnya Allah SWT, telah memberikan
syari’at kepada manusia dibawah bimbingan dan pentunjuk Rasul-Nya.
Dalam
menjalani kehidupannya, manusia diberi aturan-aturan yang dinamakan hukum
islam. Aspek hukum dalam islam terkadang disebut fiqh, hukum dan juga syari’ah.
Dan melalui makalah ini penulis akan membahas lebih lanjut tentang Hakikat
Hukum Islam.
B.
Rumusan Masalah
Melalui
latar belakang diatas, dapat diambil rumusan masalahnya adalah: bagaimanakah makna
dan hakikat dari hukum islam itu?
C.
Tujuan Pembahasan
Tujuan
penulis menulis makalah ini adalah: untuk mengetahui makna dan hakikat dari
hukum islam dan agar bisa membedakan hukum islam dari pengertian syari’at dan
dari pengertian fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MAKNA HUKUM
ISLAM
Kata-kata sumber dalam
hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti wadah
ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah
Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil
yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran.
Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena
sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al
Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
Secara sederhana hukum
adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui
sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat
itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan
dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan
bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku
manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua
yang beragama Islam”[1]. Maksud kata
“seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci
dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
B. Hakikat
Hukum Islam
Istilah hukum dalam Islam mempunyai dua pengertian,
yaitu syari’at dan fikih. Syari’at itu terdiri dari wahyu Allah dan sunnah Nabi
Muhammad, dan dan fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman dari syari’at, dan
bersumber pada al-qur’an, sunnah dan ra’yu.
1. Syari’at
Menurut
logat (bahasa), Syari’at berarti jalan. A.A. Fyezee, dalam bukunya outlines of
Muhammadan Law, menurut logat (bahasa) berarti jalan ke mata air, jalan
ketempat bersiram atau jalan yang harus diturut oleh umat islam. Sedangkan
menurut istilah Syari’at adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah SWT yang
dijelaskan oleh rosulnya, tentang pengaturan semua aspek kehidupan, dalam
mencapai kehidupan yang baik dalam dunia dan akhirat. Dan ketentuan ini hanya
terbatas pada firman Allah dan sabda Rasul-Nya.
Pengertian
syariat dalam arti luas meliputi pembahsan bidang I’tiqodiyah (bidang ilmu
kalam, teologi), bidang Far’iyah amaliyah (bidang fiqh) dan bidang pembahasan
moral (akhlaq). Akan tetapi terkadang hukum islam juga diartikan dalam arti
sempit yakni dalam arti hukum islam yang menjdai kandungannya adalah pembahasan
tentang fiqh, dan nilai hukum dalam bahasan syari’at bersifat Qath’iy (mutlak
kebenarannya dan berlaku pada setiap waktu dan tempat).
Muatan isi Syari’at sempurna,
mencakup dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (bidang ibadat), hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan
hubungan manusia dalam benda masyarakat serta alam sekitarnya (bidang
muammalat).
Menurut Abdullah
Nashih Ulwan, kesempurnaan Syari’at dapat dilahat dari segi tujuannya yaitu:
untuk sejehteraan ummat manusia didunia dan kebahagiaan mereka di akhirat, dari
kebenaran isinya yang bersifat mutlak sehingga umat manusia mempunyai pegangan
hidup yang pasti dan tetap (sabat), dari masa berlakunya abadi dari segi
lingkup atau ruang berlakunya universal yakni berlaku bagi seluruh umat manusia
dimanapun mereka berada.
Kata
Syari’ah dalam Al-Qur’an tersebar dalam lima tempat (ayat) yang secara khusus
menunjuk pada hukum. Al-Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam hukum
ialah hukum Allah. Hukum Allah yang berhubungan dengan alam yang dalam istilah
disebut sunnatullah yaitu ketentuan Allah terhadap alam semesta. Dan ada yang
berhubungan dengan aturan hidup manusia yang disebut syari’at.
Persamaan
syari’at dan sunnatullah adalah keduanya bersifat abadi dari Allah, tidak
mungkin berubah dan tidak dapat diubah oleh siapapun. Sedangkan perbedaannya, Syari’at:terdapat didalam Al-Qur’an,
mengatur prilaku manusia untuk merealisir kehendak Allah di bumi dalam bidang
ibadat dan muammalat. Cara untuk memperoleh pengetahuan syari’at adalah dengan
membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan teks-teks hadits, dan memahami isi maksud yang
terkandung didalamnya.Sunnatullah: terdapat
di alam semesta, mengatur benda-benda di alam semesta secara otomatis
benda-benda ini telah merealisir kehendak Allah. Mereka senantiasa bersujud
kepada Allah, tunduk kepada Allah, dan bertasbih kepada Allah. Cara memperoleh
pengetahuan sunnatullah adalah dengan cara membaca dan memahami tanda-tanda
atau fenomena alam semesta, bagaimana mereka bersujud, tunduk dan bertasbih
kepada Allah.
Di masa Nabi
Muhammad, hukum islam yang berlaku adalah syari’at, karena pada saat itu hukum
islam yang terbentuk bersumber dari wahyu Allah dan jikalau ada suat
permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, maka Rosul sendiri yang
menyelesaikan. Dan sepeninggal beliau, wahyupun berhenti sementara persoalan
bertambah terus, dan karenanya orang islam generasi berikutnya menciptakan
hukum untuk mengatasi persoalan tersebut. Akan tetapi hukum ciptaan manusia ini
tidsak berdiri sendiri, tetapi bertitik tolak pada syariat islam.
2. Fiqh
Secara
etimologi fiqh berarti faham yang mendalam. Fiqh dalam arti terminology menurut
para ulama’ adalah “ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang berhubungn dengan
perbuatan manusia yang digali dan diambil dari dalil-dalil yang tafshil”.
Muatan isi
fiqh hanya pada bidang muammalat yaitu hanya bidang yang mengatur hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan
hubungan manusia dengan benda dalam masyarakatnya serta alam sekitarnya[2].
Hubungan
antara syariat dan fiqh dalam bidang muammalat dapat diibaratkan seperti
hubungan jiwa dan badan. Syari’at menjiwai fiqh dan sebaliknya. Syari’at tidak
dapat difahami dan diamalkan tampa fiqh. Sebaliknya, fiqh tidak mungkin sah
atau diakui keberadaannya tanpa syari’at.
Nash-nash
Al-Qur’an dan sunnah yang menunjuk ketentuan-ketentuan hukum secara garis besar
(mujmal), berupa kaidah-kaidah pokok, memungkinkan penggunaan akal pikiran
untuk melakukan penjabaran secara rinci. Dan itu semua menjadi ruang gerak
ijtihad. Ruang gerak ijtihad terbuka seluas-luasnya setelah nash Al-Qur’an
dinyatakan sempurna bersamaan dengan wafatnya nabi Muhammad. Umat islam yang
hidup sepeninggal beliau terus berkembang sesuai dengan kebutuhan hidupnya.
Pesoalan-persoaln hidup yang dihadapi semangkin meluas dan semangkin kompleks,
sementara nash-nash hukum untuk memecahkan persoalan hidup di bidang muammalat
hanya kaidah-kaidah pokok yang bersifat umum. Umat islam baru menyadari
pentingnya nabi Muhammad mensykuri Mu’adz bin jabal ketika menjawab pertanyaan
beliau, jika didalam Al-Qur’an dan sunnah tidak dijumpai ketentuan terhadap
peristiwa hukum yang dihadapi, Mu’adz akan berijtihad dengan ra’yunya.
Ijtihad
dengan ra’yu dalam memecahkan persoalan hidup dibidang hukum akhirnya
melahirkan ilmu hukum yang disebut Ushul Fiqh yaitu kaidah-kaidah penetapan
hukum fikih. Kenyataan sejarah pemikiran hukum islam sejak priode sahabat
sampai Imam Khomaini di Iran, Hazzairin dan Hasbi ash-Siddiqy di Indonesia,
diketahui bahwa yang dimaksud hukum islam dalam pengertian fiqh karena hukum
islam dalam pengertian Syariat sudah berahir setelah nabi Muhammad wafat.
C. SUMBER-SUMBER
HUKUM ISLAM
1. Al-Qur’an
Al Qur’an
berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur
(mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an
diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al
Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an
merupakan sumber hukum Islam yang utama[3].
Setiap
muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di
dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti
segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya Al Qur’an memuat berbagai pedoman
dasar bagi kehidupan umat manusia.
§ Tuntunan
yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yang berkaitan dengan
iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir,
serta qadha dan qadar.
§ Tuntunan
yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi
pekerti yang baik serta etika kehidupan.
§ Tuntunan
yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
§ Tuntunan
yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat.
2. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku
Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir).
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT
telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang
disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan
firman Allah SWT:
وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ
Artinya: “ …
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hashr : 7)
Perintah
meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW
mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila
seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal
tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat
mulia.
3. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an
maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta
berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil
ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog
nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz
diutus ke negeri Yaman.
Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan
menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan
hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukum dengan Al Qur’an, Rasul
bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?”
Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi,
“seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”,
Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian,
Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah
mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum
Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
D. Sumber Hukum Barat
Sebelum kita memasuki sumber dari
hukum barat, penulis ingin melihat sedikit tentang perbandingan antara sistem
hukum Islam dan dua sistem hukum besar di dunia, yaitu Roman Law Sistem dan
Common Law Sistem. Hukum barat biasa kita sebut sekular karena sama sekali
tidak ada kaitannya dengan agama. Jadi di dunia ini terdapat tiga sistem hukum
besar yaitu Roman Law (Hukum Romawi), Common Law (hukum kebiasaan atau hukum
tidak tertulis yang berasal dari Inggris)[4].
Sistem Roman Law melahirkan sistem
hukum di beberapa Negara Eropa, seperti hukum Napoleon (Napoleonis Code) di
Perancis, hukum sipil jerman (German Civil Code) tahun 1900, hukum Belanda dan
hukum sipil italia (Italian Civil Code). Hukum-hukum tersebut mempengaruhi
sistem hukum di Negara-negara jajahan Negara-negara tersebut. Sedangkan Common
Law yang berasal dari inggris juga mempengaruhi Negara-negara jajahannya.
Amerika Serikat pada umumnya menggunakan sistem hukum yang berasal dari Common
Law Inggris. Indonesia sebagai Negara bekas jajahan Belanda, maka Indonesia
mendapatkan warisan sistem hukum yang dipakai di Negara Belanda, yaitu Roman
Law Sistem.
Common Law Inggris mulai abad ke 11
sebagai hukum kota Inggris, Common Law di dasarkan pada ketentuan hukum yang
lebih dulu (judicial precedent) bukan pada undang-undang, dan asalnya dari
hukum tidak tertulis di inggris. Disinilah inti perbedaan antara jenis sistem
ini dengan hukum sipil (Civil Law) sebagai perwujudan sistem Roman Law. Kalau
sistem Roman Law berdasarkan pada tersusunnya peraturan perundang-undangan,
sistem Common Law lebih menekankan pada kaidah-kaidah hukum. Sistem Roman Law
lebih menekankan pada sistematis rasional, sedangkan sistem Common Law pada
empiris.
Sedangkan hukum Islam seperti yang
kita ketahui bersama merupakan hukum yang sumbernya berupa ajaran dasar atau
pokok-pokok dalam Al-Qur’an dan Hadis. Sementara itu, wujud riilnya dalam
praktek lebih banyak didominasi oleh hasil ijtihad ulama (fuqaha’ atau
mujtahid). Adanya sumber hukum ini yaitu Al-Qur’an dan Hadis merupakan
perbedaan mendasar antara hukum Islam dan Hukum Barat. Hasil ijtihad Ulama
kepada kedua sumber itu kemudian dijadikan sebuah aturan sekaligus legal maxim
yang dijadikan para qadhi dalam membuat keputusan di Pengadilan.
Dalam hukum barat, sumber-sumber
hukum dalam arti formal berupa undang-undang dan sumber-sumber hukum dalam arti
materiil berupa kebiasaan, perjanjian dan lain-lain. Seperi disebutkan diatas
bahwa di dalam sistem Civil Law bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal
adalah perundang-undangan, juga termasuk kebiasaan-kebiasaan dan yurispudensi.
Dalam rangka menegakkan keadilan para yuris dan lembaga merujuk kepada
sumber-sumber tersebut.
Sumber Hukum Civil Law, yaitu :
1.
Undang- undang
Menurut
C.S.T Kansil menyatakan bahwa undang-undang adalah suatu peraturan Negara yang
mempunyai kekuataan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh Negara. Di
dalam Negara yang mengikuti sistem hukum romawi, undang-undang menjadi sumber
utama dan hakim tidak boleh melanggar undang-undang dalam setiap memutus
perkara. Mereka juga menempatkan konstitusi pada urutan tertinggi dalam
hierarki perundang-undangan. Maka dari itu setiap undang-undang yang ada harus
melewati uji materiil apakah undang-undang bertentangan dengan ketentuan
konstitusi atau tidak.
Berdasarkan
teori konsititusi, konstitusi dibentuk sebagai instrument hukum dasar yang di
dalamnya pelaksanaan kekuasaan politik Negara dibatasi. Sebagai hukum dasar,
konstitusi dirancang antara untuk menyeimbangkan hak-hak rakyat dan alokasi
kekuasaan lembaga-lembaga Negara sehingga Negara dapat berfungsi secara layak.
2.
Kebiasaan
Kebiasaan
atau custom ini dimaksudkan dengan perbuatan manusia atau masyarakat yang
dilakukan secara berulang-ulang yang berarti telah diterima oleh masyarakat
atau merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang tetap, ajeg, lazim,
normal atau adat dalam masyarakat atau pergaulan hidup tertentu. Karena adanya
pengulangan terhadap suatu perbuatan sedemikian rupan, maka masyarakat
beranggapan bahwa hal itu harus berlaku demikian. Dan jika berlawanan makan
masyarakat akan menganggap terjadinya pelanggaran terhadap norma atau hukum
tersebut. Dengan demikian yang dimaksud dengan kebiasaan yang mengandung hukum
itu adalah perbuatan-perbuatan yang baik dan diterima oleh masyarakat dan
sesuai dengan kepribadian mereka.
Pelanggaran
terhadap peristiwa-peristiwa penting menimbulkan reaksi masyarakat terhadap
pelanggar. Pada masyarakat primitive, setiap pelanggar dapat diasingkan dari
masyarakatnya. Norma demikian merupakan norma kebiasaan. Norma kebiasaan dapat
juga berupa aturan-aturan harta perkawinan, mengasuh anak, dan mengalihkan hak
milik karena kematian. Maka dari itu kebiasaan dapat menjadi salah satu sumber
terbentuknya hukum. Mereka yang memiliki kewenangan dalam membuat aturan-aturan
tentu tidak mungkin bertentangan dengan kebiasaan masyarakat setempat. Penguasa
tidak akan mungkin dapat melaksanakan aturan yang sama sekali tidak dapat
dukungan dari masyarakat.
3.
Yurispudensi
Secara umum
yang dimaksud dengan yurispudensi yaitu putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, yang secara umum memutuskan sesuatu persoalan yang belum
ada penganturanny pada sumber hukum yang lain. Dalam pengertian yang luas
yurispudensi adalah putusan hakim atau putusan pengadilan. Bahwa putusan hakim
yang pertama kali menyelesaikan sesuatu kasus yang belum ada aturannya, jika
dipergunakan sebagai dasar untuk memutus kasus yang sama oleh hakim
selanjutnya. Maka inilah yang dikatakan yurispudensi dan dapat dikatakan
sebagai sumber hukum, karena hakim adalah pembentuk hukum[5].
Dalam
yurispudensi dikenal ada dua asas, yaitu asas precedent dan asas bebas. Asas
precedent adalah asas hakim terikat kepada keputusan-keputusan yang terlebih
dulu dari hakim yang sama derajatnya atau dari hakim yang lebih tinggi. Asas
ini dianut oleh Negara-negara anglo saxen (Inggris, Amerika Serikat serta
Negara-negara bekas jajahannya). Sedangkan asas bebas adalah kebalikan dari
asas precedent tersebut, yaitu petugas pengadilan tidak terikat pada
keputusan-keputusan hakim sebelumnya, baik pada hakim tingkatan sejajar maupun
hakim yang lebih tinggi. Asas ini dianut oleh Negara Belanda dan Perancis.
Kenyataan bahwa yurispudensi sebagai sumber hukum tidak serta merta membuat
hakim terikat pada precedent. Yurispudensi di Negara-negara dengan sistem Civil
Law tidak sekuat di Negara-negara Common Law.
4.
Doktrin/ Pendapat Ahli
Doktrin/
pendapat ahli hukum menurut kebanyakan ahli hukum mempunyai kedudukan sebagai
salah satu sumber hukum ketika hakim akan memutuskan perkara di pengadilan.
Namun, dengan syarat ketika undang-undang tidak mengatur dan ketika tidak didapatkan
perjanjian internasional (untuk pengadilan internasional) dan yurispudensi
tidak didapatkan. Dalam banyak yurispudensi dapat kita lihat bahwa hakim dalam
keputusannya berpegang pada pendapat seorang atau beberapa orang ahli hukum,
terutama sekali mereka yang sudah terkenal dan dianggap mempunyai otoritas
dalam hal hukum. Hakim mengutip pendapat tersebut dalam pertimbangan hukumnya
sampai dengan menjadikannya sebagai dasar keputusannya.
Mengenai
pendapat para ahli hukum pernah dikenal pendapat umum yang menyatakan bahwa
orang tidak boleh menyimpang dari Communis Opinio Doctorum (pendapat umum para
sarjana). Oleh karena itu, maka pendapat ahli hukum mempunyai kekuatan mengikat
sebagai sumber hukum. Pendapat para ahli ini dapat dipergunakan sebagai landasan
untuk memecahkan masalah-masalah yang langsung atau tidak langsung berkaitan
satu sama lain.
Sedangkan sumber-sumber hukum
menurut sistem Common Law yaitu
Di Negara-negara dengan sistem Common Law, pada
mulanya yurispudensi ditempatkan sebagai sumber hukum yang pertama. Akan tetapi
untuk saat ini tidaklah demikian, undang-undang sama pentingnya dengan
yurispudensi, bahkan amerika serikat memiliki undang-undang dasar.
Masing-masing Negara bagian di Amerika Serikat memiliki UUD sendiri lengkap dengan
perangkat penerap hukumnya sendiri termasuk Mahkamah Agung masing-masing Negara
bagian.
Mengenai sumber-sumber hukum ini terdapat perbedaan
antara Amerika Serikat dan Inggris. Yang pertama adalah pengadilan Inggris
wajib mengikuti rules yang dinyatakan dalam putusan hakim sebelumnya sedangkan
Mahkamah Agung Amerika Serikat dan Negara-negara bagiannya tidak pernah
mempertimbangkan untuk terikat dengan putusan-putusan yang mereka buat sendiri.
Kedua, di Amerika Serikat dikenal adanya judicial review, yaitu pengadilan
dapat menyatakan tidak sah ketentuan undang-undang yang bertentangan dengan
ketentuan konstitusi, inggris tidak mengenal hal itu karena Inggris tidak
mempunyai konstitusi tertulis dan inggris hanya mengenal adanya supremasi
parlemen.
Suatu hal yang perlu kita ketahui bersama bawah
Amerika Serikat adalah peletak dasar sistem presidensial, berbeda dengan
Inggris yang menganut sistem pemerintahan parlemen, hak inisiatif untuk
mengajukan rancangan undang-undang pada legislative saja. Eksekutif tidak
mempunyai kekuasaan dalam membuat undang-undang. Namun demikian, presiden
sebagai kepala eksekutif menandatangani pengesahan RUU itu menjadi
Undang-undang atau keberatan untuk menandatangani. Dalam hal demikian, RUU
dibahas kembali di majelis yang mengajukannya disertai dengan
keberatan-keberatannya, dan apabila dilakukan pertimbangan-pertimbangan
kembali, dua pertiga dari anggota majelis tujuh, RUU lalu disertai dengan
keberatan-keberatannya diajukan ke majelis lainnya dan apabila dua pertiga dari
anggota majelis setuju, RUU menjadi Undang-undang.
E.
PERBEDAAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM
BARAT
Hukum islam
sebagai sistem hukum yang bersumber dari Din al Islam sebagai suatu sistem
hukum dan sutu disiplin ilmu, hukum islam mempunyai dan mengembangkan istilah-istilahnya
sendiri sebagaimana disiplin ilmu yang lain.Hukum Islam dan Barat mempunyai
validitas yang berbeda-beda, hukum Islam yang bercorak Theosentris mempunyai
kevaliditasan tersendiri kalau dikembalikan kepada sumbernya, demikian pula
dengan hukum barat yang bercorak Antrophosentris cenderung untuk meniadakan
agama dalam hukumnya juga punya validitas sendiri[6].
Dalam Hukum
barat dikenal dua sistem hukum yaitu Roman law dan Common Law. Common Law di
dasarkan pada ketentuan hukum yang lebih dulu (judicial precedent) bukan pada
undang-undang, dan asalnya dari hukum tidak tertulis. Disinilah inti perbedaan
antara jenis sistem ini dengan hukum sipil (Civil Law) sebagai perwujudan
sistem Roman Law. Kalau sistem Roman Law berdasarkan pada tersusunnya peraturan
perundang-undangan, sistem Common Law lebih menekankan pada kaidah-kaidah
hukum. Sistem Roman Law lebih menekankan pada sistematis rasional, sedangkan
sistem Common Law pada empiric.
Hukum Islam
seperti yang kita ketahui bersama merupakan hukum yang sumbernya berupa ajaran
dasar atau pokok-pokok dalam Al-Qur’an dan Hadis. Sementara itu, wujud riilnya
dalam praktek lebih banyak didominasi oleh hasil ijtihad ulama (fuqaha’ atau
mujtahid). Adanya sumber hukum ini yaitu Al-Qur’an dan Hadis merupakan perbedaan
mendasar antara hukum Islam dan Hukum Barat.
Dalam hukum
barat, sumber-sumber hukum dalam arti formal berupa undang-undang dan
sumber-sumber hukum dalam arti materiil berupa kebiasaan, perjanjian dan
lain-lain. Seperi disebutkan diatas bahwa di dalam sistem Civil Law
bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal adalah perundang-undangan, juga
termasuk kebiasaan-kebiasaan dan yurispudensi. Dalam rangka menegakkan keadilan
para yuris dan lembaga merujuk kepada sumber-sumber tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah
hukum dalam Islam mempunyai dua pengertian, yaitu syari’at dan fikih. Syari’at
itu terdiri dari wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad, dan dan fikih adalah
pemahaman dan hasil pemahaman dari syari’at, dan bersumber pada al-qur’an,
sunnah dan ra’yu.
Hukum dalam
kepustakaan islam dalam segi bahasa sebagai penetapan sesuatu atau meniadakan
sesuatu dari padanya. Adanya hukum tentu ada yang mengadakan atau mencipatakan
hukum, yang disebut dengan hakim. Dan hakim dalam islam itu adalah Allah. Hukum
yang diciptakan Allah mengandung sifat hukum yang disebut mahkum bihi. Dan
manusia yang melaksanakan hukum disebut mahkum ‘alaih. Dan dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat manusia diperbolehkan menciptakan sarananya, yang
disebut mahkamah.
B.
SARAN
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik
dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Idris, Moh Ramulyo. 1995. Asas-asas Hukum
Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Rochman, Ibnu. 2002. Hukum Islam dalam
Prespektif. Yogyakarta: Philosophi Press.
Suparman Usman, Suparman. 2001.
Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Utama.
Zuhri, Muh. 1996. Hukum
Islam dan Lintasan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
al-Qhaththan, Manna’, Pengantar
Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman Lc, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2005
Ananda,Faisar, Filsafat
Hukum Islam , Bandung : Citapustaka, 2007
as-Siba’I, Musthafa, as-Sunnah
wa Makanatuha Fi Tasyri’ al-Islami , Dar as-Salam, 2006
Asyhadie, Zaeni dan Arief Rahman,Pengantar
Ilmu Hukum ,Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2013
Azizy, Qodri, Eklektisisme
Hukum Nasional (kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum,
Yogyakarta : Gama Media, 2002
Khalaf, Abdul Wahhab, ‘Ilm Ushul
Fiqh, Kairo : Maktabah Al-Da’wah al- Islamiyyah, 1956
Marzuki ,Peter Mahmud, Pengantar
Ilmu Hukum, Jakarta : Kencana, 2008
Shomad, Abdul, Hukum Islam,
Jakarta : Kencana, 2010
Usman, Suparman, Hukum Islam ,Jakarta :
Gaya Media Pratama 2001
[4] Musthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa
Makanatuha Fi Tasyri’ al-Islami (Dar as-Salam, 2006,) Cet. 3, h.
345-346.
Post a Comment for "Makna dan hakikat hukum islam"