Pengertian, ruang lingkup dan tujuan mempelajari qawaid fidhiyah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Qawaidul fiqhiyah
(kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa
fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum
mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis
mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian,
sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Qawaid sebagian lain mengatakan
metode ini sebagai Qaidah secara bahasa berarti prinsip – prinsip dasar atau
beberapa asas dari segala sesuatu. Sedangkan Fiqhiyyah berarti pemahaman
mendalam dalam suatu masalah. Secara istilah Qawaid Fiqhiyyah merupakan prinsip
– prinsip umum terhadap suatu hukum yang didapat melalui pemikiran yang
mendalam dari dalil – dalil yang terperinci yang mencakup keseluruhan.
Secara ringkas dapat diketahui dari
sudut sejarahnya, Qawaid Fiqhiyyah bermula dari masa Nabi Muhammad saw dalam
bentuk embrio. Namun Qawaid Fiqhiyyah
belum terstruktur pada saat ini, karena pada masa ini Nabi sebagai
prioritas tinggi dalam pengambilan hukum. Sehingga para sahabat mengikuti hukum
berdasarkan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Walaupun begitu, pada
masa ini Nabi belum secara keseluruhan menjelaskan dalil – dalil secara rinci,
hingga sampai sekarang ada beberapa dalil-dalil yang menumbulkan beberapa
tafsir terhadap dalil tersebut.
Pada masa-masa berikutnya setelah
Nabi wafat, umat Islam semakin berkembang dan luas, dan dalil – dalil nash yang
terbatas sedangkan persoalan furuiyyah yang tidak terbatas, maka mulai
bermunculanlah ijtihad – ijtihad sahabat dan ulama – ulama yang mengkaji secara
mendalam tentang persoalan yang mesti terjawab. Untuk menjawab persoalan-persoalan furu’iyyah
ini, para Ulama mengkaji dengan metode – medote khusus selagi tidak
bertentangan dengan syariat Islam, demi keutuhan umat dalam menjalankan
kehidupan.
Dampak munculnya ijtihad ini dengan
terbentuk beberapa mazhab. Namun, ini menyebabkan kecendrungan taqlid terhadap
mazhab-mazhab tertentu. Sedangkan keinginan untuk berijtihad semakin berkurang.
Sehingga menjadikan menjadikan terkotak-kotaknya fiqh dalam mazhab. Karena
setiap kali terjadi persoalan, pada masa selanjutnya, mereka tidak memiliki
pilihan lain selain merujuk kepada kitab mazhab. Ini mula qawaid fiqhiyyah
disistematik sebagai disiplin ilmu dan dibukukan pada abad 4 H.
Dengan menguasai
kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh,
karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih
arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus,
adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di
dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih
mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang
dalam masyarakat.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian qawaid fiqhiyah?
2. Bagaimana ruang lingkup mempelajari qawaid
fiqhiyah?
3. Bagaimana tujuan mempelajari qawaid
fiqhiyah?
4. Bagaimana kedudukan qawaid fiqhiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN QAWAID FIQHIYAH
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian
dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau
patokan. Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar
atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan
al-nasaq (metode atau cara)[1]. Sedangkan
dalam tinjauan terminologi
kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad
asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu
adalah :
اَلْقَضَايَااْلكُلِّيَةُ الَّتِىيَنْدَرِجُ تَحْتَ كُلِّ وَاحِدَةٍمِنْهَاحُكْمُ جُزْ
ىِٔيَّاتٍ كَثِيْرَةٍ
”Kaum yang bersifat universal
(kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul
mendefinisikan kaidah dengan :
حُكْمُ
كُلِّىٌّ يَنْطَبِقُ عَلٰى جَمِيْعِ جُزْىِٔيَّاتِهِ
”Hukum yang
biasa berlaku yang
bersesuaian dengan sebagian besar
bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh ssecara
etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
لِيَتَفَقَّهُوا
فِي الدِّينِ
”Untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
مَنْ
يُرِدِاللهُ بِهِ خَيْرًايُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ
Barang siapa yang dikehendaki baik
oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama. (روه
البخارى ومسلم)
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan
hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari
dalil-dalil yang tafsili (terperinci). Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa
Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah
umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak
yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
B.
RUANG LINGKUP QAWAID FIQHIYAH
Menurut M.
az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan cakupannya yg
luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau
diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-madzhab atau satu
madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu[2] :
a. Al-Qawa’id
al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yangg bersifat
dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini
disepakati oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah :
1) Al-Umuru bi
maqashidiha.
2) Al-Yaqinu la
Yuzalu bi asy-Syakk.
3) Al-Masyaqqatu
Tajlib at- Taysir.
4) Adh-Dhararu
Yuzal,
5) Al- ’Adatu
Muhakkamah.
b. Al-Qawa’id
al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh
madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada
qawa’id yang lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak
mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah : adh-Dharar
al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi
dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah
yang 5, atau masuk di bawah kaidah yg lebih umum.
c. Al-Qawa’id
al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada
sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah ini terbagi pada 2
bagian :
1) Kaidah yang
ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
2) Kaidah yang
diperselisihkan pada satu madzhab.
Contoh, kaidah
: ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi tidak didapatkan
karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali,
tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan dirinci di kalangan madzhab Maliki.
d. Al-Qawa’id
al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang diperselisihkan
dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang)
fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab. Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh
bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum yang dianggap itu pada waktu sekarang
atau waktu nanti? Kaidah ini diperselisihkan pada madzhab Syafi’i. oleh karena
itu pada umumnya diawali dengan kata :hal/ /apakah
C.
TUJUAN MEMPELAJARI
QAWAID FIQHIYAH
Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan manfaat
dari ilmu qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid fiqhiyah ialah[3]:
1) Dengan
mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh
dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik
temu dari masalah-masalah fiqh.
2) Dengan
memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi.
3) Dengan
mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam
waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4) Meskipun
kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada
dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan
al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
5) Mempermudah
dalam menguasai materi hukum.
6) Kaidah membantu
menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan.
7) Mendidik orang
yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk
memahami permasalahan-permasalahan baru.
8) Mempermudah
orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan
mengeluarkannya dari tempatnya.
D. MANFAAT KAIDAH FIQH
Manfaat dari
kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah [4]:
1) Dengan
kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu
dari masalah-masalah fiqh
2) Dengan
memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi
3) Dengan
kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan
tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4) Meskipun
kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada
dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan
al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
Menurut Imam Ali
al-Nadawi (1994):
1) Mempermudah
dalam menguasai materi hokum
2) Kaidah
membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
3) Mendidik
orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk
memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4) Mempermudah
orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan
mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
5) Meringkas
persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk
menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih
besar
6) Pengetahuan
tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami
furu’ yang bermacam-macam
E.
KEDUDUKAN
QAWAIDUL FIQHIYAH
Kaidah fiqh
dibedakan menjadi dua, yaitu[5]
:
1)
Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa
kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu
al-Qur’an dan sunnah.
2)
Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil
pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat”
tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap. Kaidah fiqh sebagai
dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang berdiri
sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri. Imam
al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil
mandiri.
Namun
al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya,
menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan.
Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau
aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian.
Karena memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti
pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil
yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.
Kedudukan
kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari
masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh
Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah
fiqh ini, maka hukum fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”
Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah mencakup dua hal :
pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul
al-Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan
kaidah fiqhyang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia
syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.
F.
Perbedaan Qawaid
Fiqhiyah dengan Dhawabith Fiqhiyah
Secara umum cakupan dhabith fiqhiyah lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah dan pembahasan qawaid
fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu,
lain halnya dengan dhabith fiqhiyah. Al
Allamah Ibnu Nujaim juga membedakan antara qawaid dan dhawabith bahwa, qawaid menghimpun/ mengumpulkan
beberapa furu’ (cabang/bagian)
dari beberapa bab, sedangkan dhabith hanya mengumpulkan dari satu bab, dan
inilah yang disebut dengan asal.
Senada dengan Al Allamah Ibnu Nujaim, Imam Suyuthi rahimahullah pun berpendapat demikian dalam “Asybah wa Nadhair fi An Nahwi”, bahwa qawaid mengumpulkan beberapa cabang dari beberapa
bab yang berbeda, sedangkan dhabith mengumpulkan bagian dari satu bab saja. Tidak berbeda dari kedua ulama tersebut Abu Baqa juga
berpendapatDhabith
mengumpulkan bagian dari satu bab.
G. Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan
Ushul Fiqh beserta Kaidah Ushuliyyahnya
Dalam kajian keislaman, fiqh merupakan suatu disiplin
ilmu tersendiri, sebagaimana ushul fiqh yang merupakan disiplin ilmu
tersendiri. Kedua displin ilmu ini mempunyai kaidah-kaidah tersendiri yang satu
sama lain berbeda. Menurut Ali
al-Nadawi, Imam Syihab al-Din al-Qarafi merupakan ulama yang pertama kali
membedakan antara kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyah. Al-Qarafi
menegaskan bahwa syariah yang agung diberikan Allah kemuliaan dan ketinggian
melalui ushul dan furu’. Adapun ushul dari syariah tersebut ada dua macam.
Pertama, ushul fiqh. Ushul fiqh memuat kaidah-kaidah istinbath hukum yang
diambil dari lafal-lafal berbahasa Arab. Diantara yang dirumuskan dari lafal bahasa
Arab itu kaidah tentang nasakh, tarjih, kehendak lafal amar untuk wajib dan
kehendak lafal nahi untuk menunjukkan haram, dan sighat khusus untuk maksud
umum. Kedua, al-qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli (umum). Jumlah kaidah
tersebut cukup banyak dan lapangannya luas yang mengandung rahasia-rahasia dan
hikmah syariat. Setiap kaidah diambil dari furu’ yang terdapat dalam syariah
yang tidak terbatas jumlahnya. Hal itu tidak disebutkan dalam kajian ushul
fiqh, meskipun secara umum mempunyai isyarat yang sama, tetapi berbeda secara
perinciannya[6].
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar
antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyyah membahas
tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah
yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyah
membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyah
membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini:
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini:
1)
Qawaid ushuliyyah adalah kaidah-kaidah
bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan
objeknya. Sementara qawaid fiqhiyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat
diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian
dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2)
Qawaid ushuliyyah atau ushul fiqh
merupakan metode untuk mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari
kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan
pembicaraan dan tulisan yang benar. Qawaid ushuliyyah sebagai metode melahirkan
hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar
tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib
dan setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram. Sementara qawaid fiqhiyah
adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang
bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek kajian qawaid fiqhiyah
selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3)
Qawaid ushuliyyah sebagai pintu untuk
mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Sementara qawaid
fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada
satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid
fiqhiyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4)
Qawaid ushuliyah ada sebelum ada furu’
(fiqh). Sebab, qawaid ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum
(furu’). Sedangkan qawaid fiqhiyah muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh).
Sebab, qawaid fiqhiyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa,
ada hubungan dan sama substansinya.
5)
Dari satu sisi qawaid fiqhiyah memiliki
persamaan dengan qawaid ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara
keduanya. Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian
yang berada di bawahnya. Sementara perbedaannya, qawaid ushuliyyah adalah
himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat
dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan
sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya
semata.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Qawaidul fiqhiyah adalah Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum)
yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang
dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu. Manfaat
dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
1) Dengan
kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu
dari masalah-masalah fiqh
2) Dengan
memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi
3) Dengan
kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan
tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4) Meskipun
kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada
dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan
al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
Kaidah fiqh
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1)
Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa
kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu
al-Qur’an dan sunnah.
2)
Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil
pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat”
tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap. Kaidah fiqh sebagai
dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang berdiri
sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri. Imam
al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil
mandiri.
B. SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang
akan datang. Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dalam
memahami pengertian, runga lingkup dan tujuan Qawaid Fiqhiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi
as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta bulan bintang 1975.
Asjmuni A.
Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan bintang. 1976.
Abd. Rahman
Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta.
Ali Ahmad al
Nadawy, al Qawi’id al Fiqhiyyah, (Dmasascus; Dar al Qalam, 1994)
Ade Dedi
Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: GayaMedia Pratama,
2008)
Syarif
Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan
Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah, mu’ashirah), (Depok,
Gramata Publishing)
[1]
Ahmad
Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh
al-Islami, iskandariyah muassasah tsaqofah al-Jamiiyah .1983. hal.4.
Post a Comment for "Pengertian, ruang lingkup dan tujuan mempelajari qawaid fidhiyah"