Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengertian, ruang lingkup dan tujuan mempelajari qawaid fidhiyah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Qawaid sebagian lain mengatakan metode ini sebagai Qaidah secara bahasa berarti prinsip – prinsip dasar atau beberapa asas dari segala sesuatu. Sedangkan Fiqhiyyah berarti pemahaman mendalam dalam suatu masalah. Secara istilah Qawaid Fiqhiyyah merupakan prinsip – prinsip umum terhadap suatu hukum yang didapat melalui pemikiran yang mendalam dari dalil – dalil yang terperinci yang mencakup keseluruhan.
Secara ringkas dapat diketahui dari sudut sejarahnya, Qawaid Fiqhiyyah bermula dari masa Nabi Muhammad saw dalam bentuk embrio. Namun Qawaid Fiqhiyyah  belum terstruktur pada saat ini, karena pada masa ini Nabi sebagai prioritas tinggi dalam pengambilan hukum. Sehingga para sahabat mengikuti hukum berdasarkan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Walaupun begitu, pada masa ini Nabi belum secara keseluruhan menjelaskan dalil – dalil secara rinci, hingga sampai sekarang ada beberapa dalil-dalil yang menumbulkan beberapa tafsir terhadap dalil tersebut.
Pada masa-masa berikutnya setelah Nabi wafat, umat Islam semakin berkembang dan luas, dan dalil – dalil nash yang terbatas sedangkan persoalan furuiyyah yang tidak terbatas, maka mulai bermunculanlah ijtihad – ijtihad sahabat dan ulama – ulama yang mengkaji secara mendalam tentang persoalan yang mesti terjawab.  Untuk menjawab persoalan-persoalan furu’iyyah ini, para Ulama mengkaji dengan metode – medote khusus selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam, demi keutuhan umat dalam menjalankan kehidupan.
Dampak munculnya ijtihad ini dengan terbentuk beberapa mazhab. Namun, ini menyebabkan kecendrungan taqlid terhadap mazhab-mazhab tertentu. Sedangkan keinginan untuk berijtihad semakin berkurang. Sehingga menjadikan menjadikan terkotak-kotaknya fiqh dalam mazhab. Karena setiap kali terjadi persoalan, pada masa selanjutnya, mereka tidak memiliki pilihan lain selain merujuk kepada kitab mazhab. Ini mula qawaid fiqhiyyah disistematik sebagai disiplin ilmu dan dibukukan pada abad 4 H.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian qawaid fiqhiyah?
2.      Bagaimana ruang lingkup mempelajari qawaid fiqhiyah?
3.      Bagaimana tujuan mempelajari qawaid fiqhiyah?
4.      Bagaimana kedudukan qawaid fiqhiyah?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN QAWAID FIQHIYAH
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara)[1]. Sedangkan  dalam  tinjauan   terminologi kaidah  punya  beberapa  arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami,  mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
اَلْقَضَايَااْلكُلِّيَةُ الَّتِىيَنْدَرِجُ تَحْتَ كُلِّ وَاحِدَةٍمِنْهَاحُكْمُ جُزْ ىِٔيَّاتٍ كَثِيْرَةٍ
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
حُكْمُ كُلِّىٌّ يَنْطَبِقُ عَلٰى جَمِيْعِ جُزْىِٔيَّاتِهِ
”Hukum   yang   biasa   berlaku    yang   bersesuaian   dengan   sebagian   besar bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
مَنْ يُرِدِاللهُ بِهِ خَيْرًايُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ   
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama. (روه البخارى ومسلم)
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci). Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.

B.     RUANG LINGKUP QAWAID FIQHIYAH
Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan cakupannya yg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu[2] :
a.       Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yangg bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah :
1)      Al-Umuru bi maqashidiha.
2)      Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.
3)      Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.
4)      Adh-Dhararu Yuzal,
5)      Al- ’Adatu Muhakkamah.

b.      Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah : adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau masuk di bawah kaidah yg lebih umum.

c.       Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah ini terbagi pada 2 bagian :
1)      Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
2)      Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.
Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi tidak didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan dirinci di kalangan madzhab Maliki.

d.      Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab.  Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum yang dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini diperselisihkan pada madzhab Syafi’i. oleh karena itu pada umumnya diawali dengan kata :hal/ /apakah



C.    TUJUAN MEMPELAJARI QAWAID FIQHIYAH
Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan manfaat dari ilmu qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid fiqhiyah ialah[3]:
1)      Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2)      Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3)      Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4)      Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
5)      Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
6)      Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan.
7)      Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
8)      Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tempatnya.


D.    MANFAAT KAIDAH FIQH
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah [4]:
1)      Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
2)      Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
3)      Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4)      Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994):
1)      Mempermudah dalam menguasai materi hokum
2)      Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
3)      Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4)      Mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
5)      Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
6)      Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam

E.     KEDUDUKAN QAWAIDUL FIQHIYAH
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu[5] :
1)      Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah.
2)      Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.
Namun al_Hawani menolak pendapat Imam  al-Haramayn al-juwayni. Menurutnya, menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih bijak.
Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.” Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah mencakup dua hal : pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqhyang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.
F.      Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan Dhawabith Fiqhiyah
Secara umum cakupan dhabith fiqhiyah lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah dan pembahasan qawaid fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain halnya dengan dhabith fiqhiyah. Al Allamah Ibnu Nujaim juga membedakan antara qawaid dan dhawabith bahwa, qawaid menghimpun/ mengumpulkan beberapa furu’ (cabang/bagian) dari beberapa bab, sedangkan dhabith hanya mengumpulkan dari satu bab, dan inilah yang disebut dengan asal.
Senada dengan Al Allamah Ibnu Nujaim, Imam Suyuthi rahimahullah pun berpendapat demikian dalam “Asybah wa Nadhair fi An Nahwi”, bahwa qawaid mengumpulkan beberapa cabang dari beberapa bab yang berbeda, sedangkan dhabith mengumpulkan bagian dari satu bab saja. Tidak berbeda dari kedua ulama tersebut Abu Baqa juga berpendapatDhabith mengumpulkan bagian dari satu bab.

G.    Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan Ushul Fiqh beserta Kaidah Ushuliyyahnya
Dalam kajian keislaman, fiqh merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri, sebagaimana ushul fiqh yang merupakan disiplin ilmu tersendiri. Kedua displin ilmu ini mempunyai kaidah-kaidah tersendiri yang satu sama lain berbeda. Menurut Ali al-Nadawi, Imam Syihab al-Din al-Qarafi merupakan ulama yang pertama kali membedakan antara kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyah. Al-Qarafi menegaskan bahwa syariah yang agung diberikan Allah kemuliaan dan ketinggian melalui ushul dan furu’. Adapun ushul dari syariah tersebut ada dua macam. Pertama, ushul fiqh. Ushul fiqh memuat kaidah-kaidah istinbath hukum yang diambil dari lafal-lafal berbahasa Arab. Diantara yang dirumuskan dari lafal bahasa Arab itu kaidah tentang nasakh, tarjih, kehendak lafal amar untuk wajib dan kehendak lafal nahi untuk menunjukkan haram, dan sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, al-qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli (umum). Jumlah kaidah tersebut cukup banyak dan lapangannya luas yang mengandung rahasia-rahasia dan hikmah syariat. Setiap kaidah diambil dari furu’ yang terdapat dalam syariah yang tidak terbatas jumlahnya. Hal itu tidak disebutkan dalam kajian ushul fiqh, meskipun secara umum mempunyai isyarat yang sama, tetapi berbeda secara perinciannya[6].
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyah membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini
:
1)      Qawaid ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sementara qawaid fiqhiyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2)      Qawaid ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Qawaid ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram. Sementara qawaid fiqhiyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek kajian qawaid fiqhiyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3)      Qawaid ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4)      Qawaid ushuliyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (furu’). Sedangkan qawaid fiqhiyah muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid fiqhiyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
5)      Dari satu sisi qawaid fiqhiyah memiliki persamaan dengan qawaid ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara keduanya. Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian yang berada di bawahnya. Sementara perbedaannya, qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.





BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Qawaidul fiqhiyah adalah Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu. Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
1)      Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
2)      Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
3)      Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4)      Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu:
1)      Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah.
2)      Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.


B.     SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang. Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dalam memahami pengertian, runga lingkup dan tujuan Qawaid Fiqhiyah.
DAFTAR PUSTAKA

Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta bulan bintang 1975.
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan bintang. 1976.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta.
Ali Ahmad al Nadawy, al Qawi’id al Fiqhiyyah, (Dmasascus; Dar al Qalam, 1994)
Ade Dedi Rohayana,  Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: GayaMedia Pratama, 2008)
Syarif Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah, mu’ashirah), (Depok, Gramata Publishing)





[1] Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, iskandariyah muassasah tsaqofah al-Jamiiyah .1983. hal.4.

[2] Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta bulan bintang 1975. hal. 25

[3] Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan bintang. 1976. Hal 11.
[4] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta, hal. 13.
[5] Ali Ahmad al Nadawy, al Qawi’id al Fiqhiyyah, h. 68,69.
[6] Ade Dedi Rohayana,  Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah ...., h. 31,32.

Post a Comment for "Pengertian, ruang lingkup dan tujuan mempelajari qawaid fidhiyah"