Pewarisan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Warisan
adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada seseorang yang
masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum waris adalah sekumpulan
peraturan yang mengatur hubungan hukum mengenai kekayaan setelah wafatnya
seseorang. Seseorang yang berhak menerima harta peninggalan di sebut ahli
waris. Dalam hal pembagian harta peninggalan, ahli waris telah memiliki
bagian-bagian tertentu. Seperti yang tercantum dalam Firman Allah SWT sebagai
berikut :
تَرَكَ مِمَّا نَصِيبٌ وَلِلنِّسَاءِ
وَالأقْرَبُونَ الْوَالِدَانِ تَرَكَ مِمَّا نَصِيبٌ لِلرِّجَالِ
مَفْرُوضًا نَصِيبًا كَثُرَ أَوْ
مِنْهُ قَلَّ مِمَّا وَالأقْرَبُونَ الْوَالِدَانِ
“Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa itu pewarisan?
2.
Apakah dasar hukum pewarisan?
3.
Bagaimana perbedaan model pewarisan
islam dengan pra islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pewarisan
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas
hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, akan tetapi mencakup harta
benda dan non harta benda. Kata ورث adalah kata kewarisan pertama yang
digunakan dalam al-Qur’an. Kata waris dalam berbagai bentuk makna tersebut
dapat kita temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:
a.
Mengandung makna “mengganti
kedudukan” (QS. an-Naml, 27:16).
b.
Mengandung makna “memberi atau
menganugerahkan” (QS. az-Zumar,39:74).
c.
Mengandung makna “mewarisi atau
menerima warisan” (QS. al-Maryam, 19: 6).
Sedangkan
secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur
tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian
yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.
Sedangkan menurut para fuqoha, pengertian ilmu waris adalah sebagai berikut[1]:
علم يعرف به من يرث ومن لا يرث
ومقداركل وارث وكيفية التوزيع
“Artinya:
Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan orang yang mewaris, kadar
yang diterima oleh ahli waris serta cara pembagiannya.”
Adapun dalam
istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal
dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Seperti yang disampaikan oleh Wiryono
Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai
hak-hak dan kewajibankewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. Dengan demikian
secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan
kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain
yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.
Selain kata
waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan dengan
warisan, diantaranya adalah:
1.
Waris, adalah
orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
2.
Muwaris, adalah
orang yang diwarisi harta bendanya (orang yang meninggal) baik secara haqiqy
maupun hukmy karena adanya penetapan pengadilan.
3.
Al-Irsi, adalah harta
warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak setelah diambil untuk
pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan wasiat
4.
Warasah, yaitu
harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
5.
Tirkah, yaitu
seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk
pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, menunaikan wasiat.
Adapun
pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).
B. Sebab-sebab
Pewarisan
Dalam
kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga, yaitu; hubungan
kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab al-wala’.
1.
Hubungan Kekerabatan.
Dasar hukum
kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7). Demikian pula dalam surat al-Anfal
ayat 75 : …Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab
Allah.(Q.S.Al-Anfal: 75).
2.
Hubungan Perkawinan.
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling
mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya
terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama. Tentang
syarat administrative masih terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di
Indonesia, memberikan kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau
tidaknya perkawinan bukan secara administrasi (hukum positif, Pen.) tetapi
ketentuan agama.
3.
Hubungan Karena sebab Al-Wala’
Wala’ dalam
pengertian syariat adalah ;
a.
Kekerabatan menurut hukum yang
timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak.
b.
Kekerabatan menurut hukum yang
timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara
seseorang dengan seseorang yang lain[2].
C. Sumber Hukum
Pewarisan Islam
1.
AL-Qur’an
Ayat-ayat
Qur’an yang mengatur secara langsung kewarisan diantaranya adalah :
a.
QS An Nisa’ : 7
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Artinya : Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
( QS An Nisa’ : 7 )
Garis hukum kewarisan
pada ayat diatas ( QS. An Nisa’ : 7 ) adalah sebagai berikut :
·
Bagi anak laki-laki ada bagian
warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.
·
Bagi aqrobuun (keluarga dekat)
laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan aqrobuun (keluarga dekat
yang laki-laki atau perempuannya)-nya.
·
Bagi anak perempuan ada bagian
warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.
·
Bagi aqrobuun (keluarga dekat)
perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan aqrobuun (keluarga dekat
yang laki-laki atau perempuannya)-nya.
·
Ahli waris itu ada yang menerima
warisan sedikit, dan ada pula yang banyak.
Pembagian-pembagian itu ditentukan oleh tuhan.
Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa
ayat ke-7 an-Nisa ini masih bersifat universal, walaupun dialah ayat yang
pertama yang menyebut – nyebut adanya harta peninggalan. Harta peninggalan
disebut dalam ayat ini dengan sebutan maa taraka. Sesuai dengan system ilmu
hukum pada umumnya, dimana ditemui perincian nantinya, maka perincian yang
khusus itulah yang mudah memperlakukannya dan yang akan diperlakukan dalam
kasus-kasus yang akan diselesaikan. Masih banyak ayat-ayat al-qur’an yang
menjelaskan tentang dasar-dasar hukum kewarisan dalam islam, namun pemakalah
hanya merumuskan satu ayat yang lebih universal, yang sering dipakai untuk
rujukan atau dalil kewarisan dalam islam.
b.
QS An Nisa’ : 9
وَلْيَخْشَ
لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya :
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
2.
Hadist
Dari sekian banyak hadits nabi yang
menjadi landasan hokum kewarisan islam, pemakalah hanya mencantumkan beberapa
dari hadits nabi, diantaranya sebagai berikut :
عن إبن عباس
رض الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم : ألحقوا الفراءض بأهلها فما بقيا فهو
لأولى رجل ذكر
Artinya :
Dari Ibnu Abbas R.A dari Nabi SAW berkata : “Berikanlah faraid ( bagian-bagian
yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk
laki-laki dari keturunan laki-laki yang dekat.”
Dalam hadits
lain Rosulullah SAW bersabda :
عن عمران بن
حصين أن رجلا أتى النبى صلى الله عليه و سلم فقال : أن ابن ابنى مات فمالى من
ميراثه فقال لك السدس
Artinya :
Dari ‘Umran bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi sambil berkata :
“bahwa anak dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari
warisannya.”Nabi menjawab :”Kamu mendapat seperenam.”
3.
Ijtihad
Ijtihad ialah menyelidiki dalil-dalil hukum dari
sumbernya yang resmi yaitu al-qur’an dan hadits kemudian menarik garis hukum daripadanya
dalam suatu masalah tertentu, misalnya berijtihad dari qur’an kemudian
mengalirkan garis-garis hukum kewarisan islam daripadanya.
Dalam definisi lainnya, ijtihad yitu
pemikiran para sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai
mujtahid untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam pembagian harta
warisan. Yang dimaksud disini ijtihad dalam menerapkan hukum , bukan untuk
mengubah pamahaman atau ketentuan yang ada.
Meskipun Al-Qur’an dan Sunnah Rasul telah memberi ketentuan
terperinci tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih
diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam
kedua sumber hukum tersebut. Misalnya mengenai bagian warisan orang banci,
harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa sisanya diberikan, bagian
ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan duda atau janda.
D. Syarat dan
rukun waris
Terdapat
tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut
adalah[3]:
1. Meninggalnya
seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah
meninggal) maupun secara taqdiri.
2.
Adanya ahli waris yang hidup
secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
3.
Seluruh ahli waris diketahui secara
pasti baik bagian masing-masing.
Adapun rukun
waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu :
1.
Muwaris, yaitu orang yang diwarisi
harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah
muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu,
menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :
a.
Mati Haqiqy (mati
sejati).
Mati haqiqy (mati
sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim
dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera
dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
b.
Mati Hukmy ( mati
menurut putusan hakim atau yuridis)
Mati hukmy (mati
menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang dinyatakan atas
dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan
hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat
kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah,
apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat
dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad
hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
c.
Mati Taqdiry (mati
menurut dugaan).
Mati taqdiry
(mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan
keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa
minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras
kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.
2.
Waris (ahli waris), yaitu orang yang
dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan
sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya
adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam
keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml).
Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan ahli
waris tidak ada halangan saling mewarisi.
3.
Maurus atau al-Miras, yaitu harta
peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan
hutang, dan pelaksanaan wasiat.
E.
Perbedaan
Model Pewarisan Islam Dengan Pra Islam
Pewarisan pra Islam
Orang-orang
arab jahiliah telah mengenal system waris sebagai sebab berpindahnya kepemilikan,
yang dapat dilakukannya berdasarkan dua sebab atau alasan, yakni garis
keturunan atau nasab, dan sebab atau alasan tertentu.
Sebab yang
pertama, berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan, adalah warisan yang
diturunkan pada anak lelaki dewasa yang ditandai dengan kemampuan menunggang
kuda, bertempur, dan meraih harta rampasan perang. Apabila anak lelaki tidak
ditemukan, mereka memberikan kepada ahli waris ashabahyang memiliki hubungan
kekerabatan terdekat, seperti saudara laki-laki, paman, dan lainnya. Dengan
demikian, mereka bangsa arab jahiliah tidak memberikan warisan kepada kaum
perempuan dan anak-anak baik laki-laki maupun perempuan[4].
Sedangkan
sebab yang kedua, berdasarkan sebab atau alasan tertentu, adalah warisan yang
diberikan kepada ahli waris melalui jalur adopsi. Kedudukan anak angkat sama
dengan anak kandung yang mewarisi dari ayahnya. Adopsi merupakan salah-satu
adat bangsa arab yang sudah dikenal di masa jahiliah. Mereka menetapkan jalur
adopsi melalui dua cara. Pertama mereka menjadikan adopsi sebagai salah satu
penghalang dibolehkannya menikah dengan perempuan (istri) dari orang tua yang
mengadopsinya. Haramnya anak laki-laki yang diadopsi menikahi istri orang yang
mengadopsinya, sama dengan keharamannya menikahi anak perempuan dari orang yang
mengadopsinya, apabila keduanya garis penghubung-istri orang yang mengadopsi
dan putrinya-dicerai atau ditinggal mati. Kedua mereka menjadikan adopsi
sebagai salah satu alasan pelaksanaan hukum waris.
Selain itu
dalam masyarakat arab jahiliah sebab atau alasan tertentu yang dapat
menyebabkan saling mewarisi adalah perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan
perjanjian adalah dua pihak saling berjanji, misalnya dengan mengatakan,
“darahku adalah darahmu. Penyeranganku adalah penyeranganmu. Kamu menolongku
berarti aku menolongmu, dan kamu mewarisi hartaku berarti aku mewarisi
hartamu.” Sebagai akibat dari ikatan perjanjian ini, bila salah seorang dari
mereka, pihak satunya yang masih hidup berhak mewarisi harta peninggalan
rekannya yang telah meninggal dunia.
Dengan
demikian , orang-orang arab sebelum islam tidak memberikan warisan kepada
anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan. Alasan mereka, kaum perempuan
dan anak kecil tidak dapat bergulat melawan musuh-musuh di medan perang dan
tidak dapat memiliki harta rampasan perang.
Keterangan
tersebut di jelaskan dalam Riwayat Ibnu Abbas r.a berikut ini.
“Ketika masalah faraidh (warisan) diturunkan, yang di
dalamnya Allah wajibkan bagian untuk anak laki-laki dan perempuan, serta ayah
dan ibu, seluruh atau sebagian masyarakat membencinya. Mereka berkata, ‘istri
diberikan bagian warisan sebesar seperempat dan seperdelapan, anak perempuan
mendapat bagian seperdua dan anak kecil juga mendapatkan bagian, padahal tidak
seorangpun dari golongan mereka itu yang berperan demi membela suatu kaum dan
memiliki harta rampasan perang. Acuhkanlah pembicaraan ini semoga saj
rasulullah s.a.w. menjadi lupa atau bila kita mengatakannya pastilah beliau
akan mengubahnya’
Lalu sebagian dari mereka bertanya’wahai rasulullah apakah
kami harus memberikan seorang budak wanita setengah bagian harta waris yang
ditinggalkan ayahnya, sedang dia tidak bisa memacu kuda dan tidak bisa membela
kaumnya dalam peperangan? Kemudian kami memberikan anak kecil harta waris pula,
padahal harta itu tak berarti apa-apa baginya? Orang-orang arab di masa
jahiliah melakukan hal seperti itu, dan tidak memberikan warisan kecuali kepada
orang yang berperang. Tentunya mereka akan memberikannya kepada yang lebih
besar dan seterusnya.’”
Itulah logika orang-orang arab jahiliah yang masih
memberi pengaruh, yaitu menghadapkan kewajiban Allah dan pembagian-Nya
yang adil serta bijaksana, dan logika jahiliah masa kini yang memberikan
pengaruh kepada sebagian jiwa manusia. Logika orang-orang arab itu kurang lebih
sama dengan logika jahiliah masa kini yakni “bagaimana harta waris diberikan
kepada orang yang tidak termasuk dalam kelompok anak dan cucu?”
sesungguhnya, logika tersebut menunjukkan orang-orang arab jahiliah tidak
memahami hikmah dan tidak patuh kepada etika. Pada keduanya berkumpul kebodohan
dan etika buruk.
Pewarisan
setelah islam datang
Ketika islam datang, orang-orang arab dengan cepat
meninggalkan kebiasaan mereka tentang warisan. Kemudian islam membatalkan hukum
waris melalui jalur adopsi, seperti dalam firman Allah dalam surat Al-Ahzab:
4-5. Pada masa awal-awal islam (awal masa hijrah -pem), persaudaraan, seperti
yang dilakukan oleh rasulullah s.a.w. terhadap kaum muhajirin dan anshar, juga
menjadi sebab atau alasan terjadinya warisan. Kemudian menghapus hijrah dan
persaudaraan sebagai sebab-sebab terjadinya pewarisan, seperti yang termaktub
dalam firman Allah s.w.t dalam surat Al-Ahzab: 6.
Dengan demikian, persoalan warisan menurut syari’at
islam didasarkan atas “kekerabatan”, sesuai keterangan yang terperinci dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Serta penjelasan pembagiannya yang telah ditetapkan
oleh hukum islam. Golongan yang masuk dalam kategori bisa menerima warisan
adalah kaum perempuan dan anak kecil. Dengan demikian, islam telah menghapus
tradisi atau system waris orang-orang arab jahiliah yang mengharamkan
penerimaan waris kepada kaum perempuan dan anak-anak. Di samping karena alasan
kekerabatan, islam juga menetapkan “perkawinan” sebagai salah satu sebab
terjadinya pewarisan. Dengan demikian, suami istri dapat saling mewarisi[5].
Islam juga memandang wala’ al-‘ataqah (hubungan kekerabatan yang terjadi karena
membebaskan atau memerdekakan hamba sahaya –pem.) sebagai sebab terjadinya
warisan. Karena itu, al-mu’taq ‘orang atau hamba sahaya yang dimerdekakan’
dapat mewarisi harta peninggala al-‘atiq ‘tuan yang memerdekakannya’ dengan
cara wala’ al-‘ataqah. Dengan demikian, sesungguhnya, islam telah membatalkan
system waris yang dibangun bangsa arab jahiliah baik secara umum maupun
terperinci.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas
hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, akan tetapi mencakup harta
benda dan non harta benda. Kata ورث adalah kata kewarisan pertama yang
digunakan dalam al-Qur’an. Kata waris dalam berbagai bentuk makna tersebut
dapat kita temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:
a.
Mengandung makna “mengganti
kedudukan” (QS. an-Naml, 27:16).
b.
Mengandung makna “memberi atau
menganugerahkan” (QS. az-Zumar,39:74).
c.
Mengandung makna “mewarisi atau
menerima warisan” (QS. al-Maryam, 19: 6).
Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat
diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang
ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari
peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Abul Wahid. Bidayatul Mujtahid. Jilid 2.
Terjemahan Imam Ghazali Said dkk. Jakarta. Pustaka Amani. Cet. III. 2007
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta.
Kencana. 2004.
Parman, Ali. Kewarisan Dalam Al-Qur’an. Jakarta. PT
Raja Grafindo Persada.Cet. I.1995
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Mesir.
Hukum Waris. Terjemahan Addys Aldizar dkk. Jakarta. Senayan Abadi Publishing.
Cet.I. 2004
[2] Ibnu Ruyd.
Bidayatul Mujtahid. Jilid 3. Terjemahan Imam Ghazali Said dkk. Jakarta. Pustaka
Amani. Cet. III. 2007. hlm 379
[3] Sayyid
quthb, fi zhilailil Qu’an, juz I, hlm. 590 dalam tulisan editorial tulisan
saleh al-fauzan, at-Tahqiqat al-mardhiyyah fi al-mabahits al-fadhiyyah
(hlm.18).
Post a Comment for "Pewarisan"