Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pewarisan


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada seseorang yang masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum waris adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum mengenai kekayaan setelah wafatnya seseorang. Seseorang yang berhak menerima harta peninggalan di sebut ahli waris. Dalam hal pembagian harta peninggalan, ahli waris telah memiliki bagian-bagian tertentu. Seperti yang tercantum dalam Firman Allah SWT sebagai berikut :
تَرَكَ مِمَّا نَصِيبٌ وَلِلنِّسَاءِ وَالأقْرَبُونَ الْوَالِدَانِ تَرَكَ مِمَّا نَصِيبٌ لِلرِّجَالِ
مَفْرُوضًا نَصِيبًا كَثُرَ أَوْ مِنْهُ قَلَّ مِمَّا وَالأقْرَبُونَ الْوَالِدَانِ
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu pewarisan?
2.      Apakah dasar hukum pewarisan?
3.      Bagaimana perbedaan model pewarisan islam dengan pra islam?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pewarisan
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Kata ورث adalah kata kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Qur’an. Kata waris dalam berbagai bentuk makna tersebut dapat kita temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:
a.       Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. an-Naml, 27:16).
b.      Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. az-Zumar,39:74).
c.       Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan” (QS. al-Maryam, 19: 6).
Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya. Sedangkan menurut para fuqoha, pengertian ilmu waris adalah sebagai berikut[1]:
علم يعرف به من يرث ومن لا يرث ومقداركل وارث وكيفية التوزيع
“Artinya: Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan orang yang mewaris, kadar yang diterima oleh ahli waris serta cara pembagiannya.”
Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Seperti yang disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajibankewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.
Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan dengan warisan, diantaranya adalah:
1.      Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
2.      Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bendanya (orang yang meninggal) baik secara haqiqy maupun hukmy karena adanya penetapan pengadilan.
3.      Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak setelah diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan wasiat
4.      Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
5.      Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, menunaikan wasiat.
Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).
B.     Sebab-sebab Pewarisan
Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga, yaitu; hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab al-wala’.
1.      Hubungan Kekerabatan.
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7). Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75 : …Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah.(Q.S.Al-Anfal: 75).

2.      Hubungan Perkawinan.
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama. Tentang syarat administrative masih terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan secara administrasi (hukum positif, Pen.) tetapi ketentuan agama.

3.      Hubungan Karena sebab Al-Wala’
Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;
a.       Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak.
b.      Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain[2].

C.     Sumber Hukum Pewarisan Islam
1.      AL-Qur’an
Ayat-ayat Qur’an yang mengatur secara langsung kewarisan diantaranya adalah :
a.       QS An Nisa’ : 7
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. ( QS An Nisa’ : 7 )
Garis hukum kewarisan pada ayat diatas ( QS. An Nisa’ : 7 ) adalah sebagai berikut :
·         Bagi anak laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.
·         Bagi aqrobuun (keluarga dekat) laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan aqrobuun (keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya)-nya.
·         Bagi anak perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya.
·         Bagi aqrobuun (keluarga dekat) perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan aqrobuun (keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya)-nya.
·         Ahli waris itu ada yang menerima warisan sedikit, dan ada pula yang banyak.
Pembagian-pembagian itu ditentukan oleh tuhan.    
Selanjutnya perlu dijelaskan bahwa ayat ke-7 an-Nisa ini masih bersifat universal, walaupun dialah ayat yang pertama yang menyebut – nyebut adanya harta peninggalan. Harta peninggalan disebut dalam ayat ini dengan sebutan maa taraka. Sesuai dengan system ilmu hukum pada umumnya, dimana ditemui perincian nantinya, maka perincian yang khusus itulah yang mudah memperlakukannya dan yang akan diperlakukan dalam kasus-kasus yang akan diselesaikan. Masih banyak ayat-ayat al-qur’an yang menjelaskan tentang dasar-dasar hukum kewarisan dalam islam, namun pemakalah hanya merumuskan satu ayat yang lebih universal, yang sering dipakai untuk rujukan atau dalil kewarisan dalam islam.
                                   
b.      QS An Nisa’ : 9
وَلْيَخْشَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

2.      Hadist
Dari sekian banyak hadits nabi yang menjadi landasan hokum kewarisan islam, pemakalah hanya mencantumkan beberapa dari hadits nabi, diantaranya sebagai berikut :
عن إبن عباس رض الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم : ألحقوا الفراءض بأهلها فما بقيا فهو لأولى رجل ذكر
Artinya : Dari Ibnu Abbas R.A dari Nabi SAW berkata : “Berikanlah faraid ( bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang dekat.”
Dalam hadits lain Rosulullah SAW bersabda :
عن عمران بن حصين أن رجلا أتى النبى صلى الله عليه و سلم فقال : أن ابن ابنى مات فمالى من ميراثه فقال لك السدس
Artinya : Dari ‘Umran bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi sambil berkata : “bahwa anak dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari warisannya.”Nabi menjawab :”Kamu mendapat seperenam.”

3.      Ijtihad
Ijtihad ialah menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi yaitu al-qur’an dan hadits kemudian menarik garis hukum daripadanya dalam suatu masalah tertentu, misalnya berijtihad dari qur’an kemudian mengalirkan garis-garis hukum kewarisan islam daripadanya.
Dalam definisi lainnya, ijtihad yitu pemikiran para sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam pembagian harta warisan. Yang dimaksud disini ijtihad dalam menerapkan hukum , bukan untuk mengubah pamahaman atau ketentuan yang ada.
Meskipun Al-Qur’an dan Sunnah Rasul telah memberi ketentuan terperinci tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam kedua sumber hukum tersebut. Misalnya mengenai bagian warisan orang banci, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama­-sama dengan ayah dan duda atau janda.

D.    Syarat dan rukun waris
Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah[3]:
1.      Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
2.       Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
3.      Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.
Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu :
1.      Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :
a.       Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
b.      Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
c.       Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.
2.      Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
3.      Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.
E.     Perbedaan Model Pewarisan Islam Dengan Pra Islam
Pewarisan pra Islam
Orang-orang arab jahiliah telah mengenal system waris sebagai sebab berpindahnya kepemilikan, yang dapat dilakukannya berdasarkan dua sebab atau alasan, yakni garis keturunan atau nasab, dan sebab atau alasan tertentu.
Sebab yang pertama, berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan, adalah warisan yang diturunkan pada anak lelaki dewasa yang ditandai dengan kemampuan menunggang kuda, bertempur, dan meraih harta rampasan perang. Apabila anak lelaki tidak ditemukan, mereka memberikan kepada ahli waris ashabahyang memiliki hubungan kekerabatan terdekat, seperti saudara laki-laki, paman, dan lainnya. Dengan demikian, mereka bangsa arab jahiliah tidak memberikan warisan kepada kaum perempuan dan anak-anak baik laki-laki maupun perempuan[4].
Sedangkan sebab yang kedua, berdasarkan sebab atau alasan tertentu, adalah warisan yang diberikan kepada ahli waris melalui jalur adopsi. Kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung yang mewarisi dari ayahnya. Adopsi merupakan salah-satu adat bangsa arab yang sudah dikenal di masa jahiliah. Mereka menetapkan jalur adopsi melalui dua cara. Pertama mereka menjadikan adopsi sebagai salah satu penghalang dibolehkannya menikah dengan perempuan (istri) dari orang tua yang mengadopsinya. Haramnya anak laki-laki yang diadopsi menikahi istri orang yang mengadopsinya, sama dengan keharamannya menikahi anak perempuan dari orang yang mengadopsinya, apabila keduanya garis penghubung-istri orang yang mengadopsi dan putrinya-dicerai atau ditinggal mati. Kedua mereka menjadikan adopsi sebagai salah satu alasan pelaksanaan hukum waris.
Selain itu dalam masyarakat arab jahiliah sebab atau alasan tertentu yang dapat menyebabkan saling mewarisi adalah perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian adalah dua pihak saling berjanji, misalnya dengan mengatakan, “darahku adalah darahmu. Penyeranganku adalah penyeranganmu. Kamu menolongku berarti aku menolongmu, dan kamu mewarisi hartaku berarti aku mewarisi hartamu.” Sebagai akibat dari ikatan perjanjian ini, bila salah seorang dari mereka, pihak satunya yang masih hidup berhak mewarisi harta peninggalan rekannya yang telah meninggal dunia.
Dengan demikian , orang-orang arab sebelum islam tidak memberikan warisan kepada anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan. Alasan mereka, kaum perempuan dan anak kecil tidak dapat bergulat melawan musuh-musuh di medan perang dan tidak dapat memiliki harta rampasan perang.
Keterangan tersebut di jelaskan dalam Riwayat Ibnu Abbas r.a berikut ini.
“Ketika masalah faraidh (warisan) diturunkan, yang di dalamnya Allah wajibkan bagian untuk anak laki-laki dan perempuan, serta ayah dan ibu, seluruh atau sebagian masyarakat membencinya. Mereka berkata, ‘istri diberikan bagian warisan sebesar seperempat dan seperdelapan, anak perempuan mendapat bagian seperdua dan anak kecil juga mendapatkan bagian, padahal tidak seorangpun dari golongan mereka itu yang berperan demi membela suatu kaum dan memiliki harta rampasan perang. Acuhkanlah pembicaraan ini semoga saj rasulullah s.a.w. menjadi lupa atau bila kita mengatakannya pastilah beliau akan  mengubahnya’
Lalu sebagian dari mereka bertanya’wahai rasulullah apakah kami harus memberikan seorang budak wanita setengah bagian harta waris yang ditinggalkan ayahnya, sedang dia tidak bisa memacu kuda dan tidak bisa membela kaumnya dalam peperangan? Kemudian kami memberikan anak kecil harta waris pula, padahal harta itu tak berarti apa-apa baginya? Orang-orang arab di masa jahiliah melakukan hal seperti itu, dan tidak memberikan warisan kecuali kepada orang yang berperang. Tentunya mereka akan memberikannya kepada yang lebih besar dan seterusnya.’”
Itulah logika orang-orang arab jahiliah yang masih memberi pengaruh, yaitu menghadapkan kewajiban Allah dan pembagian-Nya  yang adil serta bijaksana, dan logika jahiliah masa kini yang memberikan pengaruh kepada sebagian jiwa manusia. Logika orang-orang arab itu kurang lebih sama dengan logika jahiliah masa kini yakni “bagaimana harta waris diberikan kepada orang yang tidak termasuk dalam kelompok anak dan cucu?” sesungguhnya,  logika tersebut menunjukkan orang-orang arab jahiliah tidak memahami hikmah dan tidak patuh kepada etika. Pada keduanya berkumpul kebodohan dan etika buruk.


Pewarisan setelah islam datang
Ketika islam datang, orang-orang arab dengan cepat meninggalkan kebiasaan mereka tentang warisan. Kemudian islam membatalkan hukum waris melalui jalur adopsi, seperti dalam firman Allah dalam surat Al-Ahzab: 4-5. Pada masa awal-awal islam (awal masa hijrah -pem), persaudaraan, seperti yang dilakukan oleh rasulullah s.a.w. terhadap kaum muhajirin dan anshar, juga menjadi sebab atau alasan terjadinya warisan. Kemudian menghapus hijrah dan persaudaraan sebagai sebab-sebab terjadinya pewarisan, seperti yang termaktub dalam firman Allah s.w.t  dalam surat Al-Ahzab: 6.
Dengan demikian, persoalan warisan menurut syari’at islam didasarkan atas “kekerabatan”, sesuai keterangan yang terperinci dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Serta penjelasan pembagiannya yang telah ditetapkan oleh hukum islam. Golongan yang masuk dalam kategori bisa menerima warisan adalah kaum perempuan dan anak kecil. Dengan demikian, islam telah menghapus tradisi atau system waris orang-orang arab jahiliah yang mengharamkan penerimaan waris kepada kaum perempuan dan anak-anak. Di samping karena alasan kekerabatan, islam juga menetapkan “perkawinan” sebagai salah satu sebab terjadinya pewarisan. Dengan demikian, suami istri dapat saling mewarisi[5].
Islam juga memandang wala’ al-‘ataqah (hubungan kekerabatan yang terjadi karena membebaskan atau memerdekakan hamba sahaya –pem.) sebagai sebab terjadinya warisan. Karena itu, al-mu’taq ‘orang atau hamba sahaya yang dimerdekakan’ dapat mewarisi harta peninggala al-‘atiq ‘tuan yang memerdekakannya’ dengan cara wala’ al-‘ataqah. Dengan demikian, sesungguhnya, islam telah membatalkan system waris yang dibangun bangsa arab jahiliah baik secara umum maupun terperinci.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Kata ورث adalah kata kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Qur’an. Kata waris dalam berbagai bentuk makna tersebut dapat kita temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:
a.       Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. an-Naml, 27:16).
b.      Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. az-Zumar,39:74).
c.       Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan” (QS. al-Maryam, 19: 6).
Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abul Wahid. Bidayatul Mujtahid. Jilid 2. Terjemahan Imam Ghazali Said dkk. Jakarta. Pustaka Amani. Cet. III. 2007
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta. Kencana. 2004.
Parman, Ali. Kewarisan Dalam Al-Qur’an. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.Cet. I.1995
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Mesir. Hukum Waris. Terjemahan Addys Aldizar dkk. Jakarta. Senayan Abadi Publishing. Cet.I. 2004



[1] Al-Adzb al-Fa’idh, juz I, hlm.12.
[2] Ibnu Ruyd. Bidayatul Mujtahid. Jilid 3. Terjemahan Imam Ghazali Said dkk. Jakarta. Pustaka Amani. Cet. III. 2007. hlm 379
[3] Sayyid quthb, fi zhilailil Qu’an, juz I, hlm. 590 dalam tulisan editorial tulisan saleh al-fauzan, at-Tahqiqat al-mardhiyyah fi al-mabahits al-fadhiyyah (hlm.18).
[4] Syarh ar-Rahbiyyah, hlm. 45, al-‘adzb al-fa’idh, juz I, hlm. 93; Syarh as-Sirajiyyah, hlm. 84
[5] Tafsir ibnu jarir, juz VIII, hlm.32.

Post a Comment for "Pewarisan"