Qawaidh Faqhiyah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Salah satu kekayaan peradaban Islam
di dalam bidang hukum yang masih
jarang ditulis adalah
Kaidah Fiqih. Adapun yang sudah diperkenalkan antara lain tafsir, hadis,
ushul fiqih dan fiqih, ilmu kalam dan tasawuf. Walaupun dibidang ini pun masih
terus perlu dikoreksi, dielaborasi, dan dikembangkan sebagai alat dalam
mewujudkan Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin.
Kaidah-kaidah Fiqih (Qawaid fiqhiyah) merupakan kaidah yang menjadi titk
temu dari masalah-masalah fiqih. Mengetahui kaidah-kaidah fiqih akan memudahkan
akan memberikan kemudahan untuk
menerapkan fiqih dalam waktu dan tempat
yang berbeda untuk kasus, keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial,
ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah dalam memberi solusi terhadap
problem-problem yang terus muncul dan
berkembang dengan tetap berpegang kepada kemaslahatan, keadilan,
kerahmatan dan hikmah yang terkandung di dalam fiqih.
Mengingat kaidah
Fiqih merupakan salah satu cabang keilmuan
dalam Islam yang biasa
disebut Ilmu Qawaid
Al-Fiqhiyyah atau dalam
terminologi lain dikenal
Al-Asybah Wa Al-Nazhair.
Ilmu ini juga memenuhi prasyarat sebagai ilmu yang independen dan
memiliki teori-teori seperti
pada khasanah keilmuan
pada umumnya serta ruang lingkup
yang sangat luas.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana sejarah qawaid faqhiyah?
2. Bagaimana sumber qawaid faqhiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH
QAWAID FAQHIYAH
Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah sebenarnya
tidak terlepas dari masa terdahulu, yaitu ada
masa Rasulullah Saw, masa
Sahabat, dan masa Tabi’in. Pada
masa-masa ini keberadaan sebuah ilmu masih dalam bentuk bakunya yang bersumber
dalam Al-Quran maupun
keterangan-keterangan Rasulullah
Saw yang dikenal dengan
Sunnah. Konteks keilmuan secara
umum pada abad-abad pertama belum
memiliki sistematika dan
metodologi khusus. Hal ini
disebabkan segala persoalan
yang dihadapai ketika itu
dijelaskan secara langsung oleh
Rasulullah Saw Akibatnya
ijtihad yang masih berada diantara
benar atau salah
tidak diperlukan. Akan
tetapi, benih-benih kaidah sebenarnya sudah ada semenjak masa Nabi[1].
Beliau adalah
penjelas utama dari
kandungan ayat-ayat al-Quran
dalam menghadapi problematika kehidupan
yang memerlukan hukum baru. Di sisi lain, Rasululah akan menggali
hukum dengan beristinbat
terhadap ayat-ayat al-Quran
apabila keterangannya masih global. Prosesnya inilah
yang selanjutnya melahirkan
proses pembentukan hukum-hukum
Islam termasuk Qawaid
Fiqhiyyah. Atas Keterangan di atas dapat dipahami bahwa
keberadaan Qawaid fiqhiyyah pada periode awal masih dalam tunas
perkembangan. Pada proses munculnya
Qawaid Fiqhiyyah dapat
dikelompokan dalam tiga
periode:
1)
Periode
Rasulullah Saw
Pada
periode ini, tidak ada spesialisasi
ilmu tertentu yang dikaji dari al-Qur’an dan al-Hadis. Semangat Sahabat
sepenuhnya dicurahkan kepada jihad dan mengaplikasikannya apa yang diperoleh
dari Rasulullah berupa ajaran al-Qur’an dan al-Hadis.
2) Periode Sahabat
Pada
periode ini pola pikir sahabat mulai
mengalami transformasi kearah ijtihad, dimana dalam pengambilan hukumnya
itu merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini disebabkan karna banyaknya
persoalan baru yang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw. Kemudian
pada periode inilah juga mencul penggunaan ra’yu, qiyas, ijma.
3) Periode Tabi’in
Mengenai keberadaan
Qawaid Fiqhiyyah pada masa
tabi’in, bisa dikatakan pada masa ini
adalah masa awal perkembangan fiqih.
Dimana hal yang menonjol pada masa
ini yaitu dimulai pendasaran
terhadap ilmu fiqih.
Begitu
juga, tentang latar belakang sejarah perkembangan hukum Islam tidak mengkaji
Qawa’id Fiqhiyyah secara menyeluruh. Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan
Qawa’id Fiqhiyya dapat dibagi kedalam tiga fase berikut:
1) Fase pertumbuhan dan pembentukan;
2) Fase perkembangan dan
pengkodifikasikan;
3) Fase pemantapan dan pesistematisan.
·
Pase- Pase Pertumbuhan dan
Pembentukan Qawaid Al-Fiqhiyyah
Pada periode Rasulullah Saw,
otoritas tertinggi dalam pengambilan
hukum dipegang oleh Rasulullah Saw. Semua persoalan yang ada di tengah
masyarakat bisa dijawab dengan sempurna oleh al-Qur’an dan hadis Nabi. Fiqh pada
masa itu digunakan untuk menunjukan segala sesuatu yang dipahami dari teks
al-Qur’an dan as-Sunnah, baik persoalan akidah maupun hukum dan adab. Masa
kerasulan dan masa tasyri’ (pembentukan hukum islam) merupakan embrio kelahiran
Qawa’id Fiqhiyyah. Rasulullah Saw menyampaikan hadits-hadits yang singkat dan
padat. Hadist –hadits itu dapat menampung masalah-masalah fiqh yang sangat
banyak jumlahnya. Dengan demikian, hadits Rasulullah Saw di samping sebagai
sumber hukum, juga sebagai Qawa’aid Fiqhiyyah.
Setelah menyampaikan hadits riwayat
Ahli Sunan menyatakan , dengan hadits jawami’
al-kalim (singkat padat) Rasulullah Saw menjelaskan bahwa segala sesuatu
yang dapat menghilangkan dan mengacaukan akal (adalah) haram. Rasul tidak membeda-bedakan jenisnya, apakah benda
tersebut berjenis makanan atau minuman. Ini adalah ketetapan Rasulullah Saw,
yaitu hukum meminum minuman yang memabukkan adalah haram. Setelah wafatnya Rasulullah Saw kemudian
dialanjutkan oleh para sahabat, tabi’in dan iman mujahidin[2].
Kumpulan-kumpulan kaidah dalam
Qawaid Fiqiyah tidaklah terbentuk dan terkumpul dengan sekaligus seperi halnya
kitab undang-undang hukum positif, yang di bentuk dengan sekaligus oleh para
ahli hukum, akan tetapi dirumuskan sedikit demi sedikit secara
berangsur-angsur, sehingga terkumpul menjadi banyak. Rumusan-rumusan kaedah
tersebut adalah hasil pembahasan yang dilakukan oleh para fuqha besar ahli
takhrij dan tarjih dengan mengistimbatkan dari nash- nash syariah yang bersipat
kuli, dasar-dasar ushul fiqh , ilat-ilat hukum dan buah pikiran mereka.
Pada umumnya sulit untuk diketahui
siapa penulis pertama dari tiap-tiap kaedah. Yang dapat diketahui dengan mudah
penulis pertamanya ialah kaedah yang berbunyi “ perumusan kaedah ini berasal dari hadis”. atau kaedah yang berasal
dari pendapat Iman Abu Yusuf dalam kitabnya al kharaj yang dipersembahkan
kepada Raja Harun Arrasyid yang berbunyi “tidak ada wewenang bagi imam untuk
mengmbil sesuatu dari seseorang kecuali dengan dasar-dasar hukum yang berlaku”
Kemudian Abu
Saad Al-Harawi, seorang ulama
mazhab Syafi’i mengunjungi Abu Thahir
dan mencatat kaidah fiqih yang dihafalkan oleh Abu Thahir. Setelah kurang lebih seratus tahun kemudian, datang
Ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi
yang kemudian menambah kaidah fiqih dari Abu Thahir menjadi 37 kaidah.
Keterangan diatas menerangkan bahwa kaidah-kaidah fiqih muncul pada akhir abad
ke-3 Hijriah. Ketika itu, tantangan dan masalah-masalah yang harus dicarikan
solusinya bertambah beriringan meluasnya
wilayah kekuasaan kaum
muslim. Maka para Ulama membutuhkan metode
yang mudah untuk
menyelesaikan masalah kemudian muncullah kaidah-kaidah
fiqih. Dalam buku
kaidah-kaidah fiqih karangan. Prof.H.A. Djazuli digambarkan
bahwa skema pembentukan
kaidah fiqih adalah
sebagai berikut:
1) Sumber hukum Islam al-Quran dan
Hadis
2) Kemudian muncul Ushul Fiqih sebagai
metodologi di dalam
penarikan hukum.
3) Dengan metodologi Ushul Fiqih yang
menggunakan pola piker deduktif
menghasilkan fiqih
4) Fiqih ini banyak materinya. Dari materi fiqih yang
banyak itu kemudian oleh ulama-ulama
diteliti persamaaanya dengan menggunakan pola pikkir induktif, kemudian dikelompokan
dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa
akhirnya disimpulkan menjadi kaidah fiqih.
5) Selanjunya kaidah-kaidah fiqih
tadi dikritisi kembali dengan menggunakan
banyak ayat dan hadis terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan
substansi ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi
6) Apabila sudah dianggap sesuai dengan
ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi,
kaidah fiqih itu akan menjadi kaidah fiqih yang mapan
7) Setelah itu, kaidah ini diterapkan
untuk menjawab tantangan perkembangan masyarakat dalam segala bidang dan
akhirnya memunculkan fiqih-fiqih baru;
8) Oleh karena itu tidak mengherankan
apabila ulama memberi fatwa terutama
di dalam
hal-hal baru.
·
Fase Perkembangan dan
Pengkodifikasian Qawa’id Al-Fiqhiyyah
Awal mula Qawaid Fiqhiyyah menjadi
disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus
berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid
mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fiqh mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-kotaknya fiqh
dalam madzhab. dan ulama pada saat itu merasa puas dengan perkembangan yang
telah dicapai oleh fiqh pada saat itu[3].
Pembukuan fiqh dengan mencantumkan dalil beserta perbedaan-perbedaan pendapat
yang terjadi diantara madzhab sepertinya telah memuaskan mereka, sehingga tidak
ada pilihan lain bagi generasi setelahnya kecuali merujuk pada
pendapat-pendapat madzhab itu dalam memutuskan dan menjawab persoalan-persoalan
baru. Berkaitan dengan ini, Ibnu Khaldun berkata dalam Muqaddimahnya:
“ketika madzhab-madzhab telah
dijadikan ilmu yang tersendiri oleh para pengikutnya, dan tidak ada kesampatan
untuk melakukan ijtihad dan mengaplikasikan
metode qiyas, maka mereka hanya menyamakan persoalan-persoalan baru yang
pernah dibahas oleh pendiri dan pemuka madzhab, baru mereka membahas masalah-masalah
itu bedasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh madzhab”.Menjawab beberapa
persoalan fiqh dengan menggunakan metode seperti ini rupanya menyebabkan fiqh
menjadi semakin berkembang pada saat itu, cakupan wilayahnya menjadi luas dan
mampu menjawab seluruh persoalanya.
Perkembangan Qawaid
Al-Fiqhiyyah terjadi pada masa tabi’in. Pada periode ini adalah
masa awal perkembangan fiqh karena pada masa inilah dimulai pendasaran terhadap
ilmu fiqih. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa ada masa pendasaran ini adalah awal dari
kecenderungan fiqih untuk berada pada wilayah teori. Hal ini berbeda dengan masa Khulafa
al-Rasyidin yang menjadikan fiqih berada dalam wilayah praktek sebagaimana yang ada pada masa Nabi.
Dengan masuknya fiqih pada wilayah teori, banyak hukum fiqih yang di produksi
oleh proses penalaran terhadap teori
di bandingkan hukum fiqih yang di hasilkan dari pemahaman terhadap kasus-kasus yang
pernah terjadi sebelumnya yang disamakan dengan kasus
baru. Sehingga, fiqih tidak
hanya mampuh menjelaskan
persoalan-persoalan waqi’iyyah (aktual)
namun lebih dari itu.
Disamping itu juga, periode ini
merupakan awal perubahan
fiqih dari sifatnya yang
waqi’iyah (aktual) menjadi nazariyyah (teori).
Setelah melewati masa pendasarannya
ilmu fiqh mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan madzhab-madzhab yang
diantaranya adalah madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab
Syafi’i dan Madzhab Ahmad) sebagaimana
yang telah kita ketahui. Perkembangan berikutnya mengalami perkembangan yang
sangat signifikan, dari
menulis, pembukuan, hingga
penyempurnaannya pada akhir abad ke-13 H.
Agar ilmu manusia tentang Qawaid
Fiqiyah ini dapat diambil manfaat pada generasi selanjutnya maka timbullah
pikiran para ulama untuk membukukannya. Usaha semacam ini terdapat diberbagai
mazhab terutama 4 mazhab:
1) Dikalangan fuqaha Hanafiyah diantara
mereka yang menyusun kitab qawaid al-fiqiyyah ialah:
a) Abu Thahir Addibas, seorang faqih
yang hidup pada abat ke-3 dan ke-4 Hijriah ia adalah yang pertama kali
mengumpulkan Kaidah Fiqiyyah, beliau mengumpulkan Kaedah Fiqiyah sebanyak 17
kaedah
b) Imam Abu Zaid Abdullah Ibn Umaruddin
Addabusy Al-Hanafiy, yang hidup pada abad
ke-5 Hijriah, menyusun kitab “Ta’tisun
Nadhar”. Kitab ini memuat sekumpulan kaidah-kaidah kulliah yang disertai
dengan perincian-periciannya.
c) Pada abad ke-10, Zainudin Abidin Ibn
Ibrahim Al-Misry, menyusun sebuah kitab qawaid yang berjudul “Al-asybahu Wan Nadhair”.salah satu
kaedah dari buku beliau”adat itu bisa
ditetapkan sebagai hukum” dan “kesukaran itu menarik kemudahan”
2) Dari kalangan Malikiyah diantara
fuqaha yang menyusun kitab qawaid fikiyyah pada mazhab ini adalah[4]:
a) Imam Juzaim,telah menyusun sebuah
kitab yang diberi nama dengan”Al- Qawaid”
b) Syihabuddin Abil Abbas Ahmad Ibn
Idris Al Qarafy, dari fiqaha abad ke-7 Hijriah ( 684 H) telah menyusun kitab “Anwarul Furuq Fi Anwaril Furuq” yang
mana kitab ini menjelaskan tentang perbedaan antara kaedah yang satu dengan
kaedah yang lain yang berhubungan dengan furu’.
3) Dari kalangan fukaha Syafi’iyyah
diantara mereka yang menyusun kitab qawaid ialah
a) Imam Muhammad Izzudin Ibn
Idrissalam, seorang faqih yang hidup pada abad ke-7 Hijriah (670 H) telah
menyusun sebuah kitab qawaid yang diberi
nama dengan “Qawaidul Ahkam Fi Mashalihil
Anam”.dalam kitab ini beliau menjelaskan maksud syara’ dalam mentasyrikkan
hukum dengan mengembalikan kepada kaidah pokok.
b) Imam Tajudin As Subky seorang faqih
yang hidup dari tahun 849 samapai dengan
911 H dengan sebuah kitab yang berjudul “Al Asybahu Wan Nadhair ” kemudian disempurnahkan oleh imam
Jalalludin Abdirahman Abi Bakr As Sayuty ,kitab ini memuat sebagian besar
kaedah-kaedah fiqiyah menurut mazhab Syafi’yyah.
4) Dari kalangan fuqaha Hambaliyah
diantara mereka yang menyusun kitab qawaid ialah:
a) Najmudin AT-thufy, seorang faqih
yang wafat pada tahun 717 H, beliau menyusun kitab yang berjudul “Al Qawa’idul Kubra” dan “Al Qaea’idul Shugra”.
b) Imam Abdur Rahman Ibn Rajab menyusun
sebuah kitab yang berjudul “Al Qawa’id”
pada kitab tersebut disebutkan sesuatu kaidah lalu diterangkan cabang-cabangnya
dan diterangkan khilaf yang terjadi dalam furu’.
·
Masa Pemantapan dan Pensistematisan
Qawaid Al-Fiqhiyyah
Setelah melewati masa pertumbuhan,
masa perkembangan dan masa kodifikasi akhirnya
tibalah pada penyempurnaan qaidah fiqih yang dilakukan oleh para
pengikut dan pendukungnya. Periode ini ditandai dengan munculnya kitab Majallah al Ahkam al Adliyyah. Melalui
pengumpulan dan penyeleksian kitab-kitab fiqih yang kemudian di bukukan dan di
gunakan sebagai sumber acuan dalam menetapkan hukum di beberapa Mahkamah pada
masa pemerintahan Sultan Al Ghazi Abdul Aziz Khan al Utsmani pada akhir abad
ke-13 H.
Pengkodifikasian Qawa’id Fiqhiyyah
mencapai puncaknya ketikan disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite
(lajnah) Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876
M) pada akhir abad 13 H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan
lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.
Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan setelah
diadakan pengumpulan dan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, adalah suatu
prestasi yang gemilnag dan merupakan indikasi pada kebangkitan fiqh pada waktu
itu. Para tim penyusun kitab itu sebelumnya telah mengadakan penyeleksian
terhadap kitab-kitab fiqh, lalu mengkonstruknya dalam bahasa undang-undang yang
lebih bagus dari sebelumya. Kitab Majalllat al-Ahkam al-‘Adliyyah inilah yang
menyebabkan qaidah fiqh semakin tersebar luas dan menduduki posisi yang sangat
penting dalam proses penalaran hukum fiqh.
B. SUMBER-
SUMBER QAWA’ID AL-FIQHIYYAH
Untuk menetapkan hukum atas sebuah
persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam maka yang ditempuh oleh para ulama
untuk menetapkannya adalah dengan melihatnya dalam al-Qur’an, kalau hal
tersebut telah diatur dalam al-Qurâ’an, maka ditetapkanlah hukumnya sesuai
dengan ketetapan al-Qur’an[5].
Dan apabila dalam al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama
mencarinya dalam Al-Hadis. Apabila dalam al-Hadis telah diatur, maka para ulama
menetapkan hukumnya sesuai dengan ketentuan al-Hadis. Persoalan baru muncul
adalah manakala hukum atas persoalan tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur,an
dan juga dalam al-Hadis, sebab al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan sumber
hukum pokok (primer) dalam ketentuan hukum Islam.
Dalam menghadapi kondisi yang
seperti ini maka para ulama mencari sumber hukum lain yang dapat dijadikan
patokan dan pegangan dalam memberikan hukum atas persoalan yang timbul, sebab
sebagaimana diketahui bahwa agama Islam itu telah sempurna dan tidak akan ada
lagi penambahan hukum yang bersifat Syariah, hanya saja untuk menjawab persoalan-persoalan
hukum yang timbul di kemudian hari telah diberikan rambu-rambu dan
ketentuan-ketentuan lainnya dalam rangka memberikan hukum atas persoalan baru
yang timbul.
Sumber hukum baru sebagaimana
dimaksudkan di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkannya. Ada yang
berpendapat bahwa apabila suatu persoalan baru timbul dan itu tidak diatur
dalam al-Qurâ’an dan al-Hadis, maka dikembalikan kepada Ijma’. Dalam hal
kembali kepada Ijma’ ini, para ulama nampaknya sepakat, hanya saja yang disepakati
secara utuh dalam rangka Ijma’ adalah Ijma’ yang bersumber dari al-Qurâ’an dan
al-Hadis, sedangkan Ijma’ yang bersumber di luar al-Qur’an dan al-Hadis,
terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang setuju dan ada juga
yang tidak setuju. Yang setuju dengan Ijma’ berpendapat bahwa sesuai dengan
hadis Nabi yang menyebutkan bahwa, UmmatKu tidak akan bersepakat dalam hal
kesesatan. Yang tidak setuju dengan Ijma’ berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah
hasil pemikiran dan pendapat dari para Ulama, yang namanya hasil pemikiran dan
pendapat bisa salah dan juga bisa benar, oleh karena itu tidak bisa dijadikan
sebagai hukum yang pasti.
Apabila dalam ketiga hal tersebut di
atas tidak juga ditemukan maka para ulama mengembalikannya kepada sumber-sumber
hukum yang lain seperti Qiyas, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah dan Syarâ
Man Qablana. Untuk menetapkan sumber-sumber hukum Islam ini, selain para ulama
berbeda pendapat, mereka (para ulama) juga berbeda pendapat dalam menetapkan
Qawaid-Qawaidnya. Perbedaan dalam qawa’id-qawa’id ini juga menimbulkan
mazhab-mazhab sesuai dengan keyakinan dan pendapat masing-masing para ulama,
khususnya ulama pelopornya.
Sebagaimana diketahui bahwa ulama
pelopor dari mazhab-mazhab tersebut adalah Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i,
Imam Hambali dan imam-imam lainnya yang cukup banyak, hanya saja
mazhab-mazhabnya tidak berkembang lagi pada masa sekarang ini. Para imam-imam
ini mempunyai qawa’id-qawa’id tersendiri di dalam menetapkan ataupun
mengistinbathkan hukum atas suatu persoalan yang timbul, contoh :
a) Seseorang mengambil barang orang
lain, dan ia berniat mengembalikan, namun barang tersebut hilang, maka ia dapat
mengembalikan pengganti yang mirip dengan barang yang diambil.
b) Seseorang yang menjalani eksekusi
karena memotong telinga kanan orang lain, maka telinga kanannya harus dipotong
sebagai padanannya, tetapi jika ia tidak mempunyai telinga kanan, hanya telinga
kiri, maka pemotongan telinga kiri sudah dianggap cukup.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sejarah
perkembangan Qawa’id Al-fiqihiyyah bermula dari keadaan dimana Rasulullah harus
menjelaskan suatu penyelesaian permasalahan pada masanya di mana penyelesainnya
tidak terdapat dalam al-Qur’an sehingga harus dengan istinbat Rasulullah Saw.
Setelah Rasul wafat kaidah fiqh (qawa’id al-fiqihiyyah) terus berkembang hingga
saat ini. Pada
periode Rasulullah Saw, otoritas tertinggi dalam pengambilan hukum dipegang oleh Rasulullah
Saw. Semua persoalan yang ada di tengah masyarakat bisa dijawab dengan sempurna
oleh al-Qur’an dan hadis Nabi.
Awal mula Qawaid Fiqhiyyah menjadi
disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus
berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid
mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fiqh mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-kotaknya fiqh
dalam madzhab. dan ulama pada saat itu merasa puas dengan perkembangan yang
telah dicapai oleh fiqh pada saat itu.
Setelah melewati masa pendasarannya
ilmu fiqh mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan madzhab-madzhab yang diantaranya
adalah madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan
Madzhab Ahmad) sebagaimana yang telah
kita ketahui. Perkembangan berikutnya mengalami perkembangan yang
sangat signifikan, dari
menulis, pembukuan, hingga
penyempurnaannya pada akhir abad ke-13 H. Untuk menetapkan hukum atas sebuah
persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam maka yang ditempuh oleh para ulama
untuk menetapkannya adalah dengan melihatnya dalam al-Qurâ’an, Sunnah kemudian
jika tidak ada keduanya maka bisa dari qiyas ijma athar atau pun ijtihat.
B. SARAN
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik
dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Sudirman.2004.Sejarah Qawa’id
Fiqhiyyah, Jakarta: Radar
Jaya Offset
Bakry,Nazar.2003.Fiqh
dan Ushul Fiqh.Jakarta:Raja Grafindo Persada
Djazuli,A.2006.Ilmu
Fiqih (pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam).Jakarta:Kencana Prenada Media Grup
Mu’in.dkk.1986.Ushul
Fiqh.Jakarta:IAIN di Jakarta
Shiddieqy,
Hasbi Ash.Pengantar Hukum Islam.Jakarta:Bulan
Bintang.
[1] Mu’in,dkk,1986,Ushul Fiqh,Jakarta,IAIN
di Jakarta,hal.65
[2] Shiddieqy, Hasbi Ash,Pengantar Hukum Islam,Jakarta,Bualn Bintang.hal.98
[3] Bakry,Nazar,2003,Fiqh dan
Ushul Fiq,Jakarta,Raja Grafindo Persada,hal.104
[5] Ibid,hal.16
Post a Comment for "Qawaidh Faqhiyah"