Seni Kriya Korea
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Karya seni
kriya dalam kehidupan umat manusia merupakan salah satu sarana pemenuhan
kebutuhan hidup. Karya seni kriya memiliki kekhasan tersendiri karena seni
kriya merupakan suatu karya cipta manusia yang didasari rasa estetis sesuai apa
yang diinginkan oleh manusia itu sendiri. Lingkungan sangat mempengaruhi dalam
penciptaan karya seni kriya, yang paling dominan adalah faktor dari alam.
Pengaruh dari alam sekitar tempat tinggal seniman akan memberikan dampak yang
signifikan terhadap model dan gaya dari karya yang diciptakan walaupun dengan
material yang berada, hal yang diungkapkan oleh Plato mimesis atau daya
representasi dari keahlian yang muncul sebagai kesempurnaan karya yang mengacu
pada apa yang terdapat di alam sehingga dengan demikian seniman akan
mendapatkan rangsangan dari lingkungannya dalam berkarya, baik dari segi ide
maupun bentuk yang dihasilkan.
Allah SWT
menciptakan berbagai makhluk hidup di alam. Alam sekitar merupakan salah satu
sumber ide yang dapat digunakan oleh seorang kriyawan dalam menciptakan karya
seni kriya. Berdasarkan hal tersebut seorang pencipta karya seni harus
senantiasa berusaha untuk menemukan bentuk baru dari yang telah dibuat orang
lain. Dalam perkembangan zaman, menghasilkan karya seni terbentuk dari aspek
bentuk, aspek fungsi dan aspek hias dalam penciptaan karya seni kriya kayu 3
sering ditemukan kendala atau hambatan pada saat penciptaan karya tersebut,
yaitu bagaimana menghasilkan karya seni yang sesuai dengan prinsip-prinsip desain
dan bagaimana karya yang diciptakan dapat selalu diterima oleh masyarakat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Seni Kriya
Beberapa
definisi dan Pengertian Seni Kriya
1.
Kata Kriya sendiri
berasal dari bahasa sansakerta yakni "Kr" yang artinya
"mengerjakan" yang mana dari kata tersebut kemudian menjadi kata
karya, Kriya, kerja. Dalam arti khusus pengertian seni Kriya adalah mengerjakan
sesuatu untuk menghasilkan benda atau objek (Timbul Haryono, 2012).
2.
Dalam kamus bahasa Indonesia kata
"kriya" berarti pekerjaan "kerajinan tangan".
3.
Sementara dalam bahasa Inggris Kriya
berarti "Craft" yang artinya kekuatan atau energi, yang mengandung
arrti lain yakni membuat sesuatu atau mengerjakan yang dikaitkan dengan keterampilah
atau profesi tertentu
4.
Seni Kriya disebut juga (Handycraft)
yang berarti kerajinan tangan. Yang mana seni kriya ini dapat dikategorikan
sebagai seni terapan (applied art) yang meinitikberatkan pada aspek keindahan
dan kegunaaanya. Yang berarti seni kriya ini adalah seni untuk memenuhi
kebutuhan manusia yang menonjolkan aspek estetika atau keindahan dan juga use
atau keugunaanya untuk kebutuhan sehari-hari.
5.
Seni Kriya adalah handskill atau
seni yang dibuat dengan kerajinan tangan dengan memperhatikan aspek fungsional
(kegunaan/siap pakai) tetapi tidak meninggalkan aspek keindahan seni itu
sendiri.
6.
Sementara menurut Rasjoyo,
mngutarakan seni kriya adalah suatu karya seni dimana penekanan pengerjaanya
terletak pada keterampilan tangan yang menghasilkan sebuah bentuk kerajinan
siap pakai.
B. Seni Kriya Korea: Tembikar dan
Keramik Korea
Tembikar dan keramik Korea adalah jenis barang-baran yang terbuat dari
tanah liat yang secara umum dapat dibagi menjadi 2 kategori, yang berglasir dan tak berglasir.[1] Tembikar tak berglasir termasuk tembikar dengan dekorasi corak sisir yang berasal dari Zaman
Neolitikum, tembikar corak polos dari Zaman Perunggu, tembikar abu-abu dari periode Tiga Kerajaan Korea, keramik abu-abu dari periode Goryeo dan Joseon dan guci tembikar berwarna coklat
tua dari zaman moderen yang dinamai puredok.[1] Tembikar berglasir dimulai dengan keramik glasir hijau dan tembikar glasir hitam dari abad ke-9 periode Silla yang ditemukan di situs tungku Gurim-ri serta onggi yang bercirikhas glasir
coklat tua yang digunakan untuk menyimpan makanan.
Perabotan dari tembikar, baik yang
berglasir maupun tidak, telah digunakan dari zaman prasejarah sampai sekarang
dan digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari orang Korea.
C. Sejarah
Seni Kriya Korea
Zaman prasejarah
Sejarah tembikar
muncul seiring perkembangan peradaban manusia prasejarah di Korea, yakni sekitar
tahun 7000-8000 SM. Pada awalnya, hanya bangsa Korea dan Cina yang mampu
membuat tembikar yang berkualitas yang dihasilkan dari pembakaran di atas suhu
1000 derajat.
Zaman Neolitikum
Artefak-artefak Zaman Neolitikum di Korea telah ditemukan
di dataran dekat sungai-sungai besar di wilayah pesisir, dimana
permukiman dan pergerakan mudah dilakukan dan juga karena sumber daya berlimpah.
Tembikar yang ditemukan dari situs-situs Neolitikum memiliki cirikhas tembikar
Kortea dan asal mula dari sejarah Korea.
Terdapat 2 jenis
tembikar untuk perabotan
sehari-hari dari zaman ini. Yang pertama adalah perabotan tanah liat dengan dekorasi
applique yang memiliki dasar yang rata dengan dekorasi garis-garis.
Jenis tembikar lain yang umum adalah tembikar bercorak-sisir. Tembikar ini
memiliki dasar yang lancip dengan dekorasi pola geometris yang bervariasi
yang dibuat dengan menarik garis di permukaan dengan benda tajam atau mencetak
permukaan dengan titik atau garis.
Zaman Perunggu
Zaman perunggu yang terentang dari tahun 1000 SM
sampai 1 M, berjalan bersamaan kemunculan dengan kerajaan Gojoseon.
Masyarakat pada zaman perunggu tinggal dekat sumber air di daerah yang berbukit
yang memiliki tanah subur.
Tembikar merah merupakan
jenis barang tanah liat yang banyak berasal dari zaman ini. Tembikar
ini dibuat dengan tanah liat yang mengandung pasir kwarsa putih dan
dibakar di dalam suhu 800-900 °C, dan menjadi perabotan rumah di seluruh Korea. Contohnya
dapat ditemukan di seluruh Semenanjung
Korea, termasuk Heunnam-ri (Yeoju), lembah Namhangang, Songguk-ri, Buyeo, lembah Geumgang dan Geomdan di Ulju.
Zaman Besi
Setelah Zaman Perunggu, Zaman Besi
Awal (100 SM-200 M) adalah periode dimana kerajaan-kerajaan
kuno Korea mulai
terbentuk.[1]
Peralatan dari besi
diperkenalkan dari daratan Asia dan teknik membuat tembikar telah berevolusi, sehingga
meningkatkan produksi barang-barang tanah liat.[1]
Tembikar
polos cukup beragam jenisnya, termasuk guci panjang dan
cantik yang dibentuk melengkung seperti kendi air, mangkuk kecil,
perabotan bergagang, ceret dan guci berbentuk chalice (berleher tinggi).[1]
Perabotan ini dianggap sebagai karya seni masyarakat primitif
dan dapat menandakan tingkat peradaban masyarakat yang semakin meningkat.
Beragamnya barang-barang tanah liat pada periode ini memberi jalan pada lahirnya tembikar kerajaan
Gaya dan Silla.[1]
Tiga Kerajaan
Tembikar dari Silla.
Semenanjung Korea yang berdekatan dengan daratan Asia memberikan
keuntungan bagi penduduknya.[1]
Terjadinya aliran migrasi dari daratan Asia ke semenanjung menciptakan
pertukaran-pertukaran yang aktif.[1]
Tembikar yang diekskavasi dari makam-makam kuno tiga kerajaan memperlihatkan
karakteristik sejarah dan geografis. Beberapa benda tanah liat
dari satu negeri
memperlihatkan pola yang serupa dengan tembikar negeri yang lain, misalnya Silla dengan Gaya.[1]
Perbedaan perabotan yang cukup banyak menunjukkan bahwa elemen budaya bervariasi
dari satu wilayah
ke wilayah lain dan industri keramik yang bermutu sudah dimulai.[1]
Sekitar abad ke-3, saat kerajaan Goguryeo, Baekje dan Silla serta Mahan
sudah menguasai masing-masing teritori dan mengembangkan budayanya,
perkembangan besar dicapai dalam teknologi keramik dengan
pengembangan tungku
yang semi-bawah tanah yang dapat membakar barang tanah liat di atas suhu
1.100 °C.[1]
Ini memungkinkan produksi tembikar abu-abu yang
lebih banyak lagi.[1]
Goryeo
Pada zaman Dinasti Goryeo (912-1392), teknik membuat keramik glasir hijau
(Seladon) diperkenalkan dari Dinasti
Song dan segera menjadi sangat terkenal.[3]
Keramik tidak lagi dipandang sebagai perlengkapan semata, karena dengan teknik
glasir, keramik hijau mulai diperhatikan sebagai karya seni yang berestetika.[3]
Agama
Buddha yang secara dalam dianut oleh pemerintahan dan rakyat Goryeo ikut
memengaruhi desain keramik hijau, yang dibuat dengan ornamen dan hiasan yang
bernafaskan filosofi Buddhisme.[3]
Joseon
Ideologi Neo-Konfusianisme yang diterapkan Dinasti
Joseon membuat kepopuleran keramik hijau meredup dan
digantikan oleh keramik putih yang sederhana.[4]Selama
masa ini jenis-jenis keramik baru muncul seperti buncheong
(keramik berwarna coklat) dan cheonghwa baekja (keramik
corak biru).[4]
Puluhan ribu pengrajin keramik Joseon yang diculik ke Jepang oleh para
penyerbu dalam peristiwa Perang Imjin pada tahun
1592-1598.[2]
Mereka dibawa ke Jepang dan mengembangkan teknik pembuatan keramik di Jepang.[2]
Teknik pembuatan keramik Korea segera menyebar ke Jepang dan membantu
meningkatkan perkembangan seni keramik di negara tersebut, hal itu menyebabkan
gaya keramik Jepang begitu sama dengan gaya keramik Korea.[2]
Salah satu pengrajin keramik asal Korea yang diculik ke Jepang adalah Yi
Sam-pyong.[2]Yi
yang menetap di Arita, Prefektur
Saga, Pulau Kyushu, dianggap sebagai empunya pengrajin
keramik dan sangat dikagumi akan keahliannya.[2]
Pasca Dinasti
Joseon-kini
Pasca Dinasti Joseon, Korea dijajah oleh Jepang (1910-1945)
dan menderita tekanan budaya yang luar biasa.[3]
Berbagai aspek budaya dan tradisi Korea hampir mati dan tidak bisa bertahan,
termasuk produksi keramik tradisional.[3]
Pada saat ini, pemerintah Korea
Selatan sangat menaruh perhatian dalam pelestarian keramik tradisional di
seluruh negeri.[3]
Banyak pusat-pusat industri keramik masih beroperasi sejak lebih dari ratusan
tahun lalu.[3]
Di tempat-tempat ini terdapat tungku-tungku pembakaran kuno yang masih
berfungsi dan dilindungi sebagai situs bersejarah.[3]
Para pembuat keramik tradisional telah yang keluarganya secara turun-temurun
membuat keramik dianggap sebagai aset nasional hidup
yang dihargai oleh pemerintah, di antaranya[3]:
D. Jenis keramik dan
tembikar
Goryeo Cheongja
Keramik Hijau Goryeo
Teknik membuat keramik hijau (Hanzi:青瓷, qīngcí, Bahasa Korea:청자, Cheongja) diperkenalkan dari Dinasti
Song pada masa pemerintahan Dinasti
Goryeo (918-1392).[5]
Seniman Goryeo menciptakan Teknik Sanggam untuk menghasilkan kreasi
keramik yang baru dan berbeda daripada keramik hijau Cina.[3]
Pada masa Dinasti Goryeo, kepopuleran keramik hijau mencapai Cina dan banyak
bangsa lain yang mengagumi keindahannya.[5]
Para seniman asal Cina bahkan menjulukinya sebagai salah satu dari "harta
karun paling indah di bawah langit".[6]
Keramik hijau pada saat itu menjadi komoditas perdagangan
antara Goryeo dengan bangsa-bangsa lain.[7]
Di Goryeo sendiri keramik hijau dinikmati kalangan bangsawan dan menjadi
dekorasi karya seni yang menghiasi istana kerajaan
dan kuil-kuil
Buddha.[8]
Buncheong
Buncheong adalah keramik
hijau-biru atau abu-abu kehitaman yang memiliki kualitas hampir sama dengan goryeo cheongja.[1]
Buncheong dilapisi oleh lapisan putih sebelum diglasir dan dibakar dalam tungku
yang dideoksidasi (tingkat oksigen
diturunkan).[1]
Buncheong adalah kependekan daripada bunjanhoecheong-sagi atau berarti
"keramik
yang didekorasi dengan lapisan putih dan glasir hijau-biru pucat".[1]
Mewarisi kejatuhan seni goryeo cheongja di akhir
periode Goryeo
(abad ke-13 dan 14), buncheong yang diproduksi pada abad ke-15 dan 16 (awal Dinasti
Joseon) memiliki bentuk yang penuh dan dinamis.[1]
Dibandingkan dengan keramik hijau, buncheong
memiliki warna yang lebih cerah dan glasir hijau-biru pucat yang lebih
tipis.[1]
Hanya sedikit buncheong yang diproduksi setelah Perang
Imjin pada tahun 1592.[1]
Pada masa setelah itu, keramik Buncheong hampir mati karena banyak pengrajin
yang diculik serta tungku pembakaran hancur.[2]
Joseon Baekja
Joseon Baekja atau Keramik
Putih Joseon diproduksi pada masa Dinasti
Joseon (1392-1910). Keramik putih menikmati kepopuleran dan mengambil alih
posisi keramik hijau.[4]
Pemerintahan Joseon memfokuskan pada upaya khusus untuk memproduksi dan
mengelolanya, dan masyarakat pun sangat menyukai jenis keramik baru ini.[4]
Karena besarnya dukungan dan keterkenalannya, produksi keramik putih mengalami
pertumbuhan yang pesat.[4]
Onggi
Onggi
adalah jenis tempayan
yang terbuat dari tembikar
yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari. Orang Korea memanfaatkan Onggi
sebagai tempat menyimpan makanan tradisional sejak lama seperti kimchi,
jeotgal,
kecap asin
(ganjang),
saus gochujang,
doenjang
dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata Kriya sendiri
berasal dari bahasa sansakerta yakni "Kr" yang artinya
"mengerjakan" yang mana dari kata tersebut kemudian menjadi kata
karya, Kriya, kerja. Dalam arti khusus pengertian seni Kriya adalah mengerjakan
sesuatu untuk menghasilkan benda atau objek (Timbul Haryono, 2012).
Dalam kamus
bahasa Indonesia kata "kriya" berarti pekerjaan "kerajinan
tangan".
Sementara
dalam bahasa Inggris Kriya berarti "Craft" yang artinya kekuatan atau
energi, yang mengandung arrti lain yakni membuat sesuatu atau mengerjakan yang
dikaitkan dengan keterampilah atau profesi tertentu
B.
Saran
Jika dalam
penulisan makalah ini terdapat kekurangan dan kesalahan, kami mohon
maaf. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun agar kami dapat membuat makalah yang lebih baik dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ktsp.2006. Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan Mata
Pelajaran Seni Budaya Untuk
SMP/MTS. Jakarta: Pusbuk.
Ktsp.2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Mata
Pelajaran Keterampilan untuk SMP/MTS. Jakarta: Pusbuk.
H. Mayasari, Buyung
Rumingkang. 2009. Intisari Seni Budaya Untuk SMP/MTS. Bandung: Pustaka
Setia.
Sachari, Agus.2004. Pengantar Metodologi Penelitian
Budaya Rupa ( Desain, Arsitektur, Seni Rupa, dan Kriya ). Jakarta: Erlangga.
Post a Comment for "Seni Kriya Korea"