Tafsir ayat Al-qur'an tentang haji
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan atas setiap muslim yang
merdeka, baligh ,dan mempunyai kemampuan, dalam sekali seumur hidup. Namun, banyak dari kalangan umum
atau masyarakat mulai dari golongan petani, pedagang, pegawai dan lain sebagainya
masih banyak yang belum mengerti tentang apa yang harus dilakukan dalam
melakukan umrah atau haji. Maka dengan demikian, tidak menjadi masalah jika kita
menjelaskan dengan sedikit pendapat yang di ambil dari beberapa pendapat para
imam-imam madzhab yang telah menjadi suri tauladan dan pegangan untuk di
jadikan rujukan bagi kita kalangan awam. Sehingga, dalam melaksanakan ibadah
haji tidak hanya sekedar pergi begitu saja ke tanah Mekkah dengan menelan biaya
jutaan rupiah atau hanya sekedar nikmatnya mengendarai pesawat terbang atau
jalan-jalan di tanah suci Mekkah-Madinah.
Ibadah haji merupakan ibadah formal kepada Tuhan, maka harus di lakukan
dengan benar sesuai dengan manasiknya dan di jalankan dengan ikhlas semata-mata
karena Allah. Adapun haji dan umrah menurut dasar hukumnya, menurut dari
beberapa ulama, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ahli tafsir ahkam ,
dalam masalah umrah dan haji tersebut. Menurut ulama-ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
, yang di pelopori oleh Ali ibnu Umar dan Ibn Abbas hukum umrah adalah wajib
dengan alasan, perintah melakukan haji dan umrah secara itmam. Menurut ulama’
Malikiyah dan Hanafiyah, umrah itu hukumnya sunnah hal ini di perkuat dengan
dasar hadits At-Tirmidzi “Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang
umroh apakah ia wajib atau tidak? “ Rasulullah menjawab: “Tidak! Tetapi jika
kamu berumrah, itu lebih baik bagimu. Berdasarkan hadis tersebut sehingga ulama
Malikiyah dan Hanafiyah mengatakan hukum umroh adalah sunnah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dalil-Dalil
Tentang Haji
1.
Al-Baqarah:
196-197
a. Ayat dan Terjemahan
وَاَتِموا الحج و العمرة لله فان احصرتم فماستيسر من الهدي ولا تحلقوا
رءوسكم حتى يبلغ الهدي محله فمن كان منكم مريضا او به اذى من رآسه ففدية من صيام
او صدقة او نسك فاذا امنتم فمن تمتع بالعمرة الى الحخ فماستيسر من الهدي فمن لم
يجد فصيام ثلاثة ايام فى الحج و سبعة اذا رجعتم تلك عشرة كاملة ذالك لمن لم يكن
اهله حاضرى المسجد الحرام واتقوا الله واعلموا ان الله شديد العقاب (196) الحج
اشهر معلومات فمن فرض فيهن الحج فلا رفث ولا فسوق و لا جدال فى الحج و ما تفعلوا
من خير يعلمه الله و تزودوا فان خيرالزاد التقوى واتقون ياولى الالباب (197).
Artinya:
“Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu terkepung
(oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu[1]
yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di
tempat penyembelihan. Jika ada di antara kamu yang sakit, atau ada gangguan di
kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa,
bersedekah atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barangsiapa
mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah
didapat. Tetapi jika ia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa dalam
tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh hari setelah kamu kembali. Itu
seluruhnya sepuluh hari. Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada
(tinggal) di sekitar Masjidil Haram. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya (196). (Musim) haji itu (pada) bulan-bulan
yang telah dimaklumi.[2]
Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah
ia berkata rafats[3],
berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik
yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah taqwa. Dan bertaqwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang
mempunyai akal sehat.”(197)[4]
b. Asbabun Nuzul
Sebab turunnya atau asbabun nuzul dari surat Al-Baqarah ayat 196 adalah
dari berbagai macam peristiwa, yaitu sebagai berikut:
1) Seorang laki-laki berjubah yang semerbak
dengan wewangian za’faran menghadap Rasulullah saw dan berkata: “Ya Rasulullah,
apa yang harus saya lakukan dalam menunaikan umrah?”. Maka, turunlah ayat,…wa
atimmul hajja wal ‘umrata lillah… (…dan sempurnakanlah ibadah haji dan
umrah karena Allah…). Kemudian Rasulullah bertanya: “Mana orang yang tadi
bertanya tentang umrah itu?” Orang itu menjawab: “Saya, ya Rasulullah”.
Selanjutnya Rasulullah bersabda: “Tanggalkan bajumu, bersihkan hidung dan
mandilah dengan sempurna, kemudian kerjakan apa yang biasa kamu kerjakan pada
waktu haji.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Shafwan bin
Umayyah).
2) Ketika Ka’ab bin ‘Ujrah ditanya tentang
firman Allah,…fa fidyatun min shiyaamin au shadaqatin au nusuk… (…maka
wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: puasa atau bersedekah atau berkurban…). Ia
bercerita sebagai berikut: “Ketika sedang melakukan umrah, saya merasa
kepayahan, karena di rambut dan muka saya bertebaran kutu. Ketika itu,
Rasulullah saw melihat aku kepayahan karena penyakit pada rambutku itu. Maka
turunlah ayat tersebut, walaupun khusus tentang aku, tapi berlaku untuk semua
orang. Rasulullah bertanya: “Apakah kamu punya biri-biri untuk fidyah?” Aku menjawab
bahwa aku tidak memilikinya. Kemudian Rasulullah bersabda: “berpuasalah kamu
tiga hari, atau beri makanlah enam orang miskin, tiap orang setengah sha’ (satu
setengah liter) makanan, dan bercukurlah.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari
Ka’ab bin ‘Ujrah).
3) Ketika Rasulallah saw beserta para
sahabat berada di Hudaibiyyah sedang berihram, kaum musyrikan melarang mereka
meneruskan umrah. Salah seorang sahabat, yaitu Ka’ab bin ‘Ujrah, kepalanya
penuh dengan kutu hingga bertebaran ke mukanya. Ketika itu Rasulullah lewat di
depannya, dan melihat Ka’ab kepayahan. Maka turunlah ayat,…fan man kaana
minkum mariidhan au bihii adzan min ra’sihi fa fidyatun min shiyamin au
shadaqatin au nusuk… (jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: puasa,
atau bersedekah atau berkurban…), lalu Rasulullah bertanya: “Apakah kutu-kutu
itu mengganggu?” kemudian Rasulullah menyuruh agar ia bercukur dan membayar
fidyah. (Diriwayatkan oleh Ahmad yang bersumber dari Ka’ab).[5]
Sedang
bagi surah Al-Baqarah ayat 197, menurut suatu riwayat orang-orang Yaman apabila
naik haji tidak membawa bekal apa-apa, dengan alasan tawakal kepada Allah. Maka
turunlah ayat,…wa tazawwadu fa inna khairaz zaadi taqwa… (…berbekallah,
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa…).[6] (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
selainnya, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas).
c. Tafsiran Ayat
Sebelum masuk pada penafsiran ayat, terlebih dahulu kita akan membahas
sedikit tentang kosa kata yang terdapat pada ayat-ayat tersebut:
1) اُحْصِرْتُمْ berasal dari kata حصر
yang berarti pemboikotan atau pengepungan.
2) اَلْهَدْىُ adalah sesuatu yang
dipersembahkan ke Baitullah, berupa berbagai macam hewan seperti sapi, kambing
dan unta.
3) مَحِلَّهُ adalah tempat yang
diperbolehkan untuk mempersembahkan hewan (al-hadyu), yaitu Tanah Suci atau
tempat pengepungan dimana seseorang terkepung.
Untuk ayat
196, penafsirannya adalah sebagai berikut: “Dan sempurnakanlah ibadah haji
dan umrah karena Allah.” Laksanakanlah ibadah haji dan umrah dengan
menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya, hanya karena Allah semata.
Baik secara lahiriah (formalitas)-nya dengan menjalankan manasik secara
sempurna maupun pada batiniyahnya, yakni melaksanakan haji dan umrah dengan
ikhlas hanya karena Allah semata, bukan dengan maksud untuk menyombongkan diri
atau sekedar mencari popularitas. “Jika
kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah)
korban yang mudah didapat”. Jika kamu terhalang untuk menyempurnakan ibadah
haji dan umrah, disebabkan sakit atau musuh, sedangkan kamu menghendaki
tahallul, maka wajib bagimu menyembelih hewan yang mudah kamu dapatkan :
seperti unta, sapi atau kambing. Namun, apabila kamu tidak memiliki kambing,
maka dapat digantikan dengan membeli makanan yang seharga kambing untuk
disedekahkan. Jika tidak bisa juga, maka bisa dengan berpuasa satu hari untuk
tiap-tiap mud makanan (sekitar 2,5 kg beras).[8]
“Dan
jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai ditempat penyembelihannya,”
janganlah kamu melakukan tahallul dari ihram dengan mencukur rambut sebelum
qurban sampai pada tempat penyembelihannya, yaitu Tanah Suci atau tempat
pengepungan. “Jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya
(lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau
bersedekah atau berkorban,” barangsiapa di antara kamu, wahai orang-orang
yang berihram, sedang menderita sakit yang menjadi bahaya apabila dicukur
rambutnya, atau ada gangguan di kepalanya seperti kutu kepala, lalu dia
mencukur rambutnya, maka wajiblah baginya fidyah: yaitu boleh berpuasa tiga
hari, atau bersedekah dengan tiga sha’ kepada enam orang miskin, atau
menyembelih hewan korban minimal menyembelih kambing.
“Apabila
kamu telah (merasa) aman,” sejak pertama kamu merasa aman, atau setelah
dikepung kamu menjadi aman. “Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah
sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah
didapat,” barangsiapa berumrah di bulan haji, dan bersenang-senang (tamattu’)
seperti orang bersenang-senang di luar berihram, yaitu dengan memakai
wangi-wangian dan menggauli istri-istrinya, maka wajib baginya menyembelih
kurban yang mudah didapatkan: yaitu menyembelih kambing sebagai rasa syukur
kepada Allah.
“Tetapi
jika ia tidak menemukan (bintang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa
tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang
kembali,” barangsiapa yang tidak mampu membayar harga kurban, maka wajib
baginya berpuasa sepuluh hari, tiga hari dilakukan di dalam masa haji dan tujuh
hari ketika kembali ke tanah airnya. “Itulah sepuluh (hari) yang sempurna,”
sepuluh hari yang sempurna sebagai ganti menyembelih, dan pahalanya seperti
pahala menyembelih tanpa dikurangi.
“Demikian
itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada
(di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah).”
Tamattu dan membayar fidyah (berkorban) dikhususkan untuk selain penduduk
Makkah. Sedangkan bagi penduduk Makkah, mereka tidak diwajibkan tamattu’, dan
tidak ada pula berkorban, “Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah sangat keras siksaan-Nya.” Takutlah kepada Allah dengan mengerjakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, dan ketauilah bahwa
siksaan-Nya sangatlahlah keras bagi orang yang menentang perintah-Nya.[9]
Selanjutnya
adalah penafsiran dari ayat 197, yaitu: “Musim haji adalah beberapa bulan
yang dimaklumi.” Nash ini telah jelas menunjukkan bahwa haji memiliki waktu
yang tertentu. Dan waktunya itu adalah beberapa bulan yang sudah dimaklumi
yaitu, Syawwal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dengan
demikian, tidak sah melakukan ihram haji kecuali pada bulan-bulan ini meskipun
sebagian pendapat menganggapnya sah berdasarkan sunnah yang ada.
Barangsiapa
yang telah menetapkan niatnya hendak mengerjakan haji pada bulan-bulan yang
sudah dimaklumi itu dengan mengerjakan ihram, “Maka tidak boleh rafats,
berbuat fasik, dan bertengkar dalam melakukan ibadah haji.” Yang dimaksud
dengan rafats di sini ialah menyebut-nyebut jima’[10]
dan segala hal yang dapat menimbulkan rangsangan, baik secara mutlak maupun di
hadapan perempuan. Jidal adalah berbantah-bantahan atau bertengkar
sehingga yang satu marah kepada yang lain. Fusuq adalah melakukan
kemaksiatan baik besar maupun kecil.
Sesudah
dilarangnya melakukan perbuatan yang buruk, maka didoronglah mereka untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, “Apa yang kamu kerjakan merupakan
kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.” Cukup kiranya di dalam perasaan
seorang mukmin kalau dia mengingat bahwa Allah mengetahui dan melihat kebaikan
yang dilakukannya. Hal ini menjadi pendorong baginya untuk mengerjakan kebaikan
karena Allah melihat dan mengetahuinya.
Selanjutnya
Allah memerintahkan untuk berbekal, “Bawalah bekal, karena sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah taqwa. Dan bertaqwalah kepada-Ku wahai orang-orang
yang mempunyai akal sehat.” Yang dimaksud bekal di sini adalah takwa. Takwa
merupakan bekal hati dan ruh, yang dengannya ia menjadi kuat, bersinar, dan
bercahaya serta dapat mencapai tujuan dan keselamatan.[11]
2.
Ali-Imran:
96-97
a. Ayat dan Terjemahannya
ان اول بيت وضع للناس للذي ببكة مبركا وهدى للعلمين (96) فيه ايت بينت
مقام ابراهيم و من دخله كان امينا و لله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا
و من كفر فان لله غني عن العلمين (97)
Artinya:
“Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah
(Baitullah) yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi
seluruh (96). Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam
Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara)
kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah,
yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa
mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari seluruh alam (97).”[12]
b. Asbabun Nuzul
Dari beberapa referensi yang ada, asbabun nuzul dari surah Ali-Imran ayat
96 tidak ditemukan. Namun, ada riwayat yang menyatakan ayat yang berbunyi “Sesungguhnya
rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di
Bakkah (Mekkah),” turun untuk membantah pendapat Ahli Kitab yang menyatakan
bahwa rumah ibadah yang pertama dibangun berada di Baitul Maqdis, oleh karena
itu Allah menurunkan ayat ini.[13]
Sedang asbabun nuzul dari ayat selanjutnya yaitu ayat 97 dari surah
Ali-Imran, dalam suatu riwayat dikemukakan oleh Sa’id bin Manshur yang
bersumber dari ‘Ikrimah, ketika turun surah Ali-Imran ayat 85, berkatalah kaum
Yahudi: “Sebenarnya kami ini muslim.” Bersabdalah Rasulullah saw kepada mereka:
“Allah telah mewajibkan atas kaum muslimin naik haji ke Baitullah.” Mereka
berkata: “(Ibadah haji) tidak diwajibkan kepada kami.” Mereka menolak
menjalankan ibdah haji. Maka turunlah ayat 97 dari surah Ali-Imran ini yang
menegaskan kewajiban haji bagi seorang muslim, sedang yang menolak
melaksanakannya adalah kafir.[14]
c. Tafsiran Ayat
“Sesungguhnya
rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah),”
masjid pertama yang dibangun di bumi untuk beribadah kepada Allah adalah
Masjidil Haram yang berada di Makkah. Baitullah dibangun oleh Nabi Ibrahim
beserta anaknya Isma’il. Sesudah beberapa abad lamanya, barulah Masjidil Aqsa
(Baitul Maqdis) dibangun oleh Nabi Sulaiman pada tahun 1005 sebelum masehi.[15]
“Yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi
semua manusia,” dibangun untuk memberi keberkahan melimpah kepada jamaah
haji dan umrah, dan sebagai sumber cahaya dan petunjuk bagi penduduk bumi,
karena Ka’bah adalah kiblat mereka.
Kemudian Allah menerangkan keistimewaan-keistimewaan yang ada pada
Masjidil Haram dibandingkan masjid-masjid lain di dunia. Allah berfirman, “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata,”
(diantaranya) maqam Ibrahim.” Maksudnya ialah, padanya terdapat tanda-tanda
jelas dan banyak yang menunjukkan atas kemuliaan dan keistimewaannya
dibandingkan dengan semua masjid yang lain. Diantaranya tanda-tanda itu adalah:
“maqam Ibrahim” yang merupakan tempat
berdiri Nabi Ibrahim ketika meninggikan Ka’bah. Lalu air Zamzam, Bukit
Shafa-Marwa, dan Hajar Aswad. Tidakkah cukup semua itu menjadi bukti kemuliaan
Ka’bah, sehingga dijadikan kiblat bagi orang Islam?
“Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia,” ayat ini
menerangkan bahwasanya, orang-orang yang memasuki Tanah Haram (Mekkah dan
Madinah) maka amanlah ia. Hal ini berdasarkan pada do’a Nabi Ibrahim: “Ya Tuhan
Kami, jadikanlah negeri ini aman.” “Dan (di antara) kewajiban manusia
terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi
orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana,” telah jelas
dikatakan di sini bahwa menunaikan ibadah haji adalah kewajiban bagi setiap
muslim. Namun, telah dijelaskan pula pada ayat ini, bahwa orang-orang yang
tidak mampu menunaikan haji tersebut bagi mereka tidak ada kewajiban untuk
berhaji.
“Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” Dan barangsiapa yang
meninggalkan haji, maka sesungguhnya Allah Maha Besar lagi Maha Kuasa, Allah tidak
akan merugi jikalau mereka mengingkari ataupun enggan menunaikan haji, padahal
mereka mampu untuk mengerjakannya. Mereka yang tidak mau mengerjakan haji,
sedang Allah memberikan kepada mereka harta yang melimpah serta kesehatan yang
banyak, maka merekalah yang akan merugi dan bukan Allah. Ibnu Abbas berkata,
“Barangsiapa mengingkari kewajiban haji, maka sungguh dia telah kafir, dan
Allah tidak memerlukannya.[16]
3.
Al-Hajj: 27-29
a. Ayat dan Terjemahannya
و اذن فى الناس با الحج يأتوك رجالا و على كل ضامر يآتين من كل فج
عميق (27) ليشهدوا منافع لهم و يذكروا اسم الله فى ايام معلومات على ما رزقهم من
بهيمة الانعام فكلوا منها و اطعموا البائس الفقير (28) ثم ليقضوا تفثهم و ليوفوا
نذورهم و ليطوفوا با لبيت العتيق (29)
Artinya:
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka
datang dari segenap penjuru yang jauh (27). Agar mereka menyaksikan berbagai
manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari
yang telah ditentukan[17]
atas rezeki yang Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah
sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang
sengsara dan fakir (28). Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran[18]
(yang ada di badan) mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan
thawaf sekeliling rumah tua (Baitullah) (29).”[19]
b. Tafsiran Ayat
Sebelum
membahas tafsir dari ayat di atas, akan lebih baik jika kita membahas kosa kata
terlebih dahulu, dan beberapa kosa kata yang dapat membantu dalam menafsirkan
ayat di atas ialah:
1) فج adalah jalan pegunungan, namun
yang dimaksud di sini ialah segala penjuru yang ada di dunia
2) بهيمة memiliki arti hewan atau
binatang ternak
3) العتيق berarti tua atau kuno, dan
kata ini berasal dari kata عتق yang artinya menjadi tua
Untuk
tafsir ayat 27 secara global adalah ayat tersebut memerintahkan kepada Rasul
untuk menyampaikan kepada manusia untuk mengerjakan ibadah haji dan mengajak
manusia kepadanya. Untuk menyampaikan kepada yang jauh dan yang dekat tentang
kewajiban dan keutamaannya. Sebab jika tidak mengajak mereka, maka mereka
mendatangimu dalam keadaan menunaikan haji dan umrah, dengan berjalan di atas
kaki mereka karena perasaan rindu, dan di atas unta yang melintasi padang pasir
dan sahara serta meneruskan perjalanan hingga menuju tempat yang paling mulia,
dari setiap tempat yang jauh.
Hal ini
telah dilakukan oleh Al-Khalil (Nabi Ibrahim) ‘alaihissalam, kemudian oleh anak
keturunannya yaitu Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Keduanya mengajak
manusia untuk menunaikan haji di rumah ini. Keduanya menampakkan dan
mengulanginya. Dan telah tercapai apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala janjikan
kepadanya. Manusia mendatanginya dengan berjalan kaki dan berkendaraan dari
belahan timur dan barat bumi. Allah Subhanahu wa Ta'ala lalu menyebutkan
beberapa faedah menziarahi Baitullah Al-Haram, dalam rangka mendorong
pengamalannya.
Kemudian,
tafsir global ayat selanjutnya yaitu ayat 28 adalah agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk
mereka, dengan mendapatkan berbagai manfaat dari sisi agama di Baitullah berupa
ibadah yang mulia. Ibadah yang tidak didapatkan kecuali di tempat tersebut.
Demikian pula berbagai manfaat duniawi berupa mencari penghasilan dan
didapatnya berbagai keuntungan duniawi. Ini semua merupakan perkara yang dapat
disaksikan. Semua mengetahui hal ini.
Dan agar mereka menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala pada hari-hari
yang tertentu atas apa yang (Allah Subhanahu wa Ta'ala) telah rizkikan kepada
mereka berupa hewan ternak. Ini merupakan manfaat agama dan duniawi. Maknanya,
agar mereka menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika menyembelih
sembelihan kurban sebagai tanda syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala atas
rizki yang Dia limpahkan dan mudahkan untuk mereka. Dan jika kalian telah
menyembelihnya, maka makanlah darinya dan berilah makan kepada orang yang
sangat miskin.
Kemudian hendaknya mereka menyelesaikan manasik haji dan menghilangkan
kotoran serta gangguan yang melekat pada diri mereka selama ihram. Hendaklah
mereka juga menunaikan nadzar yang mereka wajibkan atas diri mereka berupa
haji, umrah, dan sembelihan.
Hendaklah mereka thawaf di rumah tua (Ka’bah), masjid yang paling mulia
secara mutlak, yang diselamatkan dari kekuasaan orang-orang yang angkuh. Ini
adalah perintah untuk thawaf secara khusus setelah disebutkan perintah untuk
bermanasik haji secara umum, karena keutamaan (thawaf) tersebut, kemuliaannya,
dan karena thawaf adalah tujuan. Sedangkan yang sebelumnya adalah sarana menuju
(thawaf) tersebut.[20]
Dan inilah tafsir dari ayat 29 yang kesemuanya membahas tentang haji.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Jadi, penafsiran dari ayat Al-Baqarah
ayat 196-197 menjelaskan tentang penyempurnaan rukun-rukun islam dengan haji
dan diberikannya keringanan bagi yang sakit atau dalam keadaan yang sulit maka
baginya dapat membayar fidyah dengan bersedekah, berkorban atau berpuasa. Serta
penentuan waktu diperbolehkannya melaksanakan haji.
2. Penafsiran ayat Ali-Imran ayat 96-97
ialah menerangkan tentang Baitullah adalah tempat yang suci yang mana dijadikan
sebagai tempat berkumpulnya umat muslim sedunia dan menjadi kiblat untuk
seluruh muslim.
3. Surah Al-Hajj ayat 27-29 menjelaskan
tentang kewajiban berhaji serta tata cara dalam berhaji berjalan kaki, manfaat
untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah
ditentukan atas rezeki yang Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Aziz.
1991. Fiqih. Semarang: Wicaksana
Anggota
IKAPI. 2001. Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran.
Bandung: CV Penerbit Diponegoro
A. Mudjab
Mahali. 2002. Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
Al-Mahalli & As-suyuti. 2011.
Terjemah Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar Baru Algresindo
Abdulmalik
Abdulkarim Amrullah. 2003. Tafsir Al-Azhar Jilid 2. Singapura: Pustaka Nasional
PTE LTD Singapura
Departemen
Agama RI. 2008. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: CV Penerbit Diponegoro
Imron Abu Bakar. Terjemah Fat-hul Qarib Jilid 1.
Kudus: Menara kudus
Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni. 2011. Shafawatut Tafasir. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Sayyid
Quthb (diterjemahkan oleh As’ad Yasin dkk). 2006. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Jilid 1. Jakarta: Gema Insani
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir
Al-Quranul Karim An-Nuur 1. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra
[1] Hadyu adalah hewan yang disembelih sebagai
pengganti (dam) pekerjaan wajib haji yang ditinggalkan, atau sebagai denda
karena melanggar hal-hal yang terlarang mengerjakannya di dalam ibadah haji. (lihat footnote: Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Cet. 10, Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2008, hal. 30)
[2]
Adalah bulan
Syawwal, Dzulqaidah dan Dzulhijjah. (lihat footnote: Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, hal. 31)
[3] Rafats adalah
mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi, perbuatan yang tidak senonoh
atau hubungan seksual. (lihat footnote: Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, hal. 31)
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 30-31
[5] Anggota IKAPI, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, Cet. 10, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
2001), hal. 61-62
[6] Yang dimaksud taqwa di sini
adalah memelihara diri dari perbuatan yang hina atau minta-minta selama dalam
perjalanan haji. (Anggota IKAPI, Asbabun
Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, hal. 62)
[7] Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni,
Shafawatut Tafasir, Cet. 1, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2011), hal. 257
[8] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Quranul Karim An-Nuur 1, Cet. 2,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2000), hal. 321-322
[10] Perkumpulan antara laki-laki dan
perempuan (hubungan seksual)
[11] Sayyid Quthb (diterjemahkan oleh
As’ad Yasin dkk), Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an Jilid 1, Cet. 5, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hal. 233-234
[12] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 62
[13] Lihat footnote: Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal.
62
[14] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an,
Cet. 1, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 164
[15] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Loc.Cit, hal. 643
[16]
Sayyid Quthb (diterjemahkan
oleh As’ad Yasin dkk), Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an Jilid 2, hal. 163-164
[17]
Hari raya haji
Tasyriq, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. (lihat footnote: Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal.
335)
[18]
Yang dimaksud
dengan “menghilangkan kotoran” adalah memotong rambut, memotong kuku dan
sebagainya. (lihat
footnote: Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, hal. 335)
Post a Comment for "Tafsir ayat Al-qur'an tentang haji"