Teori Kultivasi
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berawal dari sejarah hadirnya televisi sebagai
salah satu bentuk media massa yang digemari dan telah menyulap jutaan manusia
untuk terpaku dalam menerima pesan-pesan yang ditayangkan. Dimana
media massa adalah sebuah alat penangkap siaran bergambar atau
penghadiran gambar-gambar penyiaran (broadcast image) yang
disejajarkan dengan penemuan roda, karena mampu mengubah sistem
peradaban dunia. Bahkan Catherine Cookson dan Charles Dickens menguraikan
betapa mengesankannya medium yang dinamakan televisi sehingga pada hakikatnya
televisi dianggap sebagai sebuah fenomena kultural, sekaligus medium dimana
sepenggal aktivitas budaya hadir dan menjamah kita di dalam rumah.
Perkembangan televisi berdasarkan periode efeknya
mulai hadir tahun 1948 sampai 1990‐an ketika Perang Dunia II selesai sekitar tahun 1945. Televisi disadari
telah menjadi babak baru terbentuknya media massa yang dapat memberikan efek
kekuatan media (the powerful of media) secara dramatis pada
khalayak yang diterpa (exposure). Bahkan kehadiran media
televisi telah memberikan pengaruh komersial pangsa pasar dan khalayak di
Amerika, berdasarkan dukungan data tahun 1954, menunjukkan bahwa terdapat 55
persen rumah tangga di Amerika telah memiliki perangkat televisi (Pavlik,
2004). Efek tersebut juga telah mengundang banyak kajian-kajian menarik yang
membahas masalah televisi sebagai sebuah pengalaman yang membentuk cara
berpikir kita tentang dunia.
Sedangkan di Indonesia perkembangan dan teknologi
televisi telah dimulai bersamaan dengan dilangsungkannya peristiwa olah raga
Asian Games di tahun 1962. Sejak saat itu embrio penyiaran televisi lahir
bersamaan dengan didirikannya TVRI oleh Presiden Soekarno. Hal ini ditunjang
dengan kehadiran Satelit Palapa untuk pertama kalinya ditahun 1976, TVRI bisa
diterima hampir seluruh tanah air. Saat itu program siaran yang ditampilkan
mengenai pembangunan, hiburan, dan pendidikan mudah diterima oleh masyarakat
awam. Sehingga, masyarakat bisa well-informed dengan
berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar mereka.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang diatas maka
terdapat beberapa poin yang akan diangkat pada rumusan masalah ini
1. Perkembangan
Teori Kultivasi
2. Teori
Kultivasi Dalam Media Massa
3. Asumsi
Dari Teori Kultivasi
4. Contoh
Teori Kultivasi Pada Realitas Kehidupan
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan
Teori Kultivasi
Gagasan
tentang cultivation theory atau teori kultivasi untuk pertama
kalinya dikemukakan oleh George Gerbner bersama dengan rekan-rekannya di
Annenberg School of Communication di Universitas Pannsylvania tahun 1969 dalam
sebuah artikel berjudul the televition World of Violence. Artikel tersebut
merupakan tulisan dalam buku bertajuk Mass Media and Violence yang disunting D.
Lange, R. Baker dan S. Ball (eds).
Awalnya,
Gerbner melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun
60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, Gerbner
ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh
penonton televisi itu? Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang
dilakukannya lebih menekankan pada “dampak” (Nurudin, 2004).
Menurut Wood
(2000) kata ‘cultivation’ sendiri merujuk pada proses kumulatif dimana
televisi menanamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya.
Teori
kultivasi muncul dalam situasi ketika terjadi perdebatan antara kelompok
ilmuwan komunikasi yang meyakini efek sangat kuat media massa (powerfull
effects model) dengan kelompok yang mempercayai keterbatasan efek media (limited
effects model), dan juga perdebatan antara kelompok yang menganggap efek
media massa bersifat langsung dengan kelompok efek media massa bersifat tidak
langsung atau kumulatif. Teori kultivasi muncul untuk meneguhkan keyakinan
orang, bahwa efek media massa lebih besifat kumulatif dan lebih berdampak pada
tataran sosial-budaya dari pada individual.
Menurut
Signorielli dan Morgan (Griffin, 2004) analisis kultivasi merupakan tahap
lanjutan dari paradigma penelitian tentang efek media, yang sebelumnya
dilakukan oleh George Gerbner yaitu ‘cultural indicator’ yang
menyelidiki:
a.
Proses institusional dalam produksi
isi media,
b.
Image (kesan) isi media, dan
c.
Hubungan antara terpaan pesan
televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.
Teori kultivasi ini di awal perkembangannya lebih
memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience, khususnya pada
tema-tema kekerasan di televisi. Tetapi dalam perkembangannya, ia juga bisa digunakan
untuk kajian di luar tema kekerasan. Misalnya, seorang mahasiswa Amerika di
sebuah universitas pernah mengadakan pengamatan tentang para pecandu opera
sabun (heavy soap opera). Mereka, lebih memungkinkan melakukan affairs (menyeleweng),
bercerai dan menggugurkan kandungan dari pada mereka yang bukan termasuk
kecanduan opera sabun (Dominick, 1990).
Gerbner bersama beberapa rekannya kemudian melanjutkan
penelitian media massa tersebut dengan memfokuskan pada dampak media massa
dalam kehidupan sehari-hari melaluiCultivation Analysis. Dari analisis
tersebut diperoleh berbagai temuan yang menarik dan orisinal yang kemudian
banyak mengubah keyakinan orang tentang relasi antara televisi dan khalayaknya
berikut berbagai efek yang menyertainya. Karena konteks penelitian ini
dilakukan dalam kaitan merebaknya acara kekerasan di televisi dan meningkatnya
angka kejahatan di masyarakat, maka temuan penelitian ini lebih terkait efek
kekerasan di media televisi terhadap persepsi khalayaknya tentang dunia tempat
mereka tinggal.
Salah satu temuan terpenting adalah bahwa penonton
televisi dalam kategori berat (heavy viewers) mengembangkan keyakinan
yang berlebihan tentang dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan.
Sementara kekerasan yang mereka saksikan ditelevisi menanamkan ketakutan sosial
(sosial paranoia) yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka
tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya. Gerbner berpendapat bahwa
media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara
dan menyebarkan sikap dan nilai tersebut antar anggota masyarakat, kemudian
mengikatnya bersama-sama pula. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing
penonton itu meyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya
kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.
B. Teori
Kultivasi Dalam Media Massa
Penelitian
kultivasi menekankan bahwa media massa sebagai agen sosalisasi dan menyelidiki
apakah penonton televisi itu lebih mempercayai apa yang disajikan televisi
daripada apa yang mereka lihat sesungguhnya. Gerbner dan kawan-kawannya melihat
bahwa film drama yang disajikan di televisi mempunyai sedikit pengaruh tetapi
sangat penting di dalam mengubah sikap, kepercayaan, pandangan penonton yang
berhubungan dengan lingkungan sosialnya.
Gerbner berpendapat
bahwa media massa menanamkan dan memperkuat ide-ide dan nilai-nilai yang telah
terbentuk sebelumnya di dalam masyarakat atau budaya yang telah terbentuk.
Media mempertahankan dan menyebarluaskan nilai-nilai tersebut diantara
anggota-anggota kebudayaan tersebut, dan mengikatnya menjadi sebuah kesatuan. Gerbner
menyebutnya sebagai efek "mainstreaming" atau efek yang
tendensius.
Gerbner dan
kawan-kawan memperkenalkan faktor-faktor mainstreaming dan resonance
(Gerbner, Gross, Morgan dan Signorielli, 1980 dalam Griffin, 2004). Mainstreaming diartikan
sebagai kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai pandangan di
masyarakat tentang dunia di sekitar mereka (Tv stabilize and homogenize
views within a society). Dalam proses ini televisi pertama kali akan
mengaburkan (bluring), kemudian membaurkan (blending) dan
melenturkan (bending) perbedaan realitas yang beragam menjadi pandangan
mainstream tersebut. Sedangkanresonance mengimplikasikan pengaruh
pesan media dalam persepsi realitas dikuatkan ketika apa yang dilihat
orang di televisi adalah apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata.
Dalam konsep
teori kultivasi mencerminkan adanya kategorisasi audiens kedalam dua jenis
penikmat televisi, yakni "penonton berat/pecandu televisi" dan
"penonton ringan". Pecandu berat televisi (heavy viewers),
yakni pecandu berat televisi yang seakan-akan dia lebih terpengaruh atau lebih
percaya kepada realitas yang dibentuk oleh media dibandingkan dengan
kepercayaannya terhadap realitas yang dia alami sendiri secara langsung. Kelompok
penonton yang termasuk kategori berat, umumnya memiliki akses dan kepemilikan
media yang lebih terbatas. Hal itulah yang menyebabkan mereka
mengandalkan televisi sebagai sumber informasi dan hiburan mereka. Karena
keterpakuan pada satu media ini, membuat keragaman dan alternatif informasi
yang mereka miliki menjadi terbatas. Itulah sebabnya kemudian mereka membentuk
gambaran tentang dunia dalam pikirannya sebagaimana yang digambarkan televisi.
Sedangkan
penonton ringan (light viewers) cenderung menggunakan jenis media dan
sumber informasi yang lebih bervariasi (baik komunikasi bermedia maupun sumber
personal. Kelompok penonton yang termasuk kategori ringan, umumnya
memiliki akses media yang lebih luas, sehingga sumber informasi mereka menjadi lebih
variatif. Karena kenyataan ini, maka pengaruh televisi tidak cukup kuat pada
diri mereka.
Menurut
teori ini, media massa khususnya televisi diyakini memiliki pengaruh yang besar
atas sikap dan perilaku penontonnya (behavior effect). Pengaruh tersebut tidak
muncul seketika melainkan bersifat kumulatif dan tidak langsung. Inilah yang
membedakan teori ini dengan The Hypodermic Needle Theory,
atau sering juga disebut The Magic Bullet Theory, Agenda
Setting Theory, Spiral Of Silence Theory. Lebih lanjut dapat
dikemukakan bahwa pengaruh yang muncul pada diri penonton merupakan tahap
lanjut setelah media itu terlebih dahulu mengubah dan membentuk
keyakinan-keyakinan tertentu pada diri mereka melalui berbagai acara yang
ditayangkan. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa teori ini lebih
cenderung berbicara pengaruh televisi pada tingkat komunitas atau masyarakat
secara keseluruhan dan bukan pada tingkat individual.
Secara
implisit teori ini juga berpendapat bahwa pemirsa televisi bersifat heterogen
dan terdiri dari individu-individu yang pasif yang tidak berinteraksi satu sama
lain. Namun mereka memiliki pandangan yang sama terhadap realitas yang
diciptakan media tersebut.
C.
Asumsi Dari Teori Kultivasi
1.
Televisi merupakan media yang
unik. Asumsi pertama menyatakan bahwa televisi merupakan media yang unik.
Keunikan tersebut ditandai oleh karakteristik televisi yang bersifat:
a.
Pervasive (menyebar
dan hampir dimiliki seluruh keluarga);
b.
Assesible (dapat
diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain), dan
c.
Coherent (mempersentasikan
pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu).
2.
Semakin banyak seseorang
menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang
tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial. Jadi menurut
asumsi ini, dunia nyata (real world) di sekitar penonton dipersamakan
dengan dunia rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic world). Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat
dikatakan bahwa penonton mempersepsi apapun yang disajikan televisi sebagai
kenyataan sebenarnya. Namun teori ini tidak menggeneralisasi
pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada
penonton dalam kategori heavy viewer (penonton
berat). Hasil pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Gerbner
dan kawan-kawan bahkan kemudian menyatakan bahwa heavy viewermempersepsi
dunia ini sebagai tempat yang lebih kejam dan menakutkan (the mean and scray
world) daripada kenyataan sebenarnya. Fenomena inilah yang kemudian
dikenal sebagai “the mean world syndrome” (sindrom dunia kejam) yang
merupakan sebentuk keyakinan bahwa dunia sebuah tempat yang berbahaya, sebuah
tempat dimana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, sebuah tempat dimana
banyak orang di sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri.
Untuk itu orang harus berhati-hati menjaga diri. Pembedaan dan pembandingan
antara heavy dan light viewer di sini
dipengaruhi pula oleh latar belakang demografis di antara mereka.
D. Contoh dan
Efek Teori Kultivasi Pada Realitas Kehidupan
Efek
tayangan televisi, seperti yang dilakukan oleh Leonard Eron dan Rowell
Huesman mengenai efek jangka panjang dari televisi dengan memfokuskan
risetnya pada anak-anak yang tumbuh dari 8-22 tahun. Tontonan yang dinikmati
pada 8 tahun akan mendorong kriminal pada usia 30 tahun. Sedangkan pernyataan
dari Journal of Youth and Adolescence, memuat bahwa bentuk
kegemaran, tema-tema antagonis, dan sosok keperkasaan para lelaki yang
menginspirasikan musik heavy metal, ternyata sangat digandrungi remaja lelaki
yang berprestasi rendah dan tidak mampu belajar dengan baik di sekolah.
Selanjutnya
temuan-temuan riset yang dilakukan oleh Baron dan Byrne yang menemukan bahwa
terdapat tiga fase dalam riset kultivasi, antara lain pertama : fase
Bobo Doll, kedua adalahfase penelitian laboratorium dan ketiga
adalah fase riset lapangan (Baron dan Byrne dalam Rakhmat, 2005).
Fase ini dirintis oleh Bandura dan kawan-kawannya yang mencoba meneliti apakah
anak-anak yang melihat orang dewasa melakukan tindakan agresi juga akan
melakukan agresi sebagaimana yang mereka lihat. Hasilnya kelompok
pertama dan kedua melakukan tindakan agresif, hasilnya sebanyak 80-90 persen
dari jumlah kelompok tersebut. Fase kedua penelitian kultivasi yang
mencoba mengganti obyek perilaku agresif secara lebih realitis, yaitu bukan
lagi boneka plastik melainkan manusia. Adegan kekerasan diambilkan dari
film-film yang dilihat para remaja yaitu film serial televisi The
Untouchtables. Liebert dan Baron, yang melakukan penelitian generasi kedua ini
di tahun 1972, membagi para remaja menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama
melihat film The Untouchtables yang berisi beragam adegan kekerasan, dan yang
kedua melihat adegan menarik dari televisi tapi tidak dibumbui adegan kekerasan
sama sekali. Kemudian mereka diberi kesempatan untuk menekan tombol merah yang
dikatakan dapat menyakiti remaja yang berada di ruangan lain. ternyata kelompok
pertama lebih banyak dan lebih lama menekan tombol merah dari pada kelompok
kedua. Sedangkan Fase ketiga dilakukan Layens dan kawan-kawan di
Belgia tahun 1975. Perilaku agresif diamati pada situasi ilmiah bukan di
laboratorium dan dengan jangka waktu yang lama, kegiatan obyek yang
diteliti juga tidak diganggu sama sekali. Mereka dibagi kedalam dua kelompok,
dimana kelompok pertama menonton lima film berisi adegan kekerasan
selama seminggu dan kelompok kedua menonton lima film tanpa adegan kekerasan.
Selama seminggu itu pula perilaku mereka diamati secara intens, dan ternyata
kelompok pertama lebih sering melakukan adegan kekerasan (Rakhmat, 2005 ).
Nancy
Signorielli (Littlejohn, 1996) melaporkan studi tentang sindrom dunia kejam.
Pada aksi kekerasan di program televisi bagi anak, lebih dari 2000 program
termasuk 6000 karakter utama selama prime time dan akhir pekan
(weekend) dari tahun 1967-1985, menganalisis dengan hasil yang menarik,
70% prime time dan 94% akhir pekan (weekend) termasuk
aksi kekerasan. Analisis ini membuktikan heavy viewers memandang
dunia muram dan kejam dibandingkan dengan orang yang jarang menonton televisi.
Tidak salah jika kemudian Gerbner dan kawan-kawan melaporkan bahwa heavy
viewers melihat dunia lebih kejam dan menakutkan seperti yang
ditampilkan televisi dari pada orang-orang yang jarang menonton.
Contoh yang
lain, para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa
apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Misalnya, tentang
perilaku kekerasan yang terjadi di masyarakat. Para pecandu berat televisi akan
mengatakan sebab utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena
televisi yang ditonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif
sosial sebagai alasan melakukan kekerasan). Padahal bisa jadi sebab utama itu
lebih karena keterkejutan budaya (cultural shock) dari tradisional ke kehidupan
modern. Teori kultivasi berpendapat bahwa pecandu berat televisi membentuk
suatu realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan.
Sebagai
contoh pencandu berat televisi menyatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi
korban kejahatan adalah 1 berbading 10. Dalam kenyataan angkanya adalah 1
berbanding 50. Pecandu berat televisi mengira bahwa 20% dari total penduduk
dunia berdiam diri di Amerika. Kenyataannya hanya 6%. Pecandu berat percaya
bahwa persentase karyawan dalam posisi manajerial atau professional adalah 25%.
Kenyataannya hanya 5% (Devito, 1997, lihat juga Nurudin, 2004, Ardianto dkk,
2004). Bagi pecandu berat televisi, apa yang terjadi pada televisi itulah yang
terjadi pada dunia sesungguhnya.
Di
indoenasia sendiri, program acara sinetron yang diputar televisi swasta
Indonesia nyaris seragam. Misalnya Paris Folling in Love, Janji Suci, ABG, dan
lain-lain. Masing-masing sinetron tersebut membahas konflik antar orang tua dan
anak serta hamil di luar nikah. Para pecandu berat televisi akan mengatakan
bahwa di masyarakat sekarang banyak gejala hamil di luar nikah, karena televisi
lewat sinetronnya banyak atau bahkan selalu menceritakan kasus tersebut. Bisa
jadi pendapat tersebut tidak salah, tetapi itu terlalu menggeneralisasi kesemua
lapisan masyarakat. Bahwa ada gejala hamil di luar nikah itu benar, tetapi
mengatakan bahwa semua gadis hamil di luar nikah itu salah. Para pencandu
sinetron itu sangat percaya bahwa apa yang terjadi pada masyarakat, itulah
seperti yang dicerminkan dalam sinetron-sinetron.
Termasuk di
sini konflik antara orang tua dan anak. Kognisi penonton akan mengatakan saat
ini semua anak memberontak kepada orang tua tentang perbedaan antara keduannya,
seperti “orang tua kuno, ketinggalan zaman.” Mereka yakin bahwa televisi adalah
potret sesungguhnya dunia nyata. Padahal seperti yang bisa dilihat, tidak
sedikit anak-anak yang masih hormat atau bahkan masih mengiyakan apa yang
dikatakan orang tua mereka.
Pada kateori
aplikasi teori kultivasi dalam kaca mata kekerasan, Gerbner juga berpendapat
bahwa gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan
simbolik tentang hukum dan aturan, alih-alih perilaku kekerasan yang
diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika
adegan kekerasan itu merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi
situasi, seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi yang terjadi
sebenarnya juga demikian. Jadi, kekerasan yang ditayangkan di televisi dianggap
sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang
biasa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang dipertontonkan di
televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini.
Jika kita
menonton acara seperti Buser (SCTV), Patroli (Indosiar), Sergap (RCTI), Brutal
(Lativi) dan TKP malam (TV7), akan terlihat beberapa perilaku kejahatan yang
dilakukan masyarakat. Dalam acara tersebut tidak sedikit kejahatan yang bisa
diungkap. Dalam pandangan kultivasi dikatakan adegan kekerasaan yang disajikan
oleh televisi tersebut menggambarkan dunia kita yang sebenarnya. Para pecandu
berat televisi akan beranggapan bahwa harus hati-hati keluar rumah karena
kejahatan sudah mengincar kita, dan setiap orang tidak bisa dipercaya, boleh
jadi kita akan menjadi korban selanjutnya dari kejahatan. Apa yang ditayangkan
televisi tersebut dianggap bahwa di Indonesia kejahatan itu sudah sedemikian
mewabah dan kuantitasnya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ini
menggambarkan bagaimana dunia kejahatan yang ada di Indonesia.Demikian
sekelumit contoh-contoh aplikasi teori kultivasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori
Kultivasi memusatkan perhatiannya pada pengaruh media komunikasi, khususnya
televisi, terhadap khalayak. Televisi merupakan sarana utama masyarakat untuk
belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat
kebiasaannya.
Teori kultivasi berasumsi bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu citra realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan. Selain itu sumber media yang digunakan sangat terbatas sehingga menyebabkan ketergantungan hanya pada satu media yakni televisi. Sedangkan pecandu ringan televisi membentuk media hanya sebatas realitas media saja. Dimana para pecandu ringan mengakses media yang lebih luas, sehingga sumber informasi mereka menjadi lebih variatif. Karena kenyataan ini, maka pengaruh televisi tidak cukup kuat pada diri mereka.
Teori kultivasi berasumsi bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu citra realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan. Selain itu sumber media yang digunakan sangat terbatas sehingga menyebabkan ketergantungan hanya pada satu media yakni televisi. Sedangkan pecandu ringan televisi membentuk media hanya sebatas realitas media saja. Dimana para pecandu ringan mengakses media yang lebih luas, sehingga sumber informasi mereka menjadi lebih variatif. Karena kenyataan ini, maka pengaruh televisi tidak cukup kuat pada diri mereka.
Teori
kultivasi sebenarnya menawarkan kasus yang sangat masuk akal, khususnya dalam
tekannya pada kepentingan televisi sebagai media dan fungsi simbolik di dalam
konteks budaya. Akan tetapi, teori ini tidak lepas dari sasaran kritik. Gerbner
telah dikritik karena terlalu menyederhanakan permasalahan. Perilaku kita boleh
jadi tidak hanya dipengaruhi oleh televisi, tetapi oleh banyak media yang lain,
pengalaman langsung, orang lain yang berhubungan dengan kita dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Littlejohn, Stephen W; Karen A.F. (2005). Theories
of Human Communication. Thomson.
McQuail, Dennis. (1987). Teori Komunikasi Massa.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Morrisan; Andy C.W & Farid H.U. (2010). Teori
Komunikasi Massa. Bogor: Ghalia Indonesia.
Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa,
Rajawali Pers, Jakarta, 2007.
Post a Comment for "Teori Kultivasi"