Makalah Zaman Al - Mukammil
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aceh yang terkenal dengan sebutan,
“Kota Serambi Mekkah” merupakan tempat di mana berkembangnya agama Islam
pertama di Indonesia. Diperlihatkan dari letak geografisnya, dimana Aceh
sendiri terletak di ujung barat Pulau Sumatera dan dekat dengan Selat Malaka
yang saat itu menjadi pintu pusat lalu lalangnya kapal-kapal saudagar antara
belahan bumi Barat dan Timur dapat diperhitungkan sejak awal abad ke 1.
Namun dengan sendirinya meningkat
lalulintas perdagangan dan kemampuan hidup masyarakat sekaligus memungkinkan
terbangunnya suatu pemerintahan atau kerajaan-kerajaan terutama di Aceh seperti
Kerajaan Jeumpa, Lamuri, Samudra Pasai dan lain-lain yang menganut agama Islam.
Pada saat itu Sumatera sudah kaya akan hasil Bumi dan Alamnya jadi tidak salah
pada masa itu bangsa India menyebutnya dengan sebutan Swarnadwipa (Pulau Emas).
Selain berdagang, para
saudagar-saudagar tersebut juga pelan-pelan menyebarkan agama yang mereka
pahami dan dibawa dari bangsa mereka, salah satunya yaitu agama Islam. Sebelum
masuknya agama Islam ke Aceh, terlebih dahulu sudah ada agama serta
kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan budha di Aceh.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan
masalah tentang Zaman Sulthan Al-Mukammil.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Awal Mula
Kesultanan Aceh
Darussalam memulai pemerintahannya ketika Kerajaan Samudera
Pasai sedang berada di ambang
keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami
kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat
kerajaan Islam pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh
Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing
kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra,
danKerajaan Indrapura (Indrapuri).
Dari penemuan yang
dilacak berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu
dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah
Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di
Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri sekaligus penguasa pertama Kesultanan Aceh
adalah Sultan Ali Mughayat
Syah yang
dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507
Masehi.
Keterangan mengenai
keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu
nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan
pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini,
disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530.
Selain itu, ditemukan juga batu nisan lain di Kota Alam, yang merupakan makam
ayah Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu Syamsu Syah, yang menyebutkan bahwa Syamsu
Syah wafat pada 14 Muharram 737 Hijriah. Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan
di Kuta Alam adalah makam Raja Ibrahim yang kemudian diketahui bahwa ia adalah
adik dari Sultan Ali Mughayat Syah.
Menurut catatan yang
tergurat dalam prasasti itu, Raja Ibrahim meninggal dunia pada 21 Muharram tahun
930 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 30 November 1523. Raja Ibrahim
merupakan tangan kanan Sultan Ali Mughayat Syah yang paling berani dan setia.
Ibrahimlah yang memimpin serangan-serangan Aceh Darussalam terhadap Portugis,
Pedir, Daya, dan Samudera Pasai, hingga akhirnya Ibrahim gugur sebagai pahlawan
dalam pertempuran besar itu.
Tanggal-tanggal yang
ditemukan di prasasti-prasasti di atas dengan sendirinya mengandung arti untuk
dijadikan pegangan dalam menentukan jalannya catatan sejarah di Aceh dalam
masa-masa yang dimaksud.
Aceh adalah wilayah yang besar dan dihuni oleh beberapa pemerintahan besar
pula. Selain Kesultanan Aceh Darussalam dan Samudera Pasai, di tanah ini telah
berdiri pula Kerajaan Islam Lamuri selain Kesultanan Malaka yang memiliki
peradaban besar di Selat Malaka. Kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam tidak
lepas dari eksistensi Kerajaan Islam Lamuri. Salah seorang sultan yang terkenal
dari Kerajaan Islam Lamuri
adalah Sultan Munawwar Syah.
Sultan inilah yang kemudian dianggap sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam
yang terhebat, yakni Sultan Iskandar Muda.
Pada akhir abad ke-15, dengan terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan
tetangganya, maka pusat singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Mahkota Alam,
yang dalam perkembangannya menjadi Kesultanan Aceh Darussalam.
Sejarah Kesultanan Aceh
Darussalam ternyata tidak termasuk dalam sejarah Islam pada umumnya dalam keseluruhan
sejarah universal. Dalam hikayat Aceh seperti yang dianalis Denys Lombard dalam
bukunya yang berjudul “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”,
bab mengenai Kesultanan Aceh Darussalam hanyalah satu keping dari pekerjaan
tatahan, satu batu dari gedung yang lebih besar, tetapi tertumpu pada tokoh
satu orang, yaitu Sultan Iskandar Muda. Sultan terbesar dari Aceh ini justru
bukan merupakan pemimpin dari generasi awal Kesultanan Aceh Darussalam. Meski
siapa penulis Hikayat Aceh tidak diketahui dan tidak tersimpan pula tanggal
mengenai penyusunan karyanya, namun bisa dikatakan bahwa Hikayat Aceh tersebut
disusun selama masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan bahwa
raja itu menyuruh salah seorang pujangga istananya untuk menyusun riwayat
hidupnya (Denys Lombard, 2007:43).
Mengenai asal-usul Aceh sendiri masih belum dapat dikuak dengan jelas karena, selain banyaknya versi, sedikit banyak sumber yang menjelaskan tentang riwayat Aceh masih sebatas mitos atau cerita rakyat. Masih menurut Lombard, sumber sejarah mengenai asal-usul Aceh yang berupa cerita-cerita turun-temurun tersebut sukar diperiksa kebenarannya.
Mengenai asal-usul Aceh sendiri masih belum dapat dikuak dengan jelas karena, selain banyaknya versi, sedikit banyak sumber yang menjelaskan tentang riwayat Aceh masih sebatas mitos atau cerita rakyat. Masih menurut Lombard, sumber sejarah mengenai asal-usul Aceh yang berupa cerita-cerita turun-temurun tersebut sukar diperiksa kebenarannya.
Mitos tentang orang
Aceh, tulis Lombard, misalnya seperti yang dikisahkan oleh seorang pengelana
Barat yang sempat singgah di Aceh. John Davis,
nama musafir itu, mencatat bahwa orang Aceh mengganggap diri mereka keturunan
dari Imael dan Hagar (Nabi Ismail dan Siti Hajar). Tiga abad kemudian, Snouck Hugronje
mengungkapkan bahwa dia telah mendengar cerita tentang seorang ulama sekaligus
hulubalang bernama Teungku Kutakarang (wafat pada November 1895), yang
menganggap orang Aceh lahir dari percampuran dari orang Arab, Persi, dan Turki.
Menurut analisis Lombard, hegemoni semacam ini sengaja diciptakan sebagai
bentuk perlawanan terhadap penjajah Eropa.
Dalam buku karya Rusdi
Sufi dan Agus Budi Wibowo yang berjudul “Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh”
(2006), dikemukakan bahwa yang disebut Aceh ialah daerah yang sempat dinamakan
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sebelumnya bernama Provinsi Daerah
Istimewa Aceh). Tetapi pada masa Aceh masih sebagai sebuah kerajaan/kesultanan,
yang dimaksud dengan Aceh ialah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Aceh
Besar atau dalam bahasa Aceh disebut Aceh Rayeuk Untuk nama ini, ada juga yang
menyebutkan nama “Aceh Lhee Sagoe” (Aceh Tiga Sagi). Selain itu, terdapat pula
yang menggunakan Aceh Inti (Aceh Proper) atau “Aceh yang sebenarnya” karena
daerah itulah yang pada mulanya menjadi inti Kesultanan Aceh Darussalam dan
juga letak ibukotanya,” untuk menamakan Aceh.
Nama Aceh sering juga
digunakan oleh orang-orang Aceh untuk menyebut ibukota kerajaannya, yakni yang
bernama Bandar Aceh atau secara lengkapnya bernama Bandar Aceh
Darussalam. Tentang nama Aceh belum ada suatu kepastian dari
mana asal dan kapan nama Aceh itu mulai digunakan. Orang-orang asing yang
pernah datang ke Aceh menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Orang-orang
Portugis dan Italia menyebutnya dengan nama “Achem”, “Achen”, dan “Aceh”,
orang Arab menyebut “Asyi”. “Dachem”, “Dagin”, dan Dacin”,
sedangkan orang Cina menyebutnya dengan nama “Atje” dan “Tashi”.
Dalam karya Rusdi Sufi
dan Agus Budi Wibowo yang lain, yaitu yang terangkum dalam buku dengan judul
“Ragam Sejarah Aceh” (2004), disebutkan bahwa selain sebagai penyebutan nama
tempat, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai
penduduk asli yang mendiami Bumi Aceh.
Terdapat cukup banyak etnis yang bermukim di wilayah Aceh, yakni etnis Aceh,
Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk, Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Suku-suku
bangsa yang mendiami wilayah Aceh, termasuk suku bangsa Aceh, itu telah eksis
semenjak Aceh masih berupa sebuah kerajaan/kesultanan.
B. Zaman Sulthan Al-Mukammil
Sultan Alauddin Riayat Syah (nama lengkap: Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil; meninggal tahun 1605) adalah sultan Kesultanan Aceh yang ke-10, yang berkuasa antara tahun 1596/1589–1604.[1] Era
pemerintahannya menjadi salah satu era penting dalam sejarah di wilayah Asia Tenggara karena pada masa itu untuk pertama kalinya wilayah perairan Selat Malaka kedatangan tiga kekuatan asing dari Eropa: Belanda, Inggris dan Perancis.
Naik
takhta
Sultan Alauddin
dilaporkan adalah keturunan para raja tua yang mengatur kesultanan Aceh pada
abad kelima belas. Ayahnya adalah Al-malik Firman Syah, putra Muzaffar Syah
(meninggal tahun 1497). Pertemuan
silsilah ini sepertinya telah terhalang sepenuhnya tertutup oleh garis
keturunan dari Sultan Ali Mughayat Syah. Di masa mudanya
dia hanya seorang rakyat biasa yang berprofesi sebagai seorang nelayan, tetapi
ia mampu mencapai posisi elit di kesultanan berkat keberanian dan keahliannya
dibidang militer sehingga dia terpilih menjadi seorang komandan militer. Dia
diduga membunuh Sultan Alauddin Mansur Syah pada tahun 1585-1586.
Menurut dugaan tersebut
dia membunuh sultan sebagai tindakan guna melindungi cucu muda sultan Raja
Asyem. Kemudian dia juga diduga bertanggung jawab atas pembunuhan Sultan Buyung tahun 1589. Setelah
menduduki takhta dia juga dianggap telah membunuh Raja Asyem yang dianggapnya
kelak akan menjadi saingan utama bagi kedudukannya sebagai sultan. Namun semua
dugaan itu tidak pernah bisa dibuktikan secara jelas. Dengan alasan pembunuhan itulah dia
memicu permusuhan dengan Kesultanan
Johor di Semenanjung Malaya, karena ayah Raja Asyem
merupakan Sultan di sana.
Terlepas dari dugaan
situasi kisruh ketika naiknya dia menjadi sultan. Dalam babad sejarah Hikayat
Aceh Sultan Alauddin dipuji sebagai sultan yang baik dan saleh, masa
pemerintahannya menjadi masa yang sejahtera bagi rakyat kesultanan.
Menurut seorang pedagang Perancis yang berkunjung ke Aceh pada tahun 1601–1603 ia mencatat bahwa ibu kota kesultanan
adalah bandar yang sangat kosmopolit pada masanya, di mana orang-orang dari
berbagai kebangsaan berdiam di sana selama beberapa bulan guna berdagang.
Orang-orang dari Turki, Nagapatnam, Kalikut, Ceylon, Siam, Gujarat, Benggala dan berbagai tempat lainnya berbaur
dengan aman dan menjalankan perdagangan yang ramai. Mereka menjual kain, kapas,
berbagai jenis keramik, obat-obatan, rempah-rempah dan batu mulia.
Hubungan dengan negeri-negeri Melayu
Pembunuhan terhadap
Raja Asyem telah membuat hubungan Aceh dengan Kesultanan Johor di Semenanjung
menjadi tidak harmonis. Beberapa kesultanan yang direbut Aceh melalui ekspansi
militer pada abad sebelumnya juga mulai menggeliat hendak melawan Aceh.
Kerajaan Aru memberontak di bawah dukungan Johor. Dalam kronik sultan Alauddin
Riayat Syah disebutkan bahwa sultan telah memerintahkan orang-orang Aru untuk
menyelesaikan sebuah kapal untuknya, namun hal itu tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya titah sultan.
Menurut berita yang
sampai kepada sultan, orang-orang Aru telah berkomplot dengan Johor untuk
melawan kekuasaan sultan atas wilayahnya. Johor dikabarkan telah menawarkan
diri menjadi pelindung Aru jika Aceh memerangi perlawanan orang-orang Aru.
Mengetahui hal Alauddin segera menyiapkan armada perang dalam rangka menghukum
Aru. Armada yang kali ini dipimpin sendiri oleh sultan berhasil menaklukan Aru
dan mengusir sultan Johor dari sana. Dalam ekspedisi itu seorang menantunya
tewas dalam pertempuran di Aru. Setelah mengalahkan Aru, armada sultan
menyeberangi selat guna mengepung Johor. Kali ini armada itu mengalami
kegagalan. para prajurit Aceh yang kehilangan putra mahkota dalam peperangan
sebelumnya di Aru telah kehilangan moral bertempur mereka membuat pengepungan
ini berakhir sia-sia dan Alauddin akhirnya menyerah dari usaha menghukum Johor
lalu kembali ke Aceh.
Kedatangan
Eropa
Kapal-kapal dagang Eropa dari Belanda, Inggris dan
kapal Perancis mulai berdatangan di wilayah itu
selama pemerintahan Sultan Alauddin ini. Hal ini menciptakan situasi baru di
kawasan sejak bangsa pelaut ini bersahabat dengan bangsa Portugis.
Meskipun hubungan dengan Portugis senantiasa menghadirkan rasa was-was bagi
siapapun di kawasan itu. Pemimpin armada Belanda Cornelis de Houtman tiba di Aceh pada bulan Juni 1599.
Komunikasi antara
Belanda dengan kesultanan pada awalnya berlangsung dengan baik dan ramah,
tetapi intrik Portugis memprovokasi Aceh menyerang kapal-kapal Belanda.
Serangan Aceh menewaskan De Houtman dan saudaranya Frederik de Houtman ditangkap dan dipenjarakan. Pada bulan
november 1600 dua buah kapal Belanda yang lain di
bawah pimpinan Van Caerden berlabuh di pantai Aceh. Kedatangan kapal-kapal ini
diterima dengan baik oleh sultan. Beberapa tahanan Belanda segera melarikan
diri ke kapal Van Caerden sehingga membuat tentara Aceh melakukan penggeledahan
atas kapal-kapal Belanda. Namun Van Caerden menduga Aceh sedang merencanakan
sesuatu yang buruk terhadap kapal-kapal mereka, lalu mereka merampas banyak
lada di pelabuhan dan segera meninggalkan pelabuhan yang diikuti oleh tembakan
yang dilepaskan oleh tentara Aceh. Van Caerden berhasil melepaskan diri dan ia
meninggalkan beberapa kapal milik Aceh dan Portugis yang telah dibakar oleh
orang-orangnya di pelabuhan.
Insiden di pelabuhan
dengan Belanda membuat Portugis berkeinginan mendirikan sebuah benteng di muara Krueng
Aceh. Menganggap telah bersahabat baik dengan sultan, dengan penuh percaya
diri mereka mengajukan permohonan itu. Namun sultan mencurigai maksud Portugis
itu dan menolaknya, membuat hubungan antara Aceh dan Portugis menjadi dingin. Pada
tahun berikutnya 1601, sebuah sengketa muncul.
Sebuah kapal Portugis mengejar kapal Arab yang membawa muatan kerajinan, kapal
itu diserang dan muatannya dirampas lalu dibawa ke Aceh.
Kejadian ini membuat
pertimbangan lain bagi Belanda, guna menjadikan Portugis sebagai musuh utama
mereka di perairan selat Malaka dan dibawa oleh kapal Aceh. Bagi Aceh hal ini
menjadi penilaian yang lain tentang hubungan mereka dengan Belanda. Pada
akhirnya Aceh lebih memilih berhubungan dengan Belanda daripada dengan
orang-orang Portugis. Melaksanakan misi perdamaian dengan Belanda, Aceh
mengirimkan dua orang utusan resmi ke Belanda. Salah seorang dari utusan itu
meninggal di Middelburg namun yang lainnya berhasil melakukan
kesepakatan dengan Pangeran Maurits dari Nassau Ketika utusan ini kembali ke Aceh pada
bulan desember 1604, ia membawa
banyak persembahan dari Belanda untuk sultan. Sebelumnya pada tahun 1602 beberapa kali kapal-kapal angkatan
laut Inggris dan Perancis mengunjungi Aceh. Armada laut Inggris ini suatu
ketika pernah bekerja sama dengan Belanda dan berhasil menangkap sebuah galias
besar milik Portugis. Ketika armada ini melaporkan penangkapan ini kepada
sultan, dia menyambutnya dengan gembira dan menyampaikan rasa terima kasihnya
kepada armada Inggris-Belanda.
Akhir
pemerintahan
Masa pemerintahan
Sultan Alauddin menandai awal berlangsungnya era sentralisasi di negara Aceh.
Sultan yang sejak hari-hari pertama pemerintahannya telah berhasil menekan para
pedagang elit dan para bangsawan yang pada periode kesultanan sebelumnya telah
memiliki pengaruh besar secara politik di kesultanan. Para pedagang besar dan
bangsawan ini banyak yang dengan sengaja dibunuh pada tahun pertama Alauddin
menduduki takhta guna mencegah mereka mengacaukan dan merebut kekuasaan sultan.
Pembersihan para bangsawan ini didukung sepenuhnya oleh para pejabat birokrasi
dan para hakim.
Sultan Alauddin
menegaskan simbol-simbol kekuasaan yang ada pada dirinya, pada mahkotanya yang
dibuat pada tahun 1601 sebagai lambang kekuasaan dia
menuliskan titah berbunyi:
“
|
Sultan Alauddin bin
Firman Syah, ia yang menempatkan iman kepada Allah, yang telah memilih dia
untuk meneruskan kerajaan, Allah memberinya kemuliaan-Nya untuk bertahan dan
melindungi semua pengikutnya.
|
”
|
Pada penghujung pemerintahannya terjadi
perbedaan pendapat yang datang dari kalangan luar keluarga sultan. Alauddin
akhirnya digulingkan pada bulan April 1604 ketika dia sudah berusia lanjut.
Meskipun sebenarnya dia telah turun takhta sejak sakit-sakitan beberapa waktu
sebelumnya. Dia meninggal satu tahun kemudian dan digantikan oleh putranya yang
kedua Sultan Muda. Dalam melanjutkan suksesi ini
dia dilaporkan juga mengunggulkan cucunya Iskandar Muda untuk menggantikannya. Dia dilaporkan
memiliki empat orang putra dan dua orang putri:
·
Maharaja Diraja,
meninggal sebelum ayahnya.
·
Sultan Husain, penguasa
Pidie
·
Sultan Abangta Merah
Upah, meninggal sebelum ayahnya.
·
Raja Puteri (putri)
C.
Memimpin
Ala Sultan al-Mukammil
Aceh memiliki beberapa penguasa-penguasa kunci
sepanjang sejarah Kesultanan Aceh Darussalam. Selain Ali Mughayat Syah dan
anaknya Sultan Alaiddin Riayat Shah al-Kahhar, terdapat juga Sultan Alaiddin
Riayat Syah Saidil Mukammil (k.1589-1604), kakeknya Sultan Iskandar Muda (Untuk
selanjutnya saya hanya menyebut gelarnya, al-Mukammil, untuk merujuk pada
Sultan Alaiddin Riayat Syah al-Mukammil).
Tidak banyak yang diketahui mengenai latar belakang
al-Mukammil. Narasi dari sumber yang ada masih dipenuhi praduga karena uraian
yang berbeda antara satu sumber dengan sumber lainnya. John Davis yang
merupakan salah satu anggota delegasi pertama dari Belanda yang berlabuh di
Aceh pada tahun 1599 adalah yang paling awal mencatat tentang al-Mukammil.
Dalam catatan perjalanannya, ia menyebutkan bahwa al-Mukammil dulunya adalah
seorang nelayan. Info yang sama juga disebutkan oleh nelayan asing bernama
Francois Martin yang datang ke Aceh pada tahun 1601.
Dalam catatan Davis juga disebutkan al-Mukammil
memiliki kelihaian perang yang membuatnya diangkat menjadi kepala militer
kesultanan dimana ia menikahi gadis dari kalangan keluarga kerajaan. Setelah
melalui waktu-waktu penuh goncangan, al-Mukammil yang bukan keturunan langsung
kerajaan menjadi penerus sultan sebelumnya. Maka dengan begitu, ia
menghancurkan sistem aristokrasi kesultanan Aceh Darussalam. Menurut
Pinto (2012), realita tersebut tidak disenangi baik oleh pihak internal
kesultanan ataupun kalangan masyarakat oleh sebab itu tidak mengherankan jika
Augustine de Beulieu yang menulis perjalanannya ke Aceh 20 tahun kemudian
menguraikan cerita yang berbeda dari versi diatas.
Al-Mukammil merupakan satu satunya Sultan yang
berkuasa ketika berusia lanjut. Oleh karena itu beberapa dokumen yang ada
menjelaskan bahwa ia seorang penguasa yang bijak, berpikiran terbuka, politisi
sekaligus pedagang handal, dan pecinta pendidikan.
Karaketristik-karakteristik tersebut dapat dijelaskan
lebih rinci melalui korespondensinya dengan kerajaan-kerajaan Eropa. Yang
paling terkenal adalah barangkali kerjasama politik dan ekonomi dengan Inggris.
Sebagaimana diketahui, Stempel Sultan Alaiddin Riayah Syah Al-Mukammil menancap
dalam dua surat utusan Inggris yang hingga hari ini masih terawat dengan baik.
Yang pertama adalah dalam surat berbahasa Spanyol yang dibawa oleh Pangeran
Maurice dari Nassau pada tahun 1600.
Melalui surat ini, Al-Mukammil mengetahui bahwa
Inggris telah berhasil mengalahkan Iberia. Stampel lainnya ada pada surat
bertahun 1601 yang dibawa oleh Sir James Lancaster dan Henry Middleton yang
datang dengan penterjemah yahudi yang mampu berbahasa Arab. Surat ini secara
umumnya meminta terjalinnya persahabatan dan trafik dagang yang damai. Sebuah
permintaan yang berbeda jika dibandingkan dengan Spanyol atau Portugis yang
bertikai dalam penentuan rute perdagangan. Perlu diketahui juga bahwa
al-Mukammil pernah menolak surat dari Ratu Inggris Elizabeth karena ratu
menyebutkan kegagalan Aceh dalam penyerangan Portugis dan penyerangan terhadap
Kapten Ragamakota (Raja Mahuta), kandungan surat yang dianggap tidak nyaman
untuk sebuah upaya lobi Inggris agar bisa berdagang di Aceh. Surat ini baru
disambut dengan revisi yang kemudian berhasil menjamin Inggris untuk berniaga
di Aceh.
Pengetahuan luas dan kepiawaiannya dalam berdagang
dibuktikan dengan kandungan balasan surat- dari pihak Sultan kepada Elizabeth
yang menggunakan bahasa Melayu Jawi dan bahasa Arab. Dalam surat bahasa Arabnya
yang diterima Ratu Elizabeth pada tahun 1602, Sultan al Mukammil telah mengenal
istilah, ‘perusahaan gabungan’, ‘kesamaan hak’, ‘satu perusahaan’, ‘masyarakat
absolut’, ‘kebebasan’, dan ‘hak paten’.
Sultan al-Mukammil juga diketahui mencintai
pendidikan. Ia memprioritaskan ulama-ulama dari Mekkah dan Madinah untuk
mengajar di kesultanan. Pada masa pemerintahannya, pembahasan akan
pendidikan-pendidikan agama di Aceh telah berada pada tahap yang tinggi
menimbang Aceh diakui sebagai penyebar Islam utama di wilayah Asia tenggara.
Keberadaan sosok Hamzah Fansuri pada masa pemerintahannya adalah salah satu
contoh gambaran pergulatan agama yang kompleks dan saling menghargai. Lebih
jauh lagi, tidak seperti yang kita saksikan saat ini, konteks pendidikan yang
digandrungi oleh al-Mukammil tidak hanya melingkupi fiqih tapi juga
pendidikan-pendidikan bersifat absolut seperti perobatan dan astronomi. Selanjutnya
kebijakan Sultan al-Mukammil dalam memimpin juga bisa disaksikan dalam narasi
Hikayat Aceh. Saya pikIr akan lebih menarik jika narasi tersebut saya tuliskan
sedikit rinci.
Dalam hikayat tersebut, berdasarkan ulasan almarhum Dr
Teuku Iskandar dalam disertasinya de Hikayat Aceh, al-Mukammil
menyambut dengan santun dua tamu Portugis bernama Dong Dawis dan Dong Tunis
yang diutus untuk membuat kesepakatan dagang dengan Aceh. Salah satu
kesepakatan yang diinginkan adalah Sultan Aceh mengizinkan Kota Biram menjadi
pangkal perdagangan Portugis di Aceh. Sebuah permintaan yang sangat blak blakan
mengingat hubungan Aceh dan Portugis hampir selalu dipenuhi dengan kontak
militer yang menjatuhkan korban tidak sedikit antara kedua belah pihak. Lalu
bagaimana tanggapan Sultan? Murka saja tidak apalagi merajuk seperti bayi atau
lebih buruk lagi, memecat staffnya yang mengantarkan utusan ini. Sebaliknya
Al-Mukammil tersenyum mendengar permintaan itu dan menyambutnya dengan penuh
adab, tanpa kekurangan arak-arakan gajah. Sepertinya, Al-Mukammil megerti
mengapa Pihak Portugis punya nyali untuk menghadapnya dan meminta Kota Biram,
kota yang menjadi pelindung Kuala Aceh. Tentu karena Portugis dikenal punya
ambisi monopoli perdagangan dan kristenisasi, ditambah lagi keberadaan Belanda
diperairan ini menjadi rival signifikan bagi mereka.
Dalam hikayat Aceh juga diceritakan bahwa utusan ini
selain membawa surat resmi dari pemerintah, mereka juga menghadiahkan Sultan
dua kuda Portugis dan aneka perhiasan yang tak ternilai harganya. Hadiah kuda
tersebut ternyata menjadi kunci apakah Kota Biram akan jatuh ke tangan Portugis
atau sebaliknya. Portugis ingin membantu keputusan yang akan diambil dengan
menawarkan pertandingan kuda. Sultan diketahui memiliki kuda-kuda handalan dari
Istanbul dan Mekkah. Ketika pertandingan kecepatan kuda dibuat, kuda Sultan kalah
dari kuda Portugis. Lantas, apa yang terjadi? Sultan tidak panik atau lantas
memecat penunggang-pengunggangnya apalagi memecat kuda-kuda import tersebut!
Portugis tentu merasa telah menang. Dalam posisi
nyaman salah satu utusan tersebut mengatakan bahwa tidak ada yang bisa
menunggang kuda portugis selain orang Portugis sendiri. Bagaikan mendapat lampu
hijau, Sultan kemudian meminta untuk menjalankan tantangan tersebut. Sultan
mendatangkan beberapa orang untuk menungganginya. Ternyata mereka benar. Kuda tersebut
memekik, melawan ditunggangi oleh penunggang-penunggang dari Aceh. Seseorang
menganjurkan Sultan untuk mengizinkan seorang pemuda handal, yaitu
kemenakannya, mencoba untuk kesekian kalinya. Melihat pemuda tersebut masih
begitu belia, utusan Portugis tersebut mengkhawatirkan takdirnya diatas kuda.
Namun Sultan mendesak.
Utusan-utusan itu terhenyak. Terbukti kemudian sikecil
mampu menungganginya bahkan dengan tidak menggunakan pelana. Utusan-utusan
tersebut juga semakin tercengang ketika melihat si muda belia dapat menunggangi
kuda-kuda itu sambil duduk berjongkok diatas punggungnya. Penunggang yang
kemudian menjadi pemimpin Aceh paling mengesankan, ya.. itulah Sultan Iskandar
Muda.
Tantangan terakhir ini menggagalkan Portugis untuk
memonopoli Kota Biram. Sultan megatakan pada utusan-utusan itu, “bawakan
pesanku pada rajamu. Katakan bahwa Kota Biram adalah kota pelindung muara Aceh.
Jika ia meminta kota lainnya aku akan mengabulkannya.” Mereka kemudian
dipulangkan ke negerinya tanpa kekurangan apapun.
Dalam catatan hikayat Aceh diatas, kita bisa melihat
bahwa Sultan al-Mukammil adalah jelas salah satu Sultan terbaik yang pernah
mengendarai Kesultanan Aceh Darussalam. Ia tidak hanya menghormati
musuh-musuhnya yang sedang bertamu di wilayahnya-tamu yang jelas beragama
Kristen dan berambisi penaklukkan lewat perang- tapi juga menghormati setiap
hak azasi manusia di negerinya dan menyukai inovasi. Keumalahayati dan
keberadaan pasukan perempuan resmi kesultanan adalah bukti yang tak
terbantahkan.
Melihat fenomena kepemimpinan Aceh Saat ini, saya
yakin bahwa Aceh sedang sekarat kepemimpinan. Goncangan kepemimpinan ini jelas
tidak terlepas dari wafatnya sang maestro, Hasan Ditiro. Namun realitanya
menjadi semakin menggelisahkan ketika pemerintahan yang dipimpin oleh pentolan
pejuang-pejuang pada masa konflik sangat jauh dari harapan. Ditambah lagi,
pasangan-pasangan yang mencalonkan dirinya untuk menguasai Aceh untuk periode
setelah dua tahun mendatang adalah pasangan-pasangan yang sama yang sudah
pernah menjadi penguasa atau semi penguasa. Ironisnya, tidak ada kesuksesan
signifikan dari mereka yang layak diumbar.
Aceh memerlukan pemimpin ‘gebrakan’ yang
berpengetahuan luas, bijak, berpikiran terbuka, dan benar benar peduli dengan
pendidikan. Pemimpin yang mendengar tidak pada pembisik-pembisiknya tapi juga
teriakan-teriakan yang datang dari koran, media sosial, surat-surat personal
dari pelosok pelosok desa dan sebagainya. Jika memang Aceh bansa
teuleubeih ateuh rung donya, maka jadikan itu tidak hanya sekedar dongeng
belaka.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesultanan Aceh
Darussalam memulai pemerintahannya ketika Kerajaan Samudera
Pasai sedang berada di ambang
keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami
kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat
kerajaan Islam pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh
Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing
kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra,
danKerajaan Indrapura (Indrapuri).
Dari penemuan yang
dilacak berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu
dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah
Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di
Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri sekaligus penguasa pertama Kesultanan Aceh
adalah Sultan Ali Mughayat
Syah yang
dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507
Masehi.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan
untuk masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasjmy, A.
1961. Ichtiar Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan
Iskandar Muda. Banda Aceh: Tidak Diterbitkan.
Langen, van,
K.F.H. 1986. Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan. Alih
Bahasa oleh Aboe bakar. Banda Aceh: Dokumentasi dan Informasi Aceh
Lombard,
Denys. 2007. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Said,
Mohammad, H., a. 1981. Aceh Sepanjang Abad (Jilid Pertama).
Medan: PT Percetakan dan Penerbitan Waspada medan.
_______, b.
1985. Aceh Sepanjang Abad (Jilid Kedua). Medan: PT Percetakan
dan Penerbitan Waspada medan.
Sufi, Rusdi
& Wibowo, Agus Budi, a. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh.
Banda Aceh: Badan Perpustakaan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Post a Comment for "Makalah Zaman Al - Mukammil"