Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makalah Urgensi Pernikahan Menurut Maqasid Syariah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan pada mulanya hanya hubungan seseorang (pria) dengan seseorang lainnya (wanita), namun hubungan itu pada akhirnya akan menimbulkan hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Setiap mahluk hidup memiliki hak asasi untuk melanjutkan keturunannya melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan. Terdapat perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaannya yang disebabkan karena keberagaman kebudayaan atau kultur terhadap agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia.
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan),[1] bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Tata caraperkawinan di Indonesia tergolong beranekaragam antara satu dengan yang lainnyaolehkarena di Indonesia mengakui adanya bermacam-macam agama dan kepercayaan, yang tatacaranya berbeda. Hal yang demikian dimungkinkan dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan beragama.  Sebelum lahirnya UU Perkawinan yang merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat Nasional, Pemerintah mengadopsi peraturan dari Zaman Pemerintah Hindia Belanda yang membagi masyarakat kedalam beberapa golongan penduduk, dengan adanya golongan penduduk ini, maka perkawinan di Indonesia diatur dalam:
1.      Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama Islam.
2.      Bagi orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat daerah masing-masing.
3.      Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christien Indonesier (S. 1993 No.74) selanjutnya disebut HOCI.
4.      Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan cina berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.
5.      Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya, berlaku hukum adat mereka.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan mengenai pencatatan perkawinan diatas, maka Penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Dimanakah letak keabsahan suatu perkawinan menurut UU Perkawinan?
2.      Apakah pencatatan perkawinan menurut UU Perkawinan tersebut telah sesuai dengan teori maqashid as-syari’ah Al-Syathibi?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perkawinan
Masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis dan kehendak kemanusiaan, yaitu suatu ikatan atau hubungan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita. Dalam UU Perkawinan pada Pasal 1 disebutkan bahwa Perkawinan ialah “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (berumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ikatan lahir bathin merupakan hal penting dari perkawinan yang menunjukan UU ini tujuan perkawinan bukan hanya untuk memenuhi hawa nafsu saja. Perkawinan dipandang sebagai suatu usaha untuk mewujudkan kehidupan yang bahagia yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga perkawinan yang akan dilakukan mempunyai kekuatan atau hubungan yang sangat erat dengan agama dan kerohaniaan, hal ini disebabkan karena suatu perkawinan bukan hanya hubungan Jasmaniahnya saja tetapi hubungan Bathiniah (agama dan kerohanian) mempunyai peran yang sangat penting dalam perkawinan[2].
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Nikah pada hakekatnya adalah aqad antara calon suami istri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri, aqad artinya ikatan atau perjanjian, jadi perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antra seorang wanita dengan seorang pria.
Menurut Yayan Sopyan, perkawinan merupakan kebutuhan hidup manusia sejak zaman dulu, sekarang dan masa akan datang. Islam memandang ikatan perkawinan sebagai ikatan yang kuat (mitssaqan ghalidzan), ikatan yang suci (transenden), suatu perjanjian yang mengandung makna magis, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau kontrak keperdataan biasa, tetapi juga hubungan yang menghalalkan terjadinya hubungan badan antara suami istri sebagai penyaluran libido seksual manusia secara terhormat. Oleh karena itu, hubungan tersebut dipandang sebagai ibadah.
Dengan demikian, menurut penulis perkawinan adalah suatu aqad (suatu perjanjian) suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama-sama secara sah secara agama dan negara antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram bahagia dan kekal, yang melahirkan hak dan kewajiban.

B.     Syarat Sahnya Perkawinan
Berpijak pada ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan, yang menyatakan: ”(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.Dan dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang menyebutkan “Tatacara Perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, sehingga dari pasal tersebut dapat ditarik dua garis hukum yangharus dipatuhi dalam melakukan suatu perkawinan, yaitu tentang keabsahan suatu perkawinan dan tentang pencatatan perkawinan. Masalah keabsahan suatu perkawinan ditentukan oleh agamanya masing-masing, bagi agama Islam harus terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan, sedangkan masalah pencatatan perkawinan hanya berfungsi sebagai pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum[3].
Rukun nikah/perkawinan tidak diatur oleh UU Perkawinan melainkan hanya diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: (1) calon suami, (2) calon istri, (3) wali nikah, (4) dua orang saksi, dan (5) ijab dan kabul. Sedangkan menurut madzhab Maliki rukun pernikahan ada lima, yaitu:(1) Wali dari pihak perempuan, (2) Mahar (maskawin), (3) Calon mempelai laki-laki, (4) Calon mempelai perempuan, dan (5). Sighat akad nikah. Menurut Madzhab Syafi’i rukun pernikahan ada lima, yaitu: (1) Calon mempelai  laki-laki, (2) Calon mempelai perempuan, (3) Wali,  (4) Dua orang saksi, dan(5). Sighat akad nikah. Dan menurut Madzhab Hanafi rukun perkawinan hanya ijab dan qabul saja. Dari pendapat-pendapat tersebut, pencatatan perkawinan tidak termasuk rukun perkawinan, hukum Islam tidak mengenal pencatatan perkawinan, karenanya pencatatan perkawinan tidak menentukan sah atau tidaknya sebuah perkawinan.
Sedangkan syarat perkawinan sebagaimana tercantum dalam Pasal  6 hingga Pasal 12 UUPerkawinan sebagai berikut:
1.      Persetujuan ke dua calon mempelai.
2.      Izin orang tua/wali.
3.      Kedua mempelai mencapai umur 21 tahun, jika kurang dari umur 21 tahun harus mendapat izin dari ke dua orang tua, jka wanita kurang dari umur 16 tahun dan pria kurang dari umut 19 tahun, maka harus mendapat izin dari Pengadilan (dispensasi kawin),
4.      Tidak ada larangan menurut UU dan hukum Islam.
5.      Tidak terikat oleh suatu perkawinan yang lain.
6.      Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami istri yang sama yang akan dikawini;
7.      Bagi janda telah lewat masa tunggu (iddah), dan
8.      Memenuhi tata cara perkawinan.
Sahnya suatu perkawinan sangat ditentukan oleh hukum agama Islam, sedangkan pencatatan hanya sebagai sebagai pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum.

C.    Pencatatan Perkawinan
Dalam UU Perkawinan tidak disebutkan secara tegas pengertian pencatatan perkawinan. Namun demikian dilihat dari konteks kalimat yang digunakan dihubungkan dengan kegiatan pencatatan perkawinan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka dapat diketahui bahwa pencatatan perkawinan adalah suatu tindakan hukum mencatat perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah untuk selanjutnya diwujudkan dalam bentuk akta dijadikan sebagai bukti sah terjadinya peristiwa perkawinan.
Selain itu dapat diketahui dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU Administrasi Kependudukan) menjelaskan mengenai pencatatan sipil yang mana dalam Pasal 1 angka (15). Pencatatan sipil adalah pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada instansi pelaksanaan.
Dalam hal pencatatan suatu peristiwa termasuk peristiwa perkawinan yang mana jika suatu perkawinan dilakukan dan dicatatkan pada pencatatan sipil maka perkawinan yang dilakukan memiliki kekuatan hukum yang tetap oleh Hukum. Perkawinan yang telah dilakukan menurut agama masing-masing sangat penting untuk dicatatkan karena hal ini akan berakibat terhadap pewarisan dan hal-hal yang terkait dalam bidang keperdataan. Selama perkawinan itu belum didaftarkan, perkawinan tersebut masih belum dapat memberikan perlindungan hukum serta kepastian hukum bagi perempuan sebagai istri dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut[4].
Dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU Administrasi Kependudukandisebutkan Perkawinan bagi Penduduk yang beragama Islam dicatat oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan Akta Perkawinannya dilakukan oleh Departemen Agama, yang diaturberdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatatan nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya. Jadi fungsi pegawai pencatat hanyalah mengawasi pernikahan dan pernikahan tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang tidak mensyaratkan campur tangan seorang pejabat Negara dalam penentuan sah atau tidaknya pernikahan.
Pencatatan perkawinan sebenarnya bukanlah merupakan syarat yang menentukan sahnya perkawinan, karena perkawinan di Indonesia dianggap sah bila mana hukum agama dan kepercayaannya sudah menyatakan sah, akan tetapi karena Negara Indonesia merupakan Negara hukum maka setiap tindakan atau setiap perbuatan merupakan suatu hubungan hukum dalam hal ini perkawinan harus dicatatkan agar memiliki kekuatan hukum dan nantinya jika perkawinan antara suamiistri itu putus maka istri memiliki hak atas perkawinannya tersebut terutama dalam hal pewarisan dan lain sebagainya.

D.    Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan
Perkawinan yang tidak dicatat adalah suatu perkawinan yang tidak dilakukan dengan pencatatan pada kantor catatan sipil bagi non muslim dan tidak dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (PPN KUA) bagi yang beragama Islam, dan perkawinannya hanya dilakukan berdasarkan agama saja.
Perkawinan yang tidak dicatat akan menimbulkan banyak kemudratan bagi pihak-pihak yang melakukan perkawinan maupun pihak lain yang terkait dengan perkawinan tersebut, antara lain[5]:
1.      Dipandang oleh sebagian masyarakat sekitarnya sebagai kumpul kebo atau istri simpanan;
2.      Secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak sah, sehingga anak-anaknya dianggap anak tidak sah;
3.      Istri tidak berhak mendapatkan nafkah;
4.      Istri dan anak-anak yang dilahirkan tidak mendapat warisan dari suaminya dan begitu pula sebaliknya;
5.      Antara suami istri tidak berhak atas harta gono-gini;
6.      Anak-anak hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya;
7.      Secara psikologis hubungan anak-anak dengan bapaknya lemah dan tidak kuat;
8.      Status anak-anak dapat disangkal sebagai anak bapaknya dan begitu pula sebaliknya;
9.      Anak-anak tidak berhak mendapat biaya hidup dan biaya pendidikan dari ayahnya;
10.  Anak-anaknya yang perempuan tidak memiliki wali nasab dalam pernikannya, wali yang nikah yang berhak adalah wali hakim (kepala KUA setempat);
11.  Ayah tidak mempunyai hubungan hukum dengan anak-anak perempuannya, sehingga bukan muhrim dan dapat dimungkinkan menikah dengan anak biologisnya sendiri apabila istrinya telah meninggal atau berpisah;
12.  Suami terbebas dari tanggung jawab sebagai suami;
13.  Istri tidak mendapatkan perlindungan hukum dalam persoalan rumah tangganya;
14.  Istri dan anak-anaknya menemui kesulitan untuk memperoleh dokumen keimigrasian;

E.     Pemikiran As-Syathibi Tentang Teori Maqashid As-Syari’ah
Secara etimologis,maqashidas-syari’ah mempunyai makna maksud-maksud syariahbisa juga diartikan tujuan-tujuan syariah/hukum Islam. Terkait dengan tujuan hukum Islam, Juhaya S. Praja menjelaskan bahwa tujuan-tujuan hukum Islam itu sesuai dengan fitrah manusia dan fungsi-fungsi daya fitrah manusia dari semua daya fitrahnya. Secara singkat fungsi-fungsi untuk mencapai kebahagiaan hidup dan mempertahankannya yang disebut para pakar filsafat hukum Islam dengan istilah al-tahsil wa al-ibqa. Oleh karena itu, tujuan hukum Islam pun adalah al-tahsil wa al-ibqa atau mengambil maslahat serta sekaligus mencegah kerusakan yang biasa disebut jalb al-mashalih wa daf’u al-mafasid.
Lebih lanjut Juhaya menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam jika ditinjau dari pembuat hukum dapat diketahui melalui penalaran induktif atas sumber-sumber naqli, yaitu wahyu, baik al-Quran maupun Sunnah. Tujuan hukum Islam dari segi pembuat hukum ada tiga, terutama tujuan hukum taklifi, yaitu hukum yang berupa keharusan melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukannya; memilih antara melakukan perbuatan atau tidak melakukannya; dan hukum melakukan atau tidak melakukan perbuatan karena ada atau tidak adanya sesuatu yang mengharuskan keberadaan hukum tersebut.
Tujuan hukum Islam tentunya berujung pada kemaslahatan manusia, karena untuk itulah manusia diciptakan. Oleh karena itu sangat penting untuk mengkaji dan memahami bagaimana maksud atau tujuan yang terkandung dalam hukum Islam baik yang tersurat dalam nash (eksplisit) maupun yang tersirat (implisit), karena hukum itu atau syari’at selalu menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, dan perubahan tersebut tidak selamanya tercakup dalam nash. Pemahaman dan pengkajian terhadap tujuan-tujuan hukum Islam atau maqashidas-syari’ah, telah dilakukan oleh ulama sejak dahulu dalam rangka menetapkan hukum Islam.
Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori hukum Islam (ulama ahli ushul fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami maqashidas-syari’ah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam. Sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Namun pembahasan tentang maqashidas-syari’ah secara khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh Al-Syathibi dari kalangan Malikiyah, dalam kitabnya al-Muwafaqat yang terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqashidas-syari’ah, sudah tentu pembahasan tentang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya.
As-Syathibi berpendapat bahwa pembebanan (taklif) syariat pada prinsipnya adalah untuk menjaga terpeliharanya tujuan-tujuan/maksud-maksud syariatdalam kehidupan. Tujuan-tujuan itu terdiri dari tujuan primer (al-dharury), tujuan sekunder (hajiyat) dan tujuan tertier (tahsiniyat).Yang dimaksud dengan tujuan al-dharury menurut Al-Syathibi adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan yang esensial itu adalah adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dalam batas jangan sampai eksistensi kelima pokok itu terancam. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kebutuhan-kebutuahan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok itu. Sedangkanhajjiyat tidak termasuk kebutuhan yang esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidupnya. Tidak terpeliharanya kelompok ini tidak mengancam eksistensi kelima pokok diatas, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Kelompok ini erat kaitannya dengan rukhsah atau keringanan dalam ilmu fiqh. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok tahsiniyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan.
As-Syathibi sebagaimana dikutip oleh Yusdani, memaparkan tiga aliran dalam yang diikuti ulama ushul fiqih dalam menyingkap maqashid as-syari’ah, aliran-aliran tersebut adalah: Pertama aliran zahiriyah (literalis/tekstualis) yaitu ulama yang berpendapat bahwa maqashid as-syari’ah adalah sesuatu yang abstrak, tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan dalam bentuk zahir nash yang jelas (eksplisit). Petunjuk itu tidak perlu diteliti lagi, harus dipahami sebagaimana adanya seperti yang tertulis dalam nas (menurut bahasa).Apakah taklif (tugas yang diberikan kepada manusia) memperhatikan maslahat manusia itu sendiri, atau pun tidak, walaupun kemaslahatan itu telah berwujud pada sebagian orang, namun itu semua tidak perlu diperhatikan. Yang jelas kemaslahatan itu tidak dapat diketahui sedikitpun tanpa melihat nash dalam bentuk tekstual.
Aliran kedua, adalah ulama yang tidak menempuh pendekatan melalui zahirnya nash dalam memahami maksud al-Quran dan as-Sunnah. Aliran ini terbagi pada dua kelompok, yaitu kelompok bathiniyah yang berpendapat maqashid as-syari’ah bukan terletak pada zahirnya nash, tidak pula dipahami dari nash yang jelas, maqashid as-syari’ah merupakan sesuatu yang tersembunyi dibalik itu semua (dalam bathin). Kelompok kedua adalah substanstialis (al-Mutaammiqin fi al-qiyas) adalah ulama yang berpendapat bahwa maqashid as-syari’ah dapat diketahui dengan memahami makna-makna substansi (al-ma’ani al-nazariyah) yang terdapat dalam lafadz. Jika zahirnash bertentangan dengan dengan makna substansi, maka yang diperhatikan adalah makna substansi, zahirnashditinggalkan, hal itu dilakukan baik dengan memperhatikan kemaslahatan maupun tidak[6].
Aliran ketiga, aliran ulama al-Rasikhin, yaitu ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan antara arti zahir nash dengan makna substansi/illatnya, makna substansi tidak boleh merusak makna zahir suatu nash demikian sebaliknya, sehingga syari’at Islam berjalan secara harmonis tanpa ada kontradiksi didalamnya. Aliran inilah yang diikuti oleh As-Syathibi yang menjadi rujukan dalam mengetahui maksud-maksud dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Pada dasarnya, pemikiran Syathibi sejalan dengan model kombinasi normatif deduktif dan empiris induktif, dan model tersebut telah menjadi ciri kajian ushul fiqhSecara normatif deduktif, Syathibi menempatkan al-Quran sebagai sumber dari segala sumber ajaran Islam yang harus menjadi titik berangkat umat dalam menghadapi persoalan. Sumber lain, termasuk Sunnah Nabi merupakan sumber penjelas terhadap hal-hal yang terdapat di dalam al-Quran. Menurut Syathibi untuk memahami teks al-Quran dan juga as-Sunnah diperlukan bekal bahasa Arab, terutama yang berkembang pada masa Nabi.Peran dan asbab an-nuzuljuga cukup penting dalam upaya memahami teks-teks agama tersebut. Bekal bahasa dan pemahaman asbab an-nuzulini bukan hanya terpaku pada masa Nabi tetapi juga sebagai upaya menerjemahkan hal-hal terdapat dalam al-Quran dalam konteks kontemporer sesuai dengan tuntutan umat, karena itu peran pengembangan pemikiran hukum menjadi amat penting dalam proses ini.
Dalam konsep maqashid as-syar’iyahdiharapkan segala sesuatu yang dikerjakan manusia tidak lepas dari kemaslahatan manusia itu sendiri dan manusia di sekitarnya. Oleh karena itu, segala yang tidak sejiwa dengan tujuan perbuatan baik haruslah dihindari, maka dalam hal perkawinan harus dipelihara kemaslahatan bagi orang yang melaksanakan perkawinan dan keturunannya.
Ketentuan pencatatan perkawinan yang tujuannya untuk ketertiban dan kepastian hukum jika dikaji dengan menggunakan teori mashlahahataumaqashid as-syari’ah As-Syathibi, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bahwa ketertiban adalah sebuah keniscayaan, karena Allah SWT menciptakan dan mengelola alam ini dengan penuh keteraturan, keseimbangan, keserasian, kedisiplinan serta perhitungan yang sangat detail. Begitu juga dengan perkawinan merupakan sistem yang teratur sebagai wadah bagi fitrah dua jenis manusia yang berbeda jenis kelamin dan berpasangan untuk membina keluarga bahagia. Oleh karena itu pencatatan perkawinan telah sesuai dengan semangat ajaran agama Islam.
2.      Bahwa ketentuan pencatatan perkawinan tidak ditunjukan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam teks-teks suci (al-Quran dan as-Sunnah), Islam dalam praktek kenabian tidak mengenal itu, sehingga sudah tepat mengkaji permasalahan ini dengan teori mashlahah atau maqashid as-syari’ah karena salah satu kriteria dari teori maslahat adalah tidak adanya dalil khusus yang menunjukannya.
3.      Bahwa di zaman sekarang dengan jumlah penduduk yang semakin banyak, pendataan berupa pencatatan kependudukan baik itu kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian dan lain-lain, mutlak diperlukan. Karena jika tidak dilakukan akan menimbulkan ketidakteraturan dan ketidaktertiban dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada akhirnya akan menimbulkan penyelundupan hukum, dengan demikian ketentuan pencatatan perkawinan sejalan dengan maqashid as-syari’ah.
4.      Bahwa dengan tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka perlindungan terhadap hak-hak anggota keluarga (suami, istri dan anak) baik berupa hak atas harta, status perkawinan atau pun hak atas identitas diri, tidak bisa diperoleh, sehingga tujuan perkawinan untuk ketentraman tidak terpenuhi, hal itu berarti tujuan primer ad-Dharury, berupa hifdz al-nasl (memelihara keturunan/ kehormatan) dan hifdz al-mal (memelihara harta) tidak tercapai. Dengan demikian pencatatan perkawinan jelas menolak kemadharatan/kerugian bagi anggota keluarga dan memberikan manfaat berupa perlindungan hukum atas hak seseorang.
5.      Bahwa pencatatan perkawinan telah memberikan kemaslahatan/keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia secara umum tidak terbatas pada pribadi, agama atau golongan tertentu, oleh karena itu yang ditegakan adalah kemaslahatan umum bukan kemaslahatan individu. Hal itu sejalan dengan kaidah fiqhالمصلحة العامة مقدمة على المصلحة الخاصة ”Kemaslahatan umum (publik) harus didahulukan daripada kemaslahatan individu”.
6.      Bahwa secara normatif undang-undang perkawinan telah mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan telah menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat serta telah mempertimbangkan Hukum Agama Kepercayaan dalam masyarakat, oleh karena itu seharusnya pelaksanaan ketentuan pencatatan perkawinan itu menghilangkan kesulitan masyarakat seperti terjaminnya hak-hak anggota keluarga, sebaliknya tidak boleh menyulitkan masyarakat, baik dari segi biaya, waktu pengurusan, persyaratan dan lain-lain. Karena jika dalam prakteknya untuk sebagian masyarakat ternyata justru menimbulkan kesulitan, karena biaya tinggi misalnya atau karena jauhnya lokasi atau karena halangan hukum (al-man’i) lain yang tidak bisa dihindarkan, maka harus ada ketentuan alternatif lain, sehingga adanya ketentuan itu tidak merugikan masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas, nampak bahwa persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam teori al-mashlahah al-mursalah terkait penetapan hukum pencatatan perkawinan telah terpenuhi, yakni telah sejalan dan tidak bertentangan dengan maqashid as-syari’ah, dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pencatatan perkawinan adalah wajib hukumnya bagi masyarakat muslim Indonesia. Wajib dalam hukum Islam termasuk kajian hukum taklifi, dan mengandung arti perintah Allah kepada hamba untuk mengerjakan sesuatu disertai dengan daya ikat yang berupa ancaman bagi yang meninggalkannya. Salah satu cara yang efektif agar pencatatan perkawinan ditaati adalah dengan memasukannya sebagai rukun nikah, yang menentukan keabsahan perkawinan, namun untuk itu perlu kajian lebih mendalam, karena rukun termasuk kajian hukum wad’i.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari penjelasan atas permasalahan yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Suatu perkawinan dilakukan harus menurut hukum agamanya masing-masing dan lalu dicatatkan pada kantor catatan sipil bagi non muslim dan dihadapan PPN KUA bagi muslim, sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan. Pada ayat (1) menyangkut masalah yuridis agama, dan ayat (2) menyangkut masalah administrasi, yang pada akhirnya juga menyangkut masalah yuridis, berupa pengakuan, perlindungan, dan pembuktian.
2.      Menurut teori maqashid as-syari’ah As-Syathibi, meskipun pencatatan perkawinan tidak ditunjukan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam teks-teks suci (al-Quran dan as-Sunnah), Islam dalam praktek kenabian tidak mengenal itu, namun karena manfaat dari pencatatan perkawinan sangat besar sehingga sudah tepat mengkaji permasalahan ini dengan teori mashlahah atau maqashid as-syari’ah, dan pencatatan perkawinan dapat dibenarkan oleh syari’at Islam dan menjadi kewajiban syar’iyah sehingga lebih baik lagi apabila pencatatan nikah dimasukkan dalam rukun nikah.

B.     Saran
1.      Bagi pemerintah baik melalui Kantor Pencatatan Sipil maupun Kantor Urusan Agamaharus lebih gencar lagi memberikan sosialisasi UU Perkawinan agar mesyarakat lebih mengetahui lagi manfaat dari adanya pencatatan perkawinan.
2.      Bagi Tokoh agama agar membantu program pemerintah dalam mensosialisasikan pencatatan perkawinan dan mendorong masyarakat agar mencatatkan perkawinannya ke Kantor Pencatatan Sipil atau menikah dihadapan PPN KUA.
3.      Bagi masyarakatyang hendak menikah agar mentaati UU Perkawinan dengan mencatatkan perkawinannya ke Kantor Pencatatan Sipil atau menikah dihadapan PPN KUA. Dan bagi masyarakat pada umumnya agar mendorong pasangan yang hendak menikah dihadapan PPN KUA dan agar menganggap perkawinan yang tidak dicatatkan tidak berkekuatan hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1978).
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: (Jakarta: Raja Grafindo Persada).
Abu Ishaq As-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1997), Jilid 2.
Abu Yahya Zakariya Al-Anshari,.Fathul Wahab(Beirut: Darul Fikri: 2000), Juz 2.
Ahmad Zaenal Fanani, Berfisafat dalam Putusan Hakim: Teori dan Praktik, (Bandung: Mandar Maju, 2014), cet. Ke-1.
Asmin, Status Perkawinan Antara Agama(Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1987).
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010).
D.H.M. Meuwissen, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta dari judul asli Vijf Stellingen over rechtsfilosofie, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007).
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987).
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), edisi revisi, cet. ke-6.
H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), cet. Ke-5.



[1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).
[2] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: CV. Mandur Maju, 2007), hal. 5.
[3] K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 3.
[4] Teori hukum dalam hal ini berarti ushul fiqh yang merupakan teori (ushul atau pondasi) dari ilmu hukum (fiqh)
[5]  Asmin, Status Perkawinan Antara Agama(Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1987), hal. 28. 
[6] Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: Penerbit RMBooks PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), hal. 125.

Post a Comment for "Makalah Urgensi Pernikahan Menurut Maqasid Syariah"