Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Arbitrase proses singkat



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi yang berkembang dengan pesat membuat sistem perdagangan, perindustrian, ikut pula maju dengan pesat, baik dalam hubungan nasional maupun hubungan internasional. Hal ini sering menjadi pemicu timbulnya sengketa diantara para pihak pelaku usaha dan bisnis, yang mengharuskan para pihak untuk menyelesaikannya baik melalui jalur pengadilan maupun jalur diluar  pengadilan, sehingga diharapkan tidak menggangu iklim bisnis antara pihak yang bersengketa.
Maka Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan kemudahan dengan proses yang cepat, murah dan diselesaikan sebaik-baiknya, melalui Arbitrase, Negosiasi, Mediasi, dan Konsiliasi. Di dalam makalah ini, saya mengambil salah satu contoh penyelesaian sengketa yaitu Arbitrase. Pengertian arbitrase menurut UU No.30 tahun 1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Sedangkan definisi perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Klausula arbitrase berdasarkan akta compromittendo dan akta kompromis. Di Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang tercantum dalam pasal 1320 sebagai syarat sahnya suatu perjanjian adalah : sepakat,cakap, hal, tertentu, sebab yang halal.
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa ”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang  perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”  Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akanmenjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawananterhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Putusan Arbitrase bersifat mandiri,final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap)sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.

B.     Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang timbul dari latar belakang tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Apa sebenarnya defenisi dari arbitrase?
2.      Apa saja objek dari arbitrase?
3.      Bagaimana dengan keunggulan dan kelemahan dari arbitrase?
4.      Bagaimana proses pelaksanaan putusan dari arbitarase?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Arbitrase
Kata “arbitrase” berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atau schiedsruch(Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Jadi arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata swasta diluar peradilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dimana pihak penyelesaian sengketa tersebut dipilih oleh para pihak yang bersangkutan yang terdiri dari orang-orang yang tidak berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan, orang-orang mana akan memeriksa dan memberi putusan terhadap sengketa tersebut.
Arbitrase di Indonesia dikenal dengan “perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”.
Secara harfiah, perkataan arbitrase adalah berasal dari kata arbitrare (Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat ini walaupun pada akhirnya mempunyai inti makna yang sama.
Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yangmereka pilih.
H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar  perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi keduabelah pihak.
Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus Pengadilan. Poin penting yang membedakan Pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur Pengadilan (judicial settlement) menggunakan satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut.Dalam arbitrase, arbitrator bertindak sebagai “hakim” dalam mahkamah arbitrase,sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang sedang ditangani.
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking anabiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, thedelay, the expense and vexation of ordinary litigation". Menurut Pasal 1 angka 1Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1.      Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo)
2.      Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis)
Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.

B.     Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementaraitu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d1854.

C.    Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum UndangUndang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
1.    Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
2.    Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari;
3.    Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman,    memiliki latar  belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil;
4.    Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya, para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
5.    Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara H.MN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah:
1.    Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
2.    Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
3.    Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
4.    Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas. Meskipun penyelesaian melalui arbitrase diyakini memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan jalur pengadilan, tetapi penyelesaian melalui Arbitrase juga memiliki kelemahan-kelemahan. Beberapa kelemahan dari Arbitrase dan ADR adalah :
1.    Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebaga icontoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BASYARNAS dan P3BI. 
2.    Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga Arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga Arbitrase yang ada.
3.    Lembaga Arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi putusannya.
4.    Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya.
5.    Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanis meextra judicial, Arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.
   
D.    Proses Pelaksanaan Arbitrase
1.      Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat. 
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapatmenolak  permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
2.      Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga diwilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UNConvention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.

E.     Sebab Batalnya Perjanjian Arbitrase
Perjanjian arbitrase dinyatakan batal, apabila dalam proses penyelesaian      sengketa terjadi peristiwa-peristiwa, Salah satu dari pihak yang bersengketa meninggal dunia.
1.      Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan, inovasi (pembaharuan utang), dan insolvensi;
2.      Pewarisan;
3.      Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok;
4.      Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut;
5.      Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok;











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari beberapa uraian yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Kata “arbitrase” berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atauschiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase di Indonesia dikena ldengan “perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”.
Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of derechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak digunakan lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Ricky W.Griffin dan Ronald J. Ebert (2005).Bisnis edisi Ketujuh Jilid 1. Indeks,Jakarta
http://www.scribd.com

Post a Comment for "Arbitrase proses singkat"