Hadist tentang ilmu sosial
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah
al-quran. Selain fungsi hadits yang gunanya memperkuat apa-apa yang telah di
terangkan didalam al-qur`an, juga untuk mentakhsis ayat-ayat al-qur’an yang
masih bersifat umum. Disini peran hadist juga tidak kalah pentingnya dengan
al-qur’an.
Ilmu
merupakan kunci untuk menyelesaikan segala persoalan, baik persoalan yang
berhubungan dengan kehidupan beragama maupun persoalan yang berhubungan dengan
kehidupan duniawi. Ilmu diibaratkan dengan cahaya, karena ilmu memiliki pungsi
sebagai petunjuk kehidupan manusia, pemberi cahaya bagi orang yang ada dalam
kegelapan. Orang yang
mempunyai ilmu mendapat kehormatan di sisi Allah dan Rasul-Nya.
Manusia adalah makhluk sosial.
Tentunya, sebagai mahluk sosial, manusia selalu dihadapkan pada berbagai
masalah sosial. Masalah sosial pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena masalah sosial telah terwujud
sebagai hasil kebudayaan manusia itu sendiri, sebagai akibat dari
hubungan-hubungannya dengan sesama manusia lainnya.
Problem sosial pada setiap
masyarakat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut
tergantung pada tingkat perkembangan kebudayaan dan kondisi lingkungan alamnya.
Masalah-masalah tersebut dapat terwujud dalam masalah moral, masalah politik,
masalah agama dan masalah lainnya. Dengan adanya permasalah-permasalahan tersebut timbullah
teori-teori sosial, yang pada akhirnya terbentuklah ilmu-ilmu sosial. Dibandingkan
dengan ilmu-ilmu alam yang kemajuannya sangat pesat, ilmu-ilmu sosial agak
tertinggal di belakang. Hal ini disebabkan oleh subyek ilmu-ilmu sosial yang
adalah manusia sebagai makhluk multidimensional.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas penulis merumuskan masalah apakah hadist-hadist tentang
ilmu-ilmu sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Sosial
Ilmu berkembang dengan pesat seiring
dengan penambahan jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri
pada satu bidang telaah yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan
seksama menyebabkan objek forma dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari
dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi dasar ilmu-ilmu alam
atau the natural sciences dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke
dalam cabang ilmu-ilmu sosial atau the social sciences.
Ilmu-ilmu alam pada akhirnya
terbagi dalam dua kelompok yakni ilmu alam (the physical sciences) dan
ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari
zat yang membentuk alam semesta yang kemudian bercabang lagi menjadi fisika
(mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi
(mempelajari benda-benda langit, dan ilmu bumi yang mempelajari bumi).
Tiap-tiap cabang-cabang pun mencipta ranting-ranting baru seperti fisika
berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan
dan magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik (ilmu-ilmu murni) dan lain-lain[1].
Sementara ilmu ilmu sosial adalah
sekelompok disiplin keilmuan yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan
dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Disiplin keilmuan yang tergolong dalam ilmu sosial telah
mempelajari hakekat masyarakat dengan perspektif berbeda-beda. Karena itu
terdapat keanekaragaman dalam melihat dan mempelajarinya.
Atas dasar itulah, sebagaimana ilmu
alam, ilmu sosial juga memiliki cabang-cabang ilmu lainnya diantaranya
antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi
(mempelajari proses mental dan kelakuan manusia) ekonomi (mempelajari manusia
dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran), sosiologi
(mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari
sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara). Tentu, cabang-cabang ilmu sosial
tersebut muncul akibat adanya masalah sosial. Masalah sosial selalu ada
kaitannya yang dekat dengan nilai-nilai moral dan pranata-pranata sosial.
B. Hadist-Hadist Tentang Ilmu-Ilmu
Sosial
Tidak
salah jika Islam merupakan ajaran yang paling komprohensif, Islam sangat rinci
mengatur kehidupan umatnya, melalui kitab suci al-Qur’an. Allah SWT memberikan
petunjuk kepada umat manusia bagaimana menjadi insan kamil atau pemeluk agama Islam
yang kafah atau sempurna.
Secara
garis besar ajaran Islam bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Hablum
Minallah (hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan) dan Hablum Minannas
(hubungan manusia dengan manusia). Allah menghendaki kedua hubungan tersebut
seimbang walaupun hablumminannas lebih banyak di tekankan. Namun itu semua
bukan berarti lebih mementingkan urusan kemasyarakatan, namun hal itu tidak
lain karena hablumminannas lebih komplek dan lebih komprehensif. Oleh karena
itu suatu anggapan yang salah jika Islam dianggap sebagai agama transedental[2].
1.
Surat al-Ra’du ayat 11
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ
يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُوْ نَهُ مِنْ اَمْرِاللهِ إِنَّ اللهََ
لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْامَا بِأَنْفُسِهِمْ وَاِذَا
أَرَادَاللهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلاَ مَرَدَّالَهُ وَمَالَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ
وَّالٍ
Artinya :
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dimuka
dan dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah, sesungguhnya Allah
tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung
bagi mereka selain Allah.
Ayat ini
menerangkan tentang kedhaliman manusia. Dalam ayat ini juga dijelaskan bahwa
kebangkitan dan keruntuhan suatu bangsa tergantung pada sikap dan tingkah laku
mereka sendiri. Kedzaliman dalam ayat ini sebagai tanda rusaknya kemakmuran
suatu bangsa.
لَهُ مُعَقِبَاتِ مِنْ بَيْنِ
يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْقِهِ يَحْفَظُوْ نَهُ مِنْ اَمْرِاللهِ
Pada tiap
manusia baik yang bersembunyi ataupun yang nampak ada malaikat yang terus
menerus bergantian memelihara dari kemudharatan dan memperhatikan gerak gerik
setiap manusia, sebagaimana berganti-ganti pula malaikat yang lain yang
mencatat segala amalannya, baik maupun buruk. Ada malaikat malam dan ada
malaikat siang, satu berada disebelah kiri yang mencatat segala amal kejahatan
dan satu disebelah kanan yang mencatat segala amal kebajikan, dan dua malaikat
bertugas memelihara dan mengawasi manusia. Adapun malaikat yang dimaksud dalam
ayat ini adalah malaikat Hafadzah.
Adapun
keempat malaikat itu tidak akan terlepas dari kita, melainkan kita sedang dalam
keadaan mempunyai hadats besar. Sebagaimana dalam sabda Rasul :
اِنَّ مَعَكُمْ مَنْ لاَيُقَارِقُكُمْ
عِنْدَالْخَلاَءِ وَعِنْدَالْجِمَاعِ فَاسْتَحْيُوْهُمْ وَاَكْرَمَهُمْ.
“Sesungguhnya
ada malaikat-malaikat yang mengikuti kamu dan tidak terpisah dari kamu
melainkan disaat-saat kamu membuang hajat besar atau bersetubuh, maka di segani
dan hormatilah mereka.”
إِنَّ اللهََ لاَيُغَيِّرُ
مَابِقَوْمٍ حَتَّى لاَيُغَيِّرُمَا بِأَنْفُسِهِمْ
Allah
tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum berupa nikmat dan kesehatan,
lalu mencabutnya dari mereka sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri
mereka sendiri. Allah juga menyuruh kita (umat-Nya) untuk mengubah suatu
kedzaliman karena jika kita tidak merubahnya, maka Allah akan memperluas
siksaannya, sedangkan Allah menciptakan manusia di bumi ini untuk menjadi
penguasa (khalifah) yang bertugas memakmurkan dan memanfaatkan segala isinya
dengan baik bukan untuk merusaknya[3].
وَاِذَا أَرَادَاللهُ بِقَوْمٍ
سُوْءًا فَلاَ مُرَدَّالَهُ
Kita tidak
patut dan tidak boleh meminta kepada Allah agar keburukan segera didatangkan
sebelum kebaikan atau siksaan sebelum pahala, karena jika Allah telah
menghendaki dan menimpakannya kepada mereka, maka tidak ada seorangpun yang
dapat menolak takdir-Nya.
وَمَالَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ
وَّلٍ
Tidak ada
penolong bagi manusia seorangpun yang dapat mengendalikan urusan mereka, dan
tidak ada seorangpun pula yang mampu mendatangkan kemanfataan atau menolak
madharat selain Allah SWT. Sebagaimana dalam Firman-Nya Surat al-Hajj ayat 73:
يَاَيُّهَاالنَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ
فَاسْتَمِعُوْالَهُ اِنَّ الَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ لَنْ
يَخْلُقُوْا ذُبَابًا وَّلَوِاجْتَمَعُوْلَهُ وَاِنْ يَسْلُبْهُمُ الدُّبَابُ
شَيْئًا لاَيَسْتَنْقِذُهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوْبُ
“Hai
manusia, telah di buat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu,
sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat
menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan
jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya
kembali dari lalat itu, amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah pulalah
yang disembah.”
2. Surat al-Hujurat ayat 11-13
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى اَنْ يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ
وَلاَنِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى اَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ
وَلاَتَنَابَزُوْا بِاْلاَلْقَابِ بِئْسَ الإِسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَاْلإِيْمَانِ
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ () يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ الظَّنِّ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَلاَتَجَسَّسُوْاوَلاَيَغْتَبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَاءْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ
مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُواللهَ اِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ ()
يَاَيُّهَاالنَّاسُ اِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنْ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتْقَاكُمْ
اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ()
(11). Hai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka yang yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang
mengolok-olok dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olok wanita lain karena
boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olok lebih baik dari wanita yang
mengolok-olok dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, seburuk-buruk panggilan yang
buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah
orang-orang yang dzalim. (12). Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain, sukakah salah seorang diantara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya,
dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. (13) Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang
laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam ayat
ini Allah menjelaskan adab-adab (pekerti) yang harus berlaku diantara sesama
mukmin, dan juga menjelaskan beberapa fakta yang menambah kukuhnya persatuan
umat Islam, yaitu:
a. Menjauhkan diri dari berburuk sangka
kepada yang lain.
b. Menahan diri dari memata-matai
keaiban orang lain.
c. Menahan diri dari mencela dan menggunjing
orang lain.
Dan dalam
ayat ini juga, Allah menerangkan bahwa semua manusia dari satu keturunan, maka
kita tidak selayaknya menghina saudaranya sendiri. Dan Allah juga menjelaskan
bahwa dengan Allah menjadikan kita berbangsa-bangsa, bersuku-suku dan
bergolong-golong tidak lain adalah agar kita saling kenal dan saling menolong
sesamanya. Karena ketaqwaan, kesalehan dan kesempurnaan jiwa itulah bahan-bahan
kelebihan seseorang atas yang lain.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ
Kita tidak
boleh saling menghina diantara sesamanya. Ayat ini akan dijadikan oleh Allah
sebagai peringatan dan nasehat agar kita bersopan santun dalam pergaulan hidup
kaum yang beriman. Dengan hal ini berarti Allah melarang kita untuk
mengolok-olok dan menghina orang lain, baik dengan cara membeberkan keaiban,
dengan mengejek ataupun menghina dengan ucapan / isyarat, karena hal ini dapat
menimbulkan kesalah-pahaman diantara kita.
عَسَى اَنْ
يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ
Allah
melarang kita menghina sesamanya karena boleh jadi orang yang dihina itu lebih
baik dan lebih mulia disisi Allah kedudukannya dari pada yang menghina[4].
وَلاَنِسَاءُ مِنْ نِسَاءِ عَسَى اَنْ
يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ
Orang yang
kerjanya hanya mencari kesalahan dan kekhilafan orang lain, niscaya lupa akan
kesalahan dan kekhilafan yang ada pada dirinya sendiri. Sebagaimana dalam sabda
Nabi:
الكِبْرُ بَطْرُالْحَقِّ وَغَمْصُ
النَاسِ
“Kesombongan
itu ialah menolak kebenaran dan memandang rendah manusia”.
وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ
Dalam
penggalan ayat ini Allah melarang kita mencela orang lain karena mencela orang
lain sama saja mencela diri sendiri, karena orang-orang mukmin itu bagaikan
satu badan. firman Allah SWT yang menerangkan tentang balasan bagi orang yang
suka mencela orang lain yaitu:
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ
لُمَزَةٍ
“Neraka
wailun hanya buat orang yang suka mencedera orang dan mencela orang”.
(al-Humazah: 1)
Adapun
dari arti هُمَزَةٍ yaitu mencedera, yakni memukul dengan tangan, sedangkan
لُمَزَةٍ yaitu mencela dengan mulut.
وَلاَتَنَابَزُوْا بِاْلاَلْقَابِ
Allah
melarang kita memanggil orang lain dengan gelaran-gelaran yang mengandung
ejekan-ejekan, karena hal ini termasuk menjelekkan seseorang dengan sesuatu
yang telah diperbuatnya. Sedangkan orang yang dihina itu telah bertaubat, tapi
jika gelaran (panggilan) itu mengandung pujian dan tepat pemakaiannya, maka itu
tidak di benci sebagaimana gelar yang diberikan kepada Umar, yaitu:Al-Faruq.
بِئْسَ الإِسْمُ الْفُسُوْقَ
بَعْدَاْلإِيْمَانِ
Allah
melarang kita memanggil orang dengan kata “fasik” setelah ia sebulan masuk
Islam atau beriman.
Para
ulama’ mengharamkan kita memanggil seseorang dengan sebutan yang tidak disukai.
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُوْنَ
Ayat ini
di turunkan mengenai “Shafiyah binti Hisyam Ibn Akhtab”, Beliau datang mengadu
kepada Rasul bahwa isteri Rasul yang lain mengatakan kepadanya. Hai orang
Yahudi, hai anak dari orang Yahudi, mendengar itu, Rasul berkata: mengapa kamu
tidak menjawab: ayahku Harun, pamanku Musa, sedangkan suamiku Muhammad. Dalam
ayat ini diterangkan bahwa orang yang sudah mengolok-olok bahkan menghina orang
lain tapi tidak bertaubat, maka mereka termasuk orang dhalim.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ الظَّنِّ
Dalam ayat
ini Allah melarang bahkan mengharamkan kita berprasangka buruk atau berfikiran
negatif terhadap orang yang secara lahiriyah tampak baik dan memegang amanat,
atau kita tidak boleh menfitnah seseorang, karena menfitnah itu bukan saja
menyakiti seseorang dari lahirnya saja tapi juga menyakiti bathinnya.
اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمُ
Allah
melarang kita berburuk sangka terhadap orang lain karena sebagian dari buruk
sangka itu dosa.
Prasangka
adalah dosa, karena prasangka adalah tuduhan yang tidak beralasan dan bisa
memutuskan silaturahmi di antara dua orang yang baik.
Dalam hal
ini prasangka yang di larang adalah prasangka buruk yang dapat menimbulkan
tuduhan kepada orang lain, sedangkan prasangka tentang perkiraan itu tidak di
larang.
Sebagaimana terdapat dalam suatu hadits :
ثَلاَثٌ لَأَزِمَّاتٌ ِلأُمَتِّى :
الطِبْرَةُ وَالْحَسَدُ وَسُوْءُالظَّنِّ
“Tiga
macam membawa krisis bagi umatku, yaitu memandang kesialan, dengki, dan buruk
sangka”.
وَلاَتَجَسَّسُوْ
Allah
melarang kita mencari-cari keaiban dan menyelidiki rahasia seseorang, tapi jika
kita memata-matai seseorang atau musuh agar tidak terjadi kejahatan, maka itu
di perbolehkan.
وَلاَيُغَيِّبْ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا
Allah
melarang mencela orang di belakangnya atau menggunjing tentang sesuatu yang
tidak di sukainya.
Menurut para ulama’, mencela yang
dibenarkan adalah jika bertujuan untuk :
a. Untuk mencari keadilan,
b. Untuk menghilangkan kemungkaran,
c. Untuk meminta fatwa atau mencari
kebenaran,
d. Untuk mencegah manusia berbuat salah[5],
e. Untuk membeberkan orang yang tidak
malu-malu melakukan kemaksiatan.
اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَاءْكُلَ
لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ
Allah
melarang kita membicarakan keburukan seseorang, karena hal itu sama halnya
dengan makan bangkai saudaranya yang busuk. Allah melarang hal ini karena
perbuatan ini merupakan penghancuran pribadi terhadap saudara yang di cela itu.
وَاتَّقُواللهَ اِنَّ اللهَ تَوَّابٌ
رَّحِيْمٌ
Dalam ayat
ini Allah menyuruh kita bertaubat dari kesalahan yang telah kita perbuat dengan
di sertai penyesalan dan bertaubat (taubat an-nasukha). Dalam ayat ini Allah
juga memberitahukan bahwasanya Allah senantiasa membuka pintu kasih sayangnya,
membuka pintu selebar-lebarnya dan menerima kedatangan para hambanya yang ingin
bertaubat supaya menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
يَاَيُّهَاالنَّاسُ اِنَّا
خَلَقْنَكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى
Dalam ayat ini mengandung dua penafsiran, yaitu :
1. Seluruh manusia diciptakan pada
mulanya dari seorang laki-laki, yaitu Adam dan dari seorang perempuan, yaitu
Hawa.
2. Segala manusia sejak dulu sampai
sekarang terjadi dari seorang laki-laki dan perempuan.
وَجَعَلْنَكُمْ شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوْا
Allah
menjadikan manusia dari berbagai macam suku dan bangsa agar kita saling
mengenal. Ayat ini merupakan dasar demokrasi yang benar di dalam Islam, dengan
menghilangkan kasta dan perbedaan.
اِنْ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ
اَتْقَاكُمْ
Semua
manusia di sisi Allah SWT itu sama, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya.
Taqwa
adalah suatu prinsip umum yang mencakup takut kepada Allah dan mengerjakan apa
yang diridhoinya yang melengkapi kebaikan dunia dan akhirat. Kemuliaan hati
yang di anggap bernilai adalah kemuliaan hati, budi, perangai, dan ketaatan
pada Allah.
اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Bahwasanya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu baik yang tampak ataupun tersembunyi. Dan
bahwa Allah adalah sebaik-baiknya Sang Pencipta.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Setiap manusia itu di jaga oleh 4
malaikat hafadhah dan bahwasanya Allah adalah sebaik-baik penolong bagi kita.
2. Dalam hidup bermasyarakat tidak
boleh saling membedakan karena semua sama, tak ada yang beda disisi Allah
melainkan ketaqwaannya.
3. Setiap manusia itu pasti punya
kesalahan dan Allah maha penerima taubat hambanya sebelum sakaratul maut.
4. Allah tidak akan merubah suatu kaum
kecuali dia merubahnya dan Allah menyuruh kita untuk memberantas
kedzaliman.
BAB III
PENUTUP
A. Kasimpulan
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah
al-quran. Selain fungsi hadits yang gunanya memperkuat apa-apa yang telah di terangkan
didalam al-qur`an, juga untuk mentakhsis ayat-ayat al-qur’an yang masih
bersifat umum. Disini peran hadist juga tidak kalah pentingnya dengan
al-qur’an.
Problem sosial pada setiap
masyarakat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut
tergantung pada tingkat perkembangan kebudayaan dan kondisi lingkungan alamnya.
Masalah-masalah tersebut dapat terwujud dalam masalah moral, masalah politik,
masalah agama dan masalah lainnya. Dengan adanya permasalah-permasalahan tersebut timbullah teori-teori
sosial, yang pada akhirnya terbentuklah ilmu-ilmu sosial. Dibandingkan
dengan ilmu-ilmu alam yang kemajuannya sangat pesat, ilmu-ilmu sosial agak
tertinggal di belakang. Hal ini disebabkan oleh subyek ilmu-ilmu sosial yang
adalah manusia sebagai makhluk multidimensional.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Mustofa al Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, CV Toha Putra, Semarang,
1988.
H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1988.
H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1988.
H. Mukti
Ali, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT Bumi Restu, Jakarta, 1974.
Prof. H.
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Ashhar, Yayasan
Nurul islam, Surabaya, 1982
Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur, PT
Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000.
[1]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir
al-Qur’anul Majid an-Nur 5 (surat 42-114), PT Pustaka Rizki
Putra, Semarang, 2000, hlm 2074.
[2]
H.
Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, terjemah Singkat Tafsir Ibnu
Katsir, jilid IV, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1988, hlm 431.
[3]
Ahmad
Mustofa al Maraghi, Terjemah tafsir al-Maraghi, juz XIII, CV
Toha Putra, Semarang, 1988, hlm 135.
[4]
Mukti Ali, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, PT Bumi Restu, Jakarta, 1974, hlm 470.
[5]
Prof.
H. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Ashhar, Yayasan
Nurul Islam, Surabaya, 1982, hlm 236.
Post a Comment for "Hadist tentang ilmu sosial"