Hadist ahad
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Semua
umat Islam telah sepakat dengan bulat bahwa Hadits Rasul adalah sumber dan
dasar hukum Islam setelah Al – Qur’an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti dan
menga -malkan hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al –
Qur’an. Al – Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum pokok syariat Islam
yang tetap, dan orang Islam tidak akan mungkin, bisa memahami syariat Islam
secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut.
Seorang mujtahid dan seorang ulama pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan
diri dengan mengambil salah satu keduanya.
Banyak
kita jumpai ayat – ayat Al – Qur’an dan Hadits – hadits yang memberikan
pengertian bahwa hadits merupakan sumber hukum islam selain Al – Qur’an yang
wajib diikuti, dan diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Hadits
itu sendiri secara istilah adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW, baik perkataan, ketetapan, segala keadaan, atau perilakunya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah
pengertian hadis ahad?
2.
Bagaimana
perbedaan hadis mutawatir dengan hadis ahad?
3.
Bagaimana
hukum hadis ahad?
4.
Bagaimana
maca-macam hadis ahad dari segi kuantitas perawi beserta contohnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HADIS AHAD
Kata ahad berarti satu, khabar al-wahid adalah
suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Menurut istilah ilmu hadis,
hadis ahad berarti “Hadis yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadis mutawatir.”
Ulama lain mendefinisikannya dengan
“hadis yang sanadnya shahih dan bersambung hingga sampai kepada
sumbernya (Nabi SAW), tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qat’i atau yakin”.
Dari dua definisi di atas ada dua hal
yang harus digaris bawahi yaitu: pertama, dari sudut kuantitas perawinya, hadisahad berarti
berada di bawah kuantitas hadis mutawatir, kedua, dari sudut isinya, hadis ahad member faedah zhannibukan qat’i. kedua hal inilah yang membedakannya
dengan hadis mutawatir.
Kedua definisi di atas dikemukakan
oleh para ulama yang membagi kuantitas hadis kepada dua, yaitu mutawatir danahad. Sedangkan
ulama yang membagi kuantitas hadis kepada tiga, yaitu mutawatir, masyhur, dan ahad, memberikan
definisi hadis ahad dengan
definisi yang berbeda. Menurut mereka, hadis ahad itu,
ialah :
“Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, atau dua orang, atau
lebih, yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur, atau hadis
mutawatir”.
B.
PERBEDAAN MENDASAR ANTARA HADIS
MUTAWATIR DAN HADIS AHAD
1.
Hadis mutawatir memenuhi semua persyaratan untuk criteria hadis mutawatir
sedangkan hadis ahad tidak memenuhi semua persyarakatn tersebut.
2.
Mutawatir berarti “beruntun atau berturut-turut”, dengan demikian
persyaratan jumlah perawi dalam hadis mutawatir berlaku untuk semua tingkatan.
Sedangkan ahad yang berarti “satu” maka ketentuan jumlah perawi tidak
berlakukan untuk semua tingkatan, melainkan hanya berlaku pada salah satu
tingkatan saja atau bisa juga lebih dari dua tingkatan. Inilah yang menjado
alas an mengapa disebut dengan hadis ahad.
C. HUKUM HADITS AHAD
Hadis Ahad yang maqbul (berkualitas
shahih), bila berhubungan dengan masalah hukum, maka menurut jumhur ulama,
wajib diamalkan. Namun masalah yang berkaitan dengan soal aqidah, ulama
berselisih pendapat. Ada yang mengatakan, bahwa hadis Ahad dapat digunakan
sebagai dalil untuk menetapkan masalah aqidah, karena hadis Ahad yang shahih
memberi faidah ilmu dan yang memfaedahkan ilmu wajib diamalkan. Pendapat kedua,
hadis Ahad, meskipun memenuhi syarat tetap tidak dapat dijadikan dalil terhadap
penetapan aqidah. Karena hadis Ahad berstatus memfaedahkan dhanny. Soal aqidah
adalah soal keyakinan. Maka, yang yakin tak dapat didasarkan dengan petunjuk
yang masih dhanny.
Terdapat pendapat lain (moderat)
menyatakan bahwa hadis Ahad yang telah memenuhi syarat, dapat dijadikan dalil
untuk masalah aqidah selama hadis tersebut tidak bertentangan dengan Al- Quran
dan hadis-hadis yang lebih kuat. Sebagian ulama menetapkan bahwa, hadis ahad
diamalkan dalam segala bidang.
D. MACAM-MACAM HADIS AHAD DAN CONTOHNYA
Pembagian hadis ahad ada
tiga macam, yaitu hadis masyhur, aziz dan gharib.
1. Hadis Masyhur
Kata masyhur dari kata syahara, yasyharu, syahran,
yang berarti al-ma’ruf baina an-nas (yang terkenal, atau yang dikenal, atau yang
populer di kalangan sesama manusia). Dengan arti kata di atas, maka kata “hadis masyhur”, berarti
hadis yang terkenal. Berdasarkan arti kata ini, di antara ulama ada yang
memasukan ke dalam hadis masyhur “segala
hadis yang populer dalam masyarakat, meskipun tidak mempunyai sanad sama sekali, dengan tanpa membedakan
apakah memenuhi kualitas shahih atau dha’if”.
Kata masyhur ini secara bahasa telah diserap ke
dalam bahasa Indonesia dengan utuh. Dalam penggunaannya sehari-hari, baik dalam
ragam tulis maupun ragam lisan, kata ini digunakan secara baku.
Berdasarkan pendekatan kebahasaan
seperti di atas, maka dikalangan para ulama terdapat beberapa macam hadis yang
terkenal di kalangan ulama tertentu. Tanpa memperhatikan apakah jumlah
kuantitas sanadnya memenuhi syarat kemasyhurannya
atau tidak, misalnya hadis yang berbunyi :
نَهَى
رَسُوْلُ الله ص م عَنْ بَيْعِ الْغَرَر (رواه المسلم )
“Rasulullah SAW melarang
jual-beli yang di dalamny;a terdapat tipu daya”.[6]
Hadis di atas terkenal dikalangan ulama fiqih.
Demikian pula hadis yang menjelaskan, bahwa perceraian itu dibenci Allah SWT
meskipun hukumnya halal. Hadis ini juga terkenal di kalangan ahli fiqh, yang
padahal di kalangan ahli hadis, kualitasnya diperselisihkan.
Ada juga hadis yang terkenal dikalangan ulama, seperti
hadis yang berbunyi :
اَلْمُسْلِمُ
مِنْ سَلَمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهَ وَ يَدِهِ
“Orang Islam (yang sempurna)
itu, ialah orang yang jika orang Islam lainnya selamat dari (gangguan) lidah
dan tangannya.”
Secara terminologis, hadis masyhur didefinisikan oleh para ulama dengan
beberapa definisi yang agak berbeda-beda, sebagaimana dibawah ini. Menurut satu
definisi, disebutkan sebagai berikut:
“Hadis yang mempunyai jalan
yang terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadis
yang mutawatir.”
Menurut definisi lain, disebutkan:
“Hadis yang disampaikan oleh
orang banyak, akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak perawi mutawatir”.
Ada juga yang mendefinisikan, bahwa
hadis masyhur itu ialah “hadis yang diriwayatkan
oleh tiga orang perawi atau lebih. Meskipun perawi sejumlah itu hanya pada satu thabaqah saja, sementara perawi pada thabaqah-thabaqahlainnya
berjumlah lebih banyak”.
Dari ketiga definisi di atas dapat
dikatakan, bahwa perawi hadis masyhur jumlahnya
dibawah hadis mutawatir. Artinya, jumlah perawi pada hadis ini
banyak, akan tetapi dari jumlah tersebut belum sampai memberikan faidah ilmu
dharuri, sehingga kedudukan hadisnya menjadi zhanni. Hadis ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas kalangan
masyarakat.
Ulama Hanafiyah mengatakan, bahwa
hadis masyhur menghasilkan ketenangan hati, dekat
kepada keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak
dikatakan kafir.
Dari sudut kualitasnya, hadis masyhur ada yang shahih, ada yang hasan, dan
ada yang dha’if. Hadis masyhur yang
shahih, artinya hadis masyhur yang
memenuhi syarat-syarat ke-shahih-annya; Hadis masyhur yang
hasan, artinya hadis masyhur yang
kualitas perawinya di bawah hadis masyhur yang
shahih; sedang hadis masyhur yang
dha’if, artinya hadis masyhur yang
tidak memiliki syarat-syarat atau yang kurang salah satu syaratnya dari syarat
hadis shahih. Sebagaimana layaknya hadis ahad, hadis masyhur yang
shahih dapat dijadikan hujah. Sebaliknya, hadis masyhuryang dha’if atau yang gair ash-shahih,
niscaya tidak dapat dijadikan hujah. Di antara contoh hadis masyhur yang shahih ialah:
من
أتى الجمعة فليغتسل (رواه الجماعة)
“Bagi siapa yang hendak pergi
melaksanakan salat jum’at hendaknya ia mandi”
2. Hadis Aziz
Kata ‘Aziz dari kata ‘azzu, yang berarti qalla (sedikit) atau nadara (jarang terjadi). Bisa juga berasal
dari ‘azza, ya ‘azzuyang berarti qawiya atau isytadda (kuat). Arti lainya bisa juga berarti syarif (mulia
atau terhormat) dan mahbub (tercinta).
Maka hadis ‘Aziz dari
sudut pendekatan kebahasaan, bisa berarti hadis yang mulia, hadis yang kuat,
atau hadis yang sedikit, atau yang jarang terjadi.
Secara terminologis, hadis ‘Aziz didefinisikan
:
“Hadis yang diriwayatkan oleh
sedikitnya dua orang pe-rawi, diterima dari dua orang pula”.
Dengan definisi di atas, menunjukkan
bahwa apabila dalam salah satu thabaqahnya kurang dari dua perawi, hadis
tersebut bukan termasuk hadis ‘Aziz. Sebab, jumlah minimal para perawi untuk hadis ‘Aziz, adalah dua
orang. Dengan definisi itu juga menunjukkan, apabila ada satu atau dua
thabaqahnya yang memiliki tiga atau empat orang perawi, hadis tersebut masih
termasuk ke dalam kelompok hadis ‘Aziz, jika pendapat thabaqah-thabaqah lainnya hanya
terdapat dua orang perawi saja. Sebab hadis ‘Aziz tidak
mengharuskan ata mensyaratkan adanya keseimbangan antara thabaqah-thabaqah-nya.
Sebagaimana hadis masyhur, hadis ‘Aziz terbagi kepada shahih, hasan, dan
dha’if. Pembagian ini tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya
ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat yang berkaitan dengan kualitas ketiga
kategori tersebut. Jika hadis tersebut memenuhi syarat keshahihannya, maka itu
berarti hadis ‘Aziz yang
shahih. Kemudian, jika kualitas ke dhabith-annya kurang, hadis itu berarti
hadis ‘Aziz yang hasan, dan jika syarat-syarat
atau salah satu syarat kesahihannya tidak terpenuhi, maka hadis itu berarti
termasuk hadis ‘Aziz yang
dha’if.
Diantara contoh hadis ‘Aziz, adalah:
لا
يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه و والده و ولده والناس أجمعين (رواه بخارى و
مسلم)
“Tidaklah beriman seseorang di
antara kamu, hingga aku lebih dicintai daripada dirinya, orang tuanya, anaknya
dan semua manusia.” (H.R.
Bukhari dan Muslim)
Hadis tersebut diterima oleh Anas bin Malik dari
Rasulullah SAW, kemudian diriwayatkan kepada Qatadah dan Abdul Aziz bin Suhaib,
selanjutnya Qatadah meriwayatkan kepada dua orang pula, yaitu Syu’bah dan
Husain al-Muallim. Hadis dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh dua orang, yaitu
Abdul al-Waris dan Ismail bin Ulaiyah. Kemudian hadis dari Husain diriwayatkan
oleh Yahya bin Said dan dari Syu’bah diriwayatkan oleh Adam Muhammad bin Ja’far
dan juga oleh Yahya bin Said. Adapun hadis dari Ismail diriwayatkan oleh Zuhair
bin Harb dari Abdul al-Waris diriwayatkan oleh Syaiban bin Abi Syaiban. Dari
Yahya diriwayatkan oleh Masdad dan dari Ja’far diriwayatkan oleh Ibn al-Mujana
dan Ibn Basyar, sampai kepada Bukhari dan Muslim.
3. Hadis Garib
a. Pengertian Hadis Garib
Kata garib dari garaba, yagrubu, yang menurut
bahasa berarti munfarid (menyendiri) atau ba’id an wathanih (jauh dari tanah
airnya). Bisa juga berarti asing, pelik, atau aneh. Maka kata hadis garib secara bahasa berarti hadis yang
menyendiri atau yang aneh.
Secara terminologis, ulama ahli
hadis, seperti Ibn Hajar al-Asqali mendefinisikan hadis garib, sebagai
berikut:
مَا يَتَفَرَّدُ بِرِ وَ ايَتِهِ
شَخْصٌ وَاحِدٌ فِيْ أَيِّ مَوْضِعٍ وَقَعَ التَّفَرُّدُ بِهِ مِنَ السَّنَدِ
“Hadis yang dalam sanadnya
terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja
penyendirian itu terjadi”
Dalam pengertian lain disebutkan, sebagai berikut:
مَا اِنْفَرَدَ بِرِ وَايَتِهِ
رَاوٍ بِحَيْثُ لَمْ يَرْوِهِ غَيْرُهُ أَوِ اِنْفَرَدَ بِزِيَادَةٍ فِيْ
مَتَنَِهِ أَوْ إِسْنَادِهِ
“Hadis yang diriwayatkan oleh
seorang diri perawi, karena tidak ada orang lain yang meriwayatkannya, atau
menyendiri dalam hal penambahan terhadap matan atau sanadnya”
Berdasarkan definisi pertama
menunjukkan, bahwa penyendirian yang dimaksud dalam hadis garib, ialah
penyendirian dalam perawi atau sanadnya. Sedangkan berdasarkan definisi kedua, bahwa
penyendirian dalam hadisgarib bukan hanya terjadi pada sanad atau perawi, akan tetapi bisa juga
terjadi pada matanya. Pada sisi lainnya, sebagaimana disebutkan
pada definisi pertama, bahwa penyendirian itu bisa terjadi pada thabaqah mana
saja. Suatu hadis jika diriwayatkan oleh banyak orang pada beberapa
thabaqahnya, akan tetapi pada salah satu thabaqahnya hanya diriwayatkan oleh
satu orang, maka hadis itu pun disebutkan dengan hadis garib.
Tempat-tempat penyendirian dimaksud
bisa jadi pada awal, tengah-tengah, atau akhir thabaqahnya. Dengan kata lain,
bisa jadi pada thabaqah sahabat, thabaqah tabi’in, thabaqah tabi’ at-tabi’in,
atau thabaqah sesudahnya.
b. Pembagian Hadis Garib
Ada dua macam pembagian hadis garib, yaitu:
pertama, dilihat dari sudut bentuk penyendirian perawinya, dan kedua, dilihat
dari sudut kaitannya antara penyendirian pada sanad dan
pada matan.
Dilihat dari bentuk penyendirian perawinya, hadis garib terbagi kepada dua bagian, yaitu garib muthlaq dan garib nisbi. Kemudian, dilihat dari sudut
kaitannya antara penyendirian pada sanad dan matan terbagi kepada dua bagian pula, yaitu garib pada sanad dan
matan secara
bersama dan garib pada sanad saja.
1)
Hadis garib dilihat
dari sudut penyendirian perawi
a)
Hadis garib muthlaq
Disebut garib muthlaq, artinya penyendirian itu
terjadi berkaitan dengan keadaan jumlah personilnya, yakni tidak ada orang lain
yang meriwayatkan hadis tersebut, kecuali dirinya sendiri.
Mengenai garib mutlaq ini, diantara para ulama
terjadi perbedaan pendapat, apakah penyendirian pada thabaqah sahabat juga
termasuk ke dalam kategori hadis garib atau
tidak. Dengan kata lain, thabaqah sahabat atau tidak. Menurut sebagaian ulama,
ke-garib-an sahabat juga termasuk, sehingga apabila suatu
hadis diterima dari Rasul hanya oleh seorang sahabat (misalnya hanya oleh Abu
Hurairah sendiri atau Siti A’isyah sendiri), hadis tersebut juga disebut garis,
meskipun pada thabaqah-thabaqah berikutnya diterima oleh beberapa orang. Dalam
hal ini bisa dilihat misalnya hadis tentang niat, yang berbunyi:
“Segala amal itu hanya dengan
niat, dan bagi seseorang hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan …”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh
banyak perawi, antara lain al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Turmudzi,
an-Nasai’i dan Ibn Majah. Pada tiap-tiap thabaqahnya, hadis tersebut
diriwayatkan oleh banyak perawi. Akan tetapi pada thabaqah sahabat hanya
diriwayatkan oleh satu orang perawi, yaitu Umar bin Khathab. Dengan demikian,
menurut ulama yang memandang adanya ke-garib-an sahabat,
hadis di atas termasuk ke dalam hadis garib. Namun perlu diketahui, bahwa meskipun hadis ini
dikategorikan ke dalam kelompok garib, akan tetapi sanad yang
dilaluinya tergolong ashah-al-asanid (sanad hadis yang paling shahih).
Menurut sebagian ulama lainnya,
berpendapat bahwa penyendirian sahabat tidak termasuk ke dalam hadis garib. Ke-garib-an hadis menurut mereka, hanya diukur pada
thabaqah tabi’in (misalnya pada Ibn Syihab az-Zuhri) dan thabaqah-thabaqah
berikutnya. Dengan demikian, suatu hadis baru bisa dikategorikan ke dalam hadis garib apabila terjadi penyendirian pada
thabaqah tabi’in, atau thabaqah-thabaqah berikutnya. Oleh karena itu, hadis
pada contoh di atas, bukanlah termasuk hadis garib, melainkan hadis masyhur.
Contoh hadis garib muthlaq, antara lain :
الو لاء لحمة كلحمة النسب لايباع ولا يوهب
“Kekerabatan dengan jalan
memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan
dihibahkan”.
Hadis ini diterima dari Nabi oleh Ibn Umar dan dari
Ibn Umar hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkannya.
b)
Hadis Garib Nisbi
Disebut garib nisbi, artinya kata garib yang relatif. Ini maksudnya,
penyendirian itu bukan pada perawi atau sanadnya, melainkan mengenai sifat atau keadaan
tertentu, yang berbeda dengan perawi lainnya. Maka pada hadis garib yang termasuk kategori ini, dari sudut
personaliannya, pada dasarnya bukan sendirian, tetapi ada perawi lainnya.
Penyendirian seorang perawi seperti
di atas, bisa pada ke adilan dan ke-dhabhit-annya, atau pada tempat tinggal
atau kota tertentu. Misalnya, hadis itu tidak diriwayatkan oleh perawi yang
tsiqah kecuali si pulan. Maka si pulan berarti garibdalam
ke-tsiqah-annya dari perawi lainnya. Atau misalnya, hadis itu tidak diriwayatkan
oleh penduduk ahli Madinah kecuali si-pulan. Maka si-pulan berarti garib dalam meriwayatkan hadis tersebut dari
penduduk madinah.
Contoh hadis garib nisbi berkenaan dengan kesiqahan
perawi, antara lain sebuah hadis yang menjelaskan, bahwa Rasul SAW pada salat
hari raya qurban dan hari raya fitrah membaca surat Qaf dan surat al-Qamar.
Hadis ini diriwayatkan melalui dua jalur, yaitu jalur Muslim dan jalur
Daruquthi. Melalui jalur Muslim, ia menerima dari Malik, Dumrah bin Sa’id,
Ubaidillah, dan Abu Waqid al-Laitsi yang menerima langsung dari Nabi SAW.
Sedang melalui jalur ad-Daruqutni, ia menerima dari Ibn Lahi’ah, Khalid bin
Yazid, Urwah, dan A’isyah, yang langsung menerima dari Nabi.
Pada silsilah sanad yang pertama, Dumrah bin Sa’id
disifati sebagai seorang perawi yang tsiqah. Sedang Ibn Lahi’ah pada silsilah
kedua, dalam thabaqah yang sama dengan Dumrah bin Sa’id dinilai lemah. Ini
artinya, perawi yang meriwayatkan hadis ini pada thabaqah yang sama dengan dia,
hanya dia sendiri yang tsiqah. Dengan demikian, hadis ini disebut garib.
2)
Hadis garib dilihat
dari sudut kegariban sanad dan matannya
Dilihat dari sudut ke-garib-an pada sanad dan
pada matan,
hadis garib terbagi kepada dua, yaitu, pertama ke-garib-an pada sanad dan matan secara bersama-sama, dan kedua, ke-garib-an pada sanad saja.
a)
Garib pada sanad dan matan secara bersama-sama
Yang dimaksud dengan garib pada sanad dan matan secara bersama-sama, ialah hadis garib yang hanya diriwayatkan oleh satu
silsilah sanad, dengan satu matan hadisnya.
Salah satu contoh, ialah hadis yang menjelaskan, bahwa ada dua kalimat yang
disenangi oleh Allah, yang ringan diucapkan, akan tetapi berat dalam timbangan
kebajikannya, yaitu kalimat “Subhana Allah wa bihamdih subhana Allah al-azhim” (Maha Suci Allah seraya memanjatkan
puji kepada-Nya, dan Maha Suci Allah yang Maha Agung).
Hadis di atas diriwayatkan oleh
al-Bukhori, Muslim, Ibn Majah, dan at-Turmudzi dengan silsilah sanadnya:
al-Bukhori menerima dari Ahmad bin Asykab, dari Muhammad bin Fudhail, dari
Umarah bin al-Qa’qa’, dari Abu Zur’ah dan terakhir dari Abu Hurairah. Para
pe-rawi lainnya juga meriwayatkan dengan menggunakan silsilah sanad yang sama. At-Turmudzzi menyatakan
bahwa hadis ini adalah garib, karena hanya rawi-rawi itulah yang
meriwayatkannya.
b)
Garib pada sanad saja
Yang dimaksud dengan garib pada sanad saja,
ialah hadis yang telah populer dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada
seorang rawi yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain yang
tidak populer. Periwayatan hadis melalui sahabat yang lain seperti ini disebut
sebagai hadis garib pada sanad.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kata ahad berarti satu, khabar al-wahid adalah
suatu berita yang disampaikan oleh satu orang. Menurut istilah ilmu hadis,
hadis ahad berarti “Hadis yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadis mutawatir.”
Ulama lain mendefinisikannya dengan
“hadis yang sanadnya shahih dan bersambung hingga sampai kepada
sumbernya (Nabi SAW), tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qat’i atau yakin”.
Dari dua definisi di atas ada dua hal
yang harus digaris bawahi yaitu: pertama, dari sudut kuantitas perawinya, hadisahad berarti
berada di bawah kuantitas hadis mutawatir, kedua, dari sudut isinya, hadis ahad member faedah zhannibukan qat’i. kedua hal inilah yang membedakannya
dengan hadis mutawatir.
Kedua definisi di atas dikemukakan
oleh para ulama yang membagi kuantitas hadis kepada dua, yaitu mutawatir danahad. Sedangkan
ulama yang membagi kuantitas hadis kepada tiga, yaitu mutawatir, masyhur, dan ahad, memberikan
definisi hadis ahad dengan
definisi yang berbeda. Menurut mereka, hadis ahad itu,
ialah :
“Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, atau dua orang, atau
lebih, yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur, atau hadis
mutawatir”.
B. SARAN
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik
dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Moh, Ilmu mustholah Hadits
Nawawi, M (2011), Pengantar Study Hadits.
Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah version 6041
Al-Nawawi, Imam. Dasar-dasar
Ilmu Hadist. (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001).
Post a Comment for "Hadist ahad"