Kebudayaan masyarakat aceh
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sebagai masyarakat Indonesia, kita
harus mengetahui berbagai macam kebudayaan yang ada di negara kita. Indonesia
terdiri dari banyak suku dan budaya, dengan mengenal dan mengetahui hal itu,
masyarakat Indonesia akan lebih mengerti kepribadian suku lain, sehingga tidak
menimbulkan perpecahan maupun perseteruan. Pengetahuan tentang kebudayaan itu
juga akan memperkuat rasa nasionalisme kita sebagai warga negara Indonesia yang
baik.
Selain hal-hal di atas, kita juga
dapat mengetahui berbagai kebudaya di Indonesia yang mengalami akulturasi.
Karena proses akulturasi yang terjadi tampak simpang siur dan
setengah-setengah. Contoh, perubahan gaya hidup pada masyarakat Indonesia yang
kebarat-baratan yang seolah-olah sedikit demi sedikit mulai mengikis budaya dan
adat ketimurannya. Namun, masih ada beberapa masyarakat yang masih sangat kolot
dan hampir tidak mempedulikan perkembangan dan kemajuan dunia luar dan mereka
tetap menjaga kebudayaan asli mereka.
Karena latar belakang di atas kita
menyusun makalah tentang salah satu kebudayaan masyarakat Indonesia, yaitu
masyarakat Minangkabau. Makalah ini akan memberikan wawasan tentang masyarakat
Minangkabau yang memiliki keragaman suku dan budaya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah asal
usul suku Minangkabau?
2. Bagaimanakah
system kekerabatan masyarakat Minangkabau?
3. Bagaimanakah system
religi/kepercayaan masyarakat Minangkabau?
4. Bagaimanakah system
ekonomi masyarakat minangkabau?
5. Apakah hasil
kebudayaan minangkabau?
6. Bagaimanakah upacara adat
minang?
7. Bagaimanakah Seni
dalam perkawinan ala minangkabau?
8. Bagaimanakah tradisi
usai akad nikah
BAB II
PEMBAHASAN
2.2 Sistem Kekerabatan dalam Suku Minangkabau
Sistem kekerabatan dalam suku minangkabau adalah Materineal yaitu garis
keturunan berdasarkan ibu,sehingga system kekerabatan memerhitungkan dua
generasi diatas ego laki-laki dan satu generasi dibawahnya.Urutannya sebagai
berikut:
1.
Ibunya ibu
2.
Saudara
perempuan dan laki-laki ibunya ibu
3.
Saudara
laki-laki ibu
4.
Anak
laki-laki,perempuan,saudara perempuan ibu ibunya ego
5.
Saudara
laki-laki dan pempuannya ego
6.
Anak
laki-laki dan perempuan saudara perempuan ibu
7.
Anak
laki-laki dan perempuan saudara perempuan ego
8.
Anak
laki-laki dan perempuan,anak perempuan,saudara perempuan ibunya ibu
Kesatuan keluarga kecil seperti
diatas di sebut paruik.pada sebagian masyarakat ada kesatuan yang di sebut
kampueng yang memisahkan antara paruik dengan suku. Kepentingan keluarga diurus
oleh laki-laki yang bertindak sebagai niniek mamak. Ego di artikan sebagai
istilah yang menunjukkan seseorang yang menjadi pusat perhatian dalam suatu
rangkaian hubungan dengan seseorang atau sejumlah orang lain.
2.3 Religi / kepercayaan
Kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18,
telah menghapus adat budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Budaya
menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam
pesta-pesta adat masyarakat Minang. Para ulama yang
dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Tuanku Nan Renceh mendesak kaum
adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat
kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk
berkiblat kepada syariat Islam.
Reformasi budaya di Minangkabau
terjadi setelah perang Paderi yang
berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya
perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai
(cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada
syariah Islam. Hal ini tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai (Adat bersendikan kepada
syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak
reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan
manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu,
setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, disamping
surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang
beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar
mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.
2.4. Bahasa
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang
bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa
Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang
menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek
Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya,
sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang
berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan
bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu
sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya
masing-masing.
Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam Bahasa Minang umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai
pada beberapa prasasti di
Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya
Islam yang
diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam
penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.
Meskipun memiliki bahasa sendiri orang Minang juga
menggunakan Bahasa Melayu dan
kemudian bahasa Indonesia secara
meluas. Historiografi tradisional orang Minang, Tambo Minangkabau, ditulis
dalam bahasa Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu atau sastra Indonesia lama. Suku Minangkabau menolak
penggunaan bahasa Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah.
Bahasa Melayu yang dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah
digunakan untuk pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga
menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan
pemerintah Hindia Belanda di wilayah
Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa
standar dan juga digunakan di wilayah Johor, Malaya. Namun kenyataannya bahasa
yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam yang terpengaruh
oleh bahasa Minangkabau.
Guru-guru dan penulis Minangkabau berperan penting
dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi. Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal
dari Minangkabau, dan sekolah di Bukittinggi merupakan
salah satu pusat pembentukan bahasa Melayu formal. Dalam masa diterimanya
bahasa Melayu Balai Pustaka,
orang-orang Minangkabau menjadi percaya bahwa mereka adalah penjaga kemurnian
bahasa yang kemudian menjadi bahasa Indonesia itu.
2.5. Kesenian
Masyarakat
Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian
yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara
tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan
bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada
tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan
gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan
masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri
tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain itu, adapula
tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan
nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat
seni peran (acting) berdasarkan skenario.
Di samping itu,
Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni
berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat
dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata
sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme. Dalam seni berkata-kata seseorang
diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan
senjata dan kontak fisik.
2.6. Sistem Mata Pencaharian
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional
dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis.
Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam
perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti
Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis
Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura
Adat dan budaya
Dalam masyarakat Minangkabau, ada
tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat.
Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan
istilah Tali nan Tigo Sapilin. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu
dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis
dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu
secara mufakat.
Adat Minang sarat
dengan formalitas dan interaksi yang dikemas sedemikian rupa sehingga acara
puncaknya tidak sah, tidak valid, jika belum disampaikan dengan bahasa
formal yang disebut pasambahan. Acara-acara adat, mulai dari yang
simple seperti mamanggia, yaitu menyampaikan undangan untuk menghadiri
suatu acara, hingga yang berat seperti pengangkatan seseorang menjadi Pangulu, selalu
dilaksanakan dengan sambah-manyambah.
Sambah-manyambah di sini tidak ada
hubungannya dengan menyembah Tuhan, dan orang Minang tidak menyembah penghulu
atau orang-orang terhormat dalam kaumnya. Melainkan yang dimaksud adalah pasambahan
kato. Artinya pihak-pihak yang berbicara atau berdialog mempersembakan
kata-katanya dengan penuh hormat, dan dijawab dengan cara yang penuh hormat
pula. Untuk itu digunakan suatu varian Bahasa Minang tertentu, yang mempunyai
format baku.
Format bahasa pasambahan ini penuh dengan kata-kata klasik,
pepatah-petitih dan dapat pula dihiasi pula dengan pantun-pantun. Bahasa
pasambahan ini dapat berbeda dalam variasi dan penggunaan kata-katanya. Namun
secara umum dapat dikatakan ada suatu format yang standar bagi seluruh
Minangkabau.
Terkait dengan pasambahan, adat
Minang menuntut bahwa dalam setiap pembicaraan, pihak-pihak yang berbicara
ditentukan kedudukannya secara formal, misalanya sebagai tuan rumah, sebagai
tamu, sebagai pemohon, atau sebagai yang menerima permohonan.
2). Sirih dan pinang
Sirih dan pinang adalah lambang
formalitas dalam interaski masyarakat Minangkabau. Setiap acara penting dimulai
dengan menghadirkan sirih dan kelengkapannya seperti buah pinang, gambir, kapur
dari kulit kerang. Biasanya ditaruh diatas carano yang diedarkan kepada
hadirin. Siriah dan pinang dalam situasi tertentu diganti dengan menawarkan
rokok.
Makna sirih adalah secara simbolik,
sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan mengadakan suatu pembicaran.
Suatu pemberian dapat juga berupa barang berharga, meskipun nilai simbolik
suatu pemberian tetap lebih utama daripada nilai intrinsiknya. Dalam pepatah
adat disebutkan, siriah nan diateh, ameh nan dibawah. Dengan sirih suatu
acara sudah menjadi acara adat meskipun tidak atau belum disertai dengan pasambahan kato. Sirih dan pinang juga
mempunyai makna pemberitahuan, adat yang lahiriah, baik pemberitahuan yang
ditujukan pada orang tertentu atau pada khalayak ramai.
3). Baso-basi
Satu lagi unsur adat Minang yang
penting dan paling meluas penerapannya adalah baso-basi: bahkan
anak-anak harus menjaga baso-basi. Tuntuan menjaga baso-basi mengharuskan
setiap invidu agar berhubungan dengan orang lain, harus selalu menjaga dan
memelihara kontak dengan orang disekitarnya secara terus-menerus. Seseorang
orang Minang tidak boleh menyendiri.
Baso-basi diimplementasikan dengan
cara yang baku. Walaupun tidak dapat dikatakan formal, baso-basi berfungsi
menjaga forms, yaitu hubungan yang selain harmonis juga formal antara
setiap anggota masyarakat nagari, dan
menjamin bahwa setiap orang diterima dalam masyarakat itu, dan akan memenuhi
tuntutan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat yang berlaku di nagari itu.
Kesenian
Suku Minangkabau memiliki berbagai
macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam
pesta adat maupun perkawinan.
·
Tari
pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat
datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai,
selanjutnya
·
Tari
piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya
sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan
lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.
·
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri
tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama.
·
Tari Payung
merupakan tari tradisi Minangkabau yang saat ini telah banyak perubahan dan
dikembangkan oleh senian-seniman tari terutama di Sumatra Barat. Awalnya tari
ini memiliki makna tentang kegembiraan muda mudi (penciptaan) yang
memperlihatkan bagaimana perhatian seorang laki-laki terhadap kekasihnya. Payung
menjadi icon bahwa keduanya menuju satu tujuan yaitu membina rumah tangga yang
baik. Keberagaman Tari Payung tidak membunuh tari payung yang ada sebagai alat
ungkap budaya Minangkabau.
·
Randai, tarian
yang bercampur dengan silek. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau
disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat
seni peran (acting) berdasarkan skenario.
Di samping itu, Minangkabau juga
menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan
(persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat
lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora,
dan aphorisme, contohnya Dima tumbuah, sinan disiang – Cara memecahkan
suatu masalah dengan langsung ke akar atau penyebab masalah itu sendiri. Dalam seni
berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga
diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.
Azwar, Welhendri. 2001. Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik. Yogyakarta: Galang Press.
De Jong, P.E. de Josselin. 1960. Minangkabau and Negeri Sembilan. Socio-Political Structure in Indonesia. Jakarta: Bhratara.
Djamaris, Edward, 1991. Tambo Minangkabau. Suntingan Teks disertai Analisa Struktur. Jakarta: Balai Pustaka.
Doblin, Christine. 2008. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri : Minangkabau 1784-1830. Jakarta: YOI
Esten, Mursal. 1993. Minangkabau, Tradisi dan Perubahannya. Padang: Angkasa Raya
Post a Comment for "Kebudayaan masyarakat aceh"