Keluarga sejahtera
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Selama ini, keluarga dipandang
sebagai kesatuan yang terkecil di dalam masyarakat yang berperan sebagai tempat
bernaung dan penggantungan hidup anggota-anggotanya. Keluarga itu sendiri
merupakan sekumpulan orang dalam satu kesatuan atau unit yang mengelompok dan
hidup bersama untuk jangka waktu relatif lama dan berlangsung terus. Oleh
karena itu, suatu keluarga biasanya diikat oleh perkawinan dan hubungan darah.
Keluarga selalu menempati kedudukan yang primer dan fundamental. Ini berarti
keluarga memiliki peranan yang besar dan vital dalam mempengaruhi kehidupan
maupun kepribadian anggota-anggotanya terutama anak.
Kehidupan berkeluarga itu mengandung
makna disamping untuk memenuhi dan menyalurkan hasrat biologis dan kebutuhan
emosional, juga untuk memberikan kesempatan bersosialisasi para anggotanya,
khususnya bagi anak-anak. Sehingga dalam konteks yang nyata, karena mereka
saling berhubungan, berinteraksi sekaligus saling mempengaruhi, keluarga akan
selalu dinamis dan peka terhadap lingkungannya. Karena itu pula, keluarga
sebagai suatu kelompok sosial tidak dapat hidup menyendiri dalam situasi vakum,
melainkan harus selalu berada di tengah atau setidak-tidaknya bertautan dengan
suatu kehidupan sosial bersama budayanya.
Seiring dengan kedudukannya sebagai
suatu masyarakat yang hidup dalam konteks budaya tertentu, keluarga telah
mengambil bagian dan tempat yang intensif. Karena itu secara langsung maupun
tidak langsung, keluarga dapat dipastikan akan selalu menyerap pengaruh budaya
dari kelompoknya. Sehingga dalam kondisi normal, kebudayaan sekitar seperti
pola pikir, adat dan kebiasaan, selera, kesenangan dan ketidaksenangan, tujuan
dan prioritas, pola perilaku, bahasa dan cara bicara akan tergambar dalam
keluarga yang bersangkutan. Lebih dari itu, keluarga akan menjadi pencerminan
seberapa tinggi tingkat budaya tertentu di suatu daerah.
Sebagai tempat bernaung
dan penggantungan hidup, segenap anggotanya pasti mengharapkan adanya suasana
aman, nyaman, tenang, tenteram dan dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya, baik
lahirilah maupun batiniah. Keluarga sejahtera yang ditandai dengan tercukupinya
kebutuhan lahir batin dan memiliki hubungan yang serasi antar anggota keluarga,
dengan alasan-alasan tersebut, sudah barang tentu menajdi idaman dan dambaan
bagi setiap orang, Karena hanya dengan kondisi yang demikian itu, mereka dapat
mengembangkan potensinya secara optimal dan mengaktualisasikannya dalam bentuk
prestasi dan hasil kerja. Termasuk diantaranya dalam upaya mengembangkan kehidupan
pribadi masing-masing sehingga mampu mencapai tingkat kematangan tertentu
secara emosional maupun intelektual.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian keluarga sejahtera?
2. Apa itu pranikah?
3. Apa pengertian pernikahan,
tujuan dan hikmah pernikahan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
KELUARGA SEJAHTERA
Keluarga adalah
unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa
orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam
keadaan saling ketergantungan. Menurut Salvicion dan Celis (1998) di
dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena
hubungan darah,
hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi
satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta
mempertahankan suatu kebudayaan.
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat,
kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu.
Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari
keluarga, kelompok dan masyarakat.
Berbagai
peranan yang terdapat dalam keluarga adalah sebagai berikut: Ayah sebagai suami dari isteri dan
ayah dari anak-anaknya,
berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman,
sebagai kepalakeluarga,
sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok
sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.[6]Sebagai
istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah
tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah
satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari
lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah
tambahan dalam keluarganya. Anak-anak melaksanakan peranan
psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial,
dan spiritual.
“Keluarga Sejahtera adalah Keluarga
yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup
spiritual dan materi yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang /maha Esa, memiliki
hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang antar anggota dan antar keluarga
dengan masyarakat dan lingkungan”. (BKKBN,1994:5)
Keluarga sejahtera adalah dibentuk
berdasarkan perkawinan yang sah mampu memenuhikebutuhan hidup spiritual dan
materiil yang layak, bertakwa kepada tuhan yang maha esa,memiliki hubungan yang
sama, selaras, seimbang antara anggota keluarga dengan masyarakat dan
lingkungan.
Kesejahteraan keluarga tidak hanya
menyangkut kemakmuran saja, melainkan juga harus secara keseluruhan sesuai
dengan ketentraman yang berarti dengan kemampuan itulah dapat menuju keselamatan
dan ketentraman hidup.
B.
PRANIKAH
Pranikah
mengandung arti sebelum menikah. Bagi setiap muslim wajib mengetahui syarat dan
rukun pernikahan sebelum menikah. Hal ini sangat penting agar pernikahan
menjadi sah di mata syari’at dan sah juga menurut undang-undang pernikahan yang
berlaku di Negara kita.
Rukun Nikah sebagai
berikut :
1. Adanya calon suami dan istri
yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di
antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si
wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki
karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang
dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah
orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan
oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya
dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku
nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku
nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3.
Adanya qabul, yaitu lafadz yang
diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya,
dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij”(“Aku terima pernikahan ini”)
atau “Qabiltuha.” Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena
dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an.
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:
1.
Syarat pertama: Kepastian
siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk)
atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila
seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara
ia memiliki beberapa orang putri.
2.
Syarat kedua: Keridhaan
dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara
marfu’:
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak
musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai
dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no.
5136 dan Muslim no.
3458)
Terkecuali bila si
wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa
seizinnya.
3. Syarat ketiga: Adanya
wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali
An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)
Apabila
seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya
batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan
pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari
‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum.
Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan
Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila,
Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad,
Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti
ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada,
karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri
ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan
nikahnya kepada selain walinya.
C.
PERNIKAHAN
Perkahwinan atau nikah menurut
bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah
ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan
perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut
peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam
al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud
perkahwinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan,
menghalalkan perkahwinan dan mengharamkan zina. Adapun nikah menurut syari’at
nikah juga berarti akad. Sedangkan pengertian hubungan badan itu hanya metafora
saja.
Islam adalah agama yang syumul
(universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah
pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah
yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan
sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam
masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari
kriteria calon calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala
resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam
mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun
tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana
namun tetap penuh dengan pesona. Melalui makalah yang singkat ini insyaallah
kami akan membahas perkawinan menurut hukum islam.
Pernikahan adalah sunnah karuniah yang
apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak
mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karna tidak mengikuti sunnah rosul. Arti dari pernikahan disini adalah
bersatunya dua insane dengan jenis berbeda yaitu laki-laki
dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad. Suatu
pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah
mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang solihah. Keturunan
inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah karena
keturunan merupakan generasi bagi orang tuanya.
Hikmah
Pernikahan
Pernikahan menjadikan proses
keberlangsungan hidup manusia didunia ini berlanjut, darigenerasi ke generasi.
Selain juga menjadi penyalur nafsu birahi, melalui hubungan suami istri serta
menghindari godaan syetan yang menjerumuskan. Pernikahan juga berfungsi untuk
mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas saling menolong
dalam wilayah kasih sayang dan penghormatan muslimah berkewajiban untuk
mengerjakan tugas didalam rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik
anak, dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Supaya suami dapat mengerjakan
kewajibannya dengan baik untuk kepentingan dunia dan akhirat. Adapun hikmah yang lain dalam
pernikahannya itu yaitu :
1) Mampu menjaga kelangsungan hidup
manusia dengan jalan berkembang biak dan berketurunan.
2) Mampu menjaga suami istri terjerumus
dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat seta menahan pandangan dari
sesuatu yang diharamkan.
3) Mampu menenangkan dan menentramkan
jiwa denagn cara duduk-duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya.
4) Mampu membuat wanita melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.
Tujuan Pernikahan
dalam Islam
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri
Manusia Yang Asasi
Perkawinan adalah fitrah manusia,
maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah
(melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan
seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur,
berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan
oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Akhlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya
perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia
dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat
manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai
sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan
melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian
berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan
pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak
mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi
dirinya”.
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya
Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan
batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah
itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah
mereka itulah orang-orang yang dhalim.”
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at
Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup
menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat
Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah
thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin
kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “ .
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami
istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya
rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada
Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah
kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini,
rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di
samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi
istri-pun termasuk ibadah (sedekah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian
termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan
bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya
terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam
menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan
selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”.
Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di
tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !” .
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan
mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu
pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak
dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”.
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya
sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang
berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya
keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam
yang benar.
Hukum Nikah
Nikah amalan yang disyari’atkan, hal ini didasarkan
pada firman Allah SWT
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.”(An-Nisaa’, 3)
Dari keterangan diatas disimpulkan
bahwa hukum nikah ada 5 :
1) Wajib kepada orang yang mempunyai
nafsu yang kuat sehingga bias menjerumuskannya ke lembah maksiat (zina dan
sebagainya) sedangkan ia seorang yang mampu.disini mampu bermaksud ia mampu membayar
mahar (mas berkahminan/dower) dan mampu nafkah kepada calon istrinya.
2) Sunat kepada orang yang mampu tetapi
dapat mengawal nafsunya.
3) Harus kepada orang yang tidak ada
padanya larangan untuk berkahwin dan ini merupakan hukum asal perkawinan
4) Makruh kepada orang yang tidak
berkemampuan dari segi nafkah batin dan lahir tetapi sekadar tidak memberi
kemudaratan kepada isteri.
5) Haram kepada orang yang tidak
berkempuan untuk memberi nafkah batin dan lahir dan ia sendiri tidak berkuasa
(lemah), tidak punya keinginan menikah serta akan menganiaya isteri jika dia
menikah.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Keluarga adalah
unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa
orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam
keadaan saling ketergantungan. Menurut Salvicion dan Celis (1998) di
dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena
hubungan darah,
hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga,
berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan
serta mempertahankan suatu kebudayaan.
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat,
kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu.
Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari
keluarga, kelompok dan masyarakat.
“Keluarga Sejahtera adalah Keluarga yang
dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup
spiritual dan materi yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang /maha Esa, memiliki
hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang antar anggota dan antar keluarga
dengan masyarakat dan lingkungan”. (BKKBN,1994:5)
B.
SARAN
Apabila
didalam penulis makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan maohon
dimaafkan, penulis sangat mengharapkan kritik dan sarannya dari pembaca demi
perbaikan makalah ini dan kmi ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
BKKBN, Pendataan Keluarga (http://www.bkkbn.go.id/privince/yogya/MENU 04.htm). Lihat juga Ade
Cahyat, Bagaimana Kemiskinan Diukur? (Bogor: Governance
Brief,2004),5.http://www.cifor.cgiar.org
Post a Comment for "Keluarga sejahtera"