Kerajaan Hindu budha di Sumatera
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu
kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di
Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand,
Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa
Sansekerta, sri berarti “bercahaya” dan wijaya berarti “kemenangan”.
Bukti awal mengenai keberadaan
kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-Tsing, menulis
bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti
yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti
Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya
terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan
diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa di tahun 990, dan tahun
1025 serangan Rajendra Chola I dari Cholamandala , selanjutnya tahun 1183
kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.
Dharmasraya merupakan nama ibukota
dari sebuah Kerajaan Melayu di Sumatera, nama ini muncul seiring dengan
melemahnya kerajaan Sriwijaya setelah serangan Rajendra Chola I raja Chola dari
Koromandel pada tahun 1025.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana sejarah kerajaan hindu
budha di sumatera?
2. Bagaimana sejarah kerajaan
sriwijaya?
BAB II
PEMBAHASAN
KERAJAAN HINDU/BUDDHA DI SUMATRA
Dharmasraya
adalah nama ibu kota dari sebuah Kerajaan
Melayu di Sumatera.[1]
Nama ini muncul seiring dengan melemahnya kerajaan Sriwijaya
setelah serangan Rajendra Chola I
(raja Chola
dari Koromandel)
pada tahun 1025.
Munculnya Wangsa Mauli
Kemunduran kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Chola I, telah
mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan
Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang
mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli. Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu
berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana
Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati
Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas
10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri
Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut raja Swarnabhumi
bernama Maharaja Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa yang mendapat
kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari Raja Kertanagara, raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca
tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya. Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibu kota dari negeri bhūmi
mālayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja
Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari
Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai
raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.
Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun
1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu
bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya
kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan. Dari catatan Cina [2] disebutkan bahwa pada tahun 1082
masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan
disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang
masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan
Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan
kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui
dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja,
ataukah raja sebelum dirinya. Karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti
Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.
Daerah
Kekuasaan Dharmasraya
Istilah San-fo-tsi pada
zaman Dinasti Sung sekitar tahun 990–an identik dengan Kerajaan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya
mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah
kronik
Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum.
Dalam naskah berjudul Chu-fan-chi
karya Chau Ju-kua tahun 1225
disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Pong-fong,
Tong-ya-nong, Ling-ya-si-kia, Ki-lan-tan, Fo-lo-an, Ji-lo-ting, Tsien-mai,
Pa-ta, Tan-ma-ling, Kia-lo-hi, Pa-lin-fong, Sin-to, Kien-pi, Lan-mu-li, dan
Si-lan. Dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Srilangka
(Si-lan), Kamboja
(Kia-lo-hi), sampai Sunda
(Sin-to).
Apabila San-fo-tsi masih
dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan
prasasti Tanyore tahun 1030,
bahwa saat itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan
Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama
Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, maka
tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.
Sebaliknya, daftar
tersebut tidak menyebutkan nama Mo-lo-yeu ataupun nama lain yang mirip
Dharmasraya. Yang disebut adalah Kien-pi, yang mungkin identik dengan Jambi.
Sementara itu, Jambi sendiri tidak sama dengan Dharmasraya karena kedua tempat
tersebut terletak berjauhan. Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun
1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya.
Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan
Kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.
Jadi, istilah San-fo-tsi
yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Cina untuk menyebut
Pulau Sumatra secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah
Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan
Dinasti
Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi,
seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah
Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak
pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya. Itu artinya, San-fo-tsi yang
dikenal oleh Dinasti Ming memang bukan Sriwijaya, melainkan sebutan umum untuk Pulau
Sumatra yang di dalamya antara lain terdapat negeri Dharmasraya dan
Palembang.
Sumber
Berita Cina
Berita tentang Kerajaan Malayu antara lain diketahui dari kronik Cina
berjudul T’ang-hui-yao karya Wang P’u. Disebutkan bahwa ada sebuah
kerajaan bernama Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar ke Cina pada tahun 644 atau 645. Pengiriman duta ini
hanya berjalan sekali dan sesudah itu tidak terdengar lagi kabarnya.
Pendeta I
Tsing dalam perjalanannya pada tahun 671–685 menuju India juga sempat
singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat, Mo-lo-yeu masih berupa
negeri merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina, Mo-lo-yeu telah menjadi
jajahan Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).
Menurut catatan I Tsing, negeri-negeri di Pulau
Sumatra pada umumnya menganut agama Buddha aliran Hinayana,
kecuali Mo-lo-yeu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh
Kerajaan Malayu.
Sriwijaya
(atau juga disebut Srivijaya; Jawa:
ꦯꦿꦶꦮꦶꦗꦪ; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah
salah satu kemaharajaan bahari yang pernah
berdiri di pulau Sumatera
dan banyak memberi pengaruh di Nusantara
dengan daerah kekuasaan berdasarkan peta membentang dari Kamboja,
Thailand
Selatan, Semenanjung Malaya,
Sumatera,
Jawa
Barat dan kemungkinan Jawa
Tengah. Dalam bahasa
Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau
"gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau
"kejayaan",maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang".
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang
pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia
mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya
prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit
di Palembang,
bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai
menyusut dikarenakan beberapa peperangandi antaranya tahun 1025 serangan Rajendra
Chola I dari Koromandel,
selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.
Setelah
jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat
publikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis
George Cœdès dari École
française d'Extrême-Orient.
Berdirinya Kerajaan Sriwijaya
Tidak
banyak bukti sejarah yang menerangkan kapan berdirinya Kerajaan Sriwijaya.
Bukti tertua datangnya dari berita Cina yaitu pada tahun 682 M terdapat seorang
pendeta Tiongkok bernama I-Tsing yang ingin belajar agama Budha di India,
singgah terlebih dahulu di Sriwijaya untuk mendalami bahasa Sanskerta selama 6
Bulan. Tercatat juga Kerajaan Sriwijaya pada saat itu dipimpin oleh Dapunta
Hyang.
Selain
berita dari luar, terdapat juga beberapa prasasti peninggalan Kerajaan
Sriwijaya, diantaranya adalah prasasti Kedukan Bukit (605S/683M) di Palembang.
Isi dari prasasti terseubt adalah Dapunta Hyang mengadakan ekspansi 8 hari
dengan membawa 20.000 tentara, kemudian berhasil menaklukkan dan menguasai
beberapa daerah. Dengan kemenangan itu Sriwijaya menjadi makmur. Dari kedua
bukti tertua di atas bisa disimpulkan Kerajaan Sriwijaya berdiri pada abad ke-7
dengan raja pertamanya adalah Dapunta Hyang.
Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
Masa
kejayaan Kerajaan Sriwijaya berada pada abad 9-10 Masehi dimana Kerajaan
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara. Sriwijaya telah
melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara
lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan
Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya
sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang
mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan
kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar
Tiongkok, dan India.
Keruntuhan Sriwijaya
Kemunduran
yang berakhirnya Kerajaan Sriwijaya dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya:
1. Pada tahun 1017 dan 1025, Rajendra
Chola I, soerang dari dinasti Cholda di Koromande, India Selatan. Dari dua
serangan tersebut membuat luluh lantah armada perang Sriwijaya dan membuat
perdagangan di wilayah Asia-tenggara jatuh pada Raja Chola. Namun Kerajaan
Sriwijaya masih berdiri.
2. Melemahnya kekuatan militer
Sriwijaya, membuat beberapa daerah taklukannya melepaskan diri sampai muncul
Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai
kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya,
Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
3. Melemahnya Sriwijaya juga
diakibatkan oleh faktor ekonomi. Para pedagang yang melakukan aktivitas
perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang karena daerha-daerah
strategis yang dulu merupakan daerah taklukan Sriwijaya jatuh ke tangan
raja-raja sekitarnya.
4. Munculnya kerajaan-kerajaan yang
kuat seperti Dharmasraya yang sampai menguasai Sriwijaya seutuhnya serta
Kerajaan Singhasari yang tercatat melakukan sebuah ekspedisi yang bernama
ekspedisi Pamalayu.
Kerajaan Sriwijaya pun akhirnya runtuh di tangan Kerajaan
Majapahit pada abad ke-13.
Sumber-sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Ada dua
jenis sumber sejarah yang menggambarkan keberadaan Kerajaan Sriwijaya, yaitu
Sumber berita asing dan prasasti.
Sumber Berita Asing
1. Berita dari Cina
Dalam perjalanannya untuk menimba ilmu agama Buddha di India,
I-Tsing pendeta dari Cina, singgah di Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) selama enam
bulan dan mempelajari paramasastra atau tata bahasa Sanskerta. Kemudian,
bersama guru Buddhis, Sakyakirti, ia menyalin kitab Hastadandasastra ke dalam
bahasa Cina. Kesimpulan I-Tsing mengenai Sriwijaya adalah negara ini telah maju
dalam bidang agama Buddha.
2. Berita Arab
menyebutkan adanya negara Zabag (Sriwijaya). Ibu Hordadheh
mengatakan bahwa Raja Zabag banyak menghasilkan emas. Setiap tahunnya emas yang
dihasilkan seberat 206 kg. Berita lain disebutkan oleh Alberuni. Ia mengatakan
bahwa Zabag lebih dekat dengan Cina daripada India. Negara ini terletak di
daerah yang disebut Swarnadwipa (Pulau Emas) karena banyak menghasilkan emas.
Sumber Prasasti
Selain
dari sumber berita asing, keberadaan Kerajaan Sriwijaya juga tercatat pada
prasasti-prasasti yang pernah ditinggalkan, diantaranya:
1. Prasasti Kedukan Bukit (605S/683M)
di Palembang. Isinya: Dapunta Hyang mengadakan ekspansi 8 hari dengan membawa
20.000 tentara, kemudian berhasil menaklukkan dan menguasai beberapa daerah.
Dengan kemenangan itu Sriwijaya menjadi makmur.
2. Prasasti Talang Tuo (606 S/684M) di
sebelah barat Palembang. Isinya tentang pembuatan sebuah Taman Sriksetra oleh
Dapunta Hyang Sri Jayanaga untuk kemakmuran semua makhluk.
3. Prasasti Kota Kapur (608 S/686 M) di
Bangka.
4. Prasasti Karang Birahi (608 S/686 M)
di Jambi. Keduanya berisi permohonan kepada Dewa untuk keselamatan rakyat dan
kerajaan Sriwijaya.
5. Prasasti Talang Batu (tidak berangka
tahun) di Palembang. Isinya kutukan-kutukan terhadap mereka yang melakukan
kejahatan dan melanggar perintah raja.
6. Prasasti Palas di Pasemah, Lampung
Selatan. Isinya Lampung Selatan telah diduduki oleh Sriwijaya.
7. Prasasti Ligor (679 S/775 M) di
tanah genting Kra. Isinya Sriwijaya diperintah oleh Darmaseta.
Raja-raja Sriwijaya
Dari abad
ke-7 sampai ke-13 Masehi, Kerajaan Sriwijaya pernah di pimpin oleh raja-raja di
bawah ini, yaitu:
1. Dapunta Hyang Sri Jayanasa
2. Sri IndravarmanChe-li-to-le-pa-mo
3. Rudra VikramanLieou-t’eng-wei-kong
4. Maharaja WisnuDharmmatunggadewa
5. Dharanindra Sanggramadhananjaya
6. Samaragrawira
7. Samaratungga
8. Balaputradewa
9. Sri
UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
10. Hie-tche (Haji)
11. Sri
CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
12. Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi
13. Sumatrabhumi
14. Sangramavijayottungga
15. Rajendra Dewa
KulottunggaTi-hua-ka-lo
16. Rajendra II
17. Rajendra III
18. Srimat Trailokyaraja Maulibhusana
Warmadewa
19. Srimat Tribhuwanaraja Mauli
Warmadewa
20. Srimat Sri Udayadityawarma
Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa
Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Kebudayaan
Letak
Sriwijaya sangat strategis di jalur perdagangan antara India-Cina. Di samping
itu juga berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan urat nadi perdagangan
di Asia Tenggara, menjadikan Sriwijaya berhasil menguasai perdagangan nasional
dan internasional. Penguasaan Sriwijaya atas Selat Malaka mempunyai arti
penting terhadap perkembangan Sriwijaya sebagai negara maritim, sebab banyak
kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air minum, perbekalan makanan dan
melakukan aktivitas perdagangan.
Dalam
bidang kebudayaan khususnya keagamaan, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat agama
Buddha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Buddha yang
berkembang di Sriwijaya ialah Agama Buddha Mahayana, salah satu tokohnya ialah
Dharmakirti. Para peziarah agama Buddha dalam pelayaran ke India ada yang
singgah dan tinggal di Sriwijaya. Di antaranya ialah I'tsing.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dharmasraya
adalah nama ibu kota dari sebuah Kerajaan
Melayu di Sumatera.[1]
Nama ini muncul seiring dengan melemahnya kerajaan Sriwijaya
setelah serangan Rajendra Chola I
(raja Chola
dari Koromandel)
pada tahun 1025.
Sriwijaya
(atau juga disebut Srivijaya; Jawa:
ꦯꦿꦶꦮꦶꦗꦪ; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah
salah satu kemaharajaan bahari yang pernah
berdiri di pulau Sumatera
dan banyak memberi pengaruh di Nusantara
dengan daerah kekuasaan berdasarkan peta membentang dari Kamboja,
Thailand
Selatan, Semenanjung Malaya,
Sumatera,
Jawa
Barat dan kemungkinan Jawa
Tengah. Dalam bahasa
Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau
"gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau
"kejayaan",maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang
gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari
abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I
Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671
dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai
Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit
di Palembang,
bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai
menyusut dikarenakan beberapa peperangandi antaranya tahun 1025 serangan Rajendra
Chola I dari Koromandel,
selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.
Setelah
jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat
publikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis
George Cœdès dari École
française d'Extrême-Orient.
B.
Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik
dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang
DAFTAR
PUSTAKA
- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto.
1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton
Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
- Slamet Muljana.
1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
- Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan
Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan
ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
- Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya
(terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
Post a Comment for "Kerajaan Hindu budha di Sumatera"