Kerajaan Islam di Nusantara
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kerajaan Islam pertama di
Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan kembar.
Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Kerajaan Aceh terletak di
daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Di sini pula
terletak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya
berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke 15 M, di
atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497).
Sedangkan di Pulau Jawa juga
berdiri kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah, kemudian berdiri pula
Kesultanan Pajang yang dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam Demak.
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di jawa Barat. Kerajaan ini didirikan
oleh Sultan Gunung Jati.
Di Kalimantan juga berdiri dua
buah kerajaan yaitu kerajaan Banjar yang rajanya bernama Sultan Suruiansyah,
dan kerajaan Kutai yang salah satu rajanya bernama Tuan di bandang atau lebih
dikenal dengan sebutan Dato’ Ri Bandang.
B. Rumusan masalah
Dari
latar belakang di atas penulis mencoba membahas mengenai kerajaan-kerajaan
Islan di Nusantara.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI
NUSANTARA
1.
Kerajaan
Islam di Sumatra
Sejak awal
kedatangan Islam, pulau Sumatra termasuk daerah pertama dan terpenting dalam
pengembangan agama Islam di Indonesia. Dikatakan demikian mengingat letak
Sumatra yang strategis dan berhadapan langsung dengan jalur perdangan dunia,
yakni Selat Malaka.
a. Samudra
Pasai
Samudra Pasai
diperkirakan tumbuh berkembang antara tahun 1270 dan 1275, atau pertengahan
abad ke-13. Kerajaan ini terletak lebih kurang 15 km di sebelah timur
Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam, dengan sultan pertamanya bernama Sultan
Malik as-Shaleh (wafat tahun 696 H atau 1297 M). Dalam kitab Sejarah Melayu dan
Hikayat Raja-Raja Pasai diceritakan bahwa Sultan Malik as-Shaleh sebelumnya
hanya seorang kepala Gampong Samudra bernama Marah Silu. Setelah menganut agama
Islam kemudian berganti nama dengan Malik as-Shaleh.
Berikut ini merupakan urutan para
raja-raja yang memerintah di Kesultanan Samudra Pasai:
1) Sultan
Malik as-Shaleh (696 H/1297 M);
2) Sultan
Muhammad Malik Zahir (1297-1326);
3) Sultan
Mahmud Malik Zahir (± 1346-1383);
4) Sultan
Zainal Abidin Malik Zahir (1383-1405);
5) Sultanah
Nahrisyah (1405-1412);
6) Abu
Zain Malik Zahir (1412);
7) Mahmud
Malik Zahir (1513-1524).
Kerajaan Samudera Pasai mempunyai peranan penting dalam
penyebaran Islam di Asia Tenggara. Malaka menjadi kerajaan yang bercorak Islam
karena amat erat hubungannya dengan Kerajaan Samudera Pasai. Hubungan tersebut
semakin erat dengan diadakannya pernikahan antara putra-putri sultan dari Pasai
dan Malaka sehingga pada awal abad-15 atau sekitar 1414 M tumbuhlah Kerajaan
Islam Malaka, yang dimulai dengan pemerintahan Parameswara.
b. Kesultanan
Aceh Darussalam
Pada 1520 Aceh
berhasil memasukkan Kerajaan Daya ke dalam kekuasaan Aceh Darussalam. Tahun
1524, Pedir dan Samudera Pasai ditaklukkan. Kesultanan Aceh Darussalam di bawah
Sultan Ali Mughayat Syah menyerang kapal Portugis di bawah komandan Simao de
Souza Galvao di Bandar Aceh. Pada 1529 Kesultanan Aceh mengadakan persiapan
untuk menyerang orang Portugis di Malaka, tetapi tidak jadi karena Sultan Ali
Mughayat Syah wafat pada 1530 dan dimakamkan di Kandang XII, Banda Aceh.
Gambar.
Makam Sultan Iskandar Muda (1607-1636) Aceh
Kemajuan
Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
mengundang perhatian para ahli sejarah. Di bidang politik Sultan Iskandar Muda
telah menundukkan daerah-daerah di sepanjang pesisir timur dan barat. Demikian
pula Johor di Semenanjung Malaya telah diserang, dan kemudian rnengakui
kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Kedudukan Portugis di Malaka
terus-menerus mengalami ancaman dan serangan, meskipun keruntuhan Malaka
sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara baru terjadi sekitar tahun 1641 oleh
VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda. Perluasan kekuasaan politik
VOC sampai Belanda pada dekade abad ke-20 tetap menjadi ancaman bagi Kesultanan
Aceh.
c. Kerajaan-Kerajaan
Islam di Riau
Kerajaan
Islam yang ada di Riau dan Kepulauan Riau menurut berita Tome Pires (1512-1515
) antara lain Siak, Kampar, dan Indragiri. Kerajaan Kampar, Indragiri, dan Siak
pada abad ke-13 dan ke-14 dalam kekuasaan Kerajaan Melayu dan
Singasari-Majapahit, maka kerajaan-kerajaan tersebut tumbuh menjadi kerajaan
bercorak Islam sejak abad ke-15. Pengaruh Islam yang sampai ke daerah-daerah
itu mungkin akibat perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Malaka. Jika
kita dasarkan berita Tome Pires, maka ketiga Kerajaan Kampar, Indragiri dan
Siak senantiasa melakukan perdagangan dengan Malaka bahkan memberikan upeti
kepada Kerajaan Malaka. Ketiga kerajaan di pesisir Sumatra Timur ini dikuasai
Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (wafat 1477).
Gambar.
Masjid di Pulau Penyengat Riau
d. Kerajaan
Islam di Jambi
Berdasarkan
temuan-temuan arkeologis kemungkinan kehadiran Islam di daerah Jambi
diperkirakan dimulai sejak abad ke-9 atau abad ke-10 sampai abad ke-13.
Kemungkinan pada masa itu proses Islamisasi masih terbatas pada perorangan.
Karena proses Islamisasi besar-besaran bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya
Kerajaan Islam Jambi sekitar 1500 M di bawah pemerintahan Orang Kayo Hitam yang
juga meluaskan “Bangsa XII” dari “Bangsa IX”, anak Datuk Paduka Berhala. Konon
menurut Undang- Undang Jambi, Datuk Paduka Berhala adalah orang dari Turki yang
terdampar di Pulau Berhala yang kemudian dikenal dengan sebutan Ahmad Salim. Ia
menikah dengan Putri Salaro Pinang Masak yang sudah Muslim, turunan raja-raja
Pagarruyung yang kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Sultan Kerajaan Jambi
yang terkenal. Karena itu kemungkinan besar penyebaran Islam sudah terjadi
sejak sekitar tahun 1460 atau pertengahan abad ke-15.
e. Kerajaan
Islam di Sumatra Selatan
Sejak
Kerajaan Sriwijaya mengalami kelemahan bahkan runtuh sekitar abad ke-14,
mulailah proses Islamisasi sehingga pada akhir abad ke-15 muncul komunitas
Muslim di Palembang. Palembang pada akhir abad ke-16 sudah merupakan daerah
kantong Islam terpenting atau bahkan pusat Islam di bagian selatan “Pulau
Emas”. Bukan saja karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang banyak
dikunjungi pedagang Arab/Islam pada abad-abad kejayaan Sriwijaya, tetapi juga
dibantu oleh kebesaran Malaka yang tak pernah melepaskan keterlibatannya dengan
Palembang sebagai tanah asalnya. Palembang sekitar awal abad ke-16 sudah ada di
bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Demak masa pemerintahan Pate Rodim seperti
diberitakan Tome Pires (1512-1515) bahkan pada waktu itu penduduk Palembang
berjumlah lebih kurang 10.000 orang.
Gambar. Mesjid Agung
Plembang yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin
f. Kerajaan
Islam di Sumatra Barat
Islam
di daerah Lampung tidak akan dibicarakan karena daerah ini sudah sejak awal
masuk kekuasaan Kesultanan Banten, karena itu yang akan dibicarakan pada bagian
ini ialah Kerajaan Islam di Sumatra Barat. Mengenai masuk dan berkembangnya
Islam di daerah Sumatra Barat masih sukar dipastikan. Berdasarkan berita Cina
dari Dinasti T’ang yang menyebutkan sekitar abad ke-7 (674 M) ada kelompok
orang-orang Arab (Ta’shih) dan disebutkan oleh W.P. Goeneveldt, wilayah perkampungan
mereka berada di pesisir barat Sumatra. Islam yang datang dan berkembang di
Sumatra Barat diperkirakan pada akhir abad ke-14 atau abad 15, sudah memperoleh
pengaruhnya di kerajaan besar Minangkabau. Bahwa Islam sudah masuk ke daerah
Minangkabau pada sekitar akhir abad ke-15 mungkin dapat dihubungkan dengan
cerita yang terdapat dalam naskah kuno dari Kerinci tentang Siak Lengih Malin
Sabiyatullah asal Minangkabau yang mengenalkan Islam di daerah Kerinci, semasa
dengan Putri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai, Parpatih Nan Sabatang yang
kesemuanya berada di daerah Kerinci.
2.
Kerajaan
Islam di Jawa
a. Kerajaan
Demak
Para
ahli memperkirakan Demak berdiri tahun 1500. Sementara Majapahit hancur
beberapa waktu sebelumnya. Menurut sumber sejarah lokal di Jawa, keruntuhan
Majapahit terjadi sekitar tahun 1478. Hal ini ditandai dengan candrasengkala,
Sirna Hilang Kertaning Bhumi yang berartimemiliki angka tahun 1400 Saka. Raja
pertama Kerajaan Demak adalah Raden Fatah, yang bergelar Sultan Alam Akbar
Al-Fatah. Raden Fatah memerintah Demak dari tahun 1500-1518. Menurut cerita
rakyat Jawa Timur, Raden Fatah merupakan keturunan raja terakhir dari Kerajaan
Majapahit, yaitu Raja Brawijaya V. Di bawah pemerintahan Raden Fatah, Kerajaan
Demak berkembang dengan pesat karena memiliki daerah pertanian yang luas
sebagai penghasil bahan makanan, terutama beras. Selain itu, Demak juga tumbuh
menjadi sebuah kerajaan maritim karena letaknya di jalur perdagangan antara
Malaka dan Maluku. Oleh karena itu Kerajaan Demak disebut juga sebagai sebuah
kerajaan yang agraris-maritim. Barang dagangan yang diekspor Kerajaan. Demak
antara lain beras, lilin dan madu. Barang-barang itu diekspor ke Malaka, Maluku
dan Samudra Pasai.
b. Kerajaan
Mataram
Setelah
Kerajaan Demak berakhir, berkembanglah Kerajaan Pajang di bawah pemerintahan
Sultan Hadiwijaya. Di bawah kekuasaannya, Pajang berkembang baik. Bahkan
berhasil mengalahkan Arya Penangsang yang berusaha merebut kekuasaannya. Tokoh
yang membantunya mengalahkan Arya Penangsang di antaranya adalah Ki Ageng
Pemanahan (Ki Gede Pemanahan). la diangkat sebagai bupati (adipati) di Mataram.
Kemudian putranya, Raden Bagus (Danang) Sutawijaya diangkat anak oleh Sultan
Hadiwijaya dan dibesarkan di istana. Sutawijaya dipersaudarakan dengan putra
mahkota, bernama Pangeran Benowo.
Dalam
bidang politik pemerintahan, Sultan Agung berhasil memperluas wilayah Mataram
ke berbagai daerah yaitu, Surabaya (1615), Lasem, Pasuruhan (1617), dan Tuban
(1620). Di samping berusaha menguasai dan mempersatukan berbagai daerah di
Jawa, Sultan Agung juga ingin mengusir VOC dari Kepulauan Indonesia. Kemudian
diadakan dua kali serangan tentara Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629.
Mataram berkembang menjadi kerajaan agraris. Dalam bidang pertanian, Mataram
mengembangkan daerah-daerah persawahan yang luas. Seperti yang dilaporkan oleh
Dr. de Han, Jan Vos dan Pieter Franssen bahwa Jawa bagian tengah adalah daerah
pertanian yang subur dengan hasil utamanya adalah beras. Pada abad ke-17, Jawa
benar-benar menjadi lumbung padi. Hasil-hasil yang lain adalah kayu, gula,
kelapa, kapas, dan hasil palawija.
c. Kesultanan
Banten
Kerajaan
Banten berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya
ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan
pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan
perdagangan. Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam
penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin atau lebih
sohor dengan sebutan Fatahillah, mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan
Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan, yakni Kesultanan
Banten.
Pada
awalnya, kawasan Banten dikenal dengan nama Banten Girang yang merupakan bagian
dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan kerajaan di bawah pimpinan Maulana
Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus
penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugis
dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan
Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugis dari Malaka tahun
1513. Atas perintah Sultan Trenggono, Fatahillah melakukan penyerangan dan
penaklukkan Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih
merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
d. Kesultanan
Cirebon
Menurut
berita Tome Pires sekitar 1513 diberitakan Cirebon sudah termasuk ke daerah
Jawa di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Penguasa di Cirebon ialah Lebe Usa
sebagai bawahan Pate Rodim. Cirebon terutama mengekspor beras dan banyak bahan
makanan lainnya. Kota ini berpenduduk sekitar 1.000 orang. Menurut Tome Pires
Islam sudah hadir di kota Cirebon 40 tahun sebelum kehadiran Tome Pires
sendiri. Perkiraan kehadiran Islam di kota Cirebon menurut sumber lokal Tjarita
Purwaka Tjaruban Nagari karya Pangeran Arya Cerbon pada 1720 M, dikatakan bahwa
Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon pada 1470 M, dan mengajarkan Islam di
Gunung Sembung, bersama-sama Haji Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabumi.
3.
Kerajaan-Kerajaan
Islam di Kalimantan
a. Kerajaan
Pontianak
Kerajaan-kerajaan
yang terletak di daerah Kalimantan Barat antara lain Tanjungpura dan Lawe.
Kedua kerajaan tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551).
Tanjungpura
dan Lawe menurut berita musafir Portugis sudah mempunyai kegiatan dalam
perdagangan baik dengan Malaka dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah
oleh Pate atau mungkin adipati kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang
diperintah Pati Unus. Tanjungpura dan Lawe (daerah Sukadana) menghasilkan
komoditi seperti emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang
dagangan dari Malaka yang dimasukkan ke daerah itu, demikian pula jenis pakaian
dari Bengal dan Keling yang berwarna merah dan hitam dengan harga yang mahal
dan yang murah. Pada abad ke-17, kedua kerajaan itu telah berada di bawah
pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram terutama dalam upaya perluasan politik
dalam menghadapi ekspansi politik VOC.
b. Kerajaan
Banjar (Banjarmasin)
Kerajaan
Banjar (Banjarmasin) terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak
kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yaitu Negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang
berpusat di daerah hulu Sungai Nagara di Amuntai. Kerajaan Nagara Dipa masa
pemerintahan Putri Jungjung Buih dan patihnya Lembu Amangkurat, pernah
mengadakan hubungan dengan Kerajaan Majapahit. Mengingat pengaruh Majapahit
sudah sampai di daerah Sungai Nagara, Batang Tabalung, Barito, dan sebagainya
tercatat dalam kitab Nagarakertagama. Hubungan tersebut juga dibuktikan dalam
cerita Hikayat Banjar dan Kronik Banjarmasin. Pada waktu menghadapi peperangan
dengan Daha, Raden Samudera minta bantuan Kerajaan Demak sehingga mendapat
kemenangan. Sejak itulah Raden Samudera menjadi pemeluk agama Islam dengan
gelar Sultan Suryanullah. Yang mengajarkan agama Islam kepada Raden Samudera
dengan patih-patih serta rakyatnya ialah seorang penghulu Demak.
4.
Kerajaan-Kerajaan
Islam di Sulawesi
a. Kerajaan
Gowa-Tallo
Kerajaan
Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan
lainnya di Sulawesi Selatan, seperti dengan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo.
Kerajaan Luwu yang bersekutu dengan Wajo ditaklukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo.
Kemudian Kerajaan Wajo menjadi daerah taklukan Gowa menurut Hikayat Wajo. Dalam
serangan terhadap Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Gowa meninggal dan seorang lagi
terbunuh sekitar pada 1565. Ketiga Kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng mengadakan
persatuan untuk mempertahankan kemerdekaannya yang disebut perjanjian
Tellumpocco, sekitar 1582.
Perkembangan
agama Islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan
ajaran sufisme Khalwatiyah dari Syaikh Yusuf al-Makassari juga tersebar di
Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke-17. Karena
banyaknya tantangan dari kaum bangsawan Gowa maka ia meninggalkan Sulawesi
Selatan dan pergi ke Banten. Di Banten ia terima oleh Sultan Ageng Tirtayasa
bahkan dijadikan menantu dan diangkat sebagai mufti di Kesultanan.
b. Kerajaan
Wajo
Wajo
pernah ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah tunduk
pada 1610. Di samping itu diceritakan pula dalam hikayat tersebut bahwa
bagaimana Dato’ ri Bandang dan Dato’ Sulaeman memberikan pelajaran agama Islam
terhadap raja-raja Wajo dan rakyatnya dalam masalah kalam dan fikih. Pada waktu
itu di Kerajaan Wajo dilantik pejabat-pejabat agama atau syura dan yang menjadi
kadi pertama di Wajo ialah konon seorang wali dengan mukjizatnya ketika
berziarah ke Mekkah. Diceritakan bahwa di Kerajaan Wajo selama 1612 sampai 1679
diperintah oleh sepuluh orang arung-matoa. Persekutuan dengan Gowa pada suatu
waktu diperkuat dengan memberikan bantuan dalam peperangan tetapi berulangkali
Gowa juga mencampuri urusan pemerintah Kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo sering pula
membantu Kerajaan Gowa pada peperangan baru dengan Kerajaan Bone pada 1643,
1660, dan 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi
karena didesak maka Kerajaan Bone sendiri takluk kepada Kerajaan Gowa-Tallo.
5.
Kerajaan-Kerajaan
Islam di Maluku Utara
Pada
abad ke-14, masa Kerajaan Majapahit hubungan pelayaran dan perdagangan antara
pelabuhan-pelabuhan terutama Tuban dan Gresik dengan daerah Hitu, Ternate,
Tidore bahkan Ambon sendiri sudah sering terjadi. Pada abad tersebut
pelabuhan-pelabuhan yang masih di bawah Majapahit juga sudah didatangi para
pedagang Muslim.
Untuk
memperoleh komoditi berupa rempah-rempah terutama cengkeh dan pala, para
pedagang Muslim dari Arab dan Timur Tengah lainnya itu juga sangat mungkin
mendatangi daerah Maluku. Hikayat Ternate menyebutkan bahwa turunan raja-raja
Maluku: Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan, berasal dari Jafar Sadik dari
Arab. Dalam tradisi setempat dikatakan bahwa Raja Ternate ke-12 bernama
Molomatea (1350-1357) bersahabat dengan orang-orang Muslim Arab yang datang ke
Maluku memberikan petunjuk pembuatan kapal.
6.
Kerajaan-Kerajaan
Islam di Papua
Sumber-sumber
sejarah menunjukkan bahwa penyebaran Islam di Papua sudah berlangsung sejak
lama. Bahkan, berdasarkan bukti sejarah terdapat sejumlah kerajaan-kerajaan
Islam di Papua, yakni: (1) Kerajaan Waigeo (2) Kerajaan Misool (3) Kerajaan
Salawati (4) Kerajaan Sailolof (5) Kerajaan Fatagar (6) Kerajaan Rumbati
(terdiri dari Kerajaan Atiati, Sekar, Patipi, Arguni, dan Wertuar) (7) Kerajaan
Kowiai (Namatota) (8). Kerajaan Aiduma (9) Kerajaan Kaimana proses Islamisasi
tanah Papua, terutama di daerah pesisir barat pada pertengahan abad ke-15,
dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan Islam di Maluku (Bacan, Ternate dan Tidore).
Hal ini didukung karena faktor letaknya yang strategis, yang merupakan jalur
perdagangan rempah-rempah (silk road) di dunia
7.
Kerajaan-Kerajaan
Islam di Nusa Tenggara
a. Kerajaan
Lombok dan Sumbawa
Selaparang
merupakan pusat kerajaan Islam di Lombok di bawah pemerintahan Prabu
Rangkesari. Pada masa itulah Selaparang mengalami zaman keemasan dan memegang
hegemoni di seluruh Lombok. Dari Lombok, Islam disebarkan ke Pejanggik, Parwa,
Sokong, Bayan, dan tempat-tempat lainnya. Konon Sunan Perapen meneruskan
dakwahnya dari Lombok menuju Sumbawa. Hubungan dengan beberapa negeri
dikembangkan terutama dengan Demak.
b. Kerajaan
Bima
Bima merupakan
pusat pemerintahan atau kerajaan Islam yang menonjol di Nusa Tenggara dengan
nama rajanya yang pertama masuk Islam ialah Ruma Ta Ma Bata Wada yang bergelar
Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kahir. Sejak itu pula terjalin hubungan erat
antara Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa, lebih-lebih sejak perjuangan Sultan
Hasanuddin kandas akibat perjanjian Bongaya. Setelah Kerajaan Bima
terus-menerus melakukan perlawanan terhadap masuknya politik dan monopoli
perdagangan VOC akhirnya juga tunduk di bawah kekuasaannya. Ketika VOC mau
memperbaharui perjanjiannya dengan Bima pada 1668 ditolak oleh Raja Bima,
Tureli Nggampo; ketika Tambora merampas kapal VOC pada 1675 maka Raja Tambora,
Kalongkong dan para pembesarnya diharuskan menyerahkan keris-keris pusakanya
kepada Holsteijn.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kerajaan Islam pertama di
Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan kembar.
Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Kerajaan Aceh terletak di
daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Di sini pula
terletak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya
berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke 15 M, di
atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497).
Sedangkan di Pulau Jawa juga
berdiri kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah, kemudian berdiri pula
Kesultanan Pajang yang dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam Demak. Kesultanan
Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di jawa Barat. Kerajaan ini didirikan
oleh Sultan Gunung Jati.
Di Kalimantan juga berdiri dua
buah kerajaan yaitu kerajaan Banjar yang rajanya bernama Sultan Suruiansyah,
dan kerajaan Kutai yang salah satu rajanya bernama Tuan di bandang atau lebih
dikenal dengan sebutan Dato’ Ri Bandang.
B.
Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik
dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Yatim,
Badri. 2011. Sejarah Peradaban Islam
(Dirasah Islamiyah II).
Jakarta: Rajawali Pers.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber
Soekmono, R.1973.Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid 2 dan 3. Yogyakarta: Kanisius
Suryanegara, Ahmad Mansur. 1996. Meneruskan Sejarah – Wacana Pergerakan Islam
di Indonesia. Bandung: Mizan.
Post a Comment for "Kerajaan Islam di Nusantara"