Kewarisan dan hukum pidana
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sistem kewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (untuk memudahkan, kita sebut “waris barat” saja) terutama berlaku bagi
warga negara Indonesia yang beragama selain Islam atau bagi yang beragama
Islam, tetapi “menundukan” diri ke dalam hukum pewarisan perdata Barat. Dari
tiga sistem kewarisan yang berlaku: Waris Barat, Waris Adat, dan Waris Islam.
Sedangkan perkara pembagian waris menurut hukum Waris Islam ditangani oleh
Pengadilan Agama dalam bentuk Fatwa Waris.
Akibat adanya berbagai sistem hukum waris yang berlaku
di Indonesia tersebut sering terjadi perbedaan sangat mencolok antara siapa
yang berhak mewarisi. Disini akan dibahas tentang kewarisan secara lebih lanjut
dimana salah satunya terdapat dari Kompilasi Hukum Islam.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa pengertian kewarisan ?
2.
Apa pengertian hukum warisan?
3.
Bagaimana unsur-unsur warisan?
4.
Bagaimana proses penerusan harta
warisan adat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kewarisan
Istilah
hukum waris dalam perdata barat disebut dengan Erfrecht. Pasal 830 KUHPerdata
menyebutkan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta
kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan
itu kepada orang lain.
Wirdjono
prodjodikoro, mantan ketua mahkamah agung Republik Indonesia mengatakan hukuk
waris adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur, tentang apakah
dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Menurut
wirdjono prodjodikoro, bahwa pengertian kewarisan menurut KUHPerdata
memperlihatkan unsur yaitu :
1)
Seorang peninggal warisan atau
“erflater” yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan. Unsur pertama ini
menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang peninggal
warisan dengan kekayaanya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekluargaan, dimana
sipennggal warisan berada.
2)
Seseorang atau beberapa orang ahli
waris (erfgenaam) yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu,
menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan
antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan sipeninggal warisan dapat
beralih kepada si ahli waris.
3)
Harta warisan (halatenschap), yaitu
wujud kekayaan yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada siahli waris itu,
menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana ujud kekayaan yang beralih
itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana sipeninggal warisan
san hli waris bersama-sama berada.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf a
menyebutkan bahwa Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dalam konteks hukum adat menurut soepono, pengertian
hukum waris adalah sekumpulan hukum yang mengatur proses pengoperan dari satu
generasi kegenerasi selanjutnya. Adapun Van Dijk berpandangan, bahwa hukum
waris menurut hukum adat adalah suatu kompleks kaidah-kaidah yang mengatur
proses penerusan dan pengoperan dari pada harta, baik materiil maupun
immaterial dari generasi ke generasi berikutnya. Dari definisi ini menjelaskan
bahwa istilah waris didalam hukum waris adat termuat tiga inti penting, yaitu :
(1) proses pengoperan tau hibah (warisan); (2) harta benda materiil dan
immaterill; (3) satu generasi kegenerasi selanjutnya. Volmar berpendapat bahwa
hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi
keseluruhan hak-hak dan kewajiban, dari orang-orang yang mewariskan kepada
warisnya.
Sementara itu A. Pitlo mengatakan, hukum waris adalam
suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana berhubung dengan meninggalnya
seseorang, akibat-akibatnya didalam kebendaan, diatur yaitu akibet dari
beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal kepada ahli waris,
baik didalam hubunganya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga. Sedangkan
lebih jelas Salim H.S, mengatakan bahwa hukum waris adalah keseluruhan
kaidah-kaidah hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur
mengenai pemindahan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya, bagian yang
diterima serta hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga. Pendapat Pitlo
dan Salim tersebut agaknya lebih luas karena didalam pemindahan kekayaan itu
tidak hanya hubungan antara ahli waris yang satu dengan ahli waris yang lain,
tetapi juga diatur tentang hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga yang
berkaitan dengan utang piutang pewaris pada saat hidup.
B.
Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris
adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan
asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli
waris. Hukum ini sesungguhnya adalah hukum penerusan serta mengoperkan harta
kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya. Di dalam Hukum adat
sendiri tidak mengenal cara-cara pembagian dengan penghitungan tetapi
didasarkan atas pertimbangan, mengingat wujud benda dan kebutuhan waris yang
bersangkutan.
Hukum adat
waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari
angkatan manusia kepada turunannya.[3] Soerojo Wignjodipoero, mengatakan :
Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik
yang materiil maupun immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat
diserahkan kepada keturunannya.[4] Jadi, Hukum waris adat adalah
aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara penerusan dan peralihan harta
kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari generasi ke generasi.
Dengan demikian, hukum waris itu mengandung tiga unsur, yaitu: adanya harta
peninggalan atau harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan
dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang
akan menerima bagiannya.
Jadi
sebenarnya hukum waris adat tidak semata-mata hanya mengatur tentang warisan
dalam hubungannya dengan ahli waris tetapi lebih luas dari itu. Hilman
Hadikusuma mengemukakan hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat
garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta
warisan, pewaris, dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Dalam hal ini terlihat
adanya kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan harta, baik material maupun
non material dari suatu generasi kepada keturunannya. Selain itu pandangan
hukum adat pada kenyataannya sudah dapat terjadi pengalihan harta kekayaan
kepada waris sebelum pewaris wafat dalam bentuk penunjukan, penyerahan
kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.
C.
Corak Hukum Waris Adat
Secara
teoritis hukum waris adat di Indonesia sesungguhnya dikenal banyak ragam sistem
kekeluargaan di dalam masyarakat. Akan tetapi secara umum yang dikenal sangat
menonjol dalam peraturan hukum adat ada tiga corak yaitu: prinsip patrilineal,
matrilineal, dan bilateral atau parental.
Adapun penjelasannya sebagai
berikut:
a.
Patrilineal
Sistem ini pada dasarnya adalah
sistem keturunan yang menarik garis ketururan dimana kedudukan seorang pria
lebih menonjol dan hanya menghubungkan dirinya kepada ayah atas ayahnya dan
seterusya atau keturunan nenek moyang laki-laki didalam pewarisan.
b.
Matrilineal
Dalam corak ini keluarga menarik
garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga
dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya. Akibat hukum yang timbul adalah
semua keluarga adalah keluarga ibu, anak-anak adalah masuk keluarga ibu, serta
mewarisi dari keluarga ibu. Suami atau bapak tidak masuk dalam keluarga ibu
atau tidak masuk dalam keluarga istri. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem
kekeluargaan yang ditarik dari pihak ibu ini, kedudukan wanita lebih menonjol
daripada pria di dalam pewarisan. Contoh dari masyarakat hukum adat ini antara
lain: masyarakat Minangkabau. Dalam susunan ini kedudukan anak wanita sebagai
ahli waris sehingga segala sesuatunya dikuasai oleh kelompok keibuan. Namun
bukan semata-mata para ahli waris wanita yang menguasai dan mengatur harta
peninggalan, melainkan didampingi juga oleh saudara-saudara ibu yang pria.
c.
Parental
Corak ini pada dasarnya adalah
sistem yang menarik garis keturunan dimana seseorang itu menghubungkan dirinya
baik ke garis ayah maupun ke garis ibu, sehingga dalam kekeluargaan. Semacam
ini pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah di
dalam pewarisan
D.
Unsur-unsur Warisan
Jika dilihat
dari harta warisan, Dalam hal ini Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa untuk
mengetahui apakah harta dapat terbagi atau memang tidak terbagi, harta warisan
itu perlu dikelompokkan yaitu:
a.
Harta Asal
Yaitu semua
kekayaan yang dikuasai dan dimiliki pewaris, baik berupa harta peninggalan ataupun
harta bawaan yang dibawa masuk ke dalam perkawinan. Harta peninggalan dapat
dibedakan lagi dengan harta peninggalan yang tidak terbagi, peninggalan yang
belum terbagi dan peninggalan yang terbagi. Harta peninggalan ini pada daerah
tertentu seperti di Minangkabau di kenal pula dengan harta pusaka rendah. Harta
pusaka tinggi adalah harta warisan yang diperoleh ahli waris dari lebih dua
generasi di atas pewaris, sedangkan harta pusaka rendah semua harta warisan
yang diperoleh dari satu atau dua angkatan kerabat di atas pewaris. Harta
bawaan dapat dibedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan istri.
Dilihat dari sudut perkawinan, baik harta peninggalan maupun harta bawaan
kesemuanya merupakan harta asal. Sebaliknya, dilihat dari sudut pewarisan, keduanya
merupakan harta peninggalan. Harta bawaan suami maupun harta bawaan istri akan
kembali kepada pemilik asalnya yaitu yang membawanya bila terjadi perceraian.
b.
Harta Pencaharian
Yaitu harta yang didapat suami
isteri secara bersama selama dalam ikatan perkawinan. Tidak perlu
dipermasalahkan apakah isteri ikut aktif bekerja atau tidak. Walaupun yang
bekerja hanya suami, sedangkan isteri hanya tinggal di rumah mengurus rumah
tangga dan anak, namun tetap menjadi hasil usaha suami isteri.
c.
Harta Pemberian
Yaitu harta pemberian yang merupakan
harta warisan yang bukan karena jerih payah seseorang bekerja untuk
mendapatkannya. Pemberian dapat dilakukan seseorang atau sekelompok orang atau
seseorang atau kepada suami-isteri. Untuk harta pemberian ini, bila terjadi
perceraian maka dapat dibawa kembali oleh masing-masing, sebagaimana peruntukan
yang dimaksud pemberinya.
d.
Ahli waris
Yang menjadi ahli waris terpenting
adalah anak kandung, sehingga anak kandung dapat menutup ahli waris lainnya. Di
dalam hukum adat juga dikenal istilah :
1)
Anak angkat
Dalam hal status anak angkat, setiap
daerah mempunyai perbedaan. Putusan Raad Justitie tanggal 24 Mei 1940
mengatakan anak angkat berhak atas barang-barang gono gini orang tua angkatnya.
Sedangkan barang-barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak
mewarisinya, (Putusan M.A. tanggal 18 Maret 1959 Reg. No. 37 K/SIP/1959).[19]
2)
Anak tiri
Terhadap bapak dan ibu kandungnya
anak tersebut merupakan ahli waris, namun anak tersebut tidak menjadi ahli
waris orang tua tirinya. Kadang-kadang begitu eratnya hubungan antara
anggota rumah tangga, sehingga anak tiri mendapat hak hibah dari bapak tirinya,
bahkan anak tiri berhak atas penghasilan dari bagian harta peninggalan bapak
tirinya demikian sebaliknya.
3)
Anak luar nikah
Anak diluar nikah hanya dapat
menjadi ahli waris ibunya.
4)
Kedudukan janda
Didalam hukum adat kedudukan janda
didalam masyarakat di Indonesia adalah tidak sama sesuai dengan sifat dan
system kekelurgaan. Sifat kekelurgaan Matrilineal : harta warisan suaminya yang
meninggal dunia kembali kekeluarga suaminya atau saudara kandungnya.
5)
Kedudukan duda
Di Daerah Minangkabau dengan sifat
kekeluargaan matrilineal suami pada hakekatnya tidak masuk keluarga isteri,
sehingga duda tidak berhak atas warisan isteri.
E.
Proses Penerusan Harta Waris Adat
Proses pewarisan yang berlaku menurut hukum adat di
dalam masyarakat Indonesia hanya ada dua bentuk. Pertama, proses pewarisan yang
dilakukan semasa pewaris masih hidup. Kedua, proses pewarisan yang dilakukan
setelah pewaris wafat. Apabila proses pewarisan dilakukan semasa
pewaris masih hidup maka dapat dilakukan dengan cara penerusan, pengalihan,
berpesan, berwasiat, dan beramanat. Sebaliknya, apabila dilaksanakan setelah
pewaris wafat, berlaku cara penguasa yang dilakukan oleh anak tertentu, anggota
keluarga atau kepada kerabat, sedangkan dalam pembagian dapat berlaku pembagian
ditangguhkan, pembagian dilakukan berimbang, berbanding atau menurut hukum
agama.
Mengenai hibah pada masyarakat parental adalah
bagian dari proses pewarisan yang dilakukan sebelum orang tua atau pewaris
meninggal. Selanjutnya, hibah pada masyarakat matrilineal pada dasarnya
tidak dikenal. Dan hibah pada masyarakat patrilineal mempunyai arti pemberian
(sebagian kecil) harta kepada anak perempuan yang bukan bagian dari ahli waris.
Hibah ada dua macam, pertama, hibah biasa yaitu hibah yang diberikan pada waktu
pewaris masih hidup, kedua, hibah wasiat yaitu hibah yang dilaksanakan ketika
pewaris telah meninggal dunia.
Sedangkan terkait harta warisan setelah pewaris wafat
karena alasan - alasan tertentu ada yang dibagi-bagikan dan ada yang
pembagiannya ditangguhkan. Adapun alasan-alasan penangguhan itu antara lain :
a. Terbatasnya
harta pusaka;
b. Tertentu jenis
macamnya;
c. Para waris
belum dewasa;
d. Belum adanya
waris pengganti;
e. Diantara
waris belum hadir;
f. Belum
diketahui hutang piutang pewaris;
Pembagian harta waris dapat dilakukan dapat mengikuti
hukum adat dan mengikuti hukum waris Islam. Hilman Hadikusuma menyebutkan bahwa
pada umumnya masyarakat Indonesia menerapkan pembagian berimbang yaitu di
antara semua waris mendapat bagian yang sama, seperti dilakukan oleh masyarakat
Jawa, dan banyak pula yang menerapkan hukum waris Islam di mana setiap waris
telah mendapatkan jumlah bagian yang telah ditentukan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hukum waris adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum,
baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur mengenai pemindahan harta
kekayaan pewaris kepada ahli warisnya, bagian yang diterima serta hubungan
antara ahli waris dengan pihak ketiga. dalam Hukum Waris BW mengadnung 3 unsur
pokok, yaitu: Orang yang meninggalkan harta warisan(erflater), Harta warisan
(erfernus), Ahli waris (erfergenaam). Tata Cara penyelenggaraan Warisan
tercantum dalam pasal 528 dan Pasal 584. Surat wasiat yaitu suatu akta yang
berisi pernyataan seseorang tentang apa yang terjadi setelah ia meninggal, dan
yang olehnya dapat ditarik kembali (lihat Pasal 875 BW). Empat macam bentuk
wasiat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu
Wasiat Rahasia (Geheim), Wasiat Umum (Openbaar Testament), Wasiat ditulis
Sendiri (Olografis), Wasiat Darurat (Pasal 946, 947, dan 948 BW).
Menurut KHI pasal 171 ayat 2 yang dimaksud dengan
pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan pengadilan beragama islam, meninggalkan ahli waris, dan
harta peninggalan. sedangkan ahli waris itu sendiri adalah sekumpulan orang
atau seorang atau individu atau kerabat-kerabat atau keluarga yang ada hubungan
keluarga dengan simeninggal dunia dan berhak mewarisi atau menerima harta
peninggalan yang ditinggal mati oleh seseorang (pewaris).
B.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan tentunya
kami menyadari di dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan, maka dari
itu kami harap kritik dan saran, serta diharapakan bisa di
diskusikan bersama tentang massa kewarisan ini secara lebih mendalam, agar kita
semua bisa mengetahui yang tidak hanya secara parsial saja.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Ali. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian.
Jakarta : Rineka Cipta.
Devita, Irma. 2012. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah
Hukum Waris. Bandung : Mizan Pustaka.
Oemarsalim. 1987. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta
: Bina Aksara.
Soetami, Siti. 2007. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Banung :
Refika Aditama.
Tedjosaputro, Liliana. 2006. Hukum
Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Semarang : Aneka Ilmu
Anggota Ikalpi.
Triwulan, Titik. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta
: Kencana.
Post a Comment for "Kewarisan dan hukum pidana"