Konsep keadialan menurut al-farabi dan ibnu sina
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum alam
adalah hukum yang digambarkan berlaku abadi sebagai hukum dan
norma-norma-normanya berasal dari tuhan yang maha adil, dari alam semesta dan
dari akal budi manusia, sebagai hukum yang kekal dan abadi sebegitu jauh tidak
terikat waktu dan tempat, sebagai hukum yang sanggup menyalurkan kebenaran dan
keadilan dalam tingkatan yang semutlak-mutlaknya kepada segenap umat manusia.
Oleh karenanya hukum alam memiliki sifat yang lebih sempurna dan mempunyai
derajat yang lebih tinggi daripada ius constitutum ataupun ius constituendum.
Keadilan
menunjuk pada pertimbangan nilai yang sangat subjektif. Keadilan adalah
persoalan kita semua, dan dalam suatu masyarakat setiap anggota berkewajiban
untuk melaksanakan keadilan itu. Dalam hal ini orang tidak boleh bersifat
netral apabila terjadi sesuatu hal yang tidak adil.
Keadilan ini
dipahami sebagai hukum yang lebih tinggi atau terakhir yang berkembang dari
sifat alam semesta, dari tuhan dan akal manusia. Oleh sebab itu, hukum dalam
arti hukum pada taraf terakhir bagaimanapun lebih tinggi daripada pembentukan
hukum. ini berarti bahwa pembentuk undang-undang pada hakikatnya berada di bawah
dan tunduk kepada hukum. Adalah maksud penulis untuk menulis dan menyelidiki
kelangsungan hukum terutama dalam hal menegakkan keadilan. Oleh karena itu
makalah ini kami beri judul “hukum dan keadilan” khususnya dalam pandangan
secara filosofis.
B.
Rumusan
masalah
1.
Bagaimana Pengertian Keadilan ?
2.
Bagaimana Konsep Keadilan Menurut
Al-Farabi Dan Ibnu Sina ?
3.
Bagaimana Keadilan dalam Perpektif Filsafat Hukum ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Keadilan
Keadilan adalah
kata jadian dari kata "adil" yang terambil dari bahasa
Arab " 'adl ". Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa
kata ini pada mulanya berarti "sama". Persamaan tersebut
sering dikaitkan dengan
hal-hal yang bersifat imaterial.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata "adil" diartikan :
1)
tidak berat sebelah/tidak memihak
2)
berpihak kepada
kebenaran, dan
3)
sepatutnya/tidak sewenang-wenang.
Keadilan
adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Jika
kita mengakui hak hidup kita, maka sebaliknya kita wajib mempertahankan hak
hidup tersebut dengan bekerja keras tanpa merugikan orang lain. Sebab orang lain
pun mempunyai hak hidup seperti itu. Jika kita mengakui hak hidup orang lain,
kita wajib memberikan kesempatan kepada orang lain itu untuk mempertahankan hak
hidupnya, sebagaimana kita mempertahankan hak hidup kita sendiri. Jadi keadilan
pada pokoknya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak
dan menjalankan kewajiban. Berdasarkan kesadaran etis, kita diminta untuk tidak
hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban. Jika kita menuntut hak dan
lupa menjalankan kewajiban maka sikap dan tindakan kita akan mengarah kepada
pemerasan dan memperbudak orang lain. Sebaliknya jika kita hanya menjalankan
kewajiban dan lupa menuntut hak maka kita akan mudah diperbudak atau diperas
orang lain
B.
Konsep
Keadilan Menurut Al-Farabi Dan Ibnu Sina
Bagi Al-Farabi,
keadilan adalah kebaikan-kebaikan tertinggi yang diupayakan manusia untuk diolah
dan ditanam didalam dirinya dan merupakan fondasi yang di atasnya ditegakkan tatanan
politik. Kota utama dipimpin oleh seorang Imam yang diberkahi oleh sifat-sifat yang
paling unggul, yaitu akal budi, sehingga memungkinkan untuk mengemban fungsinya
yang hakiki sebagai seorang pemimpin. Fungsi seorang penguasa bukan hanya untuk
memimpin kota, ia harus mengombinasikan seluruh kekuatan yang ada ditangannya, kekuatan
eksekutif, legislatif dan judikatif.
Ia diberkati
pula dengan pegertian tentang keadilan yang akan memungkinkanya mengoperasikan tatanan
publik sesuai dengan standar keadilan yang terkandung dalam Syari’at. Seorang Imam
adalah seorang penguasa tertinggi dan sumber dari segala kekuasaan yang berkuasa
atas bangsa utama. Dalam memerintah, ia bersandar pada takaran keadilan yang berada
ditangannya, karena ia sendiri mempunyai kekuasaan untuk melakukan legislasi, menafsirkan
dan mengaplikasikan Syariat.
Dengan singkat,
dapat dikatakan bahwa ketika stasi prestasi diperolah oleh kota utama, maka prestasi
positif yang diraih itu harus didistribusikan kepada masing-masing anggota masyarakat
sehingga setiap individu berhak atas haknya, dan pelanggaran batas terhadap hak-hak
itu berarti menggiring pada kezaliman. Sebaliknya, dikota-kota yang disebut Al-Farabi
dengan kota jahiliah, kota fasik dan kota sesat, dimana tujuan kebahagiaan membuat
menjadi sekedar kenikmatan, perolehan materi duniawiah, nafsu terhadap kemuliaan
dan kekuasaan semata, maka mustahil keadilan dapat direalisasikan.
Keadilan rasional,
menurut Al-Farabi, adalah suatu kualitas dari kesempurnaan yang hanya dapat direalisasikan
dalam skota utama. Manusia yang memahami keadilan dalam kontek skota utama, jiwa
mereka mencapai keadilan Ilahi diakhirat nanti. Jiwa-jiwa manusia yang tidak memahami
keadilan kota utama (keadilan rasional) dan mengejar standar keadilan kota dungu
dan bebal, ia akan sirna menghilang, mana kala fisik jasmaniah mereka hancur. Sementara,
jiwa-jiwa yang memahami keadilan rasional, namun tidak menerimanya, ia terus hidup
dalam keabadian namun dalam kesedihan.
Sedang jiwa yang
memahami keadilan rasional, menerimanya sebagai keyakinan, ia akan hidup dalam kebahagiaan
yang abadi diakhirat. Jika al-Farabi tidak mengungkap mengenai strategi pembentukan
dan pembangunan Kota Utama, maka Ibnu Sina menjawabnya dengan teori ‘aqd (kontrak),
kontraksosial. Ibnu Sina menggagas kota adil sebagai personifikasi keadilan rasional.
Dalam gagasannya,
ia secara eksplisit menyatakan bahwa suatu tatanan politik akan menjadi kenyataan
jika ada suatu kontrak (‘aqd) murni yang menyepakati suatu ikatan antara penguasa
dan rakyatnya. Kesepakatan itu terjadi karena kontrak politik yang menggambarkan
kandungan mengenai kondisi-kondisi spesifik yang diletakkan para pendiri kota sesuai
dengan suatu takaran keadilan yang disepakati oleh kelompok-kelompok yang terlibat.
Orang-orang yang
dilahirkan dikota itu atau terikat dengannya sertelah itu, terikat untuk menerima
tatanan politik yang ada. Sejalan dengan tatanan ini, masing-masing orang dijamin
dengan suatu kedudukan dan fungsi yang sesuai dengan bakatalamiahnya dan suatu tingkat
keunggulan yang ia peroleh sebagai seorang anggota masyarakat. Fungsi dan kedudukan
masing-masing orang akan diberikan sesuai dengan tujuan tatanan politik kota. Agar
tujuan kota adil tercapai, kota harus memiliki perangkat hukum dan juga seorang
penguasa yang mengembang kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Seorang penguasa
haruslah seorang Nabi yang diberkati dengan sifat-sifat istimewa berdasarkan karakter
moralnya dan otoritas Ilahi yang terkandung didalam kenabian. Ia adalah pembuat
undang-undang yang meletakkan hukum untuk mengorganisasikan hubungan manusia dalam
segala aspeknya. Penguasa demikian perlu untuk menjamin hukum (Syariat)-nya tetap
valid sepeninggalnya. Syariat ini berfungsi untuk memantapkan tatanan politik berdasar
keadilan dan memberdayakan manusia untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diakhirat.
Jadi, perhatian utama dari kota adil Ibnu Sina adalah kebahagiaan dimuka bumi yang
didasarkan pada keadilan bagi semua.
C.
Keadilan dalam Perpektif
Filsafat Hukum
a.
Penganut paradigma Hukum
Alam meyakini bahwa alam semesta diciptakan dengan prinsip keadilan,
sehingga dikenal antara lain Stoisisme norma hukum alam primer yg bersifat umum
menyatakan:Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique
suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere)”. Cicero
juga menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentukan oleh pendapat
manusia, tetapi oleh alam.
b.
Paradigma Positivisme Hukum,
keadilan dipandang sebagai tujuan hukum. Hanya saja disadari pula sepenuhnya
tentang relativitas dari keadilan ini sering mengaburkan unsur lain yang juga
penting, yakni unsur kepastian hukum. Adagium yang selalu didengungkan adalah Suum
jus, summa injuria; summa lex, summa crux. Secara harfiah
ungkapan tersebut berarti bahwa hukum yang keras akan melukai, kecuali keadilan
dapat menolongnya.
c.
Dalam paradigma hukum
Utiliranianisme, keadilan dilihat secara luas. Ukuran satu-satunya untuk
mengukur sesauatu adil atau tidak adalah seberapa besar dampaknya bagi
kesejahteraan manusia (human welfare). Adapun apa yang dianggap
bermanfaat dan tidak bermanfaat, diukur dengan perspektif ekonomi”.
Perspektif
tentang keadilan sebagaimana dirumuskan di atas, menurut Satjipto Rahardjo,
seperti dikutip oleh Angkasa bahwa keadilan mencerminkan
bagaimana seseorang melihat tentang hakikat manusia dan bagaimana
seseorang memperlakukan manusia.
Lebih lanjut
Angkasa mengatakan bahwa Karena keadilan adalah ukuran yang
dipakai seseorang dalam memberikan terhadap objek yang berada di luar
diri orang tersebut. Mengingat objek yang dinilai adalah manusia maka
ukuran-ukuran yang diberikan oleh seseorang terhadap orang lain tidak dapat
dilepaskan dengan bagaimana seseorang tersebut memberikan konsep atau makna
tentang manusia.
Apabila
seseorang melihat orang lain sebagai mahluk yang mulia maka perlakuan seseorang
tersebutpun akan mengikuti anggapan yang dipakai sebagai ancangan
dan sekaligus akan mentukan ukuran yang dipakai dalam menghadapi orang
lain. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa masalah keadilan
tidak dapat dilepaskan dengan filsafat tentang manusia”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keadilan menunjuk pada pertimbangan nilai yang sangat subjektif. Keadilan
adalah persoalan kita semua, dan dalam suatu masyarakat setiap anggota
berkewajiban untuk melaksanakan keadilan itu. Dalam hal ini orang tidak boleh
bersifat netral apabila terjadi sesuatu hal yang tidak adil.
Keadilan dipahami sebagai hukum yang lebih tinggi atau terakhir yang
berkembang dari sifat alam semesta, dari tuhan dan akal manusia. Oleh sebab
itu, hukum dalam arti hukum pada taraf terakhir bagaimana pun lebih tinggi daripada pembentukan hukum.
B. Saran
Demikianlah
makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para
pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan
kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas.Karena kami hanyalah manusia
biasa yang tak luput dari kesalahan Dan kami juga sangat mengharapkan saran dan
kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami
semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
M. shodiq dahlan.Hukum Alam Dan Keadilan dalam buku Filsafat Hukum
mazhab & refleksinya.Remaja Rosdakarya.Bandung.1994
DR. Theo Huijbers.Filsafat Hukum.Kanisius.Yogyakarta.1995
Ansori, Abdul Gafur, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gajah
Mada Universisty Press.Yogyakarta.2006
Post a Comment for "Konsep keadialan menurut al-farabi dan ibnu sina"