Konsep keadilan menurut Al-qur'an
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai mana
kita ketahui bahwa di negara kita masih terdapat disana sini ketidak adilan,
baik ditataran pemerintahan, masyarakat dan disekitar kita, Ini terjadi baik
karena kesengajaan atau tidak sengaja ini menunjukkan Rendahnya kesadaran
manusia akan keadilan atau berbuat adil terhadap sesama manusia atau dengan
sesama makhluk hidup.
Seandainya di negara kita terjadi pemerataan
keadilan maka saya yakin tidak akan terjadi protes yang disertai kekerasan,
kemiskinan yang berkepanjangan, perampokan, kelaparan, gizi buruk dll. Mengapa
hal diatas terjadi karena konsep keadilan yang tidak diterapkan secara benar,
atau bisa kita katakan keadilan hanya milik orang kaya dan penguasa. Dari latar
diatas penulis akan mencoba untuk memberikan sebuah konsep keadilan
sehingga diharapkan nantinya dapat meminimalisi ketidak adilan yang terjadi di
Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Dari beberapa fenomena ketidakadilan di latar belakang diatas maka, kita
dapat rumuskan :
1.
Apa pengertian dari keadilan ?
2.
Bagaimanakah konsep keadilan dalam
Alqur'an ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ‘Adl
(adil, keadilan)
Kata ‘adl
adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘adala – ya‘dilu – ‘adlan
– wa ‘udûlan – wa ‘adâlatan (عَدَلَ –
يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً - وَعَداَلَةً) . Kata
kerja ini berakar pada huruf-huruf ‘ain (عَيْن),
dâl (دَال), dan lâm (لاَم),
yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwâ’’ (اَلْاِسْتِوَاء
= keadaan lurus) dan ‘al-i‘wijâj’ (اَلْاِعْوِجَاج
= keadaan menyimpang). Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna
yang bertolak belakang, yakni ‘lurus’ atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau
‘berbeda’. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum
dengan benar’. Jadi, seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan
sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. ‘Persamaan’
itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya
“tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula
seorang yang ‘adl “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar
maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia
melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.
Al-Ashfahani
menyatakan bahwa kata ‘adl berarti ‘memberi pembagian yang sama’. Sementara
itu, pakar lain mendefinisikan kata ‘adl dengan ‘penempatan
sesuatu pada tempat yang semestinya’. Ada juga yang menyatakan bahwa ‘adl
adalah ‘memberikan hak kepada pemiliknya melalui jalan yang terdekat’. Hal ini
sejalan dengan pendapat Al-Maraghi yang memberikan makna kata ‘adl
dengan ‘menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif’.
Kata ‘adl
(عَدْل) di dalam berbagai bentuknya terulang
sebanyak 28 kali di dalam Al-Qur’an. Kata ‘adl sendiri disebutkan 13
kali, yakni pada QS. Al-Baqarah [2]: 48, 123, dan 282 (dua kali), QS. An-Nisâ’
[4]: 58, QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 (dua kali) dan 106, QS. Al-An‘âm [6]: 70, QS.
An-Nahl [16]: 76 dan 90, QS. Al-Hujurât [49]: 9, serta QS. Ath-Thalâq [65]: 2.
Kata ‘adl
di dalam Al-Qur’an memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya.
Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan).
Menurut penelitian M. Quraish Shihab bahwa paling tidak ada empat makna
keadilan.
1.
‘Adl di dalam
arti ‘sama’.
Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam
Al-Qur’an, antara lain pada QS. An-Nisâ’ [4]: 3, 58, dan 129, QS. Asy-Syûrâ
[42]: 15, QS. Al-Mâ’idah [5]: 8, QS. An-Nahl [16]: 76, 90, dan QS. Al-Hujurât
[49]: 9. Kata ‘adl dengan arti ‘sama (persamaan)’ pada ayat-ayat
tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam hak. Di dalam QS. An-Nisâ’
[4]: 58, misalnya ditegaskan, Wa izâ hakamtum bain an-nâsi an tahkumû bi
al-‘adl (وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ
اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ = Apabila [kamu] menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil). Kata ‘adl di
dalam ayat ini diartikan ‘sama’, yang mencakup sikap dan perlakuan hakim pada
saat proses pengambilan keputusan. Yakni, menuntun hakim untuk menetapkan
pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya tempat duduk,
penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah,
kesungguhan mendengarkan, memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya, yang
termasuk di dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Al-Baidhawi bahwa kata
‘adl bermakna ‘berada di pertengahan dan mempersamakan’. Pendapat seperti
ini dikemukakan pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkan di
sini dikenal oleh pakar bahasa Arab; dan bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan
perkara) berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan
pendapat ini, Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat
kemanusiaan yang dimiliki setiap manusia. Ini berimplikasi bahwa manusia
memunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia. Dengan begitu, keadilan
adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan sifat ini
menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
2.
‘Adl di dalam
arti ‘seimbang’.
Pengertian ini ditemukan di dalam QS. Al-Mâ’idah [5]:
95 dan QS. Al-Infithâr [82]: 7. Pada ayat yang disebutkan terakhir, misalnya
dinyatakan, Alladzî khalaqaka fa-sawwâka fa-‘adalaka (اَلَّذِىْ
خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ = [Allah] Yang telah menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan [susunan tubuh]mu seimbang). M.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok
yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu,
selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya
syarat yang ditetapkan, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi
tujuan kehadirannya. Jadi, seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia
berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya maka pasti tidak
akan terjadi keseimbangan (keadilan). Keadilan di dalam pengertian
‘keseimbangan’ ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah Yang Mahabijaksana dan
Maha Mengetahui menciptakan serta mengelola segala sesuatu dengan ukuran,
kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya mengantarkan
kepada pengertian ‘Keadilan Ilahi’.
3.
‘Adl di dalam
arti ‘perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada
setiap pemiliknya’.
Pengertian inilah yang didefinisikan dengan
‘menempatkan sesuatu pada tempatnya’ atau ‘memberi pihak lain haknya melalui
jalan yang terdekat’. Lawannya adalah ‘kezaliman’, yakni pelanggaran terhadap
hak-hak pihak lain. Pengertian ini disebutkan di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 152,
Wa Idzâ qultum fa‘dilû wa-lau kâna dzâ qurbâ (وَاِذَا
قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْكَانَ ذَاقُرْبَى = Dan
apabila kamu berkata maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah
kerabat[mu]). Pengertian ‘adl seperti ini melahirkan keadilan sosial.
4.
‘Adl di dalam
arti ‘yang dinisbahkan kepada Allah’.
‘Adl di sini berarti ‘memelihara
kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi
dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu’. Jadi,
keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan Allah
mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh
sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah memiliki hak atas semua yang ada,
sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya. Di dalam
pengertian inilah harus dipahami kandungan QS. آli ‘Imrân [3]: 18, yang
menunjukkan Allah swt. sebagai Qâ’iman bi al-qisth (قَائِمًا
بِِالْقِِسْط = Yang menegakkan keadilan).
Di samping
itu, kata ‘adl digunakan juga di dalam berbagai arti, yakni (1)
‘kebenaran’, seperti di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 282; (2) ‘menyandarkan
perbuatan kepada selain Allah dan, atau menyimpang dari kebenaran’, seperti di
dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 135; (3) ‘membuat sekutu bagi Allah atau
mempersekutukan Allah (musyrik)’, seperti di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 1 dan 150;
(4) ‘menebus’, seperti di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 48, 123 dan QS. Al-An‘âm
[6]: 70.
‘Adl/Al-‘Adl (عَدْل)
merupakan salah satu al-asmâ’ al-husnâ, yang menunjuk kepada Allah
sebagai pelaku. Di dalam kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian (mashdar)
digunakan untuk menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengandung arti
‘kesempurnaan’. Demikian halnya jika dinyatakan, Allah adalah Al-‘Adl (اَلْعَدْل
= keadilan), maka ini berarti bahwa Dia adalah pelaku keadilan yang sempurna.
Dalam pada
itu, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa manusia yang bermaksud meneladani
sifat Allah yang ‘adl (عَدْل) ini
setelah meyakini keadilan Allah dituntut untuk menegakkan keadilan walau
terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun.
Keadilan pertama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya
sendiri, yakni dengan jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan
yang harus mengikuti perintah akal dan agama; bukan menjadikannya tuan yang
mengarahkan akal dan tuntunan agama. Karena jika demikian, ia justru tidak
berlaku ‘adl, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.
B.
Konsep Keadilan
Dalam Al-Qur'an
Allah
berfirman dalam Al-quran: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil
dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pengajaran".( QS An-Nahl{16}: 90)
Dalam kitab
suci Al-Quran digunakan beberapa term/istilah yang digunakan
untuk mengungkapkan makna keadilan. Lafad-lafad tersebut jumlahnya banyak
dan berulang-ulang. Diantaranya lafad "al-adl" dalam Al-quran dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 28 kali. Lafad "al-qisth" terulang sebanyak 24 kali. Lafad "al-wajnu" terulang sebanyak 23 kali. Dan lafad "al-wasth" sebanyak 5 kali (Muhamad Fu`ad Abdul Bagi dalam Mu`jam Mupathos Lialfaadhil Qur`an).
untuk mengungkapkan makna keadilan. Lafad-lafad tersebut jumlahnya banyak
dan berulang-ulang. Diantaranya lafad "al-adl" dalam Al-quran dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 28 kali. Lafad "al-qisth" terulang sebanyak 24 kali. Lafad "al-wajnu" terulang sebanyak 23 kali. Dan lafad "al-wasth" sebanyak 5 kali (Muhamad Fu`ad Abdul Bagi dalam Mu`jam Mupathos Lialfaadhil Qur`an).
Dr. Hamzah
Yakub membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian. Adil yang berhubungan
dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Adil
perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang
mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa
menguranginya itulah yang dinamakan tidak adil.
Adil dalam
segi kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang menghukum
orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan.
Jika hakim menegakan neraca keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang
adil dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah
dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di
kota-kota maupun di desa-desa.
Allah
berfirman dalam Al-Quran: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu
jadi orang-orang yang menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan
adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap satu
kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Al-Maidah [5] : 8)
Keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya,
karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum
seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum
kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan
masyarakat manusia. (Nurcholish Majid).
Sebagai gambaran dari keadilan Rasululah saw memberi contoh kepada kita, kalau beliau ingin pergi jauh beliau undi antara isteri-isterinya.
Siapa yang kena undian maka itulah yang dibawanya.
Sebagai kepala negara dan hakim, beliau selalu menerapakan keadilan dengan betul, hingga beliau pernah menyatakan: "Jika sekiranya Fatimah binti Muhamad mencuri,
niscaya aku potong tangannya". (HR. Bukhori).
Ada beberapa
faktor yang menunjang keadilan, diantaranya:
1.
Tentang di
dalam mengambil keputusan. Tidak berat sebelah dalam tindakan
karena pengaruh hawa nafsu, angkara murka ataupun karena kecintaan kepada seseorang. Rasululah saw dalam salah satu sabdanya mengingatkan agar
janganlah seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah. Emosi yang tidak stabil biasanya seseorang tidak adil dalam putusan.
karena pengaruh hawa nafsu, angkara murka ataupun karena kecintaan kepada seseorang. Rasululah saw dalam salah satu sabdanya mengingatkan agar
janganlah seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah. Emosi yang tidak stabil biasanya seseorang tidak adil dalam putusan.
2.
Memperluas
pandangan dan melihat persoalannya secara obyektif. Mengumpulkan data dan
fakta, sehingga dalam keputusan seadil mungkin.
Jika adil adalah sifat dan sikap
Fadlilah (utama) maka sebagai kebalikannya
adalah sikap zalim. Zalim berarti menganiaya, tidak adil dalam memutuskan
perkara, berarti berat sebelah dalam tindakan, mengambil hak orang lain
lebih dari batasnya atau memberikan hak orang lain kurang dari semestinya.
Sikap zalim itu diancam Allah dalan firmannya: "Tidakkah bagi orang zalim itu sahabat karib atau pembela yang dapat ditakuti". (Al-mu`min : 18).
adalah sikap zalim. Zalim berarti menganiaya, tidak adil dalam memutuskan
perkara, berarti berat sebelah dalam tindakan, mengambil hak orang lain
lebih dari batasnya atau memberikan hak orang lain kurang dari semestinya.
Sikap zalim itu diancam Allah dalan firmannya: "Tidakkah bagi orang zalim itu sahabat karib atau pembela yang dapat ditakuti". (Al-mu`min : 18).
Dalam ayat lain Allah berfirman
lagi : "Dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang
penolongpun".(Ali Imran[3] : 192).
Dalam hal ini, ahli-ahli akhlak
mengemukakan hal-hal yang mendorong seseorang berlaku zalim:
1.
Cinta dan
benci. Barang siapa yang mencintai seseorang, biasanya ia berlaku berat sebelah
kepadanya. Misalnya orang tua yang karena cinta kepada anak-anaknya, maka
sekalipun anaknya salah, anak itu dibelanya. Demikian pula kebencian kepada
seseorang, menimbulkan satu sikap yang tidak lagi melihat kebaikan orang itu,
tetapi hanya menonjolkan kesalahannya.
2.
Kepentingan
diri sendiri. Karena perasaan egois dan individualis, maka
keuntungan pribadi yang terbayang menyebabkan seseorang berat sebelah,
curang dan culas.
keuntungan pribadi yang terbayang menyebabkan seseorang berat sebelah,
curang dan culas.
3.
Pengaruh luar.
Adanya pandangan yang menyenangkan, keindahan pakaian,
kewibawaan, kepasihan pembicaraan dan sebagainya dapat mempengaruhi
seseorang berat sebelah dalam tindakannya. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat
menyilaukan perasaan sehingga langkahnya tidak obyektif.
kewibawaan, kepasihan pembicaraan dan sebagainya dapat mempengaruhi
seseorang berat sebelah dalam tindakannya. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat
menyilaukan perasaan sehingga langkahnya tidak obyektif.
Oleh karena itulah, bisa
disimpulkan bahwa keadilan dan kezaliman bisa muncul karena adanya beberapa
faktor, diantaranya:
1.
Kondisi orang
tersebut pada saat it
2.
Luas dan sempitnya
pengetahuan yang dimilik
3.
Latar belakan
cinta dan benci
4.
Terdorong oleh
kepentingan sendiri atau golongan
5.
Adanya pengaruh
dari luar (extern)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari makna
pertama, kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum dengan benar’. Jadi,
seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan
ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. ‘Persamaan’ itulah yang merupakan makna
asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada salah
seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang ‘adl
“berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama
harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan
tidak sewenang-wenang.
Menurut
penelitian M. Quraish Shihab bahwa paling tidak ada empat makna keadilan.
1.
‘Adl di dalam
arti ‘sama’.
2.
‘Adl di dalam
arti ‘seimbang’.
3.
‘Adl di dalam arti ‘perhatian terhadap
hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya’.
4.
‘Adl di dalam
arti ‘yang dinisbahkan kepada Allah’.
Dr. Hamzah
Yakub membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian. Adil yang berhubungan
dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Adil
perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang
mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa
menguranginya itulah yang dinamakan tidak adil. Adil dalam segi
kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang menghukum
orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan.
Jika hakim menegakan neraca keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang
adil dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah
dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di
kota-kota maupun di desa-desa.
DAFTAR
PUSTAKA
Notowidagdo,
Rohiman. 1997. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Quran Dan Hadits. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada.
Widagdho,
Djoko. 2008. Ilmu Budaya Dasa. Jakarta : Bumi Aksara
Post a Comment for "Konsep keadilan menurut Al-qur'an"