Konsep keadilan menurut al-razi dan ibu miskawaih
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Keadilan adalah
kata jadian dari kata "adil" yang terambil dari bahasa Arab "'adl". Kamus-kamus
bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti
"sama". Persamaan tersebut sering
dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat imaterial. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata
"adil" diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran, dan
(3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang.
Keadilan adalah pengakuan dan
perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Jika kita mengakui hak hidup
kita, maka sebaliknya kita wajib mempertahankan hak hidup tersebut dengan
bekerja keras tanpa merugikan orang lain. Sebab orang lain pun mempunyai hak
hidup seperti itu. Jika kita mengakui hak hidup orang lain, kita wajib
memberikan kesempatan kepada orang lain itu untuk mempertahankan hak hidupnya,
sebagaimana kita mempertahankan hak hidup kita sendiri.
Jadi keadilan pada pokoknya terletak
pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan
kewajiban. Berdasarkan kesadaran etis, kita diminta untuk tidak hanya menuntut
hak dan lupa menjalankan kewajiban. Jika kita menuntut hak dan lupa menjalankan
kewajiban maka sikap dan tindakan kita akan mengarah kepada pemerasan dan memperbudak
orang lain. Sebaliknya jika kita hanya menjalankan kewajiban dan lupa menuntut
hak maka kita akan mudah diperbudak atau diperas orang lain
Perbincangan
tentang keadilan rasanya merupakan suatu kewajiban ketika berbicara tentang
filsafat hukum, mengingat salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan ini
merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang
perjalanan sejarah filsafat hukum.
Memahami
pengertian keadilan memang tidak begitu sulit karena terdapat beberapa
perumusan sederhana yang dapat menjawab tentang pengertian keadilan. Namun
untuk memahami tentang makna keadilan tidaklah semudah membaca teks
pengertian tentang keadilan yang diberikan oleh para pakar, karena ketika
berbicara tentang makna berarti sudah bergerak dalam tataran filosofis
yang perlu perenungan secara mendalam sampai pada hakikat yang paling dalam.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Konsep Keadilan Menurut Al-Razi ?
2. Bagaimana
Konsep Keadilan Menurut Ibnu Miskawaih ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Keadilan Menurut Al-Razi
Fakhrudin
Al-Râzi menyebutkan ada beberapa makna yang satu sama lain saling berdekatan
dan saling melengkapi. Pertama, wasath berarti adil. Makna ini
didasarkan pada ayat-ayat yang semakna, hadis nabi, dan beberapa penjelasan
dari sya’ir Arab mengenai makna ini. Berdasarkan riwayat Al-Qaffal dari
Al-Tsauri dari Abu Sa’id Al-Khudry dari Nabi Saw. bahwa ummatan wasathan adalah
umat yang adil. Kedua, wasath berarti pilihan. Al-Râzi memilih makna
ini dibandingkan dengan makna-makna lainnya, karena beberapa alasan antara
lain: kata ini secara bahasa paling dekat dengan makna wasath dan
paling sesuai dengan ayat yang semakna dengannya yaitu ayat, “Kalian adalah
umat terbaik yang dilahirkan ke tangah manusia…” (QS Ali Imrân [3]: 110). Ketiga,
wasath berarti yang paling baik. Keempat, wasath berarti
orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-tengah antara ifrâth (berlebih-lebihan
hingga mengada-adakan yang bbaru dalam agama) dan tafrîth (mengurang-ngurangi
ajaran agama). (Tafsîr Al-Rârî, Jil. II hal. 389-390).
B.
Konsep
Keadilan Menurut Ibnu Miskawaih
Keadilan
adalah bagaimana sikap seseorang bisa menempatkan segala sesuatu pada tempat
dan porsinya masing-masing. Keadilan yang dimaksud Ibnu Miskawaih dalam hal ini
berarti kesempurnaan dari keutamaan akhlak yaitu perpaduan antara
kebijaksanaan, keberanian, dan menahan diri, sehingga menghasilkan keseimbangan
berupa keadilan. Adapun keadilan yang diupayakan manusia dalam hal ini adalah
menjaga keselarasan atau keseimbangan agar tidak saling berselisih dan menindas
antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berlaku bagi kesehatan jiwa dan tubuh,
hal ini bisa tercapai apabila manusia dapat menjaga keseimbangan dalam
temperamen yang moderat.
Dari uraian
tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa, keadilan yang diupayakan manusia
diarahkan kepada dirinya dan orang lain. Sehingga pokok keutamaan akhlak yang
dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah terciptanya keharmonisan pribadi dengan
lingkungannya. Dapat kita pahami bahwa ahlak merupakan jalan tengah mengajarkan
seseorang untuk mengajarkan seseorang untuk mencari jalan keselamatan.
Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibnu Miskawaih memberikan perhatian yang
sangat besar terhadap akhlak manusia. Sehingga untuk membentuk akhlak yang
sempurna dan sesuai dengan fitrahnya manusia, ia menempatkan pendidikan akhlak
yang dimulai dari masa kanak-kanak. Beliau menyebutkan masa kanak-kanak
merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak
secara perlahan berakhir dan jiwa manusiwi dengan sendirinya akan muncul sesuai
dengan perkembangan kehidupan manusia.
Menegakkan Keadilan
bagi Seorang Muslim
Keadilan
(al-adalat) merupakan gabungan dari ketiga keutamaan al-nafs. Dikatakan
demikian karena seseorang tidak dapat disebut sebagai kesatria jika ia tidak
adil. Demikian pula orang tidak dapat disebut pemberani jika ia tidak
mengetahui keadilan jiwa atau dirinya dan mengarahkan semua indranya untuk
tidak mencapai tingkat nekad (al-tahawwur) maupun pengecut (al-jubn). Al-hakim
tidak akan memperoleh al-hikmat jika ia tidak menegakkan keadilan dalam
berbagai pengetahuannya dan tidak menjauhkan diri dari sifat kelancangan
(al-safah) dan kebodohan (al-balah). Dengan demikian manusia tidak akan
dikatakan adil jika ia tidak mengetahui cara mengharmonisasikan al-hikmat,
al-syaja'at, dan al-'iffat.
Menurut
Ibn Miskawaih, keadilan memang diterjemahkan sebagai pertengahan antara
al-zhulm dan al-inzhilam. Al- zhulum berarti memperoleh hak milik dari sumber
dan cara yang tidak semestinya (berbuat aniaya). Adapun al-inzhilam adalah
menyerahkan hak milik kepada orang yang tidak semestinya dan atau dengan cara
yang tidak semestinya pula (teraniaya).
Pengertian
keadilan di sini disepakati oleh para filsuf bukan sebagai sebuah keutamaan
tersendiri melainkan keuta maan secara menyeluruh. Keadilan ini merupakan
gabungan dari semua keutamaan, karenanya ia hanya akan tercapai jika setiap
jiwa mewujudkan masing-masing keutamaan.
Konsep
keadilan menurut Ibn Maskawaih tampak bersifat Platonik, tetapi kelihatan pula
bahwa ia secara mudah mempertemu kan perangkat-perangkat keadilan itu ke dalam
kerangka Aristoteles. Dengan demikian, keadilan didefinisikan sebagai
kesempurnaan dan pemenuhan ketiga keutamaan: kesu cian diri, keberanian, dan
kebijaksanaan, yang hasilnya adalah keseimbangan (al-i'tidal) atau persesuaian
(al-nisbat) antara ketiga macam: al-bahimiyyat, al-ghadabiyyat, dan al- nathiqat.
Keseimbangan ini kemudian diinterpretasikan secara Pythagorian dan Neo-Platonik
sebagai cara penyatuan, bahwa prinsip, utama hidup di dunia ini adalah sebagai
pengganti (surrogate) atau bayangan keesaan (zhill al-wahdat /shadow of unity).
Pada hakekatnya kesatuan ini merupakan sinonim dari kesempurnaan sesuatu
(perfection of being) dan pada lain kesempatan ia juga merupakan sinonim dari
kebijaksanaan yang sempurna (perfect goodness).
Ibn Miskawaih membagi keadilan secara umum menjadi tiga macam, yaitu:
Ibn Miskawaih membagi keadilan secara umum menjadi tiga macam, yaitu:
1. Keadilan
alam (al-'adl al-thabi'i/natural justice),
2. Keadilan
menurut adapt/ kebiasaan (al-'adl al-wad'i/conventional justice)
3. Keadilan
Tuhan(al- 'adl al-ilahi / divine justice).
Keadilan
yang khusus diupayakan manusia, ada dalam ketiga macam keadilan ini, karena
itu, keadilan yang khusus diupayakan manusia tidak dapat dipisah kan dari
ketiga keadilan lainnya. Inti masing-masing keadi lan tersebut adalah bernilai
baik selama sisi keharmonisan hubungan dari unsur-unsur yang hakekatnya
berbeda.
Karena
benda-benda yang bersifat fisik tidak pernah akan terbebas dari pluralitas,
maka benda-benda fisik tersebut tidak akan pernah pula menyatu dalam arti
sebenarnya, melainkan hanya lebih dekat kepada persatuan dalam arti kiasan atau
pengganti persamaan ini. Melalui persamaan ini, benda-benda yang bersifat fisik
menerima suatu penyatuan atau keseimbangan, tetapi benda-benda tersebut tetap
memeli hara identitasnya sendiri dan tidak dapat didominasi atau dirusak oleh
sekelompok benda lain. Hal seperti. inilah yang dimaksud dengan keadilan alam.
Tanpa adanya keadilan seperti ini, alam secara keseluruhan akan hancur.
Inti
adanya keadilan alam adalah adanya ekstrem yang bertentangan. Masing-masing
ekstrem mewujudkan dalam pertentangan yang sama kuat sehingga masing-masing
mempunyai eksistensi. Kondisi ini melahirkan gerak melingkar yang hakekat nya
adalah satu. Di sini tidak ada yang kalah atau menang. Karenanya, ia menjadi
satu dengan yang memelihara wujudnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
keadilan
pada pokoknya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak
dan menjalankan kewajiban. Berdasarkan kesadaran etis, kita diminta untuk tidak
hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban. Jika kita menuntut hak dan
lupa menjalankan kewajiban maka sikap dan tindakan kita akan mengarah kepada
pemerasan dan memperbudak orang lain. Sebaliknya jika kita hanya menjalankan
kewajiban dan lupa menuntut hak maka kita akan mudah diperbudak atau diperas
orang lain
B. Saran
Demikianlah
yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah
ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan
kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah
ini Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik
saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus pada penulis. Aamiin
DAFTAR PUSTAKA
M. shodiq dahlan.Hukum Alam Dan Keadilan dalam buku Filsafat Hukum
mazhab & refleksinya.Remaja Rosdakarya.Bandung.1994
DR. Theo Huijbers.Filsafat Hukum.Kanisius.Yogyakarta.1995
Ansori, Abdul Gafur, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gajah
Mada Universisty Press.Yogyakarta.2006
Post a Comment for "Konsep keadilan menurut al-razi dan ibu miskawaih"