Latar belakang penerapan sistem poliik ekonomi leberal dan pelaksanaannya
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Liberalisme
adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan
pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum,
liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh
kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya
pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya
pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi
(private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang
transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu.
Paham
liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme. Proses
berlakunya politik liberal diawali dengan penghapusan tanam paksa pada tahun
1865. Pemberlakuan politik liberal ditandai dengan adanya kebebasan usaha
berupa penanaman modal swasta yang ditanamkan pada perusahaan perkebunan dan
pertambangan. Dengan banyaknya modal swasta yang ditanamkan di perkebunan dan
pertambangan berarti berlaku Politik Pintu Terbuka di Hindia Belanda, artinya
pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pihak swasta untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Dalam masa ini, kepemilikan kekayaan alam
Indonesia bukan 100% oleh pemerintah Belanda, melainkan dimiliki oleh
enterpreneur-enterpreneur dari banyak negara. Hal ini merupakan suatu bentuk
sistem Neo-Liberal yang kita anut sekarang pada masa kolonial Belanda.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
latar belakang penerapan politik ekonomi liberal di Indonesia?
2. Bagaimana
pelaksanaan politik ekonomi liberal di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. LATAR BELAKANG PENERAPAN SISTEM PLOTIK EKONOMI
LIBERAL
Sistem politik ekonomi liberal
kolonial dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Pelaksanaan system tanam paksa telah
menimbulkan penderitaan rakyat pribumi, tetapi memberikan keuntungan besar bagi
Pemerintah Kerajaan Belanda.
2. Berkembangnya paham liberalism
sebagai akibat dari Revolusi Perancis dan Revolusi Industri sehingga system
tanam paksa tidak sesuai lagi untuk diteruskan.
3. Kemenangan Partai Liberal dalam
Parlemen Belanda yang mendesak Pemerintah Belanda menerapkan system ekonomi
liberal di negeri jajahannya (Indonesia). Hal itu dimaksudkan agar para
pengusaha Belanda sebagai pendukung Partai Liberal dapat menanamkan modalnya.
4. Adanya Traktat Sumatra pada tahun
1871 yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh.
Sebagai imbalannya, Inggris meminta Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal
di Indonesia agar pengusaha Inggris dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
Seiring
dengan pelaksanaan politik ekonomi liberal, Belanda melaksanakan Pax
Netherlandica, yaitu usaha pembuatan negeri jajahannya di Nusantara. Hal itu
dimaksudkan agar wilayahnya tidak diduduki bangsa Barat lainnya. Lebih-lebih setelah
dibukanya Terusan Suez (1868) yang mempersingkat jalur pelayaran antara Eropa
dan Asia. Pelaksanaan politik ekonomi liberal itu dilandasi dengan beberapa
peraturan antara lain sebagai berikut:
1. Reglement op het belied der Regering
in Nederlansch-Indie (RR) (1854). Berisi tentang tata cara pemerintahan di
Indonesia. Perundangan baru ini menunjukkan kekuatan kaum liberal-borjuis terus
berkembang. RR memungkinkan tanah disewa oleh pihak swasta. Pasal 62 dari
peraturan ini berbunyi:
a. Gubernur Jenderal tidak boleh
menjual tanah.
b. Larangan ini tidak termasuk
bidang-bidang tanah yang kecil untuk maksud perluasan kota-kota atau desa-desa.
c. Gubernur Jenderal boleh menyewakan
tanah berdasarkan undang-undang yang nanti akan dikeluarkan. Ini tidak meliputi
tanah-tanah yang diakui milik orang Indonesia asli atau tanah milik bersama dan
tanah lain milik desa.Pada tahun 1926, RR diganti dengan Wer op de
Staatsinrichting van Nederlandsch Indie yang biasa.
Pasal
62 Regering Reglement tidak memuaskan para pemilik modal sebab peraturan yang
dihasilkan memang mengijinkan tanah untuk disewa tetapi untuk tidak lebih dari
dua puluh tahun. Jangka waktu tersebut dipandang tidak cukup untuk tanah sewa
agar dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman. Lagi pula, tanah yang tersedia terletak
di wilayah pedalaman dimana tenaga kerja tidak cukup tersedia. Kaum pemodal
meneruskan usaha mereka untuk memperoleh tanah dengan menciptakan hukum agraria
yang baru.
2. Indische Compatibiliteit (1867)
Berisi
tentang perbedaharaan negara Hindia-Belanda yang menyebutkan bahwa dalam
menentukan anggaran belanja Hindia-Belanda harus ditetapkan dengan
undang-undang yang disetujui oleh Parlemen Belanda.
3. Suiker Wet
Undang-undang
gula yang menetapkan bahwa tanaman tebu adalah monopoli pemerintah yang secara
berangsur-angsur akan dialihkan kepada pihak swasta.
4. Agrarische Wet (Undang-undang
Agraria 1870)
Isi
pokok dari Agrarische Wet adalah sebagai berikut:
a. Tanah di Indonesia dibedakan menjadi
tanah rakyat dan tanah pemerintah. Tanah pemerintah adalah tanah yang idak bisa
dibuktikan oleh pihak lain disebut juga domein-verklaring (pernyataan tentang
tanah milik pemerintah).
b. Tanah rakyat dibedakan atas tanah
milik yang bersifat bebas dan tanah desa yang bersifat tidak bebas. Tanah tidak
bebas adalah tanah yang dapat disewakan kepada pengusaha swasta.
c. Tanah rakyat tidak boleh dijual
kepada orang lain.
d. Tanah pemerintah dapat disewakan
kepada pengusaha swasta sampai jangka waktu 75 tahun.
Agrarische
Wet 1870 kemudian menjadi Pasal 51 the wet op Staatsinrichting van Nedherlands
Indie (konstitusi Hindia Belanda), yang berbunyi sebagai berikut:
a. Gubernur Jenderal tidak boleh
menjual tanah.
b. Larangan ini tidak berlaku terhadap
bidang-bidang tanah sempit untuk perluasan kota atau desa atau penggunaan tanah
untuk pendirian perusahaan perushaan komersial (bukan pertanian dan kerajinan).
c. Gubernur Jenderal boleh menyewakan
tanah sesuai dengan Undang-Undang. Hak ini tidak berlaku terhadap tanah yang
telah dibuka oleh penduduk asli atau terhadap tanah yang biasanya digunakan
untuk pengembalaan atau yang meliputi wilayah perbatasan desa untuk
maksud-maksud lain.
d. Sewa menurut hukum dapat sampai masa
75 tahun.
e. Dalam memberikan hak sewa sedemikian
itu, Gubernur Jenderal akan menghormati hak-hak tanah penduduk asli.
f. Gubernur Jenderal tidak dapat
menguasai tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli, atau tanah yang biasa
digunakan untuk pengembalaan, atau tanah yang termasuk wilayah perbatasan desa
yang digunakan untuk tujuan-tujuan lain, kecuali: untuk tujuan-tujuan
kepentingan umum yang didasarkan pada Pasal 133; dan untuk pendirian perkebunan
atas suatu perintah atasan, ganti rugi yang wajar dapat diberikan.
g. Tanah-tanah yang dimiliki oleh
penduduk asli dapat diberikan pada mereka berdasarkan hak eigendom (hak milik),
termasuk hak untuk menjual kepada pihak lain, penduduk asli atau bukan penduduk
asli.
h. Sewa tanah oleh penduduk asli kepada
bukan penduduk asli harus dilakukan sesuai dengan Undang-Undang.
Undang-undang
Agraria 1870 memuat 3 bagian dari Pasal 62 Regering Reglement (1854) ditambah
lima bab baru, yang meletakkan prinsip-prinsip dasar mengenai kebijaksanaan
pertanahan. Undang-Undang ini menggambarkan kemenangan untuk Partai Liberal
dengan beberapa konsesi yang diberikan kepada Partai Konservatif. Diakui bahwa
modal swasta diperlukan untuk perushaan-perusahaan perkebunan, tetapi
kepentingan-kepentingan penduduk pribumi akan terancam jika pengalihan tanah
tetap tidak dibatasi.
Agrarische
Wet tahun 1870 menghilangkan kesulitan-kesulitan berkenaan dengan pemberian
tanah berdasarkan peraturan tahun RR 1854, dengan mengijinkan para pemilik
modal untuk memperoleh hak sewa turun temurun (erpacht) dari pemerintah untuk
periode sampai dengan 75 tahun dan juga menyewa tanah dari penduduk pribumi.
Pada saat yang sama undang-undang tersebut menjamin kepemilikan penduduk
pribumi atas hak-hak adat mereka yang telah ada atas tanah, dan memungkinkan
pula mereka mendapatkan hak milik pribadi. Namun, pada prakteknya hampir tidak
ada tanah rakyat yang tidak disewakan, mereka tidak dapat menikmati tanahnya
sendiri, karena pihak swasta memaksa bahkan menipu dengan berbagai muslihat
agar penduduk pribumi mau menyewakan tanah pada mereka, yang pada hakekatnya
tidak ada bedanya dengan memindahkan hak milik pribumi ke pihak swasta.
5. Agrarische Besluit (1870)
Jika Agrarische Wet ditetapkan dengan persetujuan parlemen,
Agrarische Belsuit ditetapkan oleh Raja Belanda. Agrarische Wet hanya mampu
mengatur hal-hal yang bersifat umum tentang agraria, sedangkan Agrarische
Besluit mengatur hal-hal yang lebih rinci, khususnya tentang hak kepemilikan
tanah dan jenis-jenis hak penyewaan tanah oleh pihak swasta.
B. PELAKSANAAN SISTEM POLITIK EKONOMI
LIBERAL
Sesuai dengan tuntutan kaum liberal,
maka pemerintah kolonial segera memberikan peluang kepada usaha dan modal
swasta untuk sepenuhnya menanamkan modal mereka dalam berbagai usaha dan
kegiatan di Indonesia, terutama di daerah perkebunan besar di Jawa maupun di
luar Jawa. Dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria tahun 1870, Indonesia
memasuki zaman penjajahan baru. Sejak tahun 1870 di Indonesia telah diterapkan
opendeur politiek, yaitu politik pintu terbuka terhadap modal-modal swasta
asing. Selama periode tahun 1870 dan 1900 Indonesia terbuka bagi modal swasta
Barat, karena itulah maka masa ini sering disebut zaman liberalisme. Hal itu
berarti Indonesia dijadikan tempat untuk berbagai kepentingan, anatara lain
berikut ini:
1. Tempat mendapatkan bahan mentah atau
bahan baku industri di Eropa.
2. Tempat mendapatkan tenaga kerja yang
murah.
3. Menjadi tempat pemasaran
barang-barang produksi Eropa.
4. Menjadi tempat penanaman modal
asing.
Di samping
modal swasta Belanda sendiri, modal swasta asing lain juga masuk ke Indonesia,
misalnya modal dari Inggris, Amerika, Jepang, dan Belgia. Modal-modal asing
tersebut tertanam pada sector-sektor pertanian dan pertambangan, antara lain
karet, teh, kopi, tembakau, tebu, timah dan minyak. Akibatnya
perkebunan-perkebunan dibangun secara luas dan meningkat pesat. Misalnya,
perkebunan tebu sejak tahun 1870 mengalami perluasan dan kenaikan produksi yang
pesat, khususnya di Jawa. Demikian pula perkebuunan teh dan tembakau mengalami
perkembangan yang pesat. Sejak semula tembakau telah ditanam di daerah
Yogyakarta dan Surakarta. Sejak tahun 1870 perkebunan itu diperluas sampai ke
daerah Besuki (Jawa Timur) dan daerah Deli (Sumatra Timur). Hasil-hasil bumi
penting yang lainnya adalah kina, kakao, kapas, minyak sawit, gambir, minyak
serai, karet, dll. lalu dibuka pula pertambangan mas, timah, dan minyak.
Perkebunan-perkebunan milik Belanda yang dibangun:
1. Perkebunan tebu: Jawa Tengah dan
Timur
2. Perkebunan tembakau: Surakarta,
Yogyakarta, Deli, Sumatera Utara.
3. Perkebunan teh: Jawa Barat, Sumatera
Utara.
4. Perkebunan kina: Jawa Barat.
5. Perkebunan karet: Sumatera Utara,
Jambi, Palembang.
6. Perkebunan kelapa sawit: Sumatera
Utara.
Pembukaan
perkebunan-perkebunan swasta di daerah luar Jawa, khususnya di Sumatra Timur
menemui masalah kekurangan tenaga kerja. Pemerintah banyak mendatangkan pekerja
dari Jawa yang dilakukan secara kontrak sehingga disebut kuli kontrak. Untuk
menjamin para kuli tidak melarikan diri sebelum masa kontraknya habis,
pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut Koeli Ordomantie.
Peraturan tersebut berisi antara alian ancaman hukuman bagi para pekerja
perkebunan yang melanggar dengan ketentuan Poenale Sanctie. Harapan kaum liberal untuk membuka tanah
jajahan bagi para perkembangan ekonomi Hindia Belanda ternyata tercapai.
Perkebunan-perkebunan gula, kopi, tembakau dan tanaman-tanaman perdagangan
lainnya dibangun secara luas dan meningkat secara pesat. Misalnya perkebunan
gula semenjak tahun 1870 mengalami perluasan dan kenaikan produksi yang pesat,
terutama di daerah Jawa.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Liberalisme
adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan
pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum,
liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh
kebebasan berpikir bagi para individu.
Sistem ekonomi liberal kolonial
dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Pelaksanaan system tanam paksa telah
menimbulkan penderitaan rakyat pribumi, tetapi memberikan keuntungan besar bagi
Pemerintah Kerajaan Belanda.
2. Berkembangnya paham liberalism
sebagai akibat dari Revolusi Perancis dan Revolusi Industri sehingga system
tanam paksa tidak sesuai lagi untuk diteruskan.
3. Kemenangan Partai Liberal dalam
Parlemen Belanda yang mendesak Pemerintah Belanda menerapkan system ekonomi
liberal di negeri jajahannya (Indonesia). Hal itu dimaksudkan agar para
pengusaha Belanda sebagai pendukung Partai Liberal dapat menanamkan modalnya.
4. Adanya Traktat Sumatra pada tahun
1871 yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh.
Sebagai imbalannya, Inggris meminta Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal
di Indonesia agar pengusaha Inggris dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
B.
SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka
penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Ricklefs,
H.C. 1981. Sejarah Indonesia Modern, diterjemahkan oleh Dharmono
Hardjowidjono. Yogyakata: Gajah Mada Univesity Press.
Notosusanto,
Nugroho dan Yusmar Basri. 1980. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 2 untuk SMA.
Jakarta: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Pane,
Sanusi. Sejarah Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Rajagukguk,
Erman. Indonesia: Hukum Tanah Di Zaman
Penjajahan.
Post a Comment for "Latar belakang penerapan sistem poliik ekonomi leberal dan pelaksanaannya"