Pegadaian dalam islam
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sampai saat
ini masih ada kesan dalam masyarakat, kalau seseorang pergi ke pegadaian untuk
menjamin sejumlah uang dengan cara menggadaikan barnag, adalah aib dan seolah
kehidupan orang tersebut sudah sangat menderita. Karena itu banyak diantara
masyarakat yang malu menggunakan fasilitas pengadaian. Lain halnya jika kita
pergi ke sebuah Bank, di sana akan terlihat lebih prestisius, walaupun dalam
prosesnya memerlukan waktu yang relatif lebih lama dengan persyaratan yang cukup
rumit.
Bersamaan
dengan berdirinya dan berkembangnya bank, BMT, dan asuransi yang berdasarkan
prinsip syariah di Indonesia, maka hal yang mengilhami dibentuknya pegadaian
syariah atau rahn lebih dikenal sebagai produk yang ditawarkan oleh Bank
syariah, dimana Bank menawarkan kepada masyarakat dalam bentuk penjaminan
barang guna mendapatkan pembiayaan.
Oleh karena
itu dibentuklah lembaga keungan yang mandiri yang berdasarkan prinsip syariah.
Adapun dalam makalah ini akan dijelaskan secara lengkap mengenai pegadaian
syariah mulai dari pengertian, dasar hukum, rukun, perbedaan dan persamaan
gadai syariah dengan gadai konvensional dan lain-lain.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas penulis merumuskan masalah bagaimana pegadaian dalam
Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pegadaian Syariah
Dalam
istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan juga dapat
dinamai al-habsu (Pasaribu,1996). Secara etimologis, arti rahn
adalah tetap dan lama, sedangkan al-hasbu berarti penahanan terhadap
suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang
tersebut (Syafi’i, 2000). Sedangkan menurut Sabiq (1987), rahn
adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’
sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang
atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu. Pengertian ini didasarkan
pada praktek bahwa apabila sesesorang ingin berhutang kepada orang lain, ia
menjadikan barang miliknya baik berupa barang tak bergerak atau berupa barang
bergerak berada dalam penguasaan pemberi pinjaman sampai penerima pinjaman
melunasi hutangnya.
Dari
beberapa pengertian rahn tersebut, dapat disimpulkan bahwa rahn
merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai
nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang
bersangkutan boleh mengambil utang.
B.
Sejarah
Berdirinya Pegadaian
Pegadaian
syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah
(ULGS) cabang Dewi Sartika pada bulan Januari 2003. Menyusul kemudian pendirian
ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta dan Yogyakarta pada tahun yanng
sama hingga September 2003. Masih pada tahun yang sama pula, empat kantor
cabang pegadaian di Aceh menjadi pegadaian syariah.
C.
Dasar Hukum
Gadai (Rahn)
Gadai
hukumnya jaiz (boleh) menurut al-Kitab , as- Sunah, dan ijma’ (Sabiq,
1996
1.
Al- Qur’an
Ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan
sebagai dasar hukum perjanjian gadai adalah Qs. Al- Baqarah 283 :
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)....”(Qs. Albaqarah :283)
2.
As- Sunnah
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w.
pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi
menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.”(Hadis Nabi
riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah r.a.,)
Selain dari hadis tersebut, Nabi
Bersabda yaitu:
“ Tunggangan
(kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan
binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung
biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan
biaya perawatan dan pemeliharaan “. (HR Jamaah, kecuali muslim dan
An-Nasai).
3.
Ijma’
Mengenai dalil ijma’ ummat Islam
sepakat (ijma’) bahwa secara garis besar akad rahn (gadai /
penjaminan utang) diperbolehkan. Pemberi gadai boleh memanfaatkan barang gadai
secara penuh sepanjang tidak mengakibatkan berkurangnya nilai barang gadai
tersebut.
D.
Rukun dan
Syarat Gadai (Rahn)
Dalam
perjanjian gadai akan sah apabila memenuhi rukun serta syarat sahnya gadai,
diantaranya yaitu:
1.
Orang yang bertransaksi (Akid )
Syarat yang harus dipenuhi bagi
orang yang akan melakukan transaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai)
dan murtahin (penerima gadai) adalah orang yang telah dewasa, berakal
serta dalam melakukan gadai merupakan keinginan sendiri.
2.
Ijab qabul (sigha )
Ijab qabul ini dapat dilakukan
dengan lisan ataupun tulisan, asalkan didalamnya terkandung maksud adanya
perjanjian gadai diantara para pihak yang akan melakukan perjanjian.
3.
Adanya barang yang digadaikan (Marhun)
Barang yang akan digadaikan harus
memenuhi syarat diantaranya yaitu dapat diserah terimakan, merupakan barang
yang bermanfaat, barang merupakan milik penggadai, kepemilikan jelas, tidak
bersatu dengan orang lain, harta yang tetap ataupun yang dapat dipindahkan,
serta barang tersebut dikuasai oleh penggadai.
4.
Utang (Marhun bih)
Syarat dari utang ini yaitu harus
jelas yang diketahui oleh rahin maupun murtahin, utang
harus lazim pada waktu akad serta dapat dimanfaatkan.
Secara umum barang gadai harus
memenuhi beberapa syarat, antara lain:
a.
Harus diperjual belikan
b.
Harus berupa harta yang bernilai
c.
Marhun harus bisa dimanfaatkan
secara syariah
d.
Harus diketahui keadaan fisiknya,
maka piutang tidak sah untuk digadaikan harus berupa brang yang diterima secera
langsung.
e.
Harus dimiliki oleh rahin (peminjam
atau penggadai) setidaknya harus seizin pemiliknya.
E.
Ketentuan
Umum Gadai (Rahn)
1.
Murtahin (penerima
barang) mempunyai hak untuk menahan barang sampai semua utang rahin (yang
menyerakan barang) dilunasi
2.
Marhun dan
manfaatnya tetap menjadi milik rahin.pada prisip marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin dengan tidak
mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya sekedar pengganti biaya
pemeliharaan perawatannya
3.
Pemeliharaan dan penyimpanan marhun
pada dasarnya menjadi kewajiban rahin namun dapat dilakukan juga
oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap
menjadi kewajiban rahin
4.
Besar biaya administrasi dan
penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman
5.
Penjualan marhun:
a.
Apabila jatuh tempo murtahin harus
memperingatkan rahin untuk segera melunasi hutangnya
b.
Apabila rahin tetap tidak
melunasi hutangnya maka marhun tetap dijual paksa atau dieksekusi
c.
Hasil penjualan marhun digunakan
untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar
serta biaya penjualan
d.
Kelebihan hasil penjualan menjadi
milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
F.
Akad
Perjanjian Gadai (Rahn)
1.
Akad Al-Qardhul Hasan
Akad ini dilakukan pada kasus
nasabah yang ingin menggadaikan barangnya untuk kebutuhan konsumtif. Dengan
demikian nasabah (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee kepada
pegadaian atau murtahin yang telah menjaga atau merawat barang gadai (marhun)
2.
Akad Al-Mudharabah
Akad dilakukan untuk nasabah yang
menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha (pembiyaan investasi dan
modal kerja) dengan demikian rahin akan memberikan bagi hasil
berdasarkan keuntungan kepada murtahin sesuai kesepakatan, sampai modal
yang dipinjam terlunasi
3.
Akad Bai Al-Muqayadah
Akad ini dapat dilakukan jika rahin
yang menginginkan menggadaikan barangnya untuk keperluan produkif, artinya
dalam menggadaikan, rahin tersebut menginginkan modal kerja berupa
pembelian barang, sedangkan barang jaminan yang dapat dijaminkan untuk akad ini
adalah barang-barang yang dapat dimanfaatkan atau tidak dapat dimanfaatkan oleh
rahin atau murtahin. Dengan demikian, murtahin akan
memberikan barang yang sesuai denga keinginan rahin atau rahin
akan memberikan mark up kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan pada
saat akad berlangsung sampai bats waktu yang telah ditentukan.
G.
Aspek
Pendirian Pegadaian Syariah
Dalam
mewujudkan sebuah pegadaian yang ideal dibutuhkan beberapa aspek pegadaian.
Adapun aspek-aspek pendirian pegadaian syariah tersebut antara lain :
1.
Aspek Legalitas
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah
No 10 Tahun 1990 tentang berdirinya lembaga gadai yang berubah dari bentuk
perusahaan jawatan menjadi perusahaan umum pegadaian pasal 3 ayat (1a).
Menyebutkan bahwa perum pegadaian adalah badan usaha tunggal yang diberi
wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai. Kemudian misi
dari perum pegadaian disebutkan dalam pasal 5 ayat 2b, yaitu pencegahan praktek
ijon, riba, pinjaman tidak wajar lainnya.
2.
Aspek Permodalan
Modal yang dibutuhkan cukup besar,
karena selain untuk dipinjamkan ke nasabah juga untuk investasi untuk
penyimpanan barang gadai. Permodalan diperoleh dengan sistim bagi hasil seperti
pengumpulan dana dari beberapa orang (musyarakah) atau dengan mencari
sumber dana (shahibul maal), seperti bank atau perorangan untuk
mengelola perusahaan gadai syariah (mudharabah)
3.
Aspek Sumber Daya Manusia
SDM pegadaian syariah harus memahami
filosofi gadai dan sistem operasionalisasi gadai syariah. SDM selain mampu
menangani masalah taksiran barang gadai, penentuan instrumen pembagian rugi
laba atau jual beli, menangani masalah-masalah yang dihadapi nasabah yang
berhubungan penggunaan uang gadai, juga berperan aktif dalam siar Islam dimana
pegadaian itu berada.
4.
Aspek Kelembagaan
Sifat kelembagaan mempengaruhi
keefektifan sebuah perusahaan gadai dapat bertahan. Sebagai lembaga yang
relatif belum banyak dikenal masyarakat, pegadaian syariah perlu
mensosialisasikan posisinya sebagai lembaga yang berbeda dengan gadai
konvensional. Hal ini guna memperteguh guna keberadaannya sebagai lembaga yang
terdiri untuk memberikan kemashlahatan bagi masyarakat.
5.
Aspek Sistem dan Prosedur
Sistem dan prosedur gadai syariah
harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dimana keberadaannya menekankan
akan pentingnya gadai syariah. Oleh karena itu gadai syariah merupakan
representasi dari suatu masyarakat dimana gadai itu berada, maka sistem dan
prosedural gadai syariah berlaku fleksibel asals sesuai dengan prinsip gadai
syariah.
6.
Aspek Pengawasan
Yaitu harus diawasi dengan Dewan
Pengawas Syariah agar operasionalisasi gadai syariah sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah.
H.
Pegadaian
dan Bunga Gadai dalam Islam
Pada
dasarnya saat akad perjanjian gadai merupakan akad utang-piutang. Namun akad
utang-piutang gadai mensyaratkan adanya penyerahan barang dari pihak yang
berhutang sebagai jaminan utangnya. Apabila terjadi penambahan sejumlah uang
atau penentuan persentase tertentu dari pokok utang (dalam pembayaran utang
tersebut), maka hal terbut termasuk perbuatan riba, dan riba merupakan suatu
hal yang dilarang oleh syara’ (Basyir, 1983: 55).
Mengenai
pengertian riba para Ulama’ telah berbeda pendapat. Walaupun demikian,
Afzalurrahman (1996) memberikan pedoman bahwa yang dikatakan riba (lebih lazim)
disebut bunga, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut: Pertama, kelebihan dari
pokok pinjaman; kedua, kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran;
ketiga, sejumlah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi.
Adapun
mengenai berlakunya pemungutan bunga (Riba) dalam lembaga pegadaian yang selama
ini berlaku, merupakan sudah menjadi hal yang biasa. Hal ini disebabkan oleh
karena pendapatan terbesar dari lembaga pegadaian tersebut adalah dari
pemungutan bunga dari pokok pinjaman. Bagaimana Islam menanggapi terjadinya
praktek tersebut? Mengenai hal ini sebenarnya sudah ada dua peneliti yang telah
mengkaji lebih jauh tentang bunga pegadaian, yaitu Muhammad Yusuf dan Viyolina.
Adapun untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai deskripsi dari penelitian
tersebut, secara umum adalah sebagai berikut:
Pertama:
Muhammad Yusuf (2000) berpendapat dalam hasil penelitiannya tersebut
berpendapat bahwa:
1.
Islam membenarkan
adanya praktik pegadaian yang dilakukan dengan cara-cara dan tujuan yang tidak
merugikan orang lain. Pegadaian dibolehkan dengan syarat rukun yang bebas dari
unsur-unsur yang dilarang dan merusak perjanjian gadai. Praktik yang terjadi di
pegadaian konvensional, pada dasarnya masih terdapat beberapa hal yang
dipandang merusak dan menyalahi norma dan etika bisnis Islam, diantaranya
adalah masih terdapat unsur riba, yaitu yang berupa sewa modal yang disamakan
dengan bunga.
2.
Pegadaian yang berlaku
saat ini masih terdapat satu diantara banyak unsur yang dilarang oleh syara’,
yaitu dalam upaya meraih keuntungan (laba) pegadaian tersebut memungut sewa
modal atau lebih lazim disebut dengan bunga.
Kedua: Viyolina (2000) lebih tegas
memaparkan dalam penelitiannya tersebut berpendapat bahwa:
Unsur riba yang terdapat dalam aktivitas
pegadaian saat ini sudah pada tingkat yang nyata, yaitu pada transaksi
penetapan dan penarikan bunga dalam gadai yang sudah jelas tidak sesuai dengan
al-Qur’an dan as-Sunnah.
Penerapan bunga gadai yang pada awalnya
sebagai fasilitas untuk memudahkan dalam menentukan besar kecilnya pinjaman,
telah menjadi kegiatan spekulatip dari kaum kapitalis dalam mengesploitasikan
keuntungan yang besar. Berdasarkan kenyataan tersebut dapat dijadikan dasar
Istinbat (kesimpulan hukum) untuk menyatakan bahwa penarikan dan penetapan
bunga gadai belum sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam dan lebih banyak
mendatangkan kemudharatan, sehingga dapat pula dikatakan bahwa penarikan dan
penetapan bunga gadai adalah tidak sah dan haram.
Berdasarkan kedua penelitian tersebut di
atas, Islam membenarkan adanya praktik utang-piutang dengan cara akad gadai
yang sesuai dengan prinsip syari’ah. Artinya, bahwa utang-piutang gadai
tersebut tidak boleh mengandung unsur-unsur yang dilarang oleh syara’ seperti
adanya unsur riba di dalam akadnya.
I.
Aspek
Sosial dan Komersial Gadai
Gadai
pada dasarnya mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Yaitu menolong orang
yang sedang dalam kesusahan. Namun pada kenyataannya dalam masyarakat konsep tersebut
dinilai “tidak adil” karena adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Dilihat dari segi komersial, yang meminjamkan uang merasa dirugikan, misalnya
karena inflasi, pelunasan yang berlarut-larut, sementara barang jaminan tidak
laku. Dilain pihak, barang jaminan mempunyai hasil atau manfaat yang
kemungkinan dapat diambil manfaatnya atau dipungut hasilnya. Bagaimanakah cara
untuk mengatasi hal tersebut? Sejauh manakah hak penerima gadai atas hasil atau
manfaat barang yang digadaikan? (Syafi’i dalam Chuzaimah, 1997: 59)
Bertolak
dari permasalahan tersebut diatas, berikut akan dibahas solusi alternatif agar
pihak penggadai dan penerima gadai tidak merasa saling diperlakukan tidak adil
dan tidak merasa saling dirugikan. Sedangkan untuk lebih jelasnya adalah pada
bagian berikut:
Pendapat
ahli hukum Islam tentang manfaat barang gadai pada dasarnya barang gadai tidak
boleh diambil manfaatnya, baik oleh Rahin sebagai pemilik maupun Murtahin
sebagai pemegang amanat, kecuali mendapat izin masing-masing pihak bersangkutan.
Hak Murtahim terhadap Marhun hanya sebatas menahan dan tidak berhak menggunakan
atau memungut hasilnya. Demikian pula Rahin, selama Marhun ada ditangan
Martahin sebagai jaminan hutang, Rahin tidak berhak menggunakan Marhun. Keadaan
demikian ini, apabila kedua belah pihak (rahin dan murtahin) tidak ada kesepakatan
(Basyir, 1983: 56).
Adapun
mengenai boleh atau tidaknya barang gadai diambil manfaatnya, beberapa Ulama’
berbeda pendapat. Namun menurut Syafi’i (1997) dari kesekian perbedaan pendapat
para Ulama yang tergabung dalam beberapa mazhab, sebenarnya ada titik yang
mengarah menuju kesamaan dari pendapat mereka. Inti dari kesamaan pendapat
Mazhab tersebut terletak pada pemanfaatan barang gadaian pada dasarnya tidak
diperbolehkan oleh syara’, namun apabila pemanfatan barang tersebut telah
mendapatkan izin kedua belah pihak (rahin dan murtahin), maka pemanfaatan
barang gadaian tersebut diperbolehkan. Sedangkan untuk lebih jelasnya mengenai
pendapat para Ulama’ fiqh tentang pemanfaatan barang gadai menurut Syafi’i
(1997) adalah sebagai berikut:
1.
Pendapat Ulama as-
Syafi’iyah
Mengenai pemanfaatan
barang gadaian, masih menajadi perdebatan dikalangan para Ulama, ada yang
berpendapat Rahinlah yan berhak atas Marhun, dan adapula berpendapat sebaliknya
Murtahinlah yang berhak atas Marhun tersebut. Imam Syafi’i mengatakan dalam bukunya,
yaitu al-Um bahwa:
“Manfaat dari barang
jaminan atau gadaian adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada sesuatu pun dari
barang jaminan itu bagi yang menerima gadai” (t.t: 155).
2.
Pendapat Ulama Malikiyah
Mengenai pemanfaatan
dan pemungutan hasil barang gadaian dan segala sesuatu yang dihasilkan dari
padanya, adalah termasuk hak-hak yang menggadaikan. Hasil gadaian itu adalah
bagi yang menggadaikan selama pihak penerima gadai tidak mensyaratkan.
3.
Pendapat Ulama
Hanabillah
Ulama Hanabilah dalam
masalah ini memperhatikan barang yang digadaikan itu sendiri, yaitu hewan atau
bukan hewan, sedangkan hewanpun dibedakan pula antara hewan yang dapat diperah
atau ditunggangi dan hewan yang tidak dapat diperah dan ditunggangi.
4.
Pendapat Ulama Hanafiah
Menurut Ulama Hanafiah
tidak ada bedanya antara pemanfaatan barang gadaian yang mengakibatkan
kurangnya harga atau tidak, maka apabila yang menggadaikan memberi izin, maka
penerima gadai sah mengambil manfaat dari barang yang digadaikan oleh penggadai
(Syafi’i dalam Chuzaimah, 1997: 72).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan
barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan,
hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang. Pegadaian syariah pertama
kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) cabang
Dewi Sartika pada bulan Januari 2003
Adapun
perbedaan dan persamaan pegadaian syariah dengan pegadaian konvensional yaitu
pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang
bergerak. Prosedur untuk memperoleh gadai syariah sangat sederhana yaitu,
masyarakat harus menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak seperti
jaminan, lalu uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama
(kurang lebih 15 menit). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup
dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja denggan waktu proses
yang jauh singkat.
B.
Saran
Walaupun
sesuai dengan ajaran agama Islam, yaitu agama yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia, dan juga dirasa lebih menguntungkan, adanya fasilitas
gadai syariah ini belum bisa dinikmati oleh masyarakat secara luas karena kurangnya
publikasi dan pembelajaran kepada publik mengenai gadai syariah dari Perum
Pegadaian. Oleh karena itu, dibutuhkan publikasi, promosi dan pengenalan kepada
masyarakat luas mengenai konsep gadai syariah yang ditawarkan oleh Perum
Pegadaian ini. Diharapkan ke depannya, operasionalisasi dari gadai syariah ini
dapat dilakukan berlandaskan prinsip-prinsip syariat Islami dengan menyeluruh,
terutama pada akad utama gadai syariah, yaitu akad mudharabah.
DAFTAR PUSTAKA
Kasmir.2008. Bank dan Lembaga Keuangan
Lainya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Huda, Nurul dan Heykal Mohamad.
2010. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Suhendi, Hendi.2008. Fiqh
Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Soemitra, Andri.2009. Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana Media Group
Rivai, Adriana Permata Viethzal dan
Ferry N. Idroes.2007. Bank and Fincial Institution Management. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada
Post a Comment for "Pegadaian dalam islam"