Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia mengalami
perkembangan yang cukup berarti dalam masa kemerdekaan.Perkembangan tersebut
antara lain dapat dilihat dari kewenangan yangdimiliki oleh Peradilan Agama (PA)
sebagai peradilan Islam di Indonesia.Dulunya, putusan PA murni berdasarkan fiqh
para fuqaha’, eksekusinyaharus dikuatkan oleh Peradilan Umum, para hakimnya
hanya berpendidikan Syari’ah tradisional dan tidak berpendidikan hukum,
organisasinya tidakberpuncak ke Mahkamah Agung, dan Iain-lain.
Sekarang keadaan sudah berubah. Salah satu perubahan mendasar akhir akhir
ini adalah penambahan kewenangan PA dalam UU Peradilan Agama yang baru, antara
lain bidang ekonomi Syari’ah. Makalah ini membahas mulai dari Kewenangan
Peradilan Agama, Pengertian Ekonomi Syari’ah dan Macam-macamnya, terjadinya
Sengketa Ekonomi Syari’ah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah, sampai
Contoh Kasus Tentang Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merumuskan masalah dalam makalah
ini mengenai penyelesaian syariah melalui pengadian agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kewenangan
Peradilan Agama
Peradilan
Agama adalah salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk
menegakkan hukum dan keadilan bagi orang- orang yang beragama Islam. Secara
yuridis formal, yurisdiksi Peradlian Agama diatur Islam. Menurut UU No. 7 Tahun
1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi, dengan
diberlakukannya UU No.3 Tahun 2006, menandai lahirnya paradigma baru peradilan
Agama.
Paradigma
baru tersebut antara lain menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan
bahwa “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islammengenai ‘perkara tertentu’ sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini”. Kata “perkara tertentu” merupakan hasil
perubahan terhadap kata “perkara perdata tertentu” sebagaimana disebutkan dalam
UU No.7 Tahun 1989. Penghapusan kata “perdata” disini dimaksudkan agar tidak
hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi pengadilan agama.
Kewenangan
atau kekuasaan Peradilan Agama menyangkut dua hal, yaitu kekuasaan relatif dan
absolut. Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu
jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang
sama jenis dan sama tingkatan lainnya.
Dengan kata lain, kekuasaan relatif adalah
kekuasaan dan wewenang yang bdiberikan antara pengadilan dalam lingkungan
peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar
Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Misalnya anatar Pengadilan
Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor. Sedangkan kekuasaan absolut adalah
kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan
pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan
rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan absolut
Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 UU No. 7 Th. 1989.
B.
Pengertian
Ekonomi Syari’ah dan Macam-macamnya
Ekonomi
syariah atau disebut juga sebagai ekonomi Islam, yaitu ekonomi berdasarkan
prinsip-prinsip Syari’ah.Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan
atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang meliputi
bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi
syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka
menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pergadaian
syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.
Ekonomi
Syari’ah berbeda dari ekonomi konvensional yang berkembang di dunia dewasa ini
yang hanya berdasarkan nilai-nilai sekular terlepas dari agama.
Berdasarkan
Pasal 49 huruf (i) UU No.3 Tahun 2006 yang pasal dan isinya tidak diubah dalam
UU No.50 Th.2009 tentang Perubahan Kedua UU No.7 Th. 1989 tentang Peradilan
Agama, bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
dalam bidang ekonomi syari’ah yang meliputi:
1.
Bank syari’ah
2.
Lembaga keuangan mikro syari’ah
3.
Asuransi syari’ah
4.
Reasuransi syari’ah
5.
Reksadana syari’ah
6.
Obligasi syari’ah dan surat berharga
berjangka menengah syari’ah
7.
Sekuritas syari’ah
8.
Pembiayaan syari’ah
9.
Pegadaian syari’ah
10. Dana pensiun
lembaga keuangan syari’ah, dan
11. Bisnis
syari’ah
Sehubungan dengan jenis dan macamnya mengenai ekonomi
syari’ah yang disebut dalam Penjelasan Pasal 49 UU No.3 Th. 2006 huruf (i) di
atas, hanya menyebutkan 11 jenis. Sebaiknya, harus dilihat terlebih dahulu
mengenai rumusan awalnya yang menyebutkan, bahwa ekonomi syari’ah adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, kata
antara lain yang menunjukkan bahwa 11 jenis yang disebutkan bukan dalam arti
limitatif,tetapi hanya sebagai contoh. Di samping itu, mungkin saja ada bentuk-bentuk
lain dari ekonomi syari’ah yang tidak dapat atau belum dapat disebutkan ketika
merumuskan pengertian ekonomi syari’ah.
Subjek hukum pelaku ekonomi syari’ah menurut
penjelasan pasal tersebut di atas antara lain disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum
yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan
pasal ini.
Berdasarkan penjelasan Pasal 49 UU. No.3 Th. 2006
tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah
dan atau bank-bank konvensional yang membuka sektor usaha syari’ah maka dengan
sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syari’ah, baik dalam hal
pelaksanaan akadnya maupun dalam hal penyelesaian perselisihannya.
C.
Terjadinya
Sengketa Ekonomi Syari’ah
Secara
rinci, dapat dikemukakan mengenai bentuk-bentuk sengketa bank syari’ah yang
disebabkan karena adanya pengingkaran atau pelanggaran terhadap perikatan
(akad) yang telah dibuat, yaitu disebabkan karena:
1.
Kelalaian Bank untuk mengembalikan
dana titipan nasabah dalam akad wadi’ah
2.
Bank mengurangi nisbah keuntungan
nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan dalam akad mudlorobah
3.
Nasabah melakukan kegiatan usaha
minuman keras dan usaha-usaha lain yang diharamkan menurut syari’at Islam yang
bersumber dari dana pinjaman bank syari’ah, akad qirah dan lain-lain
4.
Pengadilan agama berwenang menghukum
kepada pihak nasabah atau pihak bank yang melakukan wanprestasi yang
menyebabkan kerugian riil (real lose).
Secara garis
besar, sengketa ekonomi syari’ah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:
1.
Sengketa di bidang ekonomi syari’ah
antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dengan nasabahnya,
2.
Sengketa di bidang ekonomi syari’ah
antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah,
3.
Sengketa di bidang ekonomi syari’ah
antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan
dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan
prinsip-prinsip syari’ah.
Sengketa ekonomi syari’ah juga bisa dalam bentuk
perkara Permohonan Pernyataan Pailit (PPP) dan juga bisa berupa Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di bidang ekonomi syari’ah, di samping itu
juga perkara derivatif kepailitan (perkara tidak murni sebagai perkara
kepailitan).
D.
Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syari’ah
1.
Perdamaian(Sulhu)
Langkah
pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan perselisihan, ialah
melalui cara damai. Untuk mencapai hakekat perdamaian, prinsip utama yang perlu
dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada Allah (Al-Qur’an)
dan RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan.
Upaya damai
tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura) untuk mencapai mufakat di antara para pihak yang
berselisih. Dengan musyawarah yang mengedepankan prinsip-prinsip syari’at,
diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat diselesaikan.
2.
Arbitrase Syari’ah (Tahkim)
Untuk menyelesaikan
perkara/ perselisihan secara damai dalam hal keperdataan, selain dapat dicapai
melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga dapat dicapai melalui
keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator).
Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri
ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai.
Institusi
formal yang khusus dibentuk untuk menangani perselisihan/ sengketa disebut
arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.
3.
Lembaga Peradilan Syari’ah (Qadha)
Dengan
disahkannya UU No. 3 Th. 2006 tentang perubahan UU No. 7 Th. 1989 tentang
Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga
Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan
wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain di bidang perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah (pasal49).
Dengan adanya kewenangan ini maka perkara yang timbul terkait dengan
penyelesaian sengketa syari’ah selain dapat diselesaikan melalui cara damai (sulhu) dan arbitrase syari’ah (tahkim), juga dapat diselesaikan melalui
lembaga peradilan (qadha).
E.
Contoh Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syari’ah
Contoh
sengketa Bank Syari’ah misalnya adalah antara Pertamina dengan bank syari’ah.
Pertamina mengajukan pembiayaan dalam akad murabahah
(jual beli) kepada dua bank syari’ah untuk membiayai pengadaan 100 unit kendaraan.
Kedua bank Syari’ah tersebut sepakat menyalurkan pembiayaan untuk 50 unit
kendaraan. Suatu kali, pertamina terlambat membayar, namun secara sepihak salah
satu bank syari’ah tiba-tiba menaikkan harga jual barang, sedangkan menurut
fatwa DSN No.4/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Murabahah, pihak bank Syari’ah
tersebut tidak boleh menaikkan harga barang selama masa pembiayaan sesuai
kesepakatan. Sengketa ini tidak kunjung selesai karena pihak bank Syari’ah
tidak bersedia membawa kasus ini ke Basyarnas, sedangkan sengketa bank Syari’ah
baru bisa dibawa ke Basyarnas kalau kedua belah pihak menyetujui. Pihak bank
Syari’ah memilih untuk diselesaikan melalui peradilan umum karena bisa
mendapatkan keuntungan sekitar Rp 250.000.000,00. Sementara, kuasa hukum
Pertamina melaporkan kasus ini ke BI, bank Syari’ah yang bersangkutan, DSN-MUI
dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS), namun hasilnya tetap nihil, yang tepat dalam
kasus ini adalah harus diselesaikan melalui lembaga peradilan agama.
F.
SUMBER HUKUM YANG DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR
HUKUM UNTUK MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
Sumber hukum yang dapat
digunakan dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah :
1.
Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili
sengketa ekonomi syari’ah adalah Hukum Acara yang berlaku dan dipergunakan pada
lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Sementara ini Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah
Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura, Rechtreglement
Voor De Buittengewesten (R.Bg) untuk luar Jawa Madura. Kedua aturan
Hukum Acara ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang
telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Tentang Peradilan Agama. Di samping dua
peraturan sebagaimana tersebut di atas, diberlakukan juga Bugerlijke Wetbook
Voor Indonesia (BW) atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, khususnya buku ke IV tentang Pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865
sampai dengan Pasal 1993. Juga diberlakukan Wetbook Van Koophandel (Wv.K)
yang diberlakukan berdasarkan Stb 1847 Nomor 23, khususnya dalam Pasal 7, 8, 9,
22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dalam kaitan dengan peraturan ini
terdapat juga Hukum Acara yang diatur dalam Failissements Verordering (Aturan
Kepailitan)sebagaimana yang diatur dalam Stb 1906 Nomor 348, dan juga
terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
dan dijadikan pedoman dalam praktek Peradilan Indonesia.
2.
Sumber Hukum Materiil
Seperti dikemukakan di atas, setelah seluruh tahap pemeriksan
selesai lalu hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka
mengadili perkara tersebut. Untuk itu hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber
yang sah dan menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau
peristiwa konkret yang ditemukan dalam perkara tersebut. Sumber-sumber hukum
yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi
perjanjian, undang-undang, yudisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional,
dan ilmu pengetahuan. Adapun bagi lingkungan pengadilan agama, sumber-sumber
hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara
perbankan syariah setelah Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber utama, antara
lain adalah :
a.
Peraturan Perundang-Undangan
Banyak sekali aturan
hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai
titik singgung dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu
Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan memahaminya untuk dijadikan pedoman
dalam memutuskan perkara ekonomi syari’ah.
b.
Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
Dewan syari’ah Nasional
(DSN) berada dibawah MUI, dibentuk pada tahun 1999. Lembaga ini mempunyai
kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha
Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah
c.
Aqad Perjanjian (Kontrak)
Menurut Taufiq (2006 : 6-7) dalam mengadili perkara
sengketa ekonomi syari’ah, sumber hukum utama adalah perjanjian, sedangkan yang
lain merupakan pelengkap saja. Oleh karena itu, hakim harus memahami jika suatu
aqad perjanjian itu sudah memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu perjanjian.
Syarat suatu aqad perjanjian itu sudah memenuhi azas kebebasan berkontrak, azas
persamaan dan kesetaraan, azas keadilan, azas kejujuran jika aqad perjanjian
itu mengandung hal-hal yang dilarang oleh Syariat Islam, seperti mengandung
unsur riba dengan segala bentuknya, ada unsur gharar atau tipu daya, unsur
maisir atau spekulatif dan unsur dhulm atau ketidakadilan.
Ketentuan tersebut tentu saja dapat diterapkan seluruhnya
dalam hukum keperdataan Islam, karena dalam aqad perjanjian Islam tidak dikenal
adanya bunga yang menjadi bagian dari tuntutan ganti rugi. Oleh karena itu,
ketentuan ganti rugi harus sesuai dengan prinsip Syariat Islam. Jika salah satu
pihak tidak melakukan prestasi, dan itu dilakukan bukan karena terpaksa (overmach),
maka ia dipandang ingkar janji (wanprestasi) yang dapat merugikan pihak
lain. Penetapan wanprestasi ini bisa berbentuk putusan hakim atau atas dasar
kesepakatan bersama atau berdasarkan ketentuan aturan hukum Islam yang berlaku.
Sehubungan dengan hal
di atas, bagi pihak yang wanprestasi dapat dikenakan ganti rugi atau denda
dalam ukuran yang wajar dan seimbang dengan kerugian yang ditimbulkannya serta
tidak mengandung unsur ribawi.
Perbuatan melawan hukum
oleh CST Kansil (1986 : 254) diartikan bahwa berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang melanggar hak orang lain, atau berlawanan dengan kewajiban hak orang yang
berbuat atau tidak berbuat itu sendiri atau bertentangan dengan tata susila,
maupun berlawanan dengan sikap hati-hati sebagaimana patutnya dalam pergaulan
masyarakat, terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.
d. Fiqih dan Ushul Fiqih
Fiqih merupakan sumber
hukum yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah.
Sebagian besar kitab-kitab fiqih yang muktabar berisi berbagai masalah muamalah
yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syari’ah.
e. Adat Kebiasaan
Untuk dapat dijadikan
sebagai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan
syariah, kebiasaan di bidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling
tidak tiga syarat yaitu (Sudikno Mertokusumo, 1999 : 99) :
1) Perbuatan itu dilakukan
oleh masyarakat tertentu secara berulangulang dalam waktu yang lama (longaet
inveterate consuetindo) ;
2) Kebiasaan itu sudah
merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates) dan
3) Adanya akibat hukum
apabila kebiasaan itu dilanggar Apabila kebiasaan di bidang ekonomi syariah
mempunyai ketiga syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai
dasar dalam mengadili perkara ekonomi syariah.
f. Yurisprudensi
Yurisprudensi yang
dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara ekonomi
syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat
pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan
oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah
dikekuatan hukum tetap, khususnya di bidang ekonomi syariah.
Dengan perkataan lain
yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum dalam hal ini adalah putusan
hakim yang benar-benar sudah melalui proses “eksaminasi” dan “notasi” dari
Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar
hukum yurisprudensi.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Menurut UU
No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan
tetapi, dengan diberlakukannya UU No.3 Tahun 2006, menandai lahirnya paradigma
baru peradilan Agama.
Yang
dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang meliputi bank syari’ah, lembaga
keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana
syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah,
sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pergadaian syari’ah, dana pensiun
lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.
Secara garis
besar, sengketa ekonomi syari’ah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:
1.
Sengketa di bidang ekonomi syari’ah
antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dengan nasabahnya,
2.
Sengketa di bidang ekonomi syari’ah
antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah,
3.
Sengketa di bidang ekonomi syari’ah
antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan
dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan
prinsip-prinsip syari’ah.
Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syari’ah:
1.
Perdamaian(Sulhu)
2.
Arbitrase Syari’ah (Tahkim)
3.
Lembaga Peradilan Syari’ah (Qadha)
B.
SARAN
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik
dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, 2004, Kaidah-Kaidah
Hukum Yurisprudensi, Khairul Bayan, Jakarta
Abdul Ghofur Anshori, 2007, Peradilan
Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan &
Kewenangan), UII Press, Yogyakarta.
CST Kansil, 1986, Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Idonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Fuady, Munir, 2000, Arbitrase
Nasional, alternative penyelesaian sengketa bisnis, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Sudikno Mertokusumo, 1999, Hukum
Acara Perdata Indonesia, Liberty,Yogyakarta.
Suyud Margono, 2000, ADR dan
Arbitrase,Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Post a Comment for "Penyelesaian sengketa melalui pengadilan"