Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup berarti dalam masa kemerdekaan.Perkembangan tersebut antara lain dapat dilihat dari kewenangan yangdimiliki oleh Peradilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia.Dulunya, putusan PA murni berdasarkan fiqh para fuqaha’, eksekusinyaharus dikuatkan oleh Peradilan Umum, para hakimnya hanya berpendidikan Syari’ah tradisional dan tidak berpendidikan hukum, organisasinya tidakberpuncak ke Mahkamah Agung, dan Iain-lain.
Sekarang keadaan sudah berubah. Salah satu perubahan mendasar akhir akhir ini adalah penambahan kewenangan PA dalam UU Peradilan Agama yang baru, antara lain bidang ekonomi Syari’ah. Makalah ini membahas mulai dari Kewenangan Peradilan Agama, Pengertian Ekonomi Syari’ah dan Macam-macamnya, terjadinya Sengketa Ekonomi Syari’ah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah, sampai Contoh Kasus Tentang Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merumuskan masalah dalam makalah ini mengenai penyelesaian syariah melalui pengadian agama.


 



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kewenangan Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang- orang yang beragama Islam. Secara yuridis formal, yurisdiksi Peradlian Agama diatur Islam. Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi, dengan diberlakukannya UU No.3 Tahun 2006, menandai lahirnya paradigma baru peradilan Agama.
Paradigma baru tersebut antara lain menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan bahwa “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islammengenai ‘perkara tertentu’ sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Kata “perkara tertentu” merupakan hasil perubahan terhadap kata “perkara perdata tertentu” sebagaimana disebutkan dalam UU No.7 Tahun 1989. Penghapusan kata “perdata” disini dimaksudkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi pengadilan agama.
Kewenangan atau kekuasaan Peradilan Agama menyangkut dua hal, yaitu kekuasaan relatif dan absolut. Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya.
 Dengan kata lain, kekuasaan relatif adalah kekuasaan dan wewenang yang bdiberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Misalnya anatar Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor. Sedangkan kekuasaan absolut adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 UU No. 7 Th. 1989.

B.     Pengertian Ekonomi Syari’ah dan Macam-macamnya
Ekonomi syariah atau disebut juga sebagai ekonomi Islam, yaitu ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Syari’ah.Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang meliputi bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pergadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.
Ekonomi Syari’ah berbeda dari ekonomi konvensional yang berkembang di dunia dewasa ini yang hanya berdasarkan nilai-nilai sekular terlepas dari agama.
Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU No.3 Tahun 2006 yang pasal dan isinya tidak diubah dalam UU No.50 Th.2009 tentang Perubahan Kedua UU No.7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syari’ah yang meliputi:
1.      Bank syari’ah
2.      Lembaga keuangan mikro syari’ah
3.      Asuransi syari’ah
4.      Reasuransi syari’ah
5.      Reksadana syari’ah
6.      Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
7.      Sekuritas syari’ah
8.      Pembiayaan syari’ah
9.      Pegadaian syari’ah
10.  Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan
11.  Bisnis syari’ah

Sehubungan dengan jenis dan macamnya mengenai ekonomi syari’ah yang disebut dalam Penjelasan Pasal 49 UU No.3 Th. 2006 huruf (i) di atas, hanya menyebutkan 11 jenis. Sebaiknya, harus dilihat terlebih dahulu mengenai rumusan awalnya yang menyebutkan, bahwa ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, kata antara lain yang menunjukkan bahwa 11 jenis yang disebutkan bukan dalam arti limitatif,tetapi hanya sebagai contoh. Di samping itu, mungkin saja ada bentuk-bentuk lain dari ekonomi syari’ah yang tidak dapat atau belum dapat disebutkan ketika merumuskan pengertian ekonomi syari’ah.
Subjek hukum pelaku ekonomi syari’ah menurut penjelasan pasal tersebut di atas antara lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan pasal ini.
Berdasarkan penjelasan Pasal 49 UU. No.3 Th. 2006 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dan atau bank-bank konvensional yang membuka sektor usaha syari’ah maka dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syari’ah, baik dalam hal pelaksanaan akadnya maupun dalam hal penyelesaian perselisihannya.

C.    Terjadinya Sengketa Ekonomi Syari’ah
Secara rinci, dapat dikemukakan mengenai bentuk-bentuk sengketa bank syari’ah yang disebabkan karena adanya pengingkaran atau pelanggaran terhadap perikatan (akad) yang telah dibuat, yaitu disebabkan karena:
1.      Kelalaian Bank untuk mengembalikan dana titipan nasabah dalam akad wadi’ah
2.      Bank mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan dalam akad mudlorobah
3.      Nasabah melakukan kegiatan usaha minuman keras dan usaha-usaha lain yang diharamkan menurut syari’at Islam yang bersumber dari dana pinjaman bank syari’ah, akad qirah dan lain-lain
4.      Pengadilan agama berwenang menghukum kepada pihak nasabah atau pihak bank yang melakukan wanprestasi yang menyebabkan kerugian riil (real lose).

Secara garis besar, sengketa ekonomi syari’ah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:
1.      Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dengan nasabahnya,
2.      Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah,
3.      Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.

Sengketa ekonomi syari’ah juga bisa dalam bentuk perkara Permohonan Pernyataan Pailit (PPP) dan juga bisa berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di bidang ekonomi syari’ah, di samping itu juga perkara derivatif kepailitan (perkara tidak murni sebagai perkara kepailitan).

D.    Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
1.      Perdamaian(Sulhu)
Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan perselisihan, ialah melalui cara damai. Untuk mencapai hakekat perdamaian, prinsip utama yang perlu dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada Allah (Al-Qur’an) dan RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan.
Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura) untuk mencapai mufakat di antara para pihak yang berselisih. Dengan musyawarah yang mengedepankan prinsip-prinsip syari’at, diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat diselesaikan.

2.      Arbitrase Syari’ah (Tahkim)
Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam hal keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai.
Institusi formal yang khusus dibentuk untuk menangani perselisihan/ sengketa disebut arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.



3.      Lembaga Peradilan Syari’ah (Qadha)
Dengan disahkannya UU No. 3 Th. 2006 tentang perubahan UU No. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah (pasal49). Dengan adanya kewenangan ini maka perkara yang timbul terkait dengan penyelesaian sengketa syari’ah selain dapat diselesaikan melalui cara damai (sulhu) dan arbitrase syari’ah (tahkim), juga dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan (qadha).

E.     Contoh Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Contoh sengketa Bank Syari’ah misalnya adalah antara Pertamina dengan bank syari’ah. Pertamina mengajukan pembiayaan dalam akad murabahah (jual beli) kepada dua bank syari’ah untuk membiayai pengadaan 100 unit kendaraan. Kedua bank Syari’ah tersebut sepakat menyalurkan pembiayaan untuk 50 unit kendaraan. Suatu kali, pertamina terlambat membayar, namun secara sepihak salah satu bank syari’ah tiba-tiba menaikkan harga jual barang, sedangkan menurut fatwa DSN No.4/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Murabahah, pihak bank Syari’ah tersebut tidak boleh menaikkan harga barang selama masa pembiayaan sesuai kesepakatan. Sengketa ini tidak kunjung selesai karena pihak bank Syari’ah tidak bersedia membawa kasus ini ke Basyarnas, sedangkan sengketa bank Syari’ah baru bisa dibawa ke Basyarnas kalau kedua belah pihak menyetujui. Pihak bank Syari’ah memilih untuk diselesaikan melalui peradilan umum karena bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp 250.000.000,00. Sementara, kuasa hukum Pertamina melaporkan kasus ini ke BI, bank Syari’ah yang bersangkutan, DSN-MUI dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS), namun hasilnya tetap nihil, yang tepat dalam kasus ini adalah harus diselesaikan melalui lembaga peradilan agama.

F.     SUMBER HUKUM YANG DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR HUKUM UNTUK MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
Sumber hukum yang dapat digunakan dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah :

1.      Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)
      Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syari’ah adalah Hukum Acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Sementara ini Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura, Rechtreglement Voor De Buittengewesten (R.Bg) untuk luar Jawa Madura. Kedua aturan Hukum Acara ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Tentang Peradilan Agama. Di samping dua peraturan sebagaimana tersebut di atas, diberlakukan juga Bugerlijke Wetbook Voor Indonesia (BW) atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya buku ke IV tentang Pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993. Juga diberlakukan Wetbook Van Koophandel (Wv.K) yang diberlakukan berdasarkan Stb 1847 Nomor 23, khususnya dalam Pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dalam kaitan dengan peraturan ini terdapat juga Hukum Acara yang diatur dalam Failissements Verordering (Aturan Kepailitan)sebagaimana yang diatur dalam Stb 1906 Nomor 348, dan juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan dijadikan pedoman dalam praktek Peradilan Indonesia.

2.      Sumber Hukum Materiil
      Seperti dikemukakan di atas, setelah seluruh tahap pemeriksan selesai lalu hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili perkara tersebut. Untuk itu hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkret yang ditemukan dalam perkara tersebut. Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang, yudisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan. Adapun bagi lingkungan pengadilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah :
a.       Peraturan Perundang-Undangan
Banyak sekali aturan hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai titik singgung dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan memahaminya untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi syari’ah.
b.      Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
Dewan syari’ah Nasional (DSN) berada dibawah MUI, dibentuk pada tahun 1999. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah
c.       Aqad Perjanjian (Kontrak)
            Menurut Taufiq (2006 : 6-7) dalam mengadili perkara sengketa ekonomi syari’ah, sumber hukum utama adalah perjanjian, sedangkan yang lain merupakan pelengkap saja. Oleh karena itu, hakim harus memahami jika suatu aqad perjanjian itu sudah memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu perjanjian. Syarat suatu aqad perjanjian itu sudah memenuhi azas kebebasan berkontrak, azas persamaan dan kesetaraan, azas keadilan, azas kejujuran jika aqad perjanjian itu mengandung hal-hal yang dilarang oleh Syariat Islam, seperti mengandung unsur riba dengan segala bentuknya, ada unsur gharar atau tipu daya, unsur maisir atau spekulatif dan unsur dhulm atau ketidakadilan.
            Ketentuan tersebut tentu saja dapat diterapkan seluruhnya dalam hukum keperdataan Islam, karena dalam aqad perjanjian Islam tidak dikenal adanya bunga yang menjadi bagian dari tuntutan ganti rugi. Oleh karena itu, ketentuan ganti rugi harus sesuai dengan prinsip Syariat Islam. Jika salah satu pihak tidak melakukan prestasi, dan itu dilakukan bukan karena terpaksa (overmach), maka ia dipandang ingkar janji (wanprestasi) yang dapat merugikan pihak lain. Penetapan wanprestasi ini bisa berbentuk putusan hakim atau atas dasar kesepakatan bersama atau berdasarkan ketentuan aturan hukum Islam yang berlaku.
Sehubungan dengan hal di atas, bagi pihak yang wanprestasi dapat dikenakan ganti rugi atau denda dalam ukuran yang wajar dan seimbang dengan kerugian yang ditimbulkannya serta tidak mengandung unsur ribawi.
Perbuatan melawan hukum oleh CST Kansil (1986 : 254) diartikan bahwa berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, atau berlawanan dengan kewajiban hak orang yang berbuat atau tidak berbuat itu sendiri atau bertentangan dengan tata susila, maupun berlawanan dengan sikap hati-hati sebagaimana patutnya dalam pergaulan masyarakat, terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.

d.      Fiqih dan Ushul Fiqih
Fiqih merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Sebagian besar kitab-kitab fiqih yang muktabar berisi berbagai masalah muamalah yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syari’ah.

e.       Adat Kebiasaan
Untuk dapat dijadikan sebagai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah, kebiasaan di bidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling tidak tiga syarat yaitu (Sudikno Mertokusumo, 1999 : 99) :
1)      Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulangulang dalam waktu yang lama (longaet inveterate consuetindo) ;
2)      Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates) dan
3)      Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar Apabila kebiasaan di bidang ekonomi syariah mempunyai ketiga syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara ekonomi syariah.

f.       Yurisprudensi
Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara ekonomi syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah dikekuatan hukum tetap, khususnya di bidang ekonomi syariah.
Dengan perkataan lain yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum dalam hal ini adalah putusan hakim yang benar-benar sudah melalui proses “eksaminasi” dan “notasi” dari Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi.




BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi, dengan diberlakukannya UU No.3 Tahun 2006, menandai lahirnya paradigma baru peradilan Agama.
Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang meliputi bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pergadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.
Secara garis besar, sengketa ekonomi syari’ah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:
1.      Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dengan nasabahnya,
2.      Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah,
3.      Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah.
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah:
1.      Perdamaian(Sulhu)
2.      Arbitrase Syari’ah (Tahkim)
3.      Lembaga Peradilan Syari’ah (Qadha)

B.     SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Kamil dan M. Fauzan, 2004, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Khairul Bayan, Jakarta
Abdul Ghofur Anshori, 2007, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan & Kewenangan), UII Press, Yogyakarta.
CST Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Idonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Fuady, Munir, 2000, Arbitrase Nasional, alternative penyelesaian sengketa bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sudikno Mertokusumo, 1999, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,Yogyakarta.
Suyud Margono, 2000, ADR dan Arbitrase,Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.





Post a Comment for "Penyelesaian sengketa melalui pengadilan"