Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pokok Hukum adat


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah menganal dan menggunakan istilah tersebut.
Adat-istiadat yang hidup didalam masyarakat erat sekali kaitannya dengan tradisi-tradisi rakyat dan ini merupakan sumber pokok dari pada hukum adat. Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, mengatakan bahwa adat adalah tingkah laku yang oleh masyarakat diadatkan. Adat ini ada yang tebal dan ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku didalam masyarakat ini adalah aturan adat dan bukan merupakan aturan hukum.
Hukum adat sebenarnya berpanutan dengan suatu masyarakat yang masihhidup dalam taraf subsistem, hingga kecocokannya untuk kehidupan modern ini mulaidipertanyakan. Dan dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh politik hukum yang dianut oleh negara dan metode pendekatan yang digunakan untuk menemukan hukum adat.
Hukum adat karena sifatnya yang tidak tertulis, majemuk antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya, maka perlu dikaji perkembangannya. Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat masih hidup , apakah sudah berubah, dan ke arah mana perubahan itu

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari hukum adat ?
2.      Bagaimanakah sumber-sumber dari hukum adat ?
3.      Bagaimanakah asas-asas pokok dari hukum adat ?



BAB II
PEMBAHASAN

Istilah Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda “Adat Recht”, yang pertama sekali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje yang kemudian dipakai dalam bukunya “De Atjehers” (orang-orang Aceh). Istilah Adat-Recht ini kemudian dipakai pula oleh van Vollenhoven yang menulis buku pokok tentang Hukum Adat yaitu “Het Adat-Recht van Nederlandsch Indie” (Hukum Adat Hindia-Belanda).

A.    Pengertian Hukum Adat
Dalam arti sempit sehari-hari yang dinamakan Hukum Adat ialah: Hukum asli yang tidak tertulis yang memberi pedoman kepada sebagian besar orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara satu dengan lainnya baik di desa maupun di kota. Di samping bagian tidak tertulis dari hukum asli ada pula bagian yang tertulis yaitu: Piagam, perintah-perintah Raja, patokan-patokan pada daun lontar, awig-awig (dari Bali), dan sebagainya. Di banding dengan yang tidak tertulis, maka bagian yang tertulis ini adalah kecil (sedikit), tidak berpengaruh dan sering dapat diabaikan[1].
1.      Ter Haar
Ter Haar membuat dua perumusan, yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan Hukum Adat itu, yaitu:
§  Pertama: Dalam pidato dies tahun 1930, dengan judul “Peradilan Landraad berdasarkan hukum tak tertulis. Hukum Adat lahir dari dan diperlihara oleh keputusan-keputusan; keputusan para warga masyarakat umum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum; atau dalam hal pertentangan kepentingan, keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan seapas-seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/ diakui atau setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya.
§  Kedua, Dalam orasinya tahun 1937, yang berobyek, “Hukum Adat Hindia Belanda di dalam ilmu, praktek dan pengajaran”
Hukum adat itu dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan Desa, surat-surat perintah Raja adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macht, authority) serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Fungsionaris di sini terbatas pada dua kekuasaan yaitu Eksekutif dan Yudikatif. Dengan demikian Hukum Adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan dilihat dalam keputusan-keputusan fungsionaris hukum itu; bukan saja hakim tetapi juga Kepala Adat, rapat desa, wali tanah, petugas-petugas desa lainnya. Keputusan itu bukan saja keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi, tetapi juga di luar itu berdasarkan kerukunan (musyawarah). Keputusan-keputusan itu diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rokhani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan itu. Dalam perumusan Ter Haar ini tersimpul ajaran Beslissingenleer (ajaran keputusan).

2.      Van Vollenhoven
Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu: “Hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu “Adat”)
Positif yaitu hukum yang dinyatakan berlaku di sini dan kini. Sanksi yaitu reaksi/ konsekuensi dari pihak lain atas pelanggaran suatu norma (hukum). Kodifikasi yaitu pembukuan sistematis suatu daerah/ lapangan/ bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (yang diatur segala unsurnya) dan tuntas (yang diatur semua soal yang mungkin timbul).

3.      Supomo
Supomo di dalam “Beberapa catatan mengenai kedudukan Hukum Adat” menulis antara lain: Dalam tatahukum baru Indonesia baik kiranya guna menghindarkan salah pengertian, istilah Hukum Adat ini dipakai sebagai sinonim dari:
§  Hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif (non-statutory law);
§  Hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan-dewan Propinsi dan sebagainya);
§  Hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judgemade law);

Hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota-kota maupun di desa-desa (customary law); semua inilah merupakan Adat atau Hukum yang tidak tertulis yang disebut oleh Pasal 32 UUDS Tahun 1950. Dari uraian di atas, Supomo melepaskan perhatian terhadap hal-hal atau bagian-bagian yang tertulis dan memahamkan Hukum Adat itu sebagai hukum yang tidak tertulis dalam arti hukum kebiasaan yang tidak tertulis.
Bushar Muhammad sependapat bahwa Pasal 32 dan 43 UUDS tahun 1950 harus ditafsirkan secara luas. Jadi hukum yang tak tertulis tidak hanya meliputi yang hidup dan dipertahankan sebagai peraturan adat di dalam masyarakat (customary law) yang disebut Hukum Adat dalam arti sempit, tetapi juga hukum kebiasaan dalam lapangan ketatanegaraan (convention) dan kehakiman atau peradilan. Supomo mengabaikan bagian yang tertulis dari Hukum Adat karena memang bagian yang tertulis ini sedikit sekali, sehingga dalam persoalan ini dapat diabaikan[2].

4.      Hazairin
Di dalam pidato inagurasinya yang berjudul: “Kesusilaan dan Hukum” berpendapat bahwa seluruh lapangan hukum mempunyai hubungan dengan kesusilaan, langsung ataupun tidak langsung. Dengan demikian maka dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau yang bertentangan dengan kesusilaan. Demikianlah juga dengan hukum adat; teristimewa di sini dijumpai perhubungan dan persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan; pada akhirnya antara hukum dan adat yaitu sedemikian langsungnya sehingga istilah buatan yang disebut “Hukum Adat” itu tidak dibutuhkan oleh Rakyat biasa yang memahamkan menurut halnya sebutan “Adat” itu atau dalam artinya sebagai (Adat) sopan-santun atau dalam artinya sebagai hukum. Selanjutnya Hazairin dalam masyarakat, yaitu bahwa: kaidah-kaidah Adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Meskipun ada perbedaan sifat atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah kesusilaan dan kaidah-kaidah hukum itu, namun bentuk-bentuk perbuatan yang menurut hukum dilarang atau disuruh itu adalah menurut kesusilaan bentuk-bentuk yang dicela atau dianjurkan juga, sehingga pada hakikinya dalam patokan lapangan itu juga hukum itu berurat pada kesusilaan. Apa yang tidak dapat terpelihara lagi hanya oleh kaidah-kaidah kesusilaan, diikhtiarkan pemeliharaannya dengan kaidah-kaidah hukum.
Yang dimaksud dengan kaidah hukum ialah kaidah yang tidak hanya didasarkan kepada kebebasan pribadi tetapi serentak mengekang pula kebebasan itu dengan suatu gertakan, suatu ancaman paksaan yang dapat dinamakan ancaman hukum atau penguat hukum. Uraian Hazairin ini memberi kesan kepada kita akan suatu pandangan yang agak lain dari biasa.
Di sini Hazairin menghilangkan suatu garis atau batas yang tegas antara hukum di pihak yang satu dengan kesusilaan (kebiasaan, kelaziman, “zede” dan sebagainya) di pihak lain. Hazairin melihat antara hukum (hukum adat) dan kesusilaan tidak ada suatu perbedaan hakiki. Dapat dikatakan bahwa segala macam hukum yang ada, yaitu segala macam peraturan dalam hidup kemasyarakatan yang mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu bersumber kepada kesusilaan. Kaidah kesusilaan termasuk kaidah Adat dibaiarkan pemeliharaannya kepada kebebasan pribadi yang dibatasi dengan dan dijuruskan kepada suatu ancaman paksaan, yaitu: hukuman, pidana, penguat hukum. Faham Hazairin tentang Hukum Adat disesuaikan dengan faham rakyat, yaitu baik dalam arti (adat) sopan-santun maupun dalam arti hukum.

B.     Sumber Hukum Adat
Dalam membicarakan sumber hukum (Adat) dianggap penting terlebih dahulu dibedakan atas dua pengertian sumber hukum yaitu Welbron dan Kenbron. Welbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti yang sebenarnya. Sumber Hukum Adat dalam arti Welbron tersebut, tidak lain dari keyakinan tentang keadilan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Dengan perkataan lain Welbron itu adalah konsep tentang keadilan sesuatu masyarakat, seperti Pancasila bagi masyarakat Indonesia.
Sedangkan Kenbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti dimana hukum (adat) dapat diketahui atau ditemukan. Dengan lain perkataan sumber dimana asas-asas hukum (adat) menempatkan dirinya di dalam masyarakat sehingga dengan mudah dapat diketahui. Kenbron itu merupakan penjabaran dari Welbron. Atas dasar pandangan sumber hukum seperti itu, maka para sarjana yang menganggap hukum itu sebagai kaidah berpendapat sumber hukum dalam arti Kenbron itu adalah:
1.      Adat kebiasaan
2.      Yurisprudensi
3.      Norma-norma Hukum Islam yang telah meresap ke dalam Adat istiadat masyarakat Indonesia Asli.
4.      Kitab-kitab Hukum Adat
5.      Buku-buku Standar tentang Hukum Adat
6.      Pendapat Ahli Hukum Adat.
Dengan demikian hukum adat dapat ditemukan baik dalam adat kebiasaan maupun dalam tulisan-tulisan yang khusus memuat/membicarakan hukum adat. Tulisan itu mungkin fakta hukum atau mungkin pula merupakan pandangan dari para ahli hukum adat[3].

C.    Pokok Hukum Adat
Hukum adat kita mempunyai asas-asas tertentu adapun asas-asas yang terpenting adalah :
1.      Asas Relegiues- Magis
Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya.
Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah darp pada nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik.

Arti Relegieus Magis adalah :
§  Bersifat kesatuan batin
§  Ada kesatuan dunia lahir dan dunia gaib
§  Ada hubungan dengan arwah-arwah nenek moyang dan makluk-makluk halus lainnya.
§  Percaya adanya kekuatan gaib
§  Pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang
§  Setiap kegiatan selalu diadakan upacara-upacara relegieus
§  Percaya adanya roh-roh halus, hatu-hantu yang menempati alam semesta seperti terjadi gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, batu dan lain sebagainya.
§  Percaya adanya kekuatan sakti dan adanya beberapa pantangan-pantangan.

2.      Asas Komunal atau Kemasyarakatan
Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan. Secara singkat arti dari Komunal adalah :
§  Manusia terikat pada kemasyarakatan tidak bebas dari segala perbuatannya.
§  Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya
§  Hak subyektif berfungsi sosial
§  Kepentingan bersama lebih diutamakan
§  Bersifat gotong royong
§  Sopan santun dan sabar
§  Sangka baik
§  Saling hormat menghormati

3.      Asas Demokrasi
Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai system pemerintahan. Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil musyawarah dan lain sebagainya.

4.      Asas  Kontan
Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.

5.      Asas Konkrit
Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.

D.    Pembidangan Hukum Adat
Mengenai pembidangan hukum adat tersebut, terdapat pelbagai variasi, yang berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukum adat, apabiladibandingkan dengan hukum Barat[4]. Pembidangan tersebut biasanya dapat diketemukan pada buku-buku standar, dimana sistematika buku-buku tersebut merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui pembidangan mana yang dianut oleh penulisnya. Van Vollen Hoven berpendapat, bahwa pembidangan hukum adat, adalah sebagai berikut
1.      Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
2.      Tentang Pribadi
3.      Pemerintahan dan peradilan
4.      Hukum Keluarga
5.      Hukum Perkawinan
6.      Hukum Waris
7.      Hukum Tanah
8.      Hukum Hutang piutang
9.      Hukum delik
10.  Sistem sanksi.

Pembidangan hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, cenderung untuk diikuti oleh para ahli hukum adat pada dewasa ini. Surojo Wignjodipuro, misalnya, menyajikan pembidangan, sebagai berikut :
1.      Tata susunan rakyat Indonesia
2.      Hukum perseorangan
3.      Hukum kekeluargaan
4.      Hukum perkawinan
5.      Hukum harta perkawinan
6.      Hukum (adat) waris
7.      Hukum tanah
8.      Hukum hutang piutang
9.      Hukum (adat) delik

Tidak jauh berbeda dengan pembidangan tersebut di atas, adalah dari Iman Sudiyat didalam bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978), yang mengajukan pembidangan, sebagai berikut :
1.      Hukum Tanah
2.      Transaksi tanah
3.      Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4.      Hukum perutangan
5.      Status badan pribadi
6.      Hukum kekerabatan
7.      Hukum perkawinan
8.      Hukum waris
9.      Hukum delik adat.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Hukum Adat ialah: Hukum asli terbagi atas dua bagian yakni ada yang tidak tertulis dan ada yang tertulis. Selanjutnya sumber hukum adat dalam pengertiannya dibedakan menjadi dua sumber hukum yaitu Welbron dan Kenbron. Sementara asas-asas dari hukum mempunyai corak tersendiri yakni Corak Religio Magis (Magisch-Religieus), Corak Komunal atau kemasyarakatan, Corak Demokrasi, Corak Kontan, dan Corak Konkrit.
Dalam arti sempit sehari-hari yang dinamakan Hukum Adat ialah: Hukum asli yang tidak tertulis yang memberi pedoman kepada sebagian besar orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara satu dengan lainnya baik di desa maupun di kota. Di samping bagian tidak tertulis dari hukum asli ada pula bagian yang tertulis yaitu: Piagam, perintah-perintah Raja, patokan-patokan pada daun lontar, awig-awig (dari Bali), dan sebagainya.

B.     Saran – Saran
Kepada semua pembaca agar dalam mempelajari hukum adat perlulah pemahaman yang lebih mendalam agar supaya dapat lebih mengetahui hakikat daripada hukum adat itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Salim HS. 2004. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak.Jakarta : Sinar Grafika.
Tim Naskah Akademis BPHN, “Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan,” (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Prstasi Pustaka.
Zainuddin Ali. 2007.  Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika



[1] Hilman Hadukusuma: Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 8
[2] Abdulrahman , SH: Hukum Adat Menurut Perundang-undanga Republik Indonesia, Cendana Press, 1984, hal 18
[3] Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, Sebelum Perang Dunia II, Pradnjaparamita, Jakarta,cet 15 1997 hal 140,141
[4]  I Gede A.B.Wiranata: Hukum Adat Indonesia, Perkembangan dari Masa Ke Masa, Citra Aditya Bakti, 2005, hal 40

Post a Comment for "Pokok Hukum adat"