Proses George Henbert Head
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Manusia merupakan
makhluk yang paling rasional dan memiliki kesadaran
akan dirinya (George H.
Mead). Hubungan yang terjadi antar
dan inter manusia dikenalkan oleh
George Herbert Mead
sebagai konsep interaksi.
Dalam proses tersebut, terjadi
beberapa tahapan yang melibatkan hubungan
komunikasi dan langkah-langkah tertentu yang berkembang menjadi suatu kenyataan
sebagai sebuah bentuk interaksi. Teori “Mind, Self and
Society” yang dikemukakan oleh George Herbert
Mead menyatakan bahwa manusia
lahir belum sebagai “diri”. Manusia
berkembang setelah melakukan
interaksi dengan orang lain di lingkungan sekitarnya. Proses perkembangan manusia tersebut akan sejalan dengan
lingkungannya.
Tahapan perkembangan diri yang dikemukakan oleh George
Herbert Mead ada tiga.
Pertama,
Tahap Play Stage, yaitu proses seorang
individu belajar untuk mengetahui perannya dalam lingkungan sosial. Kedua, Tahap Game Stage, yaitu
proses dimana seorang individu sudah mengetahui perannya sendiri dan orang lain dalam
bertindak. Ketiga, Tahap Generalized Other, yaitu proses seorang individu dapat memerankan
perannya dengan baik serta mengambil
alih peranan dalam lingkungannya. Pada tahap ketiga ini seorang individu sudah dapat dikatakan dewasa.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu sosialisasi?
2. Apakah jenis sosialisasi?
3. Bagaimana proses sosialisasi menurut George Herbert Mead?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN SOSIALISASI
Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau
nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok
atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai
peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran
yang harus dijalankan oleh individu.
B.
JENIS SOSIALISASI
1.
Sosialisasi Primer
Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang terjadi dalam keluarga.
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai
sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi
anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia
1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota
keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan
dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.Dalam
tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting
sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna
kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi
yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
2.
Sosialisasi Sekunder
Adalah sosialisasi yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Goffman kedua
proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan
tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu
dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun
tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara
formal.Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi
primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam
masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam
proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru.
Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami ‘pencabutan’
identitas diri yang lama.
C.
TIPE SOSIALISASI:
1.
Sosialisasi Formal: Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yang
berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di
sekolah dan pendidikan militer.
2.
Sosialisasi Non
Formal: Sosialisasi tipe ini terdapat di
masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara
teman, sahabat, sesama anggota klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada
di dalam masyarakat.
D.
POLA SOSIALISASI
1.
SOSIALISASI REPRESIF
Sosialisasi
represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap
kesalahan.
Ciri Sosialisasi Represif
1.
Penekanan pada penggunaan materi
dalam hukuman dan imbalan.
2.
Penekanan pada kepatuhan anak dan orang
tua.
3.
Penekanan pada komunikasi yang
bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi
terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai
significant other.
2.
SOSIALISASI PARTISIPATORIS
Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola
di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan
imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan.
Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi
pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized
other.
E.
PROSES SOSIALISASI
MENURUT GEORGE HERBERT MEAD
1.
TAHAP PERSIAPAN
(PREPARATORY STAGE)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak
mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh
pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan
meniru meski tidak sempurna. Contoh: Kata “makan” yang diajarkan ibu kepada
anaknya yang masih balita diucapkan “mam”. Makna kata tersebut juga belum
dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata
makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.
2.
TAHAP MENIRU (PLAY
STAGE)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan
peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk
kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan
sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa
yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk
menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini.
Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah
mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang
dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak
menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut
orang-orang yang amat berarti (Significant other)
3.
TAHAP SIAP BERTINDAK
(GAME STAGE)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran
yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya
menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan
adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya
tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada
tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks.
Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah.
Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai
dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu
yang berlaku di luar keluarganya.
4.
TAHAP PENERIMAAN NORMA
KOLEKTIF (GENERALIZED STAGE/ GENERALIZED OTHER)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat
menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia
dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya
tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya
peraturan, kemampuan bekerja sama–bahkan dengan orang lain yang tidak
dikenalnya– secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini
telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
F. SYARAT SOSIALISASI
Agar dua hal di atas dapat berlangsung
maka ada beberapa kondisi yang harus ada agar proses sosialisasi terjadi.
Pertama adanya warisan biologikal, dan kedua adalah adanya warisan sosial.
1. WARISAN KEMATANGAN BIOLOGIS
Warisan
biologis yang merupakan kekuatan manusia, memungkinkan dia melakukan adaptasi
pada berbagai macam bentuk lingkungan. Hal inilah yang menyebabkan manusia bisa
memahami masyarakat yang senantiasa berubah, sehingga lalu dia mampu berfungsi
di dalamnya, menilainya, serta memodifikasikannya.
2. WARISAN SOSIAL LINGKUNGAN
YANG MENUNJANG
Sosialisasi
juga menuntut adanya lingkungan yang baik yang menunjang proses tersebut, di
mana termasuk di dalamnya interaksi sosial. Kasus di bawah ini dapat dijadikan
satu contoh tentang pentingnya lingkungan dalam proses sosialisasi. Susan
Curtiss (1977) menaruh minat pada kasus anak yang diisolasikan dari lingkungan
sosialnya. Pada tahun 1970 di California ada seorang anak berusia tigabelas
tahun bernama Ginie yang diisolasikan dalam sebuah kamar kecil oleh orang
tuanya. Dia jarang sekali diberi kesempatan berinteraksi dengan orang lain.
Kejadian ini diketahui oleh pekerja sosial dan kemudian Ginie dipindahkan ke
rumah sakit, sedangkan orang tuanya ditangkap dengan tuduhan melakukan
penganiayaan dengan sengaja. Pada saat akan diadili ternyata ayahnya bunuh
diri. Ketika awal berada di rumah sakit, kondisi Ginie sangat buruk. Dia
kekurangan gizi, dan tidak mampu bersosialisasi. Setelah dilakukan pengujian
atas kematangan mentalnya ternyata mencapai skor seperti kematangan mental
anak-anak berusia satu tahun. Para psikolog, akhli bahasa, akhli syaraf di UCLA
(Universitas California) merancang satu program rehabilitasi mental Ginie.
Empat tahun program tersebut berjalan ternyata kemajuan mental Ginie kurang
memuaskan. Para akhli tersebut heran mengapa Ginie mengalami kesukaran
dalam memahami prinsip tata bahasa, padahal secara genetis tidak dijumpai cacat
pada otaknya. Sejak dimasukan ke rumah sakit sampai dengan usia dua puluh tahun,
Ginie dilibatkan dalam lingkungan yang sehat, yang menunjang proses
sosialisasi. Hasilnya, lambat laun Ginie mulai bisa berpartisipasi dengan
lingkungan sekitarnya. Penelitian lain dilakukan oleh Rene Spitz (1945). Dia
meneliti bayi-bayi yang ada di rumah yatim piatu yang memperoleh nutrisi dan
perawatan medis yang baik namun kurang memperoleh perhatian personal. Ada enam
perawat yang merawat empat puluh lima bayi berusia di bawah delapan belas
bulan. Hampir sepanjang hari, para bayi tersebut berbaring di dalam kamar tidur
tanpa ada “human-contact”. Dapat dikatakan, bayi-bayi tersebut jarang sekali
menangis, tertawa, dan mencoba untuk bicara. Skor tes mental di tahun pertama
sangat rendah, dan dua tahun kemudian penelitian lanjutan dilakukan dan ditemukan
di atas sepertiga dari sembilan puluh satu anak-anak meninggal dunia.
Dari
apa yang ditemukannya, Spitz menarik kesimpulan bahwa kondisi lingkungan fisik
dan psikis seorang bayi pada tahun pertama sangat mempengaruhi pembentukan
mentalnya. Bayi pada saat itu sangat memerlukan sentuhan-sentuhan yang
memunculkan rasa aman – kehangatan, dan hubungan yang dekat dengan manusia
dewasa – sehingga bayi dapat tumbuh secara normal di usia-usia
selanjutnya.
G. AGEN SOSIALISASI
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang
melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama,
yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah.
1. KELUARGA
Bagi
keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung,
dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam
suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan
diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena
dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek,
nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat
perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orabng
yang berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat
agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya
pramusiwi, menurut Gertrudge Jaeger peranan para agen sosialisasi dalam sistem
keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkungan
keluarganya terutama orang tuanya sendiri.
2. TEMAN SEBAYA
Teman
sebaya sering disebut teman bermain, teman sepergaulan pertama kali didapatkan
manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain
dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula
memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh
teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan
dalam membentuk kepribadian seorang individu.Berbeda dengan proses sosialisasi
dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia,
pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan
cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan
dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari
peraturan yang mengatur peran orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga
mempelajari nilai-nilai keadilan.
3. LEMBAGA PENDIDIKAN FORMAL
(SEKOLAH)
Menurut
Dreeben, dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis,
dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan mengenai
kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan
(specificity). Di lingkungan rumah seorang anak mengharapkan bantuan dari orang
tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar
tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.
4. MEDIA MASSA
Yang
termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah,
tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh
media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau
nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok
atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai
peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran
yang harus dijalankan oleh individu.
Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang terjadi dalam keluarga.
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai
sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi
anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia
1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota
keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan
dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.Dalam
tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting
sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna
kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi
yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah
sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu
dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi.
Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru.
Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami ‘pencabutan’
identitas diri yang lama.
B. Saran
Penulis
menyadari bajwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Maka penulis mohon kritik
dan saran guna perbaikan untuk masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
http://reviewkomunikasi.blogspot.co.id/2013/04/interaksi-simbolik-oleh-george-herbert.html
Post a Comment for "Proses George Henbert Head"